Rabu, 14 Desember 2016

Jembatan untuk Pendidikan Kontekstual: Refleksi Kritis dari Lapangan


Judul buku : Mendidik Pemenang Bukan Pecundang
Penulis : Dhitta Puti Sarasvati & J. Sumardianta
Penerbit : Bentang Pustaka, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, April 2016
Tebal : xvi + 324 halaman


Salah satu kritik mendasar terhadap dunia pendidikan saat ini adalah kenyataan bahwa pendidikan, yakni sistem persekolahan, dipandang masih belum mampu menjawab tantangan zaman. Lulusan sekolah masih banyak gagap menghadapi kenyataan hidup di masyarakat saat mereka terjun dan bergelut langsung dalam kehidupan sehari-hari.

Salah satu pertanda yang dapat dikemukakan terkait dengan problem krisis sosial-ekologis yang dihadapi umat manusia saat ini. Dalam pandangan sejumlah pihak, sekolah dipandang belum cukup mampu untuk menanamkan kepekaan ekologis atau melek ekologis (ecological literacy) terhadap para siswa di sekolah sehingga siswa gagal memberi tanggapan kritis atas krisis sosial-ekologis yang dihadapi umat manusia.

Di sisi yang lain, kesenjangan praktik pendidikan di sekolah dengan kebutuhan masyarakat dan tantangan zaman juga terasa kurang terjembatani oleh dunia akademis, yakni pendidikan tinggi yang mengelola jurusan keguruan dan ilmu pendidikan.

Buku berjudul Mendidik Pemenang Bukan Pecundang yang ditulis oleh dua orang praktisi pendidikan ini kiranya dapat menjadi jembatan untuk menghidupkan kembali pendidikan kritis dan pendidikan kontekstual. Pendidikan kritis dan pendidikan kontekstual yang dimaksudkan di sini adalah model pendidikan yang mampu menanamkan kepekaan kepada para peserta didiknya atas situasi masyarakat yang bergerak cepat dan praktik pendidikan yang mampu menjawab tantangan zaman di masa mendatang.

Dhitta Puti Sarasvati, penulis buku ini, adalah lulusan Teknik Mesin ITB dan Pendidikan Matematika Universitas Bristol (UK) yang saat ini mengajar di Fakultas Pendidikan, Sampoerna University, setelah sebelumnya menjadi guru honorer dan juga aktif di Ikatan Guru Indonesia (IGI). Sedangkan J. Sumardianta, penulis lainnya, mengajar di SMA Kolese De Britto, Yogyakarta.

Pada bagian pengantar, dijelaskan bahwa “buku ini ditulis bagi para pendidik, calon pendidik, dan orangtua untuk mempersiapkan generasi muda menghadapi dunia nyata” (hlm. xiv). Generasi seperti apa yang diharapkan dapat lahir dari sekolah ideal oleh penulis buku ini? Dari judulnya, pembaca bisa menjawab: generasi pemenang, bukan generasi pecundang.

Penulis buku ini menjelaskan makna “pemenang” pada tulisan pertama dengan membuat pembedaan antara generasi muda tipe pengemudi (driver) dan penumpang (passenger). Dengan mengutip Rhenald Kasali, dijelaskan bahwa generasi pemenang memiliki sejumlah ciri, misalnya visioner, proaktif dan siap memelopori perubahan, siap turun tangan, mampu melihat solusi dalam tiap masalah, suka bekerja keras, menjadi trend setter, dan sebagainya. Sementara itu, generasi penumpang yang juga diidentikkan dengan pecundang digambarkan bermental pasif, kurang mandiri, cepat menyerah, mudah mengeluh dan frustrasi, sulit mencari alternatif jalan keluar, dan sebagainya (hlm. 5-8).

Sesuai dengan karakternya yang merupakan kumpulan tulisan, maka dalam buku ini tidak ada uraian yang sifatnya sistematis untuk menjawab cara sekolah membentuk generasi pemenang itu. Pembaca harus menyimpulkan sendiri bagaimana generasi pemenang itu dibentuk oleh sekolah. Dalam menjelaskan masalah ini, buku ini memberi jawaban secara teoretis maupun praktis. Maksudnya, ada jawaban yang digali dari gagasan atau teori, ada pula yang dijawab melalui pemaparan praktik yang baik (good practice) di lapangan.

Misalnya, buku ini mengutip pendapat Prof. Soedjatmoko bahwa jantung sekolah berkualitas ada tiga, yakni perpustakaan, laboratorium, dan interaksi (hlm. 17-18). Perpustakaan merupakan sumber informasi yang untuk konteks saat ini sebenarnya tak dapat digantikan sepenuhnya dengan internet. Perpustakaan dalam bentuknya yang konvensional yang memuat buku-buku, majalah, dan semacamnya, pada tingkat mendasar mendorong siswa di sekolah untuk memiliki kemampuan mencari dan mengolah informasi. Tanpa kemahiran dasar ini, internet yang menyediakan informasi tak terbatas akan jauh berkurang nilainya. Internet hanya akan menjadi gudang data belaka. Malahan jika siswa—atau bahkan juga guru—langsung masuk ke dunia internet tanpa dasar kemampuan melek informasi yang cukup maka bisa saja ia terperangkap pada mentalitas instan.

Jika perpustakaan berfungsi sebagai penyedia informasi, laboratorium adalah tempat siswa melakukan praktik, bereksplorasi, bereksprimen, dan meneliti. Tentu saja, laboratorium yang dimaksudkan di sini bukanlah laboratorium dalam arti sempit. Laboratorium dapat berupa alam terbuka, pasar tradisional, dan sebagainya. Satu hal yang digarisbawahi buku ini adalah bahwa kita sebagai bangsa Indonesia sangatlah beruntung karena memiliki kondisi alam dan kondisi sosial budaya yang sangat kaya yang sebenarnya dapat menjadi laboratorium yang luar biasa maknanya bila mampu dimanfaatkan secara baik oleh guru dan siswa.

Interaksi adalah unsur penting yang ketiga pada ciri sekolah berkualitas. Interaksi adalah roh yang menjadikan para pelaku di sekolah bersatu dalam semangat belajar dan meraih kehidupan yang lebih baik. Interaksi, atau juga disebut relasi, meliputi jalinan mendalam antara guru dan murid, guru dan orangtua, murid dan orangtua, termasuk juga relasi masyarakat sekolah dan pengetahuan.

Jalinan antara para pelaku, terutama antara guru dan murid, akan memberikan sentuhan yang mengilhamkan perubahan baik pada tataran kognitif maupun sikap. Jalinan yang baik akan mengikat para pemangku kepentingan di sekolah pada misi mendasar sekolah sebagai salah satu motor penggerak peradaban.

Namun demikian, dalam iklim pembelajaran yang penuh beban administrasi dan berlangsung begitu formal, interaksi yang hangat di sekolah tidak mudah kita temukan. Justru terkadang interaksi yang hangat ini ditemukan di sekolah-sekolah pinggiran. Puti dalam buku ini memberi contoh sebuah sekolah di Garut, Jawa Barat, yang pada setiap Jum’at sore menggelar acara kumpul-kumpul secara guyub antara guru, perwakilan murid, orangtua, dan masyarakat, untuk membicarakan perbaikan mutu sekolah.

Selain tiga hal pokok yang menjadi jantung pendidikan berkualitas tersebut, buku ini juga menyinggung tujuan pendidikan dan pembelajaran, termasuk orientasi belajar. Pada tingkat yang sederhana, proses pembelajaran diorientasikan untuk membekali pengetahuan dan keterampilan pada siswa. Pada tingkat lainnya, proses pendidikan juga diorientasikan untuk menanamkan kecintaan siswa pada ilmu. Selain itu, proses pendidikan juga dilakukan untuk membentuk sikap siswa menghadapi tantangan zaman, termasuk hidup bersama dalam kehidupan masyarakat yang beragam. Demikan juga, belajar perlu diorientasikan agar mendorong siswa menjadi manusia yang terus-menerus berusaha agar lebih bermartabat, lebih kritis, lebih toleran, dan menjadi lebih baik (hlm. 90-95).

Ada satu bagian dalam buku ini yang cukup menarik yang menggambarkan orientasi pembelajaran. Puti yang lulusan perguruan tinggi terkemuka dan sebelumnya juga menempuh pendidikan yang baik di lembaga unggulan merasakan bahwa ternyata keseluruhan proses pendidikan formal yang diikutinya tidak cukup berhasil mengenalkan dan menanamkan kepekaan atas realitas sosial masyarakat yang timpang. Pengalaman Puti sebagai guru honorer di sebuah sekolah pinggiran di Bandung membuka dan menggugah kesadarannya bahwa masih banyak masyarakat Indonesia yang belum dapat menikmati pendidikan berkualitas. Kesadaran akan realitas sosial yang timpang ini justru baru muncul saat Puti bekerja sebagai guru dan pendidik (hlm. 29).

Dari kenyataan ini terlihat betapa orientasi dan proses pendidikan di negeri ini tampaknya memang masih belum berhasil mengarah pada model pendidikan kritis dan pendidikan kontekstual sebagaimana yang menjadi semangat pemaparan buku ini.

Namun demikian,buku ini juga beusaha mengangkat praktik-praktik pendidikan yang sederhana tapi mencerahkan untuk keluar dari keterbatasan sistem persekolahan yang ada saat ini. Misalnya, Puti bertutur tentang Komunitas Sahabat Kota (KSK) di Bandung yang merupakan organisasi nirlaba yang menghimpun sejumlah anak muda lokal di Bandung untuk membantu mengoptimalkan tumbuh kembang anak-anak dengan memanfaatkan berbagai potensi setempat.

Komunitas yang lahir pada tahun 2007 ini percaya bahwa anak-anak belajar paling baik dari lingkungan hidup mereka. Untuk itu, komunitas ini mengajar anak-anak untuk menjelajahi kota tempat mereka tinggal dan belajar dari sana. Misalnya, mereka diajak untuk membuat peta hijau, yakni peta yang berkaitan dengan berbagai potensi dan masalah lingkungan hidup. Dari komunitas ini, pembaca bisa melihat upaya-upaya kreatif untuk mendorong anak-anak peka terhadap lingkungan dan menjadikan lingkungan sebagai pengilham dan sekaligus sumber belajar (hlm. 257).

Sebagai bagian dari refleksi dari lapangan, buku ini berhasil keluar dari model pendekatan yang semata terfokus pada unsur mikro dalam proses pendidikan di sekolah dan menghindar dari pembicaraan terkait kebijakan pengurus publik. Buku ini tidak saja mengangkat isu-isu yang bersifat mikro dan personal, tapi juga secara kritis mengupas beberapa kebijakan pemerintah di bidang pendidikan. Misalnya, terkait wajib belajar yang dicanangkan pemerintah, buku ini mengingatkan bahwa wajib belajar itu yang terpenting adalah soal penerapannya, yakni bahwa kebijakan ini dilaksanakan dengan sungguh-sungguh. Menurut Puti, kebijakan wajib belajar terutama bukan soal apakah 12 tahun atau 9 tahun, tapi lebih pada soal yang mendasar, yakni terkait dengan ketersediaan layanan pendidikan yang bisa diakses oleh seluruh warga, kualitas layanan pendidikan yang baik, dan perubahan paradigma bahwa pendidikan adalah hak setiap warga negara (hlm. 104-109).

Dalam buku ini, Puti juga mengkritik penerapan kebijakan pendidikan inklusi yang cenderung hanya sekadar menerima murid yang berkebutuhan khusus tanpa persiapan yang cukup. Akibatnya, murid yang berkebutuhan khusus tersebut menjadi terlantar di sekolah (hlm. 35-36).

Terkait berbagai hal ideal yang dibicarakan tentang dunia pendidikan, baik yang dikupas langsung dalam buku ini maupun yang dibicarakan masyarakat umum, buku ini mengingatkan bahwa, bagaimanapun, gagasan-gagasan besar tentang hal ideal dalam dunia pendidikan harus diikuti dengan kerja-kerja konkret untuk mengurus detail yang memungkinkan gagasan-gagasan besar tersebut dapat terwujud (hlm. 119).

Buku ini berhasil mengisi ruang kosong yang ada di antara dunia akademis dalam bidang kajian pendidikan dan praktik pendidikan yang berlangsung di masyarakat. Dengan menghadirkan potret kerja-kerja pendidikan di lapangan yang dibarengi dengan refleksi kritis dan juga perbandingan dengan praktik pendidikan di tempat yang lain, dan kadang juga disorot dengan perspektif teori, buku ini berupaya untuk mengembalikan watak kritis dan kontekstual kerja pendidikan.

Dengan cara ini, buku ini tampaknya cukup mampu untuk menjadi pemantik awal sebagai jembatan di antara dunia praktik dan dunia teoretis, khususnya dunia teoretis yang berkembang di lingkungan akademis di perguruan tinggi ilmu kependidikan, menuju pendidikan yang kritis dan kontekstual. Tentu saja, sebagai sebuah jembatan, buku ini tak akan banyak bernilai jika faktanya catatan-catatan dari lapangan seperti yang ada dalam buku ini tidak mendapat tempat di dunia akademis.

Kehadiran buku ini pada gilirannya juga menyiratkan satu pesan yang kuat bagi dunia akademis bahwa kerja-kerja akademis haruslah terus dijaga ketersambungannya dengan realitas masyarakat melalui refleksi atas aksi-aksi di lapangan. Dengan demikian, membekali kemampuan refleksi kepada para mahasiswa kependidikan atau siapa pun yang akan terjun mengabdi di dunia pendidikan sangatlah penting, karena refleksi dari lapangan ini akan menjadi sumbangan yang sangat berharga bagi dunia pendidikan.

Dari sudut pandang dunia pesantren, buku ini memberi tantangan agar para pegiat pendidikan di pesantren juga mampu merefleksikan praksis yang mereka lakukan di lapangan. Kiranya sangat banyak hal menarik di dunia pendidikan pesantren yang penting untuk direfleksikan dan diangkat untuk dibagikan dengan khalayak luas. Kita mengenal sebuah buku yang sudah menjadi klasik yang ditulis oleh KH Saifuddin Zuhri, Guruku Orang-Orang dari Pesantren, yang menuturkan secara renyah dan cukup reflektif dunia pendidikan pesantren yang khas.

Buku ini menghidupkan kembali visi mendasar pendidikan sebagai landasan perubahan individu dan masyarakat ke arah yang lebih baik dengan landasan sikap kritis dan kemampuan berpikir kontekstual. Untuk ke sana, buku ini di antaranya memaparkan praktik-praktik inspiratif dan juga gagasan-gagasan kritis untuk menegaskan visi mendasar pendidikan tersebut.


Tulisan ini dimuat di Jurnal 'Anil Islam, Vol. 9, Nomor 1, Juni 2016.


Read More..

Senin, 28 November 2016

Belajar dari Kepemimpinan Fergie


Judul buku: The Legend’s Leadership Sir Alex Ferguson: Sukses Tiada Henti
Penulis: Jennie S. Bev
Penerbit: Kanisius, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, 2016
Tebal: 160 halaman
ISBN: 978-979-21-4481-9


Sir Alex Ferguson, yang akrab dipanggil Fergie, adalah legenda klub sepakbola Inggris Manchester United (MU). Dalam masa kepemimpinannya sebagai pelatih klub—sekitar 27 tahun—Fergie telah mempersembahkan puluhan trofi bergengsi.

Buku ini mengangkat nilai-nilai kepemimpinan yang menjadi ruh Sir Alex Ferguson sehingga dapat berhasil mengantarkan MU menjadi klub ternama. Pada bagian pertama, buku ini menyajikan sekilas biografi Fergie.

Fergie lahir pada penghujung tahun 1941 di kota Govan, Skotlandia, dari keluarga buruh. Fergie dikenal aktif di dunia politik dan mendukung Partai Buruh Inggris Raya. Pada tahun 2012 dia mendukung referendum agar Skotlandia tetap menjadi bagian dari Inggris Raya.

Di dunia sepakbola, Fergie memulai kariernya sebagai pemain dari tahun 1957 hingga 1974. Pada tahun 1974, saat usianya belum genap 33 tahun, Fergie memulai karier manajerialnya di klub East Stirlingshire. Kariernya di klub Manchester United dimulai pada 6 November 1986. Di masa awal, Fergie harus menghadapi para pemain yang “jago minum” dan dituntut cerdas untuk mendisiplinkan pemain.

Pada pertengahan dekade 1990-an, Fergie berhasil mengorbitkan beberapa pemain muda yang kemudian menjadi legenda Manchester United. Di antara mereka adalah David Beckham, Paul Scholes, Gary Neville.

Fergie tidak saja lihai memoles pemain muda hingga menjadi bintang lapangan. Ia juga pandai mengelola pemain bintang agar bisa tampil sebagai anggota tim yang saling mendukung. Di tengah persaingan keras Liga Primer Inggris, Fergie tampil cerdik mengelola berbagai potensi pemain dan juga mengelola isu—termasuk media—demi kekuatan dan keunggulan tim.

Dari sejarah hidup dan karier di dunia sepakbola, buku ini merekam 14 nilai-nilai hidup yang menjiwai perjalanan Fergie. Di antara nilai-nilai itu, dikemukakan bahwa Fergie adalah sosok yang senang akan tanggung jawab. Sejak muda, Fergie mengambil alih tugas ayahnya sebagai pencari nafkah keluarga. Inilah mungkin yang membuatnya memiliki standar kegigihan dan etos kerja keras yang tinggi. Fergie juga sangat menghargai kehangatan keluarga. Dari latar keluarga pekerja, ia belajar untuk mensyukuri hal-hal kecil, hidup sederhana, dan peduli pada orang lain.

Latar kehidupan keluarga Fergie yang termasuk “berkerah biru” membentuk karakter kerja keras dan juga rendah hati. Tensi emosi yang tinggi dalam persaingan Liga Inggris kadang dipenuhi dengan ejekan dan umpatan dari para pendukung tim lawan. Tapi Fergie berhasil melewati semuanya dengan baik.

Masa kerja Fergie yang cukup lama di MU menunjukkan bahwa ia berhasil melewati berbagai tekanan mental di dunia sepakbola Eropa yang semakin ketat persaingannya. Sesekali ia memperlihatkan gaya kepemimpinan yang cukup kontroversial seperti berkonfrontasi dengan media atau keras memarahi pemainnya.

Sebagai pemimpin, Fergie menerjemahkan disiplin pada aspek yang luas. Disiplin tidak hanya dalam soal mengendalikan dan mengelola pemain, tapi juga dalam hal memberikan arahan yang jelas dan jernih, mengelola perubahan, dan mendorong sikap berani.

Nilai-nilai kepemimpinan Fergie ini tidak saja terlihat dalam setiap pertandingan yang dipimpinnya. Nilai kepemimpinan Fergie ini juga berada pada lapis pengelolaan musim pertandingan dan pengelolaan klub. Dalam mengelola klub, nilai-nilai kepemimpinan dan kecerdasan Fergie terlihat dari fakta bahwa ia bertahan begitu lama di MU.

Buku ini memperlihatkan kepada pembaca bahwa sepakbola tidak saja menjadi ajang hiburan dan industri tapi juga sarat dengan nilai-nilai pembentukan karakter. Di tengah situasi persepakbolaan nasional yang tampak sulit untuk maju, kiranya buku ini dapat menjadi inspirasi perubahan untuk mendorong pengelolaan sepakbola dalam berbagai level secara lebih baik agar sepakbola juga dapat berkontribusi dalam perubahan mental dan ikut memajukan masyarakat.


Tulisan ini dimuat di Koran Sindo, 27 November 2016.
.


Read More..

Minggu, 06 November 2016

Beres-Beres Rumah dan Gaya Hidup Minimalis


Judul buku: The Life-Changing Magic of Tidying Up: Seni Beres-Beres dan Metode Merapikan ala Jepang
Penulis: Marie Kondo
Penerbit: Bentang Pustaka, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, Agustus 2016
Tebal: xviii + 206 halaman
ISBN: 978-602-291-244-6


Tak jarang hal yang dipandang remeh, kecil, dan biasa jika ditekuni dapat melahirkan hal yang luar biasa. Marie Kondo membuktikan hal ini saat namanya masuk di antara 100 Most Influential People of 2015 versi majalah Time berkat ketekunannya mendalami seni beres-beres dan metode merapikan rumah.

Urusan beres-beres dan merapikan rumah selama ini dianggap hal sepele yang tak perlu dipelajari secara khusus. Kenyataannya, menurut Marie Kondo, para “veteran” di bidang mengurus rumah, yakni perempuan 50-an tahun yang rata-rata mengurus rumah sekitar 30-an tahun, kewalahan mengurus rumah karena pendekatan konvensional mereka yang keliru.

Buku ini dapat dilihat sebagai buku yang bersifat praktis, yakni panduan untuk merapikan rumah. Namun, ketekunan, kecermatan, dan kedalaman penelaahan penulisnya yang saat ini berusia sekitar 31 tahun pada bagian tertentu buku ini memperlihatkan sisi yang mendalam, kritis, dan radikal, sehingga mungkin berada pada level yang cukup “filosofis”.

Merapikan rumah, menurut Marie, harus dilakukan secara total dan tuntas dalam satu jangka waktu. Perubahan drastis dan total akan menjadi terapi kejut untuk membentuk pola pikir dan gaya hidup yang rapi. Karena itu, berbenah menuntut tekad dan kesungguhan. Secara praktis, Marie kemudian memberi panduan untuk beres-beres rumah secara tuntas.

Pertama, Marie menerangkan bahwa berbenah itu sebenarnya meliputi dua aktivitas: membuang barang (yang sebenarnya tidak diperlukan) dan menyimpan atau meletakkan barang di tempatnya. Dari pengalamannya sebagai konsultan berbenah, Marie menemukan bahwa kliennya rata-rata menyimpan banyak sekali barang yang sebenarnya sudah tidak digunakan. Seorang klien, misalnya, membuang barang-barangnya hingga 200 kantong sampah bervolume 45 liter.

Ada juga klien yang menumpuk persediaan barang terlalu banyak di rumahnya: tisu toilet hingga 80 gulung, 60 sikat gigi, atau 100 kotak korek kuping yang masing-masing berisi 200 korek kuping.

Klien Marie yang mengoleksi buku banyak yang tak pernah menyentuh dan membaca beberapa bukunya. Saat diminta untuk memilah untuk menentukan buku yang akan dibuang, klien biasanya menjawab: “Siapa tahu saya ingin membacanya kapan-kapan.” Marie menimpali bahwa menurut pengalamannya, yang namanya “kapan-kapan” itu tak akan pernah datang.

Pada tahap membuang ini, terungkap bahwa ternyata orang-orang banyak yang takut akan menghadapi kesulitan hidup gara-gara kekurangan barang. Akhirnya mereka menimbun. Tapi pada giliran berikutnya ternyata timbunan barang itu membuat rumah mereka tidak rapi dan membuat mereka tidak bahagia. Menurut Marie, kita mestinya hanya menyimpan barang-barang yang dapat memberikan kebahagiaan dan membangkitkan kegembiraan.

Menurut Marie, dengan tuntas membuang barang yang sebenarnya tidak diperlukan hingga benar-benar pas sesuai kebutuhan, kita sebenarnya sedang merevitalisasi hubungan kita dengan benda-benda milik kita. Barang-barang yang diabaikan di rumah kita, bagi Marie, adalah barang-barang yang “terpenjara”. Mereka sebenarnya ingin pergi. Dengan membuangnya atau memberikannya pada orang lain, barang-barang itu menghirup udara kebebasan.

Setelah tuntas membuang barang-barang yang tak dibutuhkan, langkah berikutnya adalah disiplin meletakkan barang pada tempatnya. Marie menyarankan agar semua barang di rumah kita harus memiliki tempat yang jelas, tidak tersebar-sebar. Sering kali kita memiliki barang yang tak jelas tempat penyimpanannya sehingga bisa menjadi pangkal kesemrawutan di rumah. Selain kejelasan tempat, disiplin mengembalikan juga penting. Itulah pentingnya “alamat” yang jelas dari barang-barang kita di rumah.

Keajaiban berbenah adalah level kedua yang dipaparkan buku ini. Jika level pertama bersifat praktis, level kedua ini cukup bersifat filosofis. Pada level ini, pertama, kita diajak untuk “memanusiakan” barang-barang kita. Saat melipat baju, kata Marie, kita tidak saja sedang berusaha menghemat tempat penyimpanan pakaian. Ketika melipat baju, kita menyalurkan energi pada pakaian kita, kita juga berdialog, dan berterima kasih atas jasa pakaian kita yang telah menyokong kehidupan kita. Dengan memanusiakan barang-barang itu, kita belajar untuk mengapresiasi dan mensyukuri takdir barang-barang yang telah menjadi bagian dari hidup kita.

Selain itu, berbenah dapat mengantarkan pada pembentukan keterampilan membuat keputusan. Dalam berbenah, kita dilatih untuk membuat keputusan tentang barang yang benar-benar dibutuhkan. Pada saat yang sama, kita dilatih untuk mengikhlaskan barang yang sejatinya kita telantarkan.

Meski bertolak dari hal yang bersifat praktis dan secara eksplisit tak menyebut unsur ideologis yang menjadi landasannya, Marie Kondo dalam buku ini terlihat sedang mempromosikan gaya hidup minimalis atas dasar kesadaran kepedulian akan kelestarian alam. Kehidupan modern yang konsumtif membuat nafsu manusia untuk menumpuk barang kian tak terkendali sehingga kesadaran akan asal-muasal dan nasib barang kita menjadi terabaikan dan terlupakan.

Gaya hidup konsumtif ini tidak saja merusak kelestarian alam. Ia juga merusak kondisi psikologis manusia. Nafsu menumpuk barang nyatanya hanya membuat kita tidak tenang. Menurut beberapa ahli, hidup efisien, yakni hidup secukupnya, juga memberi manfaat psikologis—bukan hanya keuangan.

Lebih dari itu, gaya hidup minimalis yang diusung Marie Kondo dalam buku ini tampak memiliki muatan spiritual yang cukup kental. Jika dirumuskan dalam bahasa agama, mereka yang tak berhasil berbenah bisa saja termasuk orang yang “kufur nikmat”. Selain itu, penimbun barang dapat pula termasuk pada kelompok pemuja barang yang takut kehilangan dan begitu tergantung pada benda-benda duniawi.


Tulisan ini adalah naskah awal tulisan yang dimuat di Harian Jawa Pos, 6 November 2016.


Read More..

Minggu, 30 Oktober 2016

Kota dan Potret Keterasingan Manusia


Judul buku: Orang-Orang Bloomington
Penulis: Budi Darma
Penerbit: Noura Books, Jakarta
Cetakan: Pertama, Mei 2016
Tebal: xiv + 298 halaman
ISBN: 978-602-385-021-1


Dalam sejarah perkembangan peradaban manusia, kota mula-mula merupakan pusat pergerakan kemajuan peradaban manusia. Sejak mengakhiri periode hidup nomaden dan mulai bertani pada sekitar 20.000 tahun yang lalu, manusia membangun kota dan unit-unit peradaban pendukung lainnya. Namun demikian, sebagai fenomena modern, kota ternyata juga menghadirkan potret kehidupan masyarakat yang mengandung kontradiksi.

Ajip Rosidi menggambarkan kontradiksi kota dalam salah satu puisinya yang berjudul “Djembatan Dukuh” (1956). Ajip Rosidi menulis: “...karena antara kita dan kota yang kita tinggali; karena antara rumah dan kita sendiri; tiada lagi hubungan.”

Orhan Pamuk, dalam karya memoarnya yang berjudul Istanbul (2003) menggambarkan kota Istanbul yang mengalami peralihan dari fase Dinasti Utsmani ke era Turki Modern. Pamuk mencatat bahwa dalam proses transisi tersebut ada kemurungan (huzun) yang hadir dalam kehidupan kota masyarakat Istanbul.

Jika Pamuk melihat Istanbul sebagai sebuah fenomena kemasyarakatan dalam konteks sosial, politik, dan kebudayaan yang cukup luas, kumpulan cerpen karya Budi Darma yang berjudul Orang-Orang Bloomington ini merekam fenomena kota modern dari sudut pandang pergulatan individu yang hidup di dalamnya. Pergulatan yang lebih bersifat individual ini pada satu sisi mencoba memperlihatkan cara kota menghadirkan masalah bagi manusia dalam menjalin hubungan dengan sesama.

Tujuh cerpen dalam buku ini mengangkat tujuh potret kehidupan warga kota Bloomington, Indiana, Amerika Serikat, dalam latar paruh kedua tahun 1970-an. Kota Bloomington, tempat Budi Darma menempuh pendidikan jenjang magister dan doktor pada dekade 1970-an, menurut Budi Darma dalam kata pengantar yang termuat dalam versi cetakan Penerbit Sinar Harapan tahun 1980—yang sayangnya tak dapat dibaca pada versi penerbitan ulang ini—“hanya bertindak sebagai sebuah kebetulan.” Bloomington bisa saja digantikan dengan kota lainnya. Dengan demikian, Budi Darma tampaknya memang ingin memperlihatkan fenomena kota dan pergulatan kejiwaan manusia yang bersifat universal.

Bloomington pada akhir dekade 1970-an sebenarnya bukan terbilang kota besar di Amerika Serikat. Penduduknya hanya sekitar 50 ribu jiwa. Namun, cerpen-cerpen dalam antologi ini membuat pembaca bisa merasakan kota Bloomington sebagai fenomena kehidupan modern. Semua cerpen secara khusus menggambarkan kehidupan para tokohnya di apartemen atau tempat kos dengan ciri kehidupan yang individualistis dengan berpijak pada konsep privasi yang cukup ketat. Nomor telepon bukan sesuatu yang biasa diobral kepada orang lain. Hubungan dengan orang lain tidaklah guyub, cukup kaku dan hanya seperlunya.

Lihatlah misalnya cerpen pertama yang berjudul “Laki-Laki Tua Tanpa Nama”. Dalam cerpen ini, tokoh “saya” menjadi lensa untuk memotret kehidupan tetangga kosnya yang misterius: seorang tua yang tak diketahui namanya dan suka membidik-bidikkan pistol ke tanah dari kamarnya di loteng. Cerpen ini menuturkan kisah tokoh saya yang berusaha mengenal lebih dekat sosok misterius ini. Meski oleh induk semangnya sudah diperingatkan untuk tidak ikut campur dengan urusan orang lain, tokoh saya tetap saja berusaha mengejar lelaki tua yang kabarnya veteran Perang Dunia Kedua itu.

Cerita berakhir dengan cukup tragis: si lelaki tua dalam sebuah drama yang singkat ditembak oleh Ny. Nolan, salah satu tetangga yang juga suka berperilaku aneh, yang ternyata menyimpan prasangka buruk pada lelaki tua itu berdasarkan pembicaraan dengan tokoh saya (hlm. 28-32).

Cerpen-cerpen dalam antologi ini mengungkap jalan pikiran tokoh utamanya yang di antaranya banyak suka ikut campur urusan orang, suka usil, merasa kesepian, dan juga dengki dan diliputi prasangka. Cerpen berjudul “Keluarga M” menceritakan kehidupan apartemen dengan tokoh saya yang dirundung kesepian. Di tengah kesepiannya itu, ia tampak begitu iri dengan kehidupan “keluarga M”, suami-istri dengan dua anak yang semua namanya berawalan huruf M. Gara-gara dua anak keluarga M itu membuat beret cat mobilnya, tokoh saya kemudian dikisahkan berusaha untuk mengganggu keluarga M, mulai dari usulan memasang mesin penjual Coca Cola dengan maksud agar dua anak itu suatu saat terkena pecahan botol, hingga pikiran-pikiran jahat bercampur doa agar keluarga M celaka (hlm. 77-83).

Saat keluarga M mengalami kecelakaan dan tokoh saya ingin membantu, keluarga M justru menolak. Sikap tokoh saya yang sering tampak dengki tapi kadang juga iba melihat keluarga M memperlihatkan konflik kejiwaan manusia yang pelik. Sayangnya, dalam cerpen ini, tokoh saya tak berhasil mengatasi kesepiannya dan juga upayanya untuk menjalin hubungan yang baik dengan orang lain.

Tema serupa juga menjadi pokok pikiran cerpen yang lain, yakni cerpen berjudul “Charles Lebourne” yang menceritakan seorang anak yang secara tak sengaja menemukan ayah yang telah meninggalkan ibunya dan memperlakukan ibunya secara aniaya. Pertemuan tak sengaja di lingkungan apartemen ini mengarah pada pergolakan batin tokoh saya yang ingin membalaskan derita ibunya tapi kadang juga muncul rasa iba melihat penderitaan ayahnya yang sakit-sakitan (hlm. 270-296).

Tujuh cerpen yang masing-masing sedikitnya terdiri dari sekitar 5 ribu kata ini—yang bisa dibilang relatif cukup panjang—ditulis dengan teknik yang baik oleh Budi Darma. Setiap cerpen memperlihatkan keutuhan cerita yang padu. Tak heran jika Budi Darma dianggap sebagai pengarang yang memberi warna baru dalam penulisan prosa di Indonesia.

Ketujuh cerpen dalam buku ini merupakan refleksi atas kondisi kejiwaan manusia modern yang hidup di lingkungan perkotaan. Dalam lingkungan yang cenderung individualistis, beberapa sifat dasar manusia yang luhur seperti belas kasih, rasa empati dan rasa peduli, tertantang oleh arus kehidupan yang juga berpotensi menyuburkan sikap batin negatif. Tak dapat dinafikan bahwa kala karakter negatif itu tumbuh, pada saat yang sama manusia juga bisa merasakan keterasingan, batin yang kosong, dan hidup yang hambar.

Momentum penerbitan kembali cerpen-cerpen Budi Darma, profesor emiritus di Universitas Negeri Surabaya, ini sangatlah tepat. Masyarakat Indonesia saat ini secara perlahan tengah mengalami proses peralihan ke pola kehidupan modern yang cenderung individualistis. Ini terjadi tak hanya di kota. Akibat revolusi teknologi informasi, jiwa kehidupan modern merambah ke mana-mana hingga ke desa.

Penerbitan ulang karya sastra Indonesia bermutu seperti buku ini sangat bernilai bagi pembaca sastra remaja dan belia yang kesulitan untuk mendapatkan buku-buku sastra Indonesia karya penulis terkemuka yang sudah tidak diterbitkan dan sulit didapat.

Kiranya, cerpen-cerpen Budi Darma yang secara berani menelanjangi pikiran-pikiran terdalam manusia-manusia Bloomington sebagai cerminan diri manusia modern ini dapat menjadi pendamping refleksi dalam membaca perubahan zaman dan pergulatan manusia yang hidup di dalamnya. Bisa jadi, di antara tokoh-tokoh yang diangkat dalam kumpulan cerpen ini ada “saya” yang tersembunyi yang diam-diam dengan keakutan masalah kehidupan modern saat ini.


Tulisan ini dimuat di Basabasi.co pada 29 Oktober 2016.

Read More..

Selasa, 25 Oktober 2016

Percik Kecil Sejarah dan Ikatan Tali Kebangsaan


Judul buku: Indonesia Poenja Tjerita: Yang Unik dan Tak Terungkap dari Sejarah Indonesia
Penulis: @SejarahRI
Penerbit: Bentang Pustaka, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, Juli 2016
Tebal: xviii + 226 halaman
ISBN: 978-602-291-238-5


Menyajikan peristiwa sejarah dalam penuturan yang menarik memang menjadi tantangan tersendiri. Sejarah yang identik dengan nama tokoh-tokoh atau tanggal-tanggal terkait peristiwa penting dalam perjalanan bangsa atau masyarakat kerap tersaji secara kering dan datar. Akibatnya, membaca buku sejarah kurang diminati.

Padahal, dalam kerangka kemasyarakatan dan kebangsaan sejarah sangatlah penting sebagai kekuatan kultural untuk memaknai kekinian dan tantangan masa depan.

Buku ini dihimpun dari tulisan-tulisan di media online “Sejarah RI” yang berfokus pada edukasi sejarah Indonesia. Melalui laman SejarahRI.com dan akun twitter @SejarahRI dan juga akun Facebook, Sejarah RI berupaya menyajikan percik sejarah-sejarah kecil atau alternatif atau yang di luar arus utama demi mendapatkan gambar utuh sejarah Indonesia dalam upaya membangun paradigma keindonesiaan (hlm. 221-222).

Membaca buku ini, tampaklah bahwa percik-percik sejarah di luar arus utama memang juga memiliki potensi yang kuat untuk menjadi tiang penyokong persatuan bangsa. Misalnya, di satu bagian, buku ini bercerita tentang perancang lambang Garuda Pancasila, yaitu Syarif Abdul Hamid Alkadrie atau Sultan Hamid II, putra sulung Sultan Pontianak. Sultan Hamid II ini berdarah Indonesia-Arab.

Pembuatan lambang negara ini mulanya disayembarakan, dan yang masuk “final” adalah karya Sultan Hamid II dan M. Yamin. Namun karya M. Yamin ditolak karena pada gambar yang dia buat ada unsur sinar matahari yang dianggap menunjukkan pengaruh Jepang. Setelah melewati beberapa proses, lambang rancangan Sultan Hamid II diperkenalkan oleh Presiden Soekarno kepada khalayak pada tanggal 15 Februari 1950 di Hotel Des Indes, Jakarta (hlm. 144-149).

Terkait dunia penerbitan, orang-orang Tionghoa peranakan sejak abad ke-19 telah menerbitkan surat kabar, majalah, dan buku sastra. Mereka menerbitkan karya dalam bahasa Melayu dengan berbagai variasinya. Kemudian pemerintah Hindia Belanda pada 14 September 1908 membentuk Commissie voor de Inlandsche School en Volkslectuur (Komisi Bacaan Rakyat) yang nyatanya berperan sangat penting dalam merangsang minat baca masyarakat. Yang diterbitkan komisi ini bukan hanya karya lokal, tapi juga ada terjemahan novel berbahasa Belanda, Inggris, Prancis, Jerman, dan juga Arab. Komisi ini pada gilirannya berkembang hingga menjadi lembagai yang dikenal dengan nama Balai Pustaka (hlm. 178-180).

Sebuah tulisan dalam buku ini juga mempersaksikan peran masyarakat luar Jawa, yakni bahwa surat kabar bumiputra yang pertama terbit adalah Warta Berita. Tulisan ini mematahkan pandangan umum yang mengatakan bahwa surat kabar bumiputra pertama adalah Medan Prijaji yang terbit di Bandung pada tahun 1907. Warta Berita ini terbit di Padang pertama kali pada tahun 1901, dengan pemimpin redaksi Datuk Sunan Marajo (hlm. 18-21).

Beberapa tulisan lain mengangkat tema kecil tapi menarik, seperti serba-serbi peristiwa yang menyertai Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945, asal-usul lomba panjat pinang, sejarah tahu Sumedang, sejarah rokok kuno di Indonesia, dan lainnya.

Ada juga yang mengangkat keteladanan para pemimpin bangsa, seperti kisah Sultan Hamengkubuwono IX yang memberi tumpangan kepada seorang ibu pedagang beras di Yogyakarta (hlm. 114-115).

Selain gaya bertutur yang renyah, buku ini menarik dan sangat penting untuk dibaca dalam kerangka kehidupan kebangsaan Indonesia. Di tengah berbagai persoalan bangsa dan tantangan zaman yang kian berat, buku ini kiranya mampu untuk menjadi tali pengikat semangat persatuan bangsa.


Tulisan ini adalah naskah awal dari tulisan yang dimuat di Koran Jakarta, 25 Oktober 2016.


Read More..

Jumat, 16 September 2016

Kearifan Silat sebagai Paradigma Hidup


Judul buku: Jurus Hidup Memenangi Pertarungan
Penulis: Whani Darmawan
Penerbit: Bentang Pustaka, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, Mei 2016
Tebal: xxviii + 294 halaman
ISBN: 978-602-291-202-6


Banyak orang awam berpandangan bahwa silat identik dengan berkelahi. Lebih jauh, silat kadang dipahami sebagai olah tubuh. Namun demikian, silat dapat diposisikan lebih dari hal tersebut. Setidaknya itulah yang ditunjukkan oleh buku ini.

Buku ini ditulis oleh Whani Darmawan, seorang aktor kawakan dari Yogyakarta yang juga belajar silat di Perguruan Silat Budaya Indonesia Mataram (BIMA). Buku ini berisi renungan-renungan tentang dunia silat dalam kaitannya dengan laku hidup sehari-hari. Sudut pandangnya yang cukup bercorak filosofis menunjukkan bahwa penulis buku ini sudah mencapai taraf yang tinggi dalam menghayati laku dan latihan silat yang dijalaninya.

Perspektif yang diangkat buku ini adalah meletakkan silat sebagai paradigma hidup. Menurut Whani, dalam kehidupan setiap manusia pasti mengalami pertarungan, baik dengan orang lain, diri sendiri, atau persoalan tertentu. Dengan demikian, hidup bagi Whani adalah “serentetan latihan panjang dan pertarungan yang tak kunjung usai” (hlm. xxvi).

Kemampuan Whani untuk merefleksikan dunia silat dalam esai-esainya ditopang dengan keterampilannya dalam bertutur dan kejeliannya dalam mengangkat hal sederhana dalam renungan yang bermakna. Pada esai pertama, Whani menegaskan bahwa orang belajar silat mestinya bukan untuk maksud berkelahi. Belajar silat melibatkan kepaduan latihan tubuh, pikiran, dan jiwa. Tak hanya naluri, intelektualitas juga diasah dalam dunia silat (hlm. 3-4).

Menurut Whani, berkelahi kadang tidak membutuhkan alasan yang cukup. Sementara itu, belajar silat pada dasarnya adalah untuk mensyukuri dan memahami fungsi-fungsi tubuh dengan mempelajari cara kerja bagian-bagiannya hingga ke tataran spiritual.

Yang dimaksud tataran spiritual di sini adalah cara pandang yang melampaui dimensi fisik pada berbagai aspek olah tubuh. Contohnya, Whani menjelaskan gerakan berkelit dengan cara memiringkan tubuh yang disebut egos. Egos adalah gerak dasar yang penting yang tidak saja dipelajari untuk menghindar dan meminimalkan benturan, tapi juga untuk posisi menyerang.

Ditarik ke dalam kehidupan sehari-hari, Whani mengangkat ihwal cara hidup yang tak mengumbar konflik dan benturan. Menurut Whani, gesekan atau benturan dengan orang lain sering tak perlu dilakukan, meski bukan berarti kita harus melarikan diri dari masalah. Gerak egos seperti dalam silat itu mungkin memang terkesan tidak gagah dan tidak atraktif. Tapi gerak menghindar seperti egos dalam kehidupan kadang lebih produktif dan lebih bijak (hlm. 43-44).

Di bagian yang lain, Whani bercerita tentang Kazushi Sakuraba, seorang petarung dalam Ultimate Fighting Championship yang aktif pada 1990-an. Sakuraba adalah petarung yang berani tapi dengan kesadaran yang terpoles tanpa nafsu. Di atas pentas, Sakuraba enggan bersikap bombastis. Dia tak melayani tatapan mata yang konon menyimbolkan keberanian mental. Sakuraba tak hanya matang di teknik, tapi juga pada aras mental. Dia menghormati lawannya sebagai manusia (hlm. 195-198).

Di sini silat betul-betul terlihat bukan saja sebagai pendidikan fisik, tapi juga olah mental. Bela diri sebagai teknik diperlukan, tapi lebih dari itu, olah mental juga diperlukan.

Buku ini menggali dan mendedahkan salah satu kearifan yang terpendam dalam seni olah tubuh yang mampu memancarkan kebeningan dalam membaca dinamika kehidupan sehari-hari. Buku ini merupakan sumbangan berharga bagi khazanah kebudayaan Indonesia yang berhasil meneguhkan kaitan erat warisan kebudayaan silat dengan kearifan tradisional yang bersifat abadi.


Tulisan ini adalah naskah awal dari tulisan yang dimuat di Koran Jakarta, 16 September 2016.


Read More..

Senin, 15 Agustus 2016

Menyelisik Labirin Spiritual Matsnawi


Judul buku: Struktur dan Makna Matsnawi Rumi: Tafsir Baru atas Matsnawi
Penulis: Seyed G Safavi
Pengantar: Seyyed Hossein Nasr
Penerbit: Mizan, Bandung
Cetakan: Pertama, Maret 2016
Tebal: 314 halaman
ISBN: 978-979-433-929-9


Matsnawi, karya besar Jalaluddin Rumi (1207-1273), menjadi salah satu rujukan penting dalam diskursus tasawuf dan spiritualitas. Kedahsyatan karyanya tampak dalam fakta bahwa ia dibaca oleh lintas-golongan, tak hanya umat Islam, dan telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dunia.

Namun demikian, Matsnawi yang terdiri dari 26.000 bait, 948 bab, dan terhimpun dalam 6 jilid buku selama sekitar tujuh abad dipandang sebagai karya yang acak, tidak tertata, dan tanpa struktur. Reynold Nicholson, pakar yang meneliti Matsnawi selama tiga puluh tahun, secara intuitif hanya menyiratkan adanya struktur sistematis karya tersebut namun tak berhasil mengungkapkannya secara jelas.

Buku karya Seyed G Safavi ini berusaha memecahkan kebuntuan tersebut dengan berusaha menyingkap struktur Matsnawi sehingga dari situ muncullah makna baru atas karya besar ini. Karya yang semula merupakan disertasi di SOAS University of London ini bertolak dari asumsi bahwa karya-karya pramodern disusun dengan tingkat keseriusan yang luar biasa. Di tengah keterbatasan teknologi kepenulisan di era pramodern, Safavi menduga kuat bahwa tidak mungkin Rumi menyusun komposisi besar karya ini secara sembarangan.

Dengan mempertimbangkan keterbatasan waktu dalam skema penelitian disertasi, Safavi memusatkan penelitiannya pada Matsnawi Buku Pertama. Untuk menyingkap struktur Matsnawi, Safavi membagi karya Matsnawi dalam lima unit struktur, yakni: ayat, bait, bab, wacana, dan buku. Kunci penyingkapan Safavi dari lima unit ini terletak pada unit wacana (maqâlât). Menurut Safavi, judul (‘unwân) bab dalam keenam buku Matsnawi disusun sendiri oleh Rumi. Dari bab-bab yang ada di setiap buku, Safavi menyingkap struktur wacananya sehingga struktur besar Matsnawi yang lebih utuh menjadi tersibak.

Dari hasil penelitiannya pada Matsnawi Buku Pertama, Safavi tiba pada kesimpulan bahwa Rumi menyusun Matsnawi dengan menggunakan dua prinsip penataan, yakni penyusunan sekuensial pada level bait dan bab, dan penyusunan sinoptik pada level wacana, buku, dan karya yang didasarkan atas prinsip paralelisme dan kiasmus.

Penemuan Safavi ini terinspirasi oleh beberapa penelitian lain yang mencermati teks-teks penting pramodern, seperti penelitian Mary Douglas tentang Kitab Imamat dan Kitab Bilangan (Perjanjian Lama), McMohan atas autobiografi spiritual Agustinus yang berjudul Confessions, penelitian Hanns-Peter Schmidt dan Martin Schwartz atas karya Zarathustra, dan lain-lain. Beberapa penelitian itu berhasil mengungkapkan adanya struktur tersembunyi di teks yang diteliti.

Prinsip paralelisme dan kiasmus termasuk model penulisan yang cukup lazim di era pramodern. Paralelisme memperlihatkan adanya garis non-linear hubungan antara dua segmen teks. Sedangkan kiasmus adalah pengulangan sebuah sekuen tetapi dengna susunan terbalik, misalnya A, B, C, D, C, B, A sehingga kadang juga disebut struktur cincin.

Untuk menemukan struktur seperti ini, Safavi tidak hanya melakukan pembacaan berulang untuk teks yang ditelitinya, tetapi juga memetakan secara tematik dengan teperinci seluruh bagian Matsnawi Buku Pertama. Inilah yang disebut dengan pembacaan sinoptik yang secara literal berarti “melihat seluruhnya” dan “melihat secara utuh”.

Pembacaan yang cermat mampu menyingkap makro-komposisi Matsnawi sehingga Safavi berhasil memetakan bab-bab yang ada pada Matsnawi Buku Pertama ke dalam dua belas wacana. Safavi menguraikan dua belas wacana hasil rekonstruksinya itu pada bagian kedua buku ini sehingga masing-masing bab atau bagian dalam satu wacana memperlihatkan prinsip paralelisme dan kiasmus. Lebih jauh, kedua belas wacana yang itu juga memperlihatkan dua prinsip paralelisme dan kiasmus.

Safavi menunjukkan paralelisme dan kiasmus di antara wacana pertama dan wacana kedua belas, wacana kedua dan kesebelas, dan seterusnya. Wacana pertama, misalnya, membahas tentang perjalanan nafs yang jatuh cinta pada dunia. Sedang pada wacana kedua belas perjalanan nafs sudah sempurna yang digambarkan dengan kepasrahan dan kepatuhan pada Kehendak Allah.

Pembacaan secara sekuensial dan sinoptik menegaskan bahwa Matsnawi Buku Pertama membahas tentang perkembangan nafs dari tahap nafs ammarah, nafs lawwamah, dan nafs mutmainnah. Jadi, Matsnawi Buku Pertama dapat dibagi dalam tiga blok yang masing-masing meliputi empat wacana.

Makna baru yang ditawarkan Safavi dengan strategi pembacaannya yang berhasil menemukan struktur mendalam Matsnawi juga sangat erat dengan tujuan penulisan Matsnawi itu sendiri, yakni untuk mengantarkan pembacanya pada transformasi spiritual.

Model pembacaan yang acak yang selama ini lazim digunakan yang juga semakin diteguhkan dengan banyak diterbitkannya berbagai versi petikan terpilih dari Matsnawi diyakini memang dapat memberi pengalaman dan pencerahan spiritual. Tapi itu adalah pembacaan tingkat pertama yang bersifat literal.

Pembacaan yang ditawarkan Safavi dapat disebut sebagai pembacaan reflektif sehingga hasilnya pembaca dapat menemukan pesan spiritual lapis kedua yang berusaha disampaikan Rumi melalui struktur canggih Matsnawi yang hanya dapat tersibak dengan kecermatan dan ketelitian. Cara ini juga dapat memberi pesan tentang bagian-bagian yang perlu mendapatkan perhatian lebih mendalam dalam konteks transformasi spiritual.

Pada titik ini, Safavi menyatakan bahwa dengan demikian Matsnawi tidak hanya membahas tentang pelatihan spiritual, tapi merupakan pelatihan spiritual itu sendiri. Sebagaimana diketahui, pada banyak bagian, Rumi menekankan pentingnya penempuh jalan spiritual (salik) agar tidak terkecoh dengan dunia yang tampak dan harus berusaha melampaui penampilan lahir.

Buku ini bernilai penting karena sumbangannya pada kajian atas karya besar Rumi mampu memberikan warna dan makna baru yang sangat penting dalam penelaahan teks klasik. Lebih jauh, metodologi yang digunakan buku ini sangat menarik untuk dijadikan model pembacaan pada teks-teks klasik lainnya.


Tulisan ini dimuat di Harian Radar Madura, 14 Agustus 2016.


Read More..

Jumat, 12 Agustus 2016

Marissa Mayer dan Misi Penyelamatan Yahoo


Judul buku: Marissa Mayer: Keputusan-Keputusan Kontroversial dan Misi Menyelamatkan Yahoo dari Kebangkrutan
Penulis: Nicholas Carlson
Penerbit: Bentang Pustaka, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, Desember 2015
Tebal: 368 halaman
ISBN: 978-602-291-125-8


Sungguh tragis nasib Yahoo, pelopor mesin pencari dan portal web yang berpengaruh, saat pada 25 Juli lalu diakuisisi oleh Verizon, perusahaan telekomunikasi di Amerika Serikat. Yahoo yang merajai dunia internet pada dekade 1990-an akhirnya harus tenggelam.

Buku ini mengangkat kisah jatuh bangun salah satu sosok yang berusaha menyelamatkan Yahoo di detik-detik terakhirnya, yaitu Marissa Mayer, CEO Yahoo yang memimpin sejak Juli 2012 di tengah situasi bisnis Yahoo yang membutuhkan penyelamatan.

Sebelum menuturkan kiprah Mayer di Yahoo, Nicholas Carlson, yang menjadi koresponden utama Business Insider, memulai pemaparannya dari awal Yahoo didirikan oleh Jerry Yang dan David Filo pada 1994. Yang dan Filo adalah mahasiswa Stanford yang di awal era internet membuat direktori daftar laman yang mereka sukai.

Mulanya, laman itu bernama “David and Jerry’s Guide to the World Wide Web.” Ternyata laman buatan mereka ini disukai banyak orang. Pada September 1994, kala telah memuat dua ribu tautan, laman mereka mendapatkan kunjungan 50 ribu kali dalam sehari. Empat tahun setelah itu, keduanya menjadi miliarder dunia (hlm. 31-36).

Setelah sukses besar, mulai tahun 2000 Yahoo menghadapi masalah seiring dengan masa dot-com bust. Yahoo ketinggalan zaman. Bisnis periklanannya mundur. Demikian pula, fasilitas mesin pencarinya tak bisa menyaingi Google yang ironisnya pada 1997 pernah ditawarkan untuk dijual pada Yahoo (hlm. 58-70).

Mulai tahun 2000, Yahoo mengalami persaingan bisnis yang ketat. Kehadiran Google yang semakin besar, Microsoft yang membuat situasi kacau saat berusaha membeli Yahoo, dan juga Facebook, membuat citra internet yang pada awal popularitasnya identik dengan Yahoo kemudian berubah. Beberapa CEO sudah pernah berusaha mengatasi masalah Yahoo, mulai dari Terry Semel yang mantan pemimpin Warner Bros, hingga Carol Bartz yang sukses di Autodesk.

Marissa Mayer direkrut Yahoo sebagai CEO pada Juli 2012. Mayer memiliki pengalaman yang menarik, yakni 13 tahun bekerja di Google dengan banyak peran strategis. Saat baru direkrut, orang-orang di Yahoo penuh dengan optimisme. Beberapa karyawan memasang poster bertuliskan kata “HOPE” di dinding. Poster ini meniru gaya poster terkenal Barack Obama karya Shepard Fairey (hlm. 248).

Gebrakan pertama Mayer di Yahoo adalah membangun moral karyawan dengan membuat rapat mingguan yang dihadiri oleh semua karyawan purnawaktu Yahoo. Mayer ingin membangun kultur perusahaan yang transparan. Mayer ingin komunikasi antara karyawan dan eksekutif Yahoo menjadi lebih terbuka (hlm. 264).

Untuk membangun kultur produktif, Mayer melarang karyawan bekerja dari rumah. Tapi Mayer memberi fasilitas makan gratis di Yahoo. Alhasil, dalam satu tahun pertama, kepemimpinan Mayer memperlihatkan hasil yang cukup baik. Saham Yahoo naik 60,6 persen sejak Mayer bergabung. Dua puluh produk Yahoo diluncurkan, dan satu di antaranya, yakni Yahoo Weather, mendapatkan penghargaan desain dari Apple. Pada Mei 2013, sepuluh ribu lamaran kerja masuk ke Yahoo dalam satu pekan (hlm. 284).

Namun, selang beberapa bulan kemudian, Mayer menghadapi tugas berat. Sistem evaluasi kinerja karyawan yang dibawa Mayer dari Google sebagai solusi penolakannya untuk memecat ribuan karyawan saat baru memimpin ternyata perlahan bermasalah. Iklim kerja sama rusak. Karyawan menuntut perbaikan. Lain dari itu, pendapatan perusahaan tak mengalami pertumbuhan. Pangsa pasar pencarian menyusut cepat. Yahoo Mail mulai runtuh (hlm. 315).

Kisah Mayer dalam buku ini ditutup dengan kembalinya tantangan berat untuk penyelamatan Yahoo babak berikutnya. Namun, pembaca buku ini sekarang sudah mengetahui kelanjutan kisah Mayer dan Yahoo melalui headline berita baru-baru ini yang mewartakan akuisisi oleh Verizon dengan nilai 4,83 miliar dollar AS.

Buku ini mendokumentasikan kisah jatuh-bangun Yahoo dan peran penting Marissa Mayer. Selain kekuatan ide dan kemampuan manajerial individu, buku ini memperlihatkan kekuatan kultur kreatif perusahaan yang sangat dinamis dan pencarian ide kreatif-inovatif menghadapi persaingan bisnis yang sangat ketat. Namun demikian, pembaca buku ini sekarang dapat menilai betapa Yahoo mungkin telah terlambat untuk berinovasi.

Selain data yang sangat kaya, kelebihan buku ini terletak pada gaya tuturnya yang lincah dan nyaman dicerna. Gaya penulisannya yang bermodel naratif membuat pembaca tak sabar untuk menuntaskan kisah yang penuh inspirasi ini.


Tulisan ini dimuat di Kabar Madura, 10 Agustus 2016.


Read More..

Jumat, 15 Juli 2016

Ilham Revolusi Mental dari Imam Syafi’i


Judul buku: Al-Hikam Imam Syafi’i: Mutiara Hikmah dan Syair Indah Imam Ahlussunnah
Penyusun: Muhammad Al-Faiz dan Juman Rofarif
Penerbit: Zaman, Jakarta
Cetakan: Pertama, April 2016
Tebal: 228 halaman
ISBN: 978-602-1687-87-1


Kaum muslim Indonesia mengenal Imam Syafi’i (w. 820) sebagai pendiri mazhab Syafi’i, yakni mazhab fikih yang paling banyak dianut muslim Indonesia. Sisi lain Imam Syafi’i ada yang kurang dikenal, misalnya bahwa ia juga seorang ahli bahasa. Dari kecintaannya pada bahasa dan juga syair sejak kecil, Imam Syafi’i sebenarnya juga menulis syair-syair indah dan ungkapan-ungkapan penuh hikmah.

Buku ini menghimpun syair-syair dan ungkapan hikmah Imam Syafi’i yang diambil dari 36 kitab. Sembilan kitab di antaranya ditulis oleh Imam Syafi’i sendiri, sedang sisanya ditulis oleh ulama-ulama terkemuka—seperti al-Ghazali, Imam Nawawi, Ibn al-Jauzi, Ibn Hajar al-Asqalani—yang mengutip syair atau ungkapan hikmah Imam Syafi’i.

Syair-syair dan hikmah yang terhimpun dalam buku ini mengangkat tema yang beragam, mulai dari tema spiritualitas, ilmu, persahabatan, percintaan, nasihat kehidupan, dan sebagainya. Agak disayangkan bahwa syair dan hikmah yang terhimpun dalam buku ini tidak disusun secara berurutan berdasarkan tema-tema tersebut sehingga syair atau hikmah yang mengangkat satu tema dapat tersebar di halaman-halaman yang terpisah.

Banyak syair Imam Syafi’i yang termuat dalam buku ini mengungkapkan kemuliaan ilmu dan pentingnya belajar. Imam Syafi’i berujar bahwa orang yang tidak mau mencicipi pahitnya mencari ilmu meski sesaat akan menenggak hinanya kebohohan sepanjang hayat (hlm. 39). Yang menarik, Imam Syafi’i memberi nuansa sufistik dalam proses belajar. Dalam sebuah syairnya Imam Syafi’i bertutur dengan gaya orang pertama bahwa orang yang buruk hafalannya bisa jadi karena ia masih suka berbuat maksiat. Karena ilmu adalah cahaya, maka cahaya Allah itu tidak diberikan kepada para pelaku maksiat (hlm. 48).

Lebih dari itu, Imam Syafi’i menegaskan bahwa menjadi pandai atau belajar saja tidaklah cukup. Ilmu itu harus dapat melembutkan perilaku orang yang memilikinya, memperbaiki akhlaknya, dan memberi hidayah pada hatinya. Jika orang yang terpelajar ternyata tidak menunjukkan perilaku dan perangai yang baik, bagi Imam Syafi’i itu adalah sebentuk petaka (hlm. 88).

Tema akhlak dalam bergaul juga banyak ditemukan dalam buku ini. Imam Syafi’i misalnya memberikan hikmah tentang cara memberi nasihat kepada orang lain. Menurutnya, memberi nasihat itu sebaiknya dilakukan secara sembunyi-sembunyi karena jika dilakukan secara terbuka hal itu sama dengan menghinakan dan mencemarkan nama baiknya (hlm. 128).

Dalam soal persahabatan, Imam Syafi’i mengingatkan bahwa meski kita tidak dapat menarik manfaat dari persahabatan dengan orang lain, kita mestinya tidak mengambil untung dengan memusuhi orang lain (hlm. 25). Imam Syafi’i juga mengingatkan bahayanya sifat dengki. Menurutnya, sifat dengki akan menutup kemungkinan terbukanya pintu persahabatan (hlm. 27).

Dalam konteks era informasi yang salah satunya ditandai dengan merebaknya media sosial berbasis internet, ada hikmah Imam Syafi’i yang bernilai kontekstual. Di antaranya pesan agar kita berhati-hati dalam berbicara karena luka yang diakibatkan oleh mulut atau kata-kata tak bisa disembuhkan (hlm. 17, 57, 61). Ada juga pesan agar jangan suka menyebarkan informasi dari sumber yang tidak diketahui kredibilitasnya. Bagi Imam Syafi’i, sikap seperti itu bisa disebut “dusta yang samar” (hlm. 218).

Syair-syair dan ungkapan hikmah yang terdapat dalam buku ini mengandung muatan pesan yang mendalam terutama untuk merevolusi mental kita semua yakni untuk menjadi pendorong dan ilham bagi perubahan mental. Ungkapan-ungkapan bijak yang terdapat dalam buku ini jika dihayati dan direnungkan secara mendalam dapat membangkitkan nurani kita yang tergerus oleh rutinitas hidup sehari-hari.


Tulisan ini dimuat di Koran Madura, 15 Juli 2016.


Read More..

Rabu, 13 Juli 2016

Optimisme untuk Keberagamaan Autentik


Judul buku: Agama-Agama Manusia: Edisi Bergambar
Penulis: Huston Smith
Penerbit: Serambi, Jakarta
Cetakan: Pertama, Desember 2015
Tebal: 434 halaman
ISBN: 978-602-290-053-5


Saat ilmu dan teknologi mencapai kemajuannya yang cukup berarti, sebagian manusia merasa seolah-olah tidak membutuhkan hal lainnya lagi untuk menjalani kehidupan sehari-hari. Apakah agama termasuk yang akan tersingkir di zaman yang terus bergerak semakin cepat ini?

Huston Smith, pengajar studi agama di University of California, Berkeley, melalui buku ini hendak mengatakan bahwa agama masih akan bermakna bagi umat manusia. Buku yang versi awalnya terbit tahun 1958 dengan judul The Religions of Man ini mencoba memberikan uraian tentang nilai-nilai pokok yang diajarkan dalam agama-agama dunia yang kemudian menjadi sumber rujukan, pemandu, sekaligus pengilham berbagai bentuk perubahan.

Smith cukup jeli untuk menggali sisi khusus dari agama-agama dunia. Smith tidak hendak membuat sejarah ringkas yang sifatnya lengkap tentang agama-agama dunia. Dia juga tidak bermaksud membuat uraian tentang perbandingan agama. Untuk memberikan pemahaman kepada pembaca tentang makna penting agama bagi manusia, Smith memilih untuk menjelaskan apa yang disebutnya “agama yang hadir” atau “agama yang hidup”.

Agama yang hidup inilah yang menggerakkan individu dan kelompok pada sebuah petulangan batin yang sunyi tapi dapat memancarkan energi positif ke dalam kehidupan. Inilah bentuk keberagamaan yang autentik. Dalam perjalanan sejarah, kita menemukan bahwa model keberagamaan yang sejati ini melahirkan tokoh-tokoh perubahan yang sangat dihormati, seperti Konfusius dan Laotze, Buddha, Yesus, Muhammad, dan yang lainnya (hlm. 18).

Buku ini menguraikan sejarah dan nilai-nilai atau ajaran dasar tujuh agama besar dunia, yakni Hinduisme, Buddhisme, Konfusianisme, Taoisme, Islam, Yahudi, dan Kristen, ditambah dengan uraian tentang agama-agama purba. Patut sedikit disayangkan bahwa Smith tidak memberikan penjelasan khusus dalam buku ini tentang pemilihan agama-agama yang dibahas serta urutan pembahasannya.

Pada dasarnya agama adalah jalan manusia untuk memahami hal-hal mendasar dalam hidupnya, seperti tujuan hidup, jalan kebahagiaan, atau makna kematian. Jalan itu ditempuh dalam kerangka spiritualitas, yakni dengan memberi tempat khusus yang luas bagi dunia batin manusia. Agama juga mengusung misi kemanusiaan, yakni mencita-citakan kehidupan yang lebih beradab dan manusiawi.

Sebagai sumber spiritualitas dan etos sosial, agama-agama besar telah memberi warna dan sumbangan berharga pada perkembangan peradaban, seperti sumbangan Hinduisme bagi India pada khususnya dan Buddhisme pada China dan Jepang. Selain itu, Konfusianisme dalam uraian Smith juga tampak berperan penting bagi tumbuhnya etos ekonomi di kawasan Asia Timur hingga saat ini (hlm. 211).

Spiritualitas yang dibawa agama kerap juga memperlihatkan sisi revolusionernya, seperti saat Nabi Muhammad mulai mendakwahkan Islam di Arabia. Menurut Smith, monoteisme yang diajarkan Muhammad mengusik keyakinan politeistis masyarakat Arab yang memberi keuntungan ekonomi bagi penduduk Mekah. Selain itu, ajaran moral Islam juga sangat kritis dalam memandang praktik tidak adil yang berlangsung pada kehidupan sosial waktu itu (hlm. 260).

Islam, seperti agama lainnya, juga menyentuh dimensi yang luas dalam kehidupan, seperti dorongan dan kontribusinya bagi perkembangan tradisi ilmiah, praktik spiritual dalam gerakan kaum sufi, dan sebagainya. Meski begitu, dimensi yang luas itu bersumber dari dua tuntunan dasar yang bersifat spiritual: bahwa manusia harus bersyukur atas rahmat Allah yang tak berhingga dan bahwa ia harus tunduk dan menyerahkan diri pada Allah. Mereka yang tidak bersyukur itu disebut kafir, seperti juga halnya orang-orang yang mengedepankan egoisme atau keangkuhan diri mereka.

Agama Kristen membawa pesan spiritual yang kurang lebih senada. Dalam pandangan Smith, Kristen berpijak pada kekaguman bahwa kasih sayang Tuhan kepada manusia sungguh amat luar biasa. Tuhan mencintai manusia secara mutlak, tanpa menimbang fakta-fakta tertentu yang terkait kepantasannya untuk dicintai, bahkan termasuk mencintai mereka yang tidak beriman pada-Nya. Terilhami oleh ketulusan Tuhan dalam mencintai makhluk, doktrin cinta dan kasih inilah yang dijadikan pijakan dan dikembangkan oleh Kristen (hlm. 367).

Pilihan Smith untuk hanya menampilkan nilai-nilai kebajikan agama atau praktik agama yang hidup dan mengabaikan fakta sejarah terkait konflik dan pertumpahan darah berbasis agama dapat dilihat sebagai kekurangan sekaligus kelebihan buku ini. Memang Smith bisa dilihat memandang agama secara parsial. Namun demikian, dengan menggali nilai-nilai kebijaksanaan dan kontribusi praktik keagamaan yang tulus, Smith dalam buku ini tampak sedang menyuarakan optimisme bahwa agama masih akan dibutuhkan dan bermakna bagi umat manusia. Sejauh ini, setelah sekian lama manusia dimanjakan dengan ilmu dan teknologi, terbukti bahwa keduanya tidak dapat memuaskan manusia untuk meraih dan menapaki jalan kebahagiaan sejati. Keberagamaan yang autentik, atau agama yang hidup, sebagaimana menjadi perspektif utama seluruh uraian dalam buku ini, memuat banyak pesan kebijaksanaan yang dapat menjawab dahaga manusia pada kebahagiaan itu, baik yang sifatnya personal maupun juga sosial.

Dalam kaitannya dengan optimisme ini, di akhir buku ini Smith menegaskan pentingnya upaya saling memahami dan saling menghormati yang dibangun dengan kehendak untuk saling mendengar. Optimisme Smith pada agama-agama dunia mengandaikan sikap saling menghormati ini. Suara bijak agama yang sarat dengan pesan kemanusiaan akan terancam bila sikap menghormati ini diabaikan.

Buku yang versi awalnya bersifat akademik dan terjual lebih dari dua juta kopi ini dikemas ulang secara cukup populer oleh Smith dengan membuatnya lebih ringkas dan dilengkapi dengan banyak gambar ekspresi seni manusia yang terilhami dari praktik-praktik keberagamaan. Pengemasan gaya tutur yang mudah dicerna pada buku yang versi bahasa Inggrisnya terbit tahun 1995 ini tampaknya dipilih Smith agar buku ini dapat menjangkau pembaca yang lebih luas karena memang buku ini membawa pesan yang sangat penting untuk para pemeluk agama di seluruh dunia. Buku ini sangatlah penting untuk dibaca terutama oleh kita sebagai umat beragama agar kita dapat senantiasa berupaya mempraktikkan bentuk “agama yang hidup” sehingga agama dapat benar-benar melahirkan kesejukan, kebijaksanaan, dan kedamaian.


Versi pendek tulisan ini dimuat di Koran Jakarta, 13 Juli 2016.


Read More..

Minggu, 03 Juli 2016

Kunci Sukses Revolusi Hallyu


Judul buku: Korean Cool: Strategi Inovatif di Balik Ledakan Budaya Pop Korea
Penulis: Euny Hong
Penerjemah: Yenni Saputri
Penerbit: Bentang Pustaka, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, Januari 2016
Tebal: xx + 284 halaman
ISBN: 978-602-291-105-0


Dalam beberapa tahun terakhir, dunia menyaksikan salah satu keajaiban perekonomian era modern, yakni gelombang budaya populer Korea yang disebut “Hallyu”. Buku yang ditulis dengan gaya autobiografis ini menjelaskan proses revolusi budaya Korea sehingga menyebar ke seantero dunia. Penulisnya, Euny Hong, adalah seorang jurnalis yang menjalani masa kecil di Amerika, lalu dibesarkan bersamaan dengan proses revolusi budaya di Korea, dan kini tinggal di New York sebagai penulis.

Seperti apakah gelombang Hallyu Korea Selatan menyerbu dunia? Ada beberapa contoh yang bisa dikemukakan. Misalnya, pada April 2011, tiket konser bersama berbagai band K-Pop di Paris terjual habis hanya dalam waktu kurang dari lima belas menit (hlm. 225).

Kunci keberhasilan Hallyu Korea Selatan adalah perpaduan dari setidaknya beberapa hal: visi yang kuat, keterbukaan, disiplin, kerja keras, dan juga keterlibatan pengurus publik (pemerintah). Para pemimpin Korea sadar bahwa penguasaan soft power dapat memberi keuntungan sosial-ekonomi sehingga mereka kemudian menargetkan untuk mengekspor budaya populer mereka, terutama ke negara-negara dunia ketiga (hlm. xvi).

Untuk mengarah ke sana, pemerintah Korea sejak awal memperkuat jaringan internet nasional. Mereka percaya bahwa penyebaran budaya populer akan efektif jika dilakukan melalui internet. Saat ini, Korea Selatan tercatat sebagai salah satu negara yang memiliki jaringan internet terbaik di dunia.

Kerja keras dan disiplin di antaranya terbangun melalui lingkungan sekolah. Hong menuturkan pengalamannya saat ia mengikuti pendidikan menengah di Korea yang tengah berubah di akhir 1980-an. Saat itu, negara melarang murid di Korea menggunakan peralatan sekolah buatan asing (hlm. 28).

Salah satu faktor menarik dalam keberhasilan ekspor budaya populer Korea adalah keterlibatan pemerintah yang kadang terkesan otoriter. Misalnya, untuk memajukan film nasional, presiden pada 1994 mengeluarkan dekrit yang mengatur bioskop bahwa mereka harus memutar film Korea setidaknya 146 hari dalam setahun (hlm. 195).

Dukungan lainnya berupa penerbitan buku Hallyu Forever (terbit hanya dalam bahasa Korea) oleh Komisi Perdagangan Budaya Korea. Buku ini yang merupakan hasil riset ini memuat petunjuk praktis untuk mendekati pasar dunia sesuai dengan kondisi khas masing-masing negara (hlm. 212).

Selain itu, ada pula faktor historis-kultural yang berperan penting dalam gelombang Hallyu. Hong menunjukkan bahwa etos kerja keras Korea Selatan di antaranya terbentuk dari situasi mental kolektif masyarakat yang marah atas takdir ribuan tahun menjadi bangsa yang terpojok dan terjajah—ini disebut dengan istilah Han. Pengalaman dijajah oleh Jepang selama 35 tahun dan kemiskinan dalam Perang Korea (1950-1953) juga memacu menguatnya harga diri dan motivasi untuk berubah (hlm. 48-59).

Buku ini berhasil menyingkap kunci penting revolusi sosial-budaya Korea Selatan sehingga mencapai tangga kesuksesannya saat ini. Ditulis dengan gaya bertutur naratif dan kadang jenaka, buku ini juga menyajikan data dan fakta yang kaya.

Secara substantif, buku ini memberikan gambaran konkret tentang bagaimana strategi kebudayaan yang visioner dijalankan oleh pengurus publik dan masyarakat yang ingin melakukan revolusi besar-besaran. Masyarakat dari negara dunia ketiga, seperti Indonesia yang notabene memiliki potensi kultural yang amat kaya, sangat patut untuk belajar dari visi, strategi, dan aksi budaya masyarakat Korea Selatan sebagaimana dipaparkan dalam buku ini.


Tulisan ini dimuat di Koran Sindo, 3 Juli 2016.


Read More..

Kamis, 30 Juni 2016

Bila Profesor Turun Gunung


Ada yang menarik pada peringatan Dies Natalis ke-380 Utrecht University di Belanda akhir Maret lalu. Melalui halaman Facebooknya yang dikelola dengan baik, dikabarkan bahwa pada 30 Maret lalu, Utrecht University menyelenggarakan program yang diberi nama “Meet the Professor”.

Pada program ini, 140 profesor Utrecht University datang ke sekolah-sekolah dasar di wilayah Utrecht untuk menceritakan kehidupan akademis dan ranah penelitian yang mereka geluti. Dengan dilepas oleh rektor Utrecht University, Prof. Bert van der Zwaan, dari aula Academiegebouw yang terletak di area Dom Tower di pusat kota Utrecht, para profesor itu berangkat dengan menggunakan sepeda onthel dan mengenakan toga kebesaran mereka.

Sebagaimana dijelaskan di laman Utrecht University, program ini bertujuan untuk menularkan kesadaran akan pentingnya riset sejak dini kepada anak-anak. Utrecht University berpandangan bahwa sangatlah penting untuk menyiapkan generasi yang menghargai ilmu, penelitian, dan kerja-kerja akademis.

Lebih jauh, Utrecht University tidak hanya mengirim para profesor itu ke sekolah-sekolah dasar. Kampus akan terus menjalin hubungan kemitraan dengan sekolah dasar di Utrecht dalam kegiatan-kegiatan yang lebih terstruktur. Bentuknya berupa peningkatan kapasitas guru maupun juga pelibatan murid-murid sekolah dasar dalam kegiatan riset yang dilakukan para profesor itu.

Kegiatan yang diselenggarakan oleh kampus yang berdiri pada 26 Maret 1636 ini menarik kita cermati dalam konteks keindonesiaan. Pada hari Rabu, 6 April 2016 yang lalu, seminar nasional bertema “Rethinking Research: Policies and Practice” yang dilaksanakan di Auditorium LIPI Jakarta mengungkap bahwa hasil riset belum menjadi acuan pokok pemerintah dalam pengambilan kebijakannya. Alasannya, tradisi riset di kalangan akademisi Indonesia masih lemah. Bahkan, terungkap sebuah ironi bahwa 90 persen penelitian tentang Indonesia bukan dikerjakan oleh peneliti Indonesia (Kompas, 7 April 2016).



Kultur akademis dunia kampus di Indonesia memang masih berada dalam pertanyaan besar. Kesibukan yang bersifat administratif maupun rutin (yakni mengajar dan membimbing mahasiswa) menyita banyak waktu para akademisi sehingga ruang untuk pengembangan keilmuan melalui riset masih belum cukup kuat. Selain itu, kebijakan terkait riset di kampus dinilai masih belum cukup kondusif.

Kegiatan “Meet the Professor” di Utrecht University menunjukkan bahwa kehidupan akademis para profesor dan pengajar di sana memang menarik. Gairah intelektual atau semangat penggalian ilmu dan pencarian temuan baru (penelitian) mendapatkan tempat dan penghargaan yang baik dengan dukungan maksimal dari kampus pada khususnya.

Saat mengikuti pendidikan jenjang magister di Utrecht University pada 2009-2010, dukungan akademis terhadap mahasiswa telah terlihat sejak hari pertama saya mengikuti kegiatan kampus. Di hari pertama, mahasiswa diperkenalkan dengan fasilitas dan pemanfaatan sumber-sumber ilmiah di perpustakaan kampus. Suasana akademis yang memanjakan hasrat belajar ini tampak dalam kemudahan dan kenyamanan para civitas academica untuk memanfaatkan sumber belajar di perpustakaan.

Selain iklim akademis yang mendukung, kegiatan “Meet the Professor” menunjukkan visi yang tajam dunia kampus dalam memandang tantangan masa depan. Kampus memperkuat bidang penelitiannya dengan juga menyiarkan kegiatan riset dan akademiknya kepada masyarakat dengan harapan bahwa kelak akan lahir generasi peneliti yang dapat melanjutkan riset dan memberi perhatian ilmiah pada bidang-bidang yang kini tengah diteliti. Untuk visi yang jauh ke depan ini, kampus tak segan untuk menjalin kemitraan dengan (murid dan guru) sekolah dasar.

Pada satu sisi, pilihan untuk mengirim para profesor ke sekolah-sekolah dasar ini juga dapat dilihat sebagai sebuah tantangan. Bagaimanakah kiranya para profesor yang dalam alam pikirnya setiap hari terisi dengan istilah-istilah teknis akademis yang mungkin cukup rumit itu dapat menuturkan kisah bidang minat penelitiannya secara sederhana kepada murid-murid sekolah dasar? Tentu bukan sesuatu yang mudah.



Tantangan akademis semacam ini sebenarnya cukup bernilai substantif bagi dunia akademis, yakni terkait upaya untuk menyampaikan dan menghubungkan kerja-kerja akademis dengan tantangan kontekstual terkini dan masa depan.

Selain itu, dengan mengunjungi dan berbincang pada murid dan guru sekolah dasar, para profesor itu sedang membangun dan menguatkan jembatan peradaban antargenerasi.

Kita juga bisa menangkap kesederhanaan pada para profesor yang ikut dalam kegiatan yang berlangsung selama 4 jam ini. Mereka mengayuh sepeda onthel dari pusat kota ke sekolah-sekolah di penjuru Utrecht dengan harapan agar apa yang mereka kerjakan dapat berharga, bermanfaat, dan berkelanjutan. Tak ada gengsi meski mereka sudah mencapai gelar akademis tertinggi.

Program “Meet the Professor” ini sangatlah menginspirasi dan penting untuk direfleksikan oleh kita. Poin utamanya terkait dengan visi dunia akademis yang tajam dan antisipatif serta kontekstualisasi kehidupan kampus dengan tantangan masyarakat. Tentu saja ini hanya bisa dilakukan dalam satu lingkungan akademis yang baik—yakni lingkungan akademis yang menghargai ilmu, kerja keras, dan kerja sama, serta menyadari akan tantangan peradaban yang dihadapi masyarakat, bukan dalam lingkungan kampus yang kadang masih suka terjebak pada isu-isu yang bersifat dangkal.


Keterangan: foto-foto di atas diambil dari laman FB Utrecht University. Secara berurutan, tiga foto di atas adalah karya Lize Kraan, Steven Snoep, dan Jos Kuklewski.


Read More..

Selasa, 28 Juni 2016

Kekerasan, Pendidikan Anak, dan Tanggung Jawab Keluarga


Baru-baru ini, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan menyinggung fakta tindak kekerasan yang masih banyak terjadi di sekolah. Dalam kurun waktu 2010-2015, kasus kekerasan di sekolah belum ada penurunan signifikan (JPPN, 14/6/2016).

Tahun lalu, LSM Plan International dan International Center for Research on Women (ICRW) merilis data yang menyebutkan bahwa 84 persen anak di Indonesia mengalami kekerasan di sekolah. Angka ini lebih tinggi dari pada rata-rata kasus kekerasan anak di Asia, yakni 70 persen.

Kekerasan yang marak terjadi di sekolah ini tidak bisa dilepaskan dari perubahan sosial yang terjadi di masyarakat. Pada tingkat yang mendasar, tindak kekerasan terjadi karena kecenderungan semakin pudarnya pendekatan cinta baik dalam lingkungan sekolah maupun dalam lingkungan keluarga dan masyarakat.

Di sekolah, tindak pengajaran dan pendidikan yang sarat dengan penghayatan cinta mulai tergerus oleh dominasi pendekatan administratif dan formal dalam pendidikan yang hadir beriringan dengan iklim komersialisasi pendidikan. Sementara itu, pada tingkat kehidupan masyarakat, nilai-nilai keluarga yang penuh dengan unsur spiritual dan nilai moral mulai digerogoti oleh kehidupan modern yang cenderung individualistis.

Dengan asumsi bahwa sekolah merupakan perpanjangan dari pendidikan keluarga, kita dapat berkesimpulan bahwa krisis pendekatan cinta sangat mungkin sebenarnya terjadi di tingkat keluarga.

Gambaran teperinci tentang tindakan kekerasan di sekolah dan keluarga tak lain merupakan bukti nyata dari krisis dan senjakala cinta. Laporan Unicef tahun lalu menyebutkan bahwa 50% anak melaporkan mengalami perundungan di sekolah. Sementara itu, laporan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada 2014 menyebutkan bahwa ada 921 laporan kekerasan dalam bidang keluarga dan pengasuhan alternatif.

Di tingkat lokal, yakni di Kabupaten Sumenep, dilaporkan bahwa angka perceraian pada 2012-2013 cenderung meningkat. Pada 2012, kasus perceraian di Pengadilan Agama Sumenep mencapai 1.381, sedang tahun berikutnya hingga Januari 2014 berjumlah 1.559 kasus (Koran Madura, 28/2/2014).

Meningkatnya angka perceraian ini cukup mengkhawatirkan karena sering kali yang menjadi dampak dari kasus perceraian adalah keterlantaran anak. Masalahnya bukan hanya soal proses pendidikan anak yang terancam tersendat, tapi juga bahkan dapat menyangkut ancaman keterperosokan anak pada lingkungan dan pergaulan yang tak bermoral dan penuh kekerasan, seperti narkoba, trafficking, dan sebagainya.

Pentingnya nilai cinta dalam keluarga ini dapat dilihat dalam konteks pendidikan spiritual dan pembentukan karakter. Menurut Robert Frager (2013: 56-58), keluarga adalah model universal untuk pendidikan spiritual. Frager menjelaskan bahwa di awal pertumbuhan kehidupannya, manusia membutuhkan perawatan dan perhatian yang lebih banyak dan lebih lama dibandingkan dengan makhluk lainnya. Dengan cara ini, manusia pada tahap awal kehidupannya secara alamiah lebih banyak mendapatkan curahan cinta.

Secara spiritual, menurut Frager, keluarga adalah tempat manusia belajar mencintai demi merawat kelangsungan kehidupan yang pada titik tertinggi bakal tersambung dengan Tuhan, Sang Mahacinta. Curahan cinta di antara sesama anggota keluarga ini pada gilirannya juga mengantisipasi menebalnya sikap narsis dan egois yang berpotensi berkembang dalam diri manusia dan dapat mengancam harmoni kehidupan masyarakat.

Penjelasan Frager ini kiranya sudah cukup untuk menjelaskan peran strategis keluarga dalam konteks kehidupan bermasyarakat. Namun demikian, jika nyatanya keluarga dan juga sekolah faktanya saat ini menjadi tempat yang rawan dengan tindak kekerasan, apa yang harus dilakukan?

Memang benar bahwa upaya untuk memulihkan pendidikan anak harus dilakukan bersama-sama, baik keluarga maupun sekolah. Namun demikian, harus disadari bahwa kewajiban pertama pendidikan anak ada di tangan keluarga.

Menguatnya sistem persekolahan (pendidikan formal) dalam sistem kehidupan bermasyarakat saat ini pada satu sisi cenderung dapat mengikis kesadaran orangtua (keluarga) akan tanggung jawabnya untuk memberikan pendidikan terbaik dan mencurahkan cinta yang penuh pada anak-anaknya. Apalagi ritme kehidupan saat ini semakin cepat dan rumit sehingga orangtua sering disibukkan dengan urusan di luar keluarga. Sementara itu, orangtua merasa bahwa urusan pendidikan anak-anaknya sudah cukup ditangani oleh guru di sekolah.

Asumsi semacam inilah yang membuat pendidikan anak saat ini menjadi rapuh yang di antaranya ditandai dengan pertambahan kasus kekerasan anak. Sudah saatnya orangtua kembali memperkuat komitmennya untuk memenuhi tanggung jawab dasarnya sebagai pendidik bagi anak-anaknya.

Dalam konteks ini, sekolah juga dapat mengambil posisi yang tepat. Sekolah harus sadar akan posisi sekundernya dalam pendidikan anak. Dengan kesadaran ini, sekolah juga harus mendorong keterlibatan aktif para orangtua untuk memberikan pendidikan dan bimbingan pada anak-anak mereka. Program pendidikan yang disusun sekolah harus selalu mempertimbangkan dan mendorong keterlibatan aktif para orangtua. Komunikasi antara guru dan sekolah dengan orangtua dikembangkan dalam kerangka kesadaran untuk memperkuat peran dasar para orangtua dan keluarga.

Menghadapi tantangan zaman yang semakin keras, upaya untuk menyiapkan generasi bangsa yang tangguh tak dapat disepelekan. Penguatan pendidikan anak melalui keluarga harus mendapatkan perhatian semua pihak, mulai dari lembaga pendidikan, tokoh masyarakat, pengurus publik, dan yang lainnya. Keluarga harus didorong untuk menjadi tempat yang teduh bagi anak sehingga proses pewarisan nilai dan proses pendidikan dapat berlangsung dengan baik.


Tulisan ini dimuat di Koran Madura, 28 Juni 2016.



Read More..

Senin, 20 Juni 2016

Tulisan Saya Dijiplak Lagi



Menayangkan dan mengarsipkan tulisan di blog pribadi memang ada keuntungan dan kerugiannya. Dengan diarsip di blog pribadi, kita akan cukup mudah untuk mengakses tulisan kita di mana saja asalkan kita mendapatkan akses internet yang baik.

Namun, kerugian mengarsipkan tulisan di dunia maya dalam media blog juga ada. Satu kerugian yang saya rasakan dan alami adalah tulisan saya dengan cukup mudah dijiplak. Tinggal salin-tempel, beres.

Tahun 2014 lalu, saya menemukan sebuah tulisan saya yang dimuat di Koran Tempo edisi 4 Januari 2004 disalin-tempel—dengan perubahan minor—dalam buku berjudul Psikologi Tasawuf karangan Drs. Tamami HAG. M.Ag. terbitan Pustaka Setia, Bandung (2011) tanpa menyebutkan nama saya.

Nah, pagi ini, saya kembali menemukan tulisan saya di blog disalin-tempel dan disiarkan di sebuah media lokal bernama Musibanyuasin Post edisi 4 Juli 2014. Tulisan saya itu ditulis pada bulan September 2007 dan saya poskan di blog pribadi saya.

Bagaimana ceritanya kisah penemuan kasus plagiasi ini? Begini. Tadi pagi saya ingin memposkan tautan salah satu tulisan di blog saya di akun Facebook saya. Saya mencari tulisan-tulisan yang kiranya cocok. Saya mencari tulisan saya yang bertema puasa atau bulan Ramadan.

Ketemulah saya dengan artikel yang ditulis pada bulan September 2007 itu yang berjudul “Televisi dan Refleksi Religiusitas Puasa”. Sebelum saya memposkan tautan itu di akun Facebook, saya terlebih dulu membaca tulisan saya itu untuk membuat kutipan singkat bagian pokok atau membuat rangkumannya. Saat membaca, saya kok berpikir bahwa tulisan lama saya ini ternyata saya pikir masih cukup aktual dan relevan untuk konteks sekarang.

Karena tulisan ini belum pernah dimuat di media massa, kok saya terpikir untuk mencoba googling, mungkin ada laman di internet yang mengutip tulisan saya ini. saya mencoba mengutip beberapa kalimat yang khas dan spesifik dalam tulisan saya untuk dimasukkan ke mesin Google. Saat Google menampilkan hasil pencarian, saat itulah saya kemudian menemukan bahwa ternyata tulisan saya itu dijiplak.

Saya diantarkan ke arsip digital media Musibanyuasin Post edisi 4 Juli 2014 yang diarsipkan di issuu.com itu (bisa dilihat di sini). Di rubrik Opini (halaman 2), ada tulisan berjudul “Religiusitas Puasa VS Ideologi Televisi” karangan Darmadi. Dalam tulisan itu tercantum bahwa identitas penulis adalah pegawai fungsional Kantor Kementerian Agama Kabupaten Lampung Tengah, dosen STKIP Kumala Lampung, dan kandidat doktor Ilmu Manajemen.

Judulnya memang tidak persis dengan tulisan saya, tapi coba baca isinya.Ternyata dari awal hingga akhir isinya ya hasil salin-tempel dari tulisan saya—bukan hasil berpikir dan mengolah gagasan sendiri. Cukup mainkan tetikus (mouse), tekan Control-C, lalu Control-V. Beres!

Saya jadi teringat frasa “vampir kebudayaan” yang diperkenalkan oleh Afrizal Malna untuk melihat potensi buruk teknologi dalam kreativitas kebudayaan. Teknologi komputer dan internet bisa menjadi vampir kebudayaan di tangan orang yang malas berpikir dan tak menghargai kerja keras.

Sampai di sini saya merasa sedih sekali. Dunia keilmuan dan dunia akademik kita ternyata memang masih belepotan. Mental masyarakat kita yang katanya termasuk golongan terdidik ternyata masih memprihatinkan. Apa yang bisa kita lakukan untuk mencari jalan keluar atas masalah seperti ini? Demikian juga, apa yang sudah kita lakukan untuk mencari jalan keluar atas masalah seperti ini sesuai dengan posisi kita masing-masing?


Read More..

Minggu, 19 Juni 2016

Masnawi, Biblioterapi, dan Kekuatan Cerita


Judul buku: Terapi Masnawi
Penulis: Prof. Dr. Nevzat Tarhan
Penerjemah: Ridho Assidicky, Ummahati Solichin, Bernando J Sujibto
Penerbit: Qaf Publishing, Jakarta
Cetakan: Pertama, 2016
Tebal: 316 halaman
ISBN: 978-602-73761-4-4


Pemikiran tasawuf Jalaluddin Rumi (1207-1274) telah dikenal luas tidak hanya di kalangan umat Islam. Salah satu mahakaryanya, yakni Masnawi, telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dunia dan dikaji oleh banyak kalangan, termasuk nonmuslim.

Buku ini mencoba mengangkat Masnawi dalam konteks yang bersifat praktis, yakni terapi. Nevzat Tarhan, penulisnya, adalah seorang profesor di bidang psikiatri dan neuropsikologi dari Turki. Dalam buku ini, Nevzat memilih kisah-kisah dalam Masnawi untuk dijadikan bahan utama dari apa yang kemudian disebutnya biblioterapi.

Dalam bidang psikoterapi, biblioterapi terbilang masih relatif baru. Biblioterapi adalah penggunaan teks-teks khusus untuk mengatasi penyakit dan gangguan jiwa dengan pendampingan khusus dari seorang spesialis. Menurut Nevzat, melalui kisah dan syair-syair dalam karyanya ini, Rumi memberikan pelajaran penting tentang bagaimana mengendalikan energi liar dalam diri kita.

Bagaimana sebuah kisah terpilih dapat menjadi terapi? Bagaimana biblioterapi bekerja? Menurut Nevzat, dengan memperdengarkan cerita yang pas, pendengar diharapkan dapat merasakan dan mengalami proses transformasi mental dalam dirinya. Pada tahap pertama, cerita pilihan itu berfungsi sebagai cermin. Artinya si pendengar menemukan keadaan mental dirinya melalui kisah yang dituturkan.

Selanjutnya, kisah-kisah itu memantik titik-titik refleksi si pendengar. Nevzat menjelaskan bahwa ada kekuatan simbol dan metafor dalam kisah-kisah Masnawi sehingga pendengar yang menyimak kisah yang tepat akan didorong untuk menemukan sudut pandang yang baru terkait dengan kondisi psikologis yang dihadapinya.

Selain itu, dalam biblioterapi, masalah berusaha dipecahkan dengan cara membicarakannya melalui titik tolak kisah tertentu yang dirasa pas. Perspektif baru dan inspirasi dari kisah tersebut diharapkan dapat melemahkan penyakit mental yang dimiliki seseorang yang sedang menjalani proses terapi.

Bagian utama buku ini memuat 32 pola pikir keliru yang dikategorikan sebagai penyakit mental yang biasa dihadapi manusia. Untuk kepentingan terapi, Nevzat memulai dengan mengangkat satu judul tentang pola pikir tertentu yang keliru. Setelah itu dia mengutip satu kisah dari Masnawi dan kemudian memberikan uraian dalam kerangka terapi atas sikap mental yang keliru tersebut. Setiap judul kemudian ditutup dengan kutipan syair dari Masnawi yang tampaknya dimaksudkan sebagai penguat sekaligus merangkum proses terapi.

Di antara contoh pola pikir yang keliru ada yang berupa pikiran untuk memandang diri sendiri sebagai sosok yang istimewa. Nevzat mengutip kisah seekor lalat yang berlagak seolah dirinya itu burung Phoenix. Saat terhanyut di tumpukan sampah yang digenangi kencing keledai, si lalat malah merasa seperti seorang kapten yang tengah menakhodai kapal istimewa.

Bagi Nevzat, kisah ini merefleksikan sikap arogan yang dapat menjerumuskan jiwa. Menganggap diri sebagai sosok istimewa dan penting adalah sebentuk sikap sombong. Menurut Nevzat, orang sombong sebenarnya memiliki penyakit mental berupa sikap tak percaya diri. Dia meninggikan dirinya sendiri untuk mengatasi ketakpercayaan dirinya itu. Sama halnya dengan orang yang bersiul saat melintasi kuburan demi menghilangkan rasa takutnya.

Melalui kisah Rumi, Nevzat menyingkapkan bahwa orang sombong adalah orang yang tertipu. Sombong membutakan diri sehingga seseorang justru semakin terperosok pada sifat-sifat yang buruk dan menggerogoti dirinya.

Ada juga pola pikir yang menganggap semua orang yang mengkritik kita hanya semata bermaksud merendahkan kita. Nevzat mengangkat kisah 4 orang yang tengah shalat namun akhirnya semuanya batal karena saling menanggapi dan mengkritik rekannya yang batal lantaran berbicara.

Di sini Nevzat mengingatkan kecenderungan dasar manusia yang bersifat reaktif saat menerima kritik. Sebaliknya, manusia juga cenderung keburu mengomentari orang lain saat menemukan kesalahan dan lupa akan kesalahan serupa yang dimilikinya.

Menerima kritik harus dengan jernih sehingga kita bisa membedakan antara kritik yang dibuat secara tulus dan kritik yang justru memang berangkat dari niat buruk. Selain itu, menyampaikan kritik jangan sampai terjebak pada sikap menggeneralisasi. Kritik idealnya harus bisa diterima seseorang layaknya sebagai hadiah yang indah.

Selain unsur terapi, pada bagian terakhir buku ini Nevzat menguraikan 10 langkah untuk mengembangkan kecerdasan emosi. Metodenya juga sama, yakni memanfaatkan kisah-kisah terpilih dari Masnawi. Sepuluh langkah itu dimulai dari mengenali diri sendiri, berempati dan memahami orang lain, menjalin komunikasi dengan baik, dan seterusnya hingga langkah kesepuluh yakni menjadi penengah.

Dalam konteks yang lebih luas, hal paling menarik dari upaya Nevzat untuk memperkenalkan biblioterapi adalah potensi besar dari kisah-kisah tertentu untuk memberi efek perubahan mental pada diri seseorang. Mendidik, membentuk karakter, atau mengobati penyakit mental akan cukup ampuh jika dilakukan dengan pendekatan cerita. Kisah yang disampaikan dalam rangka pendidikan atau terapi tidak terkesan menggurui sehingga lebih mudah diserap.

Tentu saja kita menyadari bahwa Masnawi adalah teks yang istimewa. Menurut Seyed G. Safavi, seorang pengkaji Rumi, teks pramodern seperti Masnawi ditulis dengan sebuah upaya besar dan serius. Ia bukan sekadar buku seperti di era industri modern saat ini yang isinya bisa mudah kedaluwarsa. Bahkan pengkaji Rumi yang lain, Richter, menunjukkan bahwa cara Masnawi disusun mengikuti paradigma al-Qur’an dalam menggabungkan kisah, perumpamaan, pesan etik dan filsafat didaktik.

Meski metodologi pemilihan kisah-kisah Masnawi dan penyusunan aspek terapinya tidak dijelaskan dengan cukup teperinci, kajian Nevzat dalam buku ini mendorong kita untuk melihat lebih jauh potensi kisah-kisah terpilih untuk dimanfaatkan secara lebih luas dalam kehidupan sehari-hari. Ada banyak potensi kisah, cerita, dan semacamnya baik yang ditulis oleh sastrawan, tokoh agama, atau khazanah lokal, yang mungkin bisa juga ditempatkan dalam kerangka pendidikan karakter dan terapi.

Buku yang diterjemahkan dari bahasa Turki ini juga dapat dilihat sebagai pengembangan dari bentuk pengobatan ala sufi yang bertolak dari teks—sebuah kajian yang masih cukup jarang dalam kajian tasawuf di Indonesia.


Tulisan ini dimuat di Harian Jawa Pos, 19 Juni 2016.

Read More..