Senin, 19 Oktober 2015

Merawat Gairah Membaca


Mendapatkan sesuatu itu bisa jadi cukup mudah. Yang lebih sulit dari itu adalah mempertahankannya. Demikian kurang lebih ungkapan bijak yang pernah saya dengar. Benar, merawat sesuatu itu justru sering lebih sulit daripada mendapatkannya.

Membaca termasuk dalam masalah ini. Saat godaan kegiatan hidup sehari-hari semakin banyak, tidak mudah rasanya untuk mempertahankan gairah membaca. Apalagi jika levelnya masih berusaha untuk membentuk dan mengokohkan gairah membaca.

Saya sebenarnya masih belum merasa sebagai orang yang punya gairah membaca yang sangat baik. Saya tidak bisa bertahan sangat lama membaca buku, tidak seperti beberapa orang yang saya kenal yang bisa betah berjam-jam menekuri halaman-halaman buku. Satu jam membaca buku tanpa diselingi kegiatan lain bagi saya terasa cukup berat.

Biasanya saya menyelingi dengan kegiatan lain sekadar untuk mengambil jeda. Mungkin ini juga terkait dengan kemampuan dan daya tahan mata saya yang terganggu akibat kecelakaan dijatuhi kayu pada saat berusia 13 tahun.

Saat menyadari betapa masih banyak buku-buku penting di bidang yang saya minati yang masih belum saya baca, saya jadi berpikir bagaimana caranya agar kegiatan membaca ini bisa lebih terjaga demi mengokohkan dan merawat gairah membaca saya.

Kesadaran ini muncul bersamaan dengan perkenalan saya dengan media sosial khusus untuk pembaca buku, yakni Goodreads. Saat memasukkan judul-judul buku yang pernah saya baca tuntas, ternyata jumlahnya tidak sebanyak yang saya bayangkan. Sejak itulah saya berusaha membangun komitmen membaca secara lebih konsisten.

Teknisnya bagaimana? Dengan mempertimbangkan berbagai kegiatan saya yang lain, saya kemudian meneguhkan niat untuk minimal dalam satu tahun bisa menamatkan 12 judul buku. Artinya, satu bulan khatam satu buku. Agar lebih mudah, perhitungannya saya mulai sejak awal tahun. Setelah menamatkan membaca satu buku, saya catat data dan tanggal selesainya di Goodreads.

Bila ada hari-hari atau pekan-pekan yang sudah padat dengan berbagai kegiatan atau tugas kependidikan, biasanya saya akan cukup kesulitan untuk menamatkan satu buku. Kesibukan macam ini bisa berlangsung selama satu, dua, atau tiga bulan. Saya butuh jeda waktu yang cukup tenang untuk bisa menyelesaikan buku secara utuh.

Kadang juga faktornya terkait dengan pilihan buku. Gairah membaca, dalam pengalaman saya, sering terkait dengan pilihan buku yang disiapkan untuk dibaca. Ada jenis buku tertentu yang dapat lebih mudah memantik gairah membaca, bahkan di saat kesibukan cukup padat. Misalnya, saat menuntaskan buku Misteri Berserah Kepada Allah karya Ibn ‘Athaillah al-Sakandari (Penerbit Zaman) yang merupakan terjemahan dari kitab al-Tanwir fi Isqath al-Tadbir, yang saya baca di bulan September lalu. Juga buku Apple vs Google karya Fred Vogelstein terbitan Bentang yang saya baca Agustus lalu.

Komitmen mengkhatamkan buku minimal 12 judul dalam setahun cukup membantu untuk mengingatkan dan mendorong saya jika pada titik waktu tertentu target yang dipatok tampak mengkhawatirkan. Pada situasi seperti ini, kadang saya mengambil langkah pragmatis: saya memilih buku yang cukup tipis asal temanya masih masuk dalam bidang minat bacaan saya.

Dalam memenuhi target bacaan, saya juga berusaha mempertimbangkan variasi jenis buku. Misalnya, saya berusaha agar dalam satu tahun ada buku teks yang dapat menjadi rujukan tulisan ilmiah yang saya tuntaskan secara utuh.

Dengan target yang cukup sedikit itu, saya berusaha pilihan buku untuk buku-target ini bisa relatif ideal. Artinya, saya berusaha memilih buku yang bergizi, buku yang dikerjakan dengan cukup baik dan sungguh-sungguh, atau memiliki keunggulan yang lain. Kadang ada juga buku yang ternyata setelah dibaca jauh dari harapan karena isinya cukup bermasalah.

Ya, cukup banyak suka duka atau hal-hal yang saya temukan seiring dengan upaya membangun komitmen membaca ini pada beberapa tahun terakhir. Yang jelas, di kesadaran saya, sampai saat ini masih tertanam kuat bahwa masih banyak buku bermutu, buku legendaris, atau buku babon di bidang minat bacaan atau keilmuan saya yang masih menjadi target.

Tapi ternyata saya tidak sendiri. Ada, atau mungkin banyak, orang lain yang juga punya kegelisahan yang sama. Beberapa bulan lalu, saat Seno Gumira Adjidarma berkunjung ke Annuqayah untuk sebuah acara diskusi, dia juga menuturkan bahwa dia masih belum tuntas membaca beberapa karya sastra dunia terkemuka yang mestinya dia baca.

Jadi ini menjadi semacam hiburan buat saya. Tapi tentu, hiburan ini bisa menipu dan bisa melenakan jika saya kemudian jadi melupakan niat dan komitmen saya untuk merawat gairah membaca ini.

Namun demikian, saya juga perlu menggarisbawahi bahwa urusan membaca ini baru satu hal. Hal lain yang lebih penting juga masih banyak, seperti mengamalkan apa yang saya baca, membagikan apa yang saya baca kepada orang-orang di sekitar, dan sebagainya. Untuk hal-hal yang disebut terakhir ini, saya pikir saya juga sangat perlu membangun strategi untuk menguatkan tekad agar bisa mewujudkannya.


Read More..

Minggu, 04 Oktober 2015

Teladan Sultan Para Wali

Judul buku: Syekh Abdul Qadir Al-Jailani: Biografi Sultan Para Wali
Editor: Syekh Tosum Bayrak & Saleh Ahmad al-Syami
Penerbit: Zaman, Jakarta
Cetakan: Pertama, 2015
Tebal: 250 halaman
ISBN: 978-602-1687-49-9


Di kehidupan komunitas muslim Indonesia sehari-hari, nama Syekh Abdul Qadir al-Jailani sangat terkenal. Hal ini tidak saja karena dia adalah pendiri Tarekat Qadiriyah yang punya banyak pengikut di seluruh penjuru dunia, termasuk di Indonesia. Syekh Abdul Qadir juga menyandang gelar Sultan Para Wali. Karena itu, di pembukaan acara-acara doa bersama, masyarakat muslim tradisional Indonesia sering tidak lupa untuk turut mendoakan Syekh Abdul Qadir.

Dalam kepercayaan muslim tradisional, para wali (seperti Wali Songo yang sangat populer di Indonesia) dihormati karena mereka dipandang menyandang karamah dan menjadi penghubung silsilah keimanan mereka pada Islam. Lebih dari itu, para wali juga menjadi saluran “penghubung” (wasilah) spiritualitas dan doa pada Allah swt.

Buku ini memuat biografi singkat Syekh Abdul Qadir al-Jailani yang ditulis oleh Syekh Tosum Bayrak dan Saleh Ahmad al-Syami. Selain biografi, buku ini juga memuat petikan terpilih dari karya-karya al-Jailani.

Al-Jailani hidup hampir persis sezaman dengan Imam al-Ghazali (450-505). Dia dilahirkan di al-Jil atau Jailan yang kini termasuk wilayah Iran pada tahun 470 dan meninggal pada tahun 562 dalam usia 92 tahun (hlm. 16, 71).

Pendidikan keagamaan dan spiritualitasnya diperoleh di Bagdad yang ketika itu menjadi pusat peraban Islam di masa Dinasti Abbasiyah. Al-Jailani tiba di Bagdad ketika ia berusia 18 tahun. Pada saat yang sama, al-Ghazali meninggalkan kota Bagdad di tengah krisis spiritual yang dialaminya.

Ada kisah menarik saat al-Jailani dalam perjalanan ke Bagdad. Dengan bekal harta peninggalan ayahnya yang juga dibagi dengan saudaranya, al-Jailani berangkat ke Bagdad dengan 40 keping emas. Sebelum berangkat, ibunya berpesan agar al-Jailani senantiasa jujur. Nah, di tengah perjalanan, rombongan al-Jailani dicegat oleh perampok. Dengan polos, al-Jailani memberi tahu bahwa ia membawa 40 keping emas di balik bajunya.

Setelah menggeledah dan membuktikan pengakuan al-Jailani, si perampok malah terkejut dan tertegun. Yang luar biasa, para perampok itu justru terilhami untuk bertobat. Oleh para penafsir kisah orang-orang suci, ini disebut sebagai pertanda keberkahan al-Jailani untuk menuntun orang ke jalan kebaikan (hlm. 18-19).

Sebelum memasuki kota Bagdad, al-Jailani dikisahkan dicegat oleh Nabi Khidir dan memberinya jalan pada penempaan spiritual di pinggiran kota Bagdad selama 6 tahun. Setelah lewat 6 tahun, mulailah al-Jailani belajar di Bagdad. Guru spiritual al-Jailani adalah Syekh Hammad ibn Muslim al-Dabbas. Ia juga belajar ilmu-ilmu agama kepada Ali Abul Wafa al-Qayl, Qadhi Abu Sa’id al-Mubarak ibn Ali al-Muharrimi, dan sebagainya. Dari yang terakhir inilah al-Jailani dianugerahi jubah darwis, simbol silsilah spiritualitas yang tersambung ke Nabi (hlm. 27-28).

Saat al-Jailani menerima banyak murid dan menjadi guru ruhani bagi mereka, al-Jailani memberikan teladan spiritual yang luar biasa. Dikisahkan bahwa al-Jailani pernah bertutur tentang dua belas sifat sebagai kriteria guru ruhani sejati. Dua di antaranya adalah menyembunyikan aib manusia dan bersedia memberi maaf untuk orang lain (hlm. 35). Sikap yang sangat lembut ini dilapisi dengan keikhlasan dan tawaduk yang luar biasa sehingga tak heran hingga sekarang banyak orang yang percaya akan keberkahan yang dipancarkan al-Jailani.

Hidup di tengah kota Bagdad yang menjadi pusat kekuasaan tidak membuat al-Jailani menjadi penjilat. Ia dikenal tak pernah berusaha mendekat apalagi berteman dengan penguasa. Dikisahkan bahwa ia tak pernah memberi penghormatan berlebihan pada penguasa yang melebihi penghargaan dan penghormatannya pada orang-orang biasa.

Ini menegaskan sikap para kaum spiritualis yang memandang kehidupan dunia dengan berbagai godaannya, seperti harta, kedudukan atau kekausaan, dan popularitas, sebagai potensi penghalang bagi tersucikannya diri.

Namun demikian, bukan berarti al-Jailani antidunia. Menurut al-Jailani, dunia haruslah dikejar sebagai kebutuhan pokok saja. Kebutuhan terhadap dunia, bagi al-Jailani, hanyalah sebatas bekal orang yang bepergian (hlm. 151). Ini berdasar pada pandangan bahwa dunia hanyalah sementara, sedang tujuan dari perjalanan adalah akhirat.

Al-Jailani memang tidak menulis banyak karya tulis. Ada 3 karya yang disepakati dinisbahkan kepadanya, yakni al-Gunyah, al-Fath al-Rabbani, dan Futuh al-Ghayb (hlm. 80). Namun demikian, al-Jailani penting dan berpengaruh terutama bukan lantaran karyanya tapi karena inspirasi keteladanan dalam hal spiritualitasnya.

Dalam konteks seperti itulah maka buku ini menjadi menarik dan penting untuk dibaca. Teladan orang-orang suci seperti al-Jailani yang memberi keteduhan dalam beragama dan merangkul mereka yang tersesat untuk kembali ke jalan kebaikan sangatlah penting untuk terus disampaikan, agar agama senantiasa tampak sebagai jalan yang memberi terang.


Tulisan ini dimuat di Harian Radar Madura, 4 Oktober 2015.


Read More..