Rabu, 30 Desember 2015

Urgensi Visi Perlindungan Anak di Kalangan Pendidik

Upaya Peningkatan Peran Sekolah dalam Mengatasi Problem Kekerasan Anak di Era Globalisasi


Pengantar

Jika kita mengamati pemberitaan di media massa, baik media nasional atau daerah, hampir setiap hari kita menemukan berita tentang kasus kekerasan anak di sekolah. Detail kasusnya sangat beragam, mulai dari bentuknya, pelakunya, latarnya, dan sebagainya.

Menurut laporan Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas Anak), pada tahun 2013 ada 3.023 pengaduan kasus kekerasan anak. Jumlah ini meningkat 60 persen dibandingkan tahun sebelumnya yang berjumlah 1.383 kasus (Tempo, 20 Desember 2013).

Data yang lebih komprehensif dapat ditemukan pada laporan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) di akhir tahun 2014 yang merekam kasus kekerasan anak di berbagai bidang untuk periode tahun 2011-2014 sebagaimana dalam tabel berikut ini:



Masalah kekerasan anak ini menjadi semakin problematis bila kita mengamati pelaku kekerasan tersebut. Pada bulan Oktober 2014 lalu, Komnas Anak merilis data bahwa anak-anak yang menjadi pelaku kekerasan seksual anak jumlahnya meningkat pada tahun 2014. Jika tahun 2013 anak-anak sebagai pelaku kekerasan seksual berjumlah 16 persen dari 3.339 kasus, di tahun 2014 hingga bulan Oktober 2014 jumlahnya meningkat menjadi 26 persen (Tempo, 22 Oktober 2014).

Jika dipikirkan secara mendalam, data-data tersebut sebenarnya merupakan peringatan keras bagi kita, terutama bagi para orangtua dan kalangan pendidik. Anak-anak kita sejauh ini telah banyak dibesarkan dalam lingkungan yang penuh dengan kekerasan. Mereka sendiri terlibat secara langsung dalam berbagai bentuk kekerasan tersebut—bahkan juga sebagai pelaku. Apa yang bisa kita bayangkan kelak dengan generasi yang sehari-hari dilingkupi dengan berbagai bentuk kekerasan?

Tulisan ini hendak melihat secara lebih dekat bagaimana lembaga pendidikan formal, yakni sekolah, dapat mengambil peran untuk mengatasi problem kekerasan anak yang semakin hari semakin pelik. Secara lebih khusus, tulisan ini akan menguraikan dari sisi apa saja peran itu bisa dimainkan oleh sekolah, termasuk juga oleh lembaga yang menyiapkan tenaga-tenaga profesional di bidang pendidikan, yakni perguruan tinggi yang mengelola jurusan keguruan dan pendidikan.

Sekolah dan Kasus Kekerasan Anak

Peran sekolah untuk bisa ikut memecahkan masalah kekerasan anak ini sangatlah strategis. Lingkungan sekolah menjadi salah satu tempat penting dalam alam pergaulan dan perkembangan kepribadian anak. Untuk era sekarang ini, hampir semua anak bersentuhan secara langsung dengan dunia pendidikan formal atau sekolah. Selain itu, secara struktural, lembaga sekolah memiliki struktur yang luas dari daerah hingga tingkat nasional dan pada tingkat tertentu ada peluang intervensi yang cukup kuat dari pusat struktur untuk memasukkan hal tertentu di sekolah-sekolah tersebut.

Di lingkungan sekolah anak tidak saja belajar dan mendapatkan ilmu dan pengajaran. Di sekolah, anak juga menjalin hubungan sosial di antara sesama peserta didik atau anak yang lain. Di lingkungan perkotaan, kala kesibukan sehari-hari menyita banyak waktu para orangtua, anak memulai jalinan hubungan sosialnya yang lebih erat dari sekolah. Terkadang, mereka menemukan teman sebaya mereka sebagai ruang berbagi yang nyaman dan efektif. Dalam posisi yang demikian, teman sebaya atau lingkungan pada umumnya dapat berperan sebagai saluran sosialisasi dan pembentukan nilai/karakter tertentu.

Secara teoretis, dalam buku Democracy and Education (1964: 20), John Dewey memaparkan bahwa sekolah di antaranya berfungsi sebagai lingkungan buatan untuk memperkenalkan dunia pada anak dan untuk menyiapkan mereka sebelum terjun ke dunia yang sebenarnya. Selain itu, menurut Dewey, sekolah berfungsi untuk memurnikan berbagai kecenderungan yang buruk dan merusak di masyarakat.

Fungsi yang pertama membuat sekolah senantiasa dituntut untuk mengevaluasi dan memutakhirkan kurikulum dan pembelajaran yang ada agar lingkungan buatan yang dirancang dapat benar-benar sesuai dengan kondisi serta tantangan zaman. Sedangkan fungsi yang kedua merupakan sisi “defensif” sekolah, yakni untuk menjaga dan mempertahankan nilai-nilai positif yang dianut sebuah kelompok atau masyarakat. Untuk fungsi yang kedua ini, sekolah berusaha semaksimal mungkin agar hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai yang dianut tidak turut tertanam pada diri anak didik.

Kedua fungsi ini tentu saja menuntut kerja kontekstualisasi bagi para pengelola sekolah. Artinya, kedua fungsi sekolah ini harus didudukkan pada situasi konkret tertentu yang tentu saja terus berubah.

Namun demikian, dalam kaitannya dengan masalah kekerasan anak, kedua fungsi tersebut memiliki problem tersendiri. Problem itu muncul jika kita melihat fakta dan data bahwa ternyata sekolah justru juga menjadi tempat bersemainya kekerasan terhadap anak. Pada titik ini, kita akan tiba pada pertanyaan: bagaimana kita bisa berharap agar fungsi sekolah tersebut dapat berjalan dengan baik jika nyatanya saat ini sekolah menjadi salah satu tempat yang penuh dengan praktik kekerasan dalam berbagai bentuknya?

Fakta tentang kekerasan terhadap anak yang terjadi sekolah dapat dijumpai di media massa. Tahun lalu, media marak memberitakan kasus sodomi di sebuah sekolah internasional di Jakarta yang ternyata melibatkan pihak sekolah. Kasus serupa yang melibatkan pelajar atau anak-anak bahkan juga sudah terjadi di daerah pedesaan. Selain itu, di bulan Oktober 2014 lalu, dunia pendidikan sempat geger akibat berita kekerasan seksual yang pelaku dan korbannya masih duduk di bangku kelas 4 SD di Medan. Di Tasikmalaya, terungkap seorang guru agama mensodomi 25 pelajar. Di Lumajang, 7 siswa SD dicubit oleh 92 siswa lainnya atas perintah seorang guru gara-gara tidak mengerjakan pekerjaan rumah (PR).

Dalam bentuk yang tidak sangat vulgar dan relatif tersembunyi, kekerasan di sekolah berwujud praktik bullying dan bisa juga berupa penelantaran hak dan kebutuhan dasar anak. Bullying bisa berupa praktik perploncoan atau ancaman (intimidasi) berulang dan masif yang mengakibatkan tekanan psikis. Kultur di sekolah tertentu yang membuat siswa senior memiliki posisi yang superior pada siswa junior sering menjadi sumber penyebab kasus bullying. Menurut sebuah penelitian, secara internasional kasus bullying di sekolah berjumlah 23% di SMP dan 10% di SMA (Gultom, 2007).

Contoh bullying di sekolah diungkapkan oleh mantan kepala SMAN 3 Jakarta, Retno Listyarti, yang juga menjadi sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI). Berdasarkan informasi yang dihimpun, Retno mencontohkan pemerasan yang sering terjadi bentuknya berupa pemerasan siswa senior pada junior saat di koperasi sekolah. Siswa junior diminta membayar makanan yang dibeli siswa senior. Bahkan pernah Retno menemukan siswa kelas XII meminta membelikan lipstik seharga Rp 400 ribu kepada adik kelasnya (CNN Indonesia, 25 Mei 2015).

Penelantaran adalah bentuk kekerasan yang relatif sulit diidentifikasi. Bahkan, pihak-pihak yang terkait atau bahkan korban bisa saja tak merasakan bahwa apa yang dihadapinya itu termasuk penelantaran yang merupakan salah satu bentuk kekerasan. Bentuk konkretnya berupa pembiaran hal-hal yang terkait dengan hak dan kebutuhan dasar anak untuk mendapatkan layanan yang baik. Misalnya, penyediaan toilet yang sesuai dengan kebutuhan anak, baik laki-laki, perempuan, maupun yang berkebutuhan khusus.

Berikut data teperinci kasus kekerasan anak di bidang pendidikan selama tahun 2011-2014 menurut catatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI):



Cita ideal fungsi sekolah dan fakta kekerasan anak di lapangan ini setidaknya memunculkan dua pertanyaan mendasar yang perlu diperhatikan. Pertama, sejauh mana sebenarnya kekuatan sekolah untuk menanamkan visi perlindungan anak atau nilai-nilai ramah anak atau sikap anti-kekerasan terhadap anak di lingkungan sekolah bila disandingkan dengan unsur lainnya yang juga berperan sebagai sumber (sosialisasi) nilai dalam kehidupan sehari-hari? Kedua, faktor apakah yang paling penting mendapatkan perhatian dengan mempertimbangkan unsur internal sekolah untuk menciptakan sekolah yang ramah anak berdasarkan visi perlindungan anak?

Pertanyaan pertama berada pada ranah sosial-politik-kebudayaan dan terkait dengan kedua fungsi sekolah sebagaimana digambarkan oleh Dewey di atas. Artinya, ini terkait dengan daya dan posisi sekolah di antara berbagai lembaga sosialisasi yang lain yang saling menarik dan memengaruhi anak. Pada titik inilah sangat relevan untuk melihat formasi sosial saat ini yang sering digambarkan dengan istilah “globalisasi”.

Istilah globalisasi memiliki dimensi yang sangat luas, meliputi aspek sosial, politik, kebudayaan, ekonomi, dan juga agama. Dalam konteks sosial-budaya, istilah ini menggambarkan proses yang terjadi di berbagai sektor yang menjadikan kehidupan di berbagai belahan wilayah negara menjadi semakin “mendunia” dan saling terkait. Menurut Anthony Giddens (1999), globalisasi bukan semata fenomena ekonomi, tetapi juga transformasi ruang dan waktu. Intensifikasi hubungan tingkat dunia akibat revolusi teknologi informasi melahirkan pola relasi baru dalam bidang ekonomi, sosial, politik, komunikasi, perilaku sehari-hari, dan relasi antar-individu.

Dalam kaitannya dengan kedua fungsi sekolah di atas, globalisasi memungkinkan terjadinya interaksi yang semakin luas dan mendalam dalam ruang-ruang kehidupan yang dilalui anak. Anak akan lebih mudah berjumpa dengan individu, kelompok, informasi, pandangan, ideologi, nilai, dan sebagainya, yang berbeda yang berasal dari belahan dunia yang lain.

Situasi yang demikian membuat posisi sekolah menjadi cukup problematis dari segi fungsinya. Sekolah tersaingi oleh berbagai lembaga sosial yang lain dalam memengaruhi penanaman nilai pada diri anak. Hadirnya lembaga-lembaga baru dengan pola-pola pergerakan yang mengiringinya, seperti intensifikasi dan diversifikasi media-media baru dalam kehidupan sosial-budaya masyarakat, termasuk dunia anak, jelaslah memberi pengaruh yang kuat dan semakin nyata. Kondisi psikologis anak yang cenderung mudah meniru pada apa yang tertangkap dari panca indera menjadikan anak di era globalisasi berada dalam posisi yang cukup rentan. Melalui media-media baru, seperti televisi dan internet, anak dengan mudah dapat menerima informasi, data, dan contoh dari sumber-sumber yang dekat yang pada giliran berikutnya dapat memengaruhi sikap dan cara berpikirnya.

Kehadiran media-media baru yang mudah diakses anak itu yang juga berperan sebagai pembentuk sikap dan nilai bagaimanapun akan berpengaruh pada posisi dan fungsi sekolah. Singkatnya, dalam situasi demikian, fungsi sekolah sebagaimana dituturkan Dewey di atas bisa saja dirongrong, dimentahkan, atau bahkan diambil alih oleh media-media baru ini.

Darmaningtyas (2011: 196-200) membahas fenomena globalisasi ini dengan kecenderungan lahirnya “generasi mall/handphone” di kalangan pelajar yang pada gilirannya menantang fungsi atau peran konvensional guru dan sekolah baik sebagai sumber ilmu maupun sumber panutan moral. Masalah ini menjadi semakin mengkhawatirkan karena faktanya penetrasi globalisasi dengan berbagai perangkatnya sudah semakin jauh ke pelosok, tidak hanya terbatas di wilayah urban saja.

Persoalan yang kedua terkait kondisi internal di sekolah. Sejauh ini, konsep sekolah ramah anak atau sekolah yang menerapkan prinsip perlindungan dan kesejahteraan anak masih belum tersosialisasikan secara cukup baik di kalangan pendidik (sekolah). Karena itu, secara umum masalah utama kekerasan di sekolah di antaranya dipandang berakar dari kurangnya kepedulian dan pengetahuan para pendidik dan pengelola sekolah tentang kekerasan dan dampaknya terhadap anak didik. Oleh sejumlah kalangan, tindakan yang tergolong kekerasan fisik atau psikis bahkan terkadang dianggap sebagai bagian dari upaya pendidikan.

Belum satunya visi dan pemahaman para pendidik di sekolah dapat terlihat dalam berbagai kasus kekerasan yang terjadi di lingkungan sekolah yang di antaranya melibatkan pihak guru atau pihak sekolah. Batas-batas di antara tindakan mendidik dan memberi hukuman yang dapat dianggap sebagai tindakan kekerasan tampaknya masih menjadi hal yang diperdebatkan, paling tidak di kalangan guru—juga di kalangan masyarakat. Lebih dari itu, persoalan pun cenderung kurang intensif dibicarakan di sekolah sehingga sulit terbentuk visi dan pemahaman yang sama di antara sesama guru dan pengelola sekolah.

Pandangan yang berbeda terkait batas tindakan mendidik dan tindakan yang dapat dianggap sebagai bentuk kekerasan ini kadang juga berkait dengan unsur pemahaman budaya atau bahkan juga agama. Faktor inilah yang di antaranya membuat persoalan ini menjadi semakin problematis. Ada yang menilai bahwa dalil budaya atau agama kadang menjadi alat legitimasi praktik kekerasan terhadap anak.

Amanat Undang-Undang

Sebelum melihat secara lebih jauh persoalan perlindungan anak di lingkungan sekolah pada khususnya, penting kiranya mencermati secara sekilas peraturan perundangan yang terkait dengan hal tersebut. Regulasi atau basis legal ini penting dikemukakan karena dari situ pula dapat ditemukan semangat yang hendak dituju dari upaya perlindungan anak ini.

Kesadaran akan pentingnya jaminan perlindungan anak dari tindak kekerasan sebenarnya telah tertuang dalam undang-undang, yakni UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (yang kemudian disempurnakan dalam UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak) dan UU Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. Kedua undang-undang tersebut pada dasarnya menegaskan bahwa anak juga memiliki harkat dan martabat kemanusiaan sehingga anak juga punya hak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal. Selain itu, anak harus dijamin mendapatkan perlindungan dan bebas dari diskriminasi.

Pasal 54 UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan “anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan, atau lembaga pendidikan lainnya.”

Landasan yang lebih mendasar dapat ditemukan pada Pasal 28 B butir 2 Undang-Undang Dasar 1945 dan amandemennya yang berbunyi: “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.”

Dalam kaitannya dengan norma yang bersifat internasional, pada tanggal 25 Agustus 1990 Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak-Hak Anak yang disetujui Majelis Umum PBB pada tahun 1989 yang memuat semangat dasar perlindungan anak dan amanat pemenuhan hak-hak anak. Hak-hak anak menurut Konvensi Hak-Hak Anak dikelompokkan dalam empat kategori, yaitu :
1. Hak kelangsungan hidup: hak untuk melestarikan dan mempertahankan hidup dan hak memperoleh standar kesehatan tertinggi dan perawatan yang sebaik-baiknya.
2. Hak perlindungan: perlindungan dari diskriminasi, eksploitasi, kekerasan dan keterlantaran.
3. Hak tumbuh kembang: hak memperoleh pendidikan dan hak mencapai standar hidup yang layak bagi perkembangan fisik, mental, spiritual, moral dan sosial.
4. Hak berpartisipasi: hak untuk menyatakan pendapat dalam segala hal yang memengaruhi anak.

Sementara itu, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 40 menyebutkan bahwa “pendidik dan tenaga kependidikan berkewajiban menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialogis.” Tentu saja lingkungan sekolah yang penuh dengan praktik kekerasan tidak sesuai dengan amanat undang-undang ini. Bahkan, jika dicermati lebih dalam, pasal ini tidak saja terkait dengan perlindungan anak di sekolah, tapi juga menyentuh aspek kesejahteraan anak di sekolah.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dalam rumusannya tentang “sekolah ramah anak” menyimpulkan prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan konsep tersebut, yakni prinsip tanpa kekerasan, prinsip tanpa diskriminasi, prinsip kepentingan yang terbaik bagi anak dan hak untuk tumbuh dan berkembang, serta prinsip menghargai pendapat anak.

Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, ada cukup banyak perangkat normatif (regulasi) lainnya yang menjadi dasar bagi penguatan prinsip perlindungan anak selain yang sudah disebutkan di atas, yakni:
1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
2. Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 05 Tahun 2011 tentang Kebijakan Pemenuhan Hak Pendidikan Anak
3. Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 06 tahun 2011 tentang Panduan Pencegahan Kekerasan terhadap Anak di Lingkungan Keluarga, Masyarakat, dan Lembaga Pendidikan
4. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1988 tentang Usaha Kesejahteraan Anak bagi Anak yang Mempunyai Masalah
5. Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 02 Tahun 2011 tentang Pedoman Penanganan Anak Korban Kekerasan
6. Instruksi Presiden RI Nomor 5 Tahun 2014 tentang Gerakan Nasional Anti Kejahatan Seksual terhadap Anak

Meski amanat undang-undang telah sangat jelas dalam menuntut pemenuhan anak dan perlindungan anak dari kekerasan dan diskriminasi, kita melihat bahwa masalah ini masih belum menjadi isu penting yang mengemuka di sekolah. Indikatornya terlihat dari masih banyaknya kasus kekerasan terjadi di lingkungan sekolah dan belum adanya perhatian serius dari pihak sekolah atau pengurus publik di bidang pendidikan. Dalam situasi yang seperti ini, siapa yang kira-kira dapat memainkan peran penting untuk mengangkat dan menangani isu ini secara lebih luas?

Dengan mempertimbangkan dan melihat sistem internal di sekolah dan cara penyiapan tenaga pendidik profesional dilakukan melalui sistem pendidikan tinggi, dapat disimpulkan bahwa unsur kepemimpinan di sekolah dan para calon insan pendidik memegang peran yang strategis untuk berperan dalam penanggulangan masalah kekerasan anak. Namun demikian, di balik kedua aktor tersebut, tentu saja hal yang lebih mendasar adalah visi perlindungan anak yang tertanam dalam pikiran dan orientasi pengelola sekolah dan para calon guru.

Peran Kepala Sekolah

Untuk menciptakan lingkungan sekolah yang peka terhadap hak anak dan dapat menjamin perlindungan dan kesejahteraan anak di sekolah, peran kepala sekolah sangatlah strategis. Kepala sekolah adalah sosok yang menentukan arah kebijakan strategis sekolah yang tecermin dari program-program kerja yang dilaksanakan. Dari sosok kepala sekolah jugalah perubahan penting di sekolah baik menyangkut sistem maupun out-put siswa bisa diharapkan (Kartono, 2011: 76-79). Belum cukupnya perhatian kalangan pendidik terhadap persoalan kekerasan terhadap anak bisa jadi merupakan bentuk cerminan dari belum tersentuhnya kesadaran kepala sekolah akan pentingnya masalah ini.

Karena itulah, pada tataran yang mendasar, visi kepala sekolah, kepekaan dan kepeduliannya pada isu perlindungan dan kesejahteraan anak di sekolah akan sangat menentukan arah program sekolah yang mendukung bagi diterapkannya prinsip-prinsip perlindungan dan kesejahteraan anak sehingga sekolah dapat terbebas dari tindakan kekerasan. Visi yang dimiliki kepala sekolah inilah yang pada giliran berikutnya diharapkan dapat ditularkan pada para pemangku kepentingan lainnya di sekolah, baik itu guru, wali murid, dan sebagainya.

Secara normatif, seorang kepala sekolah menurut Permendiknas Nomor 13 Tahun 2007 tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah harus memiliki 33 kecakapan yang meliputi lima dimensi, yakni kompetensi kepribadian, kompetensi manajerial, kompetensi kewirausahaan, kompetensi supervisi, dan kompetensi sosial. Dalam posisi sebagai manajer, kepala sekolah menurut ketentuan dalam peraturan tersebut dituntut harus memiliki kompetensi untuk “menciptakan budaya dan iklim sekolah/madrasah yang kondusif dan inovatif bagi pembelajaran peserta didik.”

Dari ketentuan ini, kita dapat menghubungkan antara kondisi yang kondusif dan inovatif bagi pembelajaran peserta didik di sekolah dengan penerapan prinsip perlindungan dan kesejahteraan anak. Dengan kata lain, penerapan prinsip perlindungan dan kesejahteraan anak di sekolah pada gilirannya akan mendukung bagi terciptanya iklim sekolah yang kondusif.

Sekolah yang menerapkan prinsip perlindungan dan kesejahteraan anak pasti akan sangat mendukung bagi berkembangnya potensi diri anak. Anak akan merasa nyaman di lingkungan belajarnya sehingga dapat mengembangkan potensinya tanpa harus terintangi oleh hambatan kejiwaan atau tekanan psikis dalam berbagai bentuk. Lingkungan sekolah yang ramah anak akan memberi ruang yang lebih besar bagi terwujudnya fungsi dasar sekolah sebagaimana digambarkan Dewey di atas.

Namun demikian, melihat masih maraknya kasus kekerasan di sekolah yang bahkan jumlahnya kian meningkat, sementara kita bisa simpulkan bahwa upaya sekolah yang dipimpin oleh kepala sekolah untuk menciptakan sekolah ramah anak tampaknya masih harus melalui jalan yang panjang. Mungkin saja kepala sekolah yang memiliki kepekaan dan visi perlindungan dan kesejahteraan anak masih tidak mudah kita dapatkan. Atau bisa saja sudah ada kepala sekolah yang punya kepedulian dan visi perlindungan anak tapi masih kesulitan menerjemahkannya secara nyata dalam program sekolah.

Penelitian yang dilakukan Raihani tentang kepemimpinan kepala sekolah di tiga sekolah di Yogyakarta (2011) memperlihatkan bahwa isu kekerasan anak tampak masih belum menjadi isu yang mengemuka. Visi tentang perlindungan anak di lingkungan sekolah belum mendapat perhatian serius dari pimpinan sekolah dan warga sekolah yang lain. Menurut penelitian tersebut, persepsi kesuksesan sekolah masih banyak terfokus pada soal akademik dan non-akademik yang kurang secara langsung menyebut isu perlindungan anak sebagai salah satu indikatornya.

Terkait dengan persoalan ini, hegemoni media dalam mencitrakan ukuran kesuksesan sekolah mungkin cukup berperan besar sehingga isu perlindungan anak kurang mengemuka. Dalam penelitian Raihani, out-put siswa yang berprestasi disebut sebagai salah satu indikator keberhasilan kepemimpinan di sekolah. Beberapa tahun terakhir kita memang cukup sering menyaksikan berita tentang prestasi siswa di ajang kompetisi sains di tingkat internasional yang ternyata cukup menarik perhatian masyarakat sehingga berkembang pandangan bahwa kesuksesan kepemimpinan di sekolah di antaranya ditandai dengan prestasi siswa di bidang lomba bertaraf internasional. Padahal, ukuran kesuksesan yang demikian ini masih bersifat cukup dangkal dan bisa jadi cukup berjarak dengan substansi nilai pendidikan (Mushthafa, 2013: 29-34).

Belum kuatnya visi perlindungan anak di sekolah membuat praktik kekerasan cenderung dianggap biasa di sekolah, seperti dalam bentuk hukuman fisik dan kekerasan verbal atau psikis. Kepala sekolah perlu memiliki strategi yang jitu untuk bisa mengubah situasi ini ke arah yang ideal. Butuh perubahan paradigma yang mungkin bersifat cukup revolusioner agar berbagai pihak di sekolah—pimpinan, guru, karyawan, komite sekolah, murid, orangtua, dan masyarakat lingkungan sekolah—bisa memiliki kepedulian dan visi yang sama untuk membumikan prinsip perlindungan dan kesejahteraan anak di sekolah. Tantangannya juga menjadi lebih rumit jika kita melihat kesibukan sekolah dan para guru saat ini yang sarat dengan beban administrasi pembelajaran.

Jalan panjang penguatan visi perlindungan anak di sekolah melalui kepemimpinan kepala sekolah ini akan semakin terasa ketika kita melihat fakta di lapangan tentang masih belum terlembagakannya penguatan profesi kepala sekolah terkait dengan kompetensi dasar sebagaimana disebutkan dalam Permendiknas Nomor 13 Tahun 2007. Pembibitan calon kepala sekolah dan peningkatan kompetensi mereka melalui program pelatihan yang terstruktur, menyeluruh, dan berkelanjutan masih menjadi pekerjaan rumah instansi pendidikan di Indonesia. Desain peningkatan kompetensi kepala sekolah saat ini masih berada pada tahapan uji coba (tahap awal). Menurut penelitian Jalal dan Supriadi, kebanyakan kepala sekolah di Indonesia tidak memperoleh pendidikan yang cukup terkait peran mereka sebagai kepala sekolah (Raihani, 2011: 4).

Pengalaman penulis terlibat dalam penyiapan bahan pembelajaran untuk peningkatan kompetensi berkelanjutan kepala sekolah pada bidang-bidang spesifik sesuai dengan Permendiknas Nomor 13 Tahun 2007 (Maret 2013-November 2014) yang diselenggarakan oleh Pusat Pengembangan Tenaga Kependidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI bekerja sama dengan Australia’s Education Partnership with Indonesia menunjukkan bahwa kompetensi kepala sekolah di Indonesia masih jauh dari harapan atau standar yang ada.

Syawal Gultom, Ketua Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Penjaminan Mutu Pendidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, mengakui rendahnya kompetensi dan kinerja kepala sekolah di semua jenjang. Menurutnya, faktor campur tangan politik lokal dalam pengangkatan kepala sekolah menjadi faktor penyebabnya. Secara lebih teperinci, berdasarkan pemetaan kompetensi kepala sekolah yang dilaksanakan di 31 provinsi, ternyata kompetensi sosial dan supervisi kepala sekolah umumnya rendah. Dari batas minimal nilai kelulusan yang ditetapkan, yakni 76, hanya nilai kompetensi kepribadian saja yang lulus, yakni rata-rata 85. Sedangkan kompetensi manajerial dan wirausaha rata-rata 74, supervisi 72, dan sosial 63 (Kompas, 24 Juli 2012).

Selain itu, disparitas mutu pendidikan di berbagai wilayah di Indonesia menjadi faktor kunci yang membuat jurang perbedaan kompetensi kepala sekolah di antara berbagai daerah tersebut cukup lebar (Darmaningtyas, 2011: 165-169). Untuk kompetensi mendasar yang secara eksplisit disebutkan dalam Permendiknas Nomor 13 Tahun 2007 saja ternyata masih banyak kepala sekolah yang perlu diberi pelatihan. Sedangkan visi perlindungan anak terkait dengan wawasan dan kemampuan yang sifatnya pengembangan atau tingkat lanjut yang bersifat kontekstual.

Belum tertatanya pengembangan profesionalitas kepala sekolah tampak saat uji kompetensi kepala sekolah dilaksanakan tahun lalu di Bandung. Ada 180 Kepala SD yang mempermasalahkan hasil uji kompetensi kepala sekolah karena kriteria kelulusannya dianggap tidak jelas. Apalagi ada informasi yang beredar bahwa kepala sekolah yang tidak lulus uji kompetensi akan kembali menjadi guru biasa (Pikiran Rakyat, 10 Februari 2014).

Dalam konteks yang lebih luas, kepala sekolah sebenarnya juga memiliki ruang bersama di tingkat lokal berupa organisasi atau perkumpulan kepala sekolah di tingkat kabupaten yang bernama Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS). Namun demikian, menurut Darmaningtyas (2011: 122-124), perhimpunan ini cenderung menjadi alat politik birokrasi untuk memantau dan mengendalikan sekolah-sekolah yang ada sesuai dengan kehendak pemangku kebijakan setempat. Inilah yang oleh Mochtar Buchori (2002: 63) dikatakan bahwa para guru, dan termasuk juga pengelola sekolah, tidak memiliki otonomi atau kebebasan pedagogis. Mereka hanya menjadi instrumen birokrasi yang tugasnya sebatas menjalankan instruksi atasannya saja.

Untuk itu, pada poin yang kedua dari uraian dalam tulisan ini, penguatan visi perlindungan anak di sekolah perlu juga memperhatikan aspek yang bersifat antisipatif. Untuk mengarah ke sana, maka penanaman visi perlindungan anak di sekolah sejak dini harus diberikan kepada para calon pendidik, yakni para mahasiswa yang menempuh studi di jurusan keguruan/pendidik profesional.

Visi Perlindungan Anak bagi Mahasiswa Keguruan

Untuk menanamkan visi perlindungan anak di kalangan pendidik, langkah penting yang juga perlu dicermati adalah dengan memasukkan gagasan tentang perlindungan anak ini kepada kalangan mahasiswa di Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK). Asumsinya, mahasiswa di LPTK inilah yang nanti akan terjun di dunia pendidikan (sekolah) sebagai guru dan mungkin juga kepala sekolah.

Namun demikian, Mochtar Buchori dalam penelitiannya tentang perkembangan pendidikan guru di Indonesia melontarkan kritik yang penting untuk diperhatikan. Menurutnya, LPTK atau jurusan keguruan/pendidik profesional di perguruan tinggi secara umum berkualitas rendah sehingga hanya menghadirkan guru mediocre. Selain itu, kebanyakan mahasiswa yang masuk LPTK sebenarnya tidak bercita-cita untuk menjadi guru, tapi hanya untuk mendapatkan pekerjaan (Buchori, 2007: 157-160).

Mantan rektor Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Paul Suparno (2005: 20-22) juga punya pendapat yang sama. Mantan rektor kampus yang semula bernama IKIP Sanata Dharma tersebut berpendapat bahwa kualitas intelektual mahasiswa di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) ada di tingkat kedua atau ketiga. Paul Suparno memberi ilustrasi bahwa banyak guru baru lulusan FKIP tidak menguasai bahan yang diajarkan. Bahkan beberapa tampak masih grogi saat di depan kelas. Ini, menurutnya, menunjukkan bahwa kematangan profesional mereka yang mestinya meliputi tiga bidang, yakni bidang keahlian atau keilmuan, bidang pembelajaran, dan bidang kepribadian, masih bermasalah.

Pada bidang yang ketiga, yakni bidang kepribadian, terkait erat visi perlindungan anak ini. Aspek kepribadian ini erat kaitannya dengan pemahaman atas nilai-nilai kemanusiaan, termasuk di dalamnya yang terkait dengan hak anak.

LPTK atau perguruan tinggi yang membuka jurusan keguruan belakangan juga semakin banyak dibuka di daerah. Minat masyarakat memang tampak cenderung semakin tinggi untuk masuk ke LPTK seiring dengan kebijakan tunjangan sertifikasi guru. Sedangkan sistem seleksi masuk ke LPTK tersebut masih cukup longgar dan tidak ketat sehingga input mahasiswanya bukanlah yang terbaik di antara calon mahasiswa yang ada.

Ini jauh berbeda dengan sistem seleksi yang terjadi di Finlandia, negara yang dipandang memiliki sistem pendidikan terbaik di dunia. Leena Krokfoss, Wakil Dekan Fakultas Keguruan University of Helsinki dalam film dokumenter The Finland Phenomenon (2011) memberi gambaran tentang ketatnya persaingan calon mahasiswa untuk masuk di LPTK di Finlandia. Menurut Krokfoss, pada tahun 2011, dari 1600 pendaftar di jurusan keguruan yang ada, hanya 10% yang diambil.

Selain sistem seleksi atau tes masuk, Paul Suparno (2005: 21) juga menyoroti sistem pendidikan di FKIP yang masih kurang berbasis praktik. Dalam The Finland Phenomenon, disebutkan bahwa sistem pendidikan calon guru di Finlandia berbasis riset dan praktik. Mahasiswa memiliki ruang yang cukup luas untuk mengamati proses pembelajaran di kelas dan berdiskusi dengan guru di sekolah tentang praktik pembelajaran yang efektif. Hal seperti ini yang masih belum cukup lazim dalam sistem pendidikan di LPTK di Indonesia.

Dalam kaitannya dengan visi perlindungan anak, kiranya perlu juga mahasiswa-mahasiswa LPTK diajak berdiskusi secara mendalam atas fenomena kekerasan anak. Bahkan, jika memungkinkan, mereka diberi pengalaman langsung mengamati dari dekat kasus-kasus spesifik di tingkat lokal. Lebih jauh lagi, mungkin juga perlu dijajaki kemungkinan praktik pendampingan oleh mahasiswa atas kasus kekerasan anak.

Kondisi umum yang cukup memprihatinkan pada LPTK yang ada itu menjadi pekerjaan rumah tersendiri untuk kita bisa mengharapkan bahwa dari lembaga tinggi tersebut akan lahir tenaga-tenaga pendidik yang memiliki visi perlindungan anak yang kuat. Menurut Mochtar Buchori, lemahnya visi pengabdian di kalangan mahasiswa LPTK ini memberi jalan bahwa sekolah sebagai lembaga pendidikan kehilangan fungsi sosialnya yang bersifat strategis yakni sebagai lembaga yang memiliki kekuatan kultural (cultural force) untuk perubahan (Buchori, 2002: 61).

Melihat situasi LPTK secara internal serta isu perlindungan anak itu sendiri, maka sebenarnya ada dua hal yang harus dilakukan. Pertama, secara umum, penguatan LPTK mau tidak mau harus dilakukan untuk membuat lulusan-lulusannya dapat mengambil peran yang visioner di dunia pendidikan. Kedua, isu perlindungan anak harus secara terencana ditanamkan dalam perkuliahan di LPTK. Upaya membangun pemahaman dan kepekaan atas kebutuhan anak dan masalah-masalah yang berkaitan dengan penyediaan lingkungan belajar yang kondusif untuk anak harus terus diperkuat.

Secara ringkas, dua hal ini bisa juga digambarkan menurut pemaparan Mochtar Buchori (2002: 68) saat berbicara tentang reformasi pendidikan di Indonesia: bahwa sekolah harus mengubah orientasinya dengan menekankan pada unsur intelektualitas dan aspek kepekaan normatif sekaligus. Aspek yang kedua inilah yang akan memberi makna lebih mendalam pada proses pendidikan. Dari sana pulalah, nilai-nilai kemanusiaan dapat terus dijaga dalam proses pendidikan termasuk nilai dan penghargaan atas hak anak.

Penutup: Perlindungan Anak dan Pendidikan Kontekstual

Dua titik fokus yang berusaha diangkat dalam tulisan ini terkait upaya peningkatan peran sekolah dalam mengatasi problem kekerasan anak bisa dibilang baru bersifat mikro. Pada tataran yang lebih luas, isu kekerasan anak akan juga terkait dengan kebijakan pendidikan yang lebih bersifat makro.

Ini bisa terlihat jelas jika kita menyimak pendapat Darmaningtyas (2011: 341-346) yang menyatakan bahwa kekerasan di sekolah, seperti tawuran, juga sangat terkait dengan masalah kebijakan yang bersifat makro yakni akses anak miskin dan bodoh yang sulit untuk masuk ke sekolah bermutu. Kekerasan berupa tawuran antarpelajar menurut pengamatan Darmaningtyas salah satunya lahir akibat kekecewaan anak miskin dan bodoh atas ketidakadilan sistem pendidikan yang ada yang menutup akses mereka untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu. Tertutupnya akses ke sekolah bermutu ini membuat kemungkinan mobilitas vertikal mereka jadi sulit terbuka.

Sampai di titik ini terlihat betapa tantangan untuk menanamkan visi perlindungan anak di sekolah bukan pekerjaan yang mudah. Namun demikian, di balik berbagai tantangan tersebut, satu hal yang penting digarisbawahi adalah bahwa menekuni masalah perlindungan dan kesejahteraan anak bagi sekolah dan kalangan pendidik sebenarnya merupakan peluang yang besar untuk membawa praktik pendidikan di sekolah ke wilayah yang bersifat kontekstual. Jika proses pembelajaran dan pendidikan di sekolah sejauh ini sering disorot cenderung berorientasi-buku-teks (text book oriented), maka upaya untuk menerapkan prinsip perlindungan dan kesejahteraan anak di sekolah merupakan bentuk pendidikan yang nyata dan kontekstual. Warga sekolah bersama-sama diajak untuk ikut memecahkan masalah penting di masyarakat, yakni kekerasan anak, dan menjawabnya dengan langkah bersama dari semua pihak yang berkepentingan.

Wallahu a‘lam.


Bahan Rujukan

Buchori, Mochtar, 2002, Pendidikan Antisipatoris, Cetakan Kedua, Yogyakarta: Kanisius.

______________, 2007, Evolusi Pendidikan di Indonesia: Dari Kweekschool sampai ke IKIP (1852-1998), Yogyakarta: Insist Press.

Darmaningtyas, 2011, Pendidikan Rusak-Rusakan, Cetakan Kelima, Yogyakarta: LKiS.

Dewey, John, 1964, Democracy and Education, Cetakan Ketiga, New York: The Macmillan Company.

Giddens, Anthony, 1999, Runaway World: How Globalisation is Reshaping Our Lives, London: Profile Books.

Gultom, Junifrius, 2007, “Kekerasan di Sekolah, Wajarkah?,” Harian Kompas, 17 November 2007.

Kartono, ST., 2011, Menjadi Guru untuk Muridku, Yogyakarta: Kanisius.

Mushthafa, M., 2013, Sekolah di Antara Himpitan Google dan Bimbel, Yogyakarta: LKiS.

Raihani, 2011, Kepemimpinan Sekolah Transformatif, Yogyakarta: LKiS.

Suparno, Paul, 2005, “Calon Guru di FKIP: Mutu Intelektualnya Kelas Kedua atau Ketiga,” Majalah Basis, No. 07-08, Tahun ke-54, Juli-Agustus 2005.

“180 Kepala Sekolah Dasar Berencana Gugat Hasil Uji Kompetensi ke PTUN,” Pikiran Rakyat, 10 Februari 2014, diakses di http://pikiran-rakyat.com/pendidikan/2014/02/10/269488/180-kepala-sekolah-dasar-berencana-gugat-hasil-uji-kompetensi-ke-ptun pada 24 Mei 2015.

“2014, Kekerasan pada Anak Diprediksi Meningkat,” Tempo, 20 Desember 2013, diakses di http://metro.tempo.co/read/news/2013/12/20/064538984/2014-kekerasan-pada-anak-diprediksi-meningkat pada 24 November 2014.

“Cerita Retno soal Tradisi Bullying Finansial di SMAN 3,” CNN Indonesia, 25 Mei 2015, diakses di http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150525060521-20-55383/cerita-retno-soal-tradisi-bullying-finansial-di-sman-3/ pada 25 Mei 2015.

“Komnas: DKI Tertinggi Angka Kekerasan Seksual Anak,” Tempo, 22 Oktober 2014, diakses di http://nasional.tempo.co/read/news/2014/10/22/063616237/Komnas-DKI-Tertinggi-Angka-Kekerasan-Seksual-Anak pada 24 November 2014.

“Kompetensi Kepala Sekolah Masih Rendah,” Kompas, 24 Juli 2012, diakses di http://edukasi.kompas.com/read/2012/07/24/05154075/Kompetensi.Kepala.Sekolah.Masih.Rendah pada 24 November 2014.


Tulisan ini adalah makalah yang disampaikan dalam International Conference on Helping Profession on Child Abuse and Protection pada tanggal 3 Desember 2015 yang diadakan oleh Asosiasi Dosen Indonesia (ADI) bertempat di Auditorium Dinas Pelayanan Pajak DKI Jakarta. Tulisan ini diterbitkan dalam prosiding acara tersebut.


Read More..

Minggu, 27 Desember 2015

Jurus Ampuh Menyingkir dari Sesat Pikir


Judul buku: Kitab Anti Bodoh: Terampil Berpikir Benar Terhindar dari Cacat Logika dan Sesat Pikir
Penulis: Bo Bennett, Ph.D.
Penerbit: Serambi, Jakarta
Cetakan: Pertama, September 2015
Tebal: 380 halaman


Kemampuan untuk berpikir benar bukanlah pembawaan yang senantiasa dimiliki setiap manusia. Menarik kesimpulan dan berpikir dengan benar adalah keterampilan yang harus dipelajari. Itulah yang dipelajari dalam ilmu logika yang dirintis oleh Aristoteles.

Buku ini adalah buku populer di bidang logika. Bo Bennett, Ph.D., penulisnya, tidak memaparkan istilah-istilah teknis dan cara bernalar menurut ilmu logika. Sebaliknya, Bennett mengambil jalan yang berbeda: ia menunjukkan secara jelas dan menarik berbagai jenis sesat pikir yang biasa dijumpai dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam ilmu logika, sesat pikir biasanya dikategorikan dalam tiga kelompok yaitu sesat pikir karena bahasa, sesat pikir formal, dan sesat pikir material. Namun, karena ditujukan untuk pembaca umum, Bennett dalam buku ini langsung saja memaparkan lebih dari 300 bentuk cacat logika atau sesat pikir yang telah dihimpunnya selama bertahun-tahun (hlm. 23). Di setiap uraian bentuk cacat logika atau sesat pikir, Bennett memberinya nama, memberi gambaran singkat, rumus atau bentuknya, contoh, penjelasan, pengecualian, dan juga kiat untuk terhindar dari sesat pikir tersebut.

Sistematika uraian yang seperti ini memang cukup memudahkan pembaca untuk memahami tiap model yang diterangkan. Bahkan bisa terasa mengasyikkan karena contoh yang diangkat cukup sering kita temukan dalam kehidupan sehari-hari.

Cacat logika yang paling populer, termasuk dalam ilmu logika, diistilahkan argumentum ad hominem. Sesat pikir model ini terjadi saat orang tidak menyerang substansi argumen yang dikemukakan, tapi justru menyorot pada orang yang melontarkan argumen.

Untuk model ini, Bennett menjelaskannya dalam tiga bentuk. Ada yang dengan cara menistakan pelontar argumen, mengacu pada konflik kepentingan, dan mengaitkan tanpa dasar. Misalnya, ada orang menyebut Pol Pot, pemberontak komunis Kamboja, yang sangat kejam dan menentang agama. Lalu ada yang menghubungkan seseorang, sebutlah ia Dadang, yang juga menentang agama dengan melabelinya sebagai orang yang juga sangat kejam (hlm. 35-40).

Dengan latar pengalaman dan kesarjanaan di bidang pemasaran dan psikologi sosial, Bennett juga menemukan argumen yang cacat di dunia bisnis. Di bidang bisnis, proposisi atau pernyataan banyak dipergunakan untuk membujuk. Misalnya sesat pikir yang disebutnya “mengacu kepada rayuan gombal.” Sering ditemukan dalam iklan kalimat yang menyatakan: “Anda harus membeli mobil ini karena Anda akan terlihat sangat keren dengan mobil ini. Bahkan Anda akan terlihat lebih muda di balik kemudi mobil ini” (hlm. 81).

Tak ada argumen dalam kalimat ini. Si penjual sama sekali tak mengemukakan argumen. Yang ada hanya pendasaran palsu berupa rayuan gombal.

Sesat pikir kadang juga dibangun melalui sikap subjektif berupa keberpihakan yang bersifat apriori. Saat ada sejumlah data yang dapat berstatus sebagai argumen, seseorang kadang menyeleksi bagian tertentu yang sesuai dengan kecenderungan subjektifnya. Ini yang oleh Bennett disebut “perhatian yang pilih-pilih.” Contohnya, saat ada informasi bahwa Indeks Harga Saham Gabungan menguat 200 poin dan rupiah menguat atas dolar Amerika, tetapi harga cabai rawit melambung, seseorang kadang kemudian mengatakan bahwa kondisi ekonomi sedang payah hanya dengan mendasarkan pada harga cabai rawit dan mengabaikan fakta lainnya (hlm. 320).

Ada juga pengelabuan dengan cara menonjolkan prestasi seseorang. Pelontar argumen menyebutkan beberapa keberhasilan yang dicapai seseorang, lalu menggunakannya untuk membenarkan salah satu pendapatnya (hlm. 52).

Memang benar bahwa tidak semua tindakan yang diambil seseorang selalu berdasarkan pada pertimbangan rasional yang ketat. Namun, membiarkan pandangan, keyakinan, tindakan, atau sikap kita berdasar pada argumen sesat pikir bukanlah sesuatu yang lucu.

Buku ini menuntun kita untuk menunjukkan berbagai bentuk sesat pikir di sekitar kita. Dengan mengenali berbagai bentuk sesat pikir dan menyingkirkannya, kita mengembalikan kehormatan diri kita sebagai makhluk otonom yang mampu bernalar.

Di tengah berbagai bentuk perbudakan akali dan bujuk rayu terselubung yang menipu, baik dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan juga politik, buku ini adalah bagian dari upaya mendidik masyarakat agar cerdas dan kritis dalam mengambil sikap.


Tulisan ini dimuat di Harian Radar Madura, 27 Desember 2015.

Read More..

Selasa, 24 November 2015

Membaca Efektif


Seringkali ada orang bertanya kepada saya: bagaimana caranya membaca yang baik sehingga kita mudah mengikat pengetahuan atau informasi yang kita cerna itu? Dengan kata lain, bagaimana caranya agar kita tidak mudah lupa atas apa yang telah kita baca?

Mungkin memang sulit untuk mendapatkan hasil yang sempurna: bahwa semua yang kita baca dapat kita ingat sepenuhnya. Tapi mungkin ada semacam kiat agar kegiatan membaca dapat lebih menghasilkan informasi yang—paling tidak relatif lama—tertancap dalam ingatan kita.

Untuk pertanyaan seperti ini, saya mencoba memberi jawaban berdasarkan sedikit pengalaman saya. Menurut saya, membaca buku yang relatif memungkinkan kita untuk lebih kuat menghimpunnya dalam ingatan yang baik adalah dengan cara membaca-terfokus dengan titik tujuan yang jelas. Maksudnya, kita membaca buku dalam kerangka sebuah penelusuran atau upaya untuk menjawab pertanyaan tertentu—sesederhana apa pun.

Dengan menempatkan kegiatan membaca dalam kerangka maksud yang lebih luas, kita akan lebih mudah mengikat jalinan informasi yang kita peroleh dari berbagai sumber bacaan. Dari jalinan yang mungkin dapat dirajut itulah, saya pikir ingatan kita akan lebih mudah menyimpannya, karena di antara berbagai informasi yang diperoleh dari berbagai sumber itu ada titik-titik tertentu yang bisa saling dikaitkan.

Jawaban ini saya temukan berdasar dari pengalaman saya saat menyusun sebuah tulisan yang kadang relatif panjang. Atau saat saya berupaya mengumpulkan butir-butir informasi untuk menemukan sebuah gambaran yang relatif lebih besar dan utuh tentang suatu hal—misalnya saat hendak membahas tema tertentu di kelas atau di sebuah kesempatan diskusi.

Dalam situasi seperti itu, kegiatan membaca yang saya lakukan cukup jelas tujuannya. Ada satu target terfokus dari kegiatan membaca. Ada butir informasi yang cukup spesifik yang ingin saya kumpulkan dan rekatkan. Ada (beberapa) pertanyaan yang menggantung di benak saya sepanjang kegiatan membaca yang saya lakukan.

Pertanyaan atau target yang saya buat itu menurut saya berfungsi seperti akar pohon yang memudahkan air hujan untuk terserap ke bumi. Ia memberi jalan bagi informasi untuk terkumpul di titik yang lebih dalam.

Ini cukup berbeda dengan kala saya membaca sebuah buku tanpa satu konteks yang mengorientasikan dan mengaitkan kegiatan membaca saya dengan sesuatu yang lebih besar dan luas. Meski mungkin kegiatan membaca di sini tetap bermakna dan bermanfaat, tapi butir-butir informasinya kadang masih agak kesulitan untuk terikat dengan gugus pengetahuan lainnya. Bisa jadi karena gugus informasinya itu terlalu jauh secara masa maupun konteksnya.

Akhirnya, membaca-terfokus dengan titik tujuan yang jelas akan lebih berdampak bagi kuatnya ikatan informasi yang dihimpun apabila ditindaklanjuti dengan menulis. Ya, menulis. Pada dasarnya, kegiatan membaca dalam bentuknya yang paling sederhana pun akan lebih mudah terikat dan padu dalam pikiran jika kita menuliskannya. Apalagi kegiatan membaca itu kita lakukan dengan alur, fokus, dan target yang jelas.

Pada titik ini saya semakin yakin bahwa kegiatan membaca dan menulis memang harus dilakukan secara padu. Keduanya merupakan kegiatan yang saling menguatkan. Membaca tapi tidak menulis mungkin akan membuat pengalaman membaca atau hasil bacaan kita kurang tersusun secara rapi dalam pikiran. Sedangkan menulis tanpa bekal bacaan yang baik mungkin akan kurang mendalam.

Apa yang saya paparkan secara singkat di sini hanya berdasar pada pengalaman pribadi saya. Lebih dari itu, mungkin sekali ada cara-cara lain yang bisa dilakukan agar kegiatan membaca kita dapat lebih bermakna dan lebih padu dengan kegiatan lain dalam aktivitas kita sehari-hari.

Wallahu a‘lam.


Tulisan terkait:
>> Merawat Gairah Membaca


Read More..

Kamis, 19 November 2015

Pelajaran Bahasa


Bahasa apakah yang dapat menghubungkan seseorang dengan orang lain yang belum atau tidak bisa berbicara? Apakah memang mungkin ada komunikasi antara dua orang yang salah satunya belum atau tidak bisa berbicara?

Beberapa bulan ini, saat menemani anak saya bermain-main untuk waktu yang relatif lama, saya kadang berpikir tentang komunikasi yang tengah berlangsung di antara kami. Anak saya sekarang belum genap berumur 10 bulan. Kemampuan verbalnya belum seberapa. Dia belum bisa mengucapkan satu kata yang bermakna. Bisanya hanya mengoceh sesukanya.

Lalu saat saya bersamanya, menemaninya, sementara dia kadang sibuk sendiri dengan membongkar-bongkar barang yang sudah ditata di ruangan, apakah di antara kami sebenarnya ada jalinan komunikasi? Ada kalanya saya menggodanya dengan bermain semacam petak umpet. Atau saya memancing perhatiannya dengan barang yang bisa mengeluarkan bunyi tertentu. Bisa saja dia tersenyum memperlihatkan dua giginya yang tumbuh di bawah. Tapi kadang dia bergeming atau tetap dengan kesibukannya.

Saya tak bisa menjawab secara pasti bentuk komunikasi apa yang sebenarnya kami jalin. Kami kadang bersama untuk waktu yang cukup lama. Bisa 2 hingga 3 jam. Apa mungkin memang ada orang yang berada bersama di satu tempat tapi di antara mereka tidak terjalin komunikasi?

Di antara pertanyaan-pertanyaan yang datang dan tersimpan itu, saya lalu teringat salah satu bagian dalam buku Robert Frager, Obrolan Sufi. Frager menulis tentang pelayanan orangtua pada anaknya, bahwa itu adalah bagian dari pelajaran cinta, saat kita mulai belajar mengatasi narsisisme dan mengobati egoisme dan perhatian pada diri sendiri. Memiliki anak menurut Frager adalah terapi kejut versi Tuhan agar manusia belajar mencintai dengan tulus sehingga potensi jiwanya yang bersifat ilahi dapat tumbuh.

Jadi saya lalu berpikir bahwa ini adalah sebentuk komunikasi spiritual. Saya tidak tahu apakah ini bisa disebut dengan istilah komunikasi. Tapi mungkin bahwa dalam perjumpaan-tanpa-bahasa antara saya dan anak saya itu, saya sebenarnya sedang belajar bahasa cinta. Bukankah cinta adalah bahasa semesta?

Tadi pagi hingga siang, setelah sekitar empat hari tak berjumpa, saya kembali belajar bahasa itu. Saya menemaninya sambil saya menyalin beberapa berkas di komputer, juga sambil membuka-buka buku bacaan. Saya juga mendampinginya saat ia mulai menarik-narik jemuran kecil di serambi dalam rumah. Kadang ia berusaha berdiri di satu sisi dan melangkah ke samping sambil tangannya tetap meraih mencari pegangan. Bila saya menemaninya dengan tiduran, dia suka sekali menggunakan tubuh saya sebagai tempat latihannya berdiri.

Bahasanya kadang hanya dengan rengekan. Saya berusaha menerka. Kadang karena haus, kadang karena mengantuk. Saat saya menafsir, saat itu juga mungkin saya sedang berusaha perlahan belajar bahasa cinta.

Pertanyaan berikutnya, bagaimanakah pelajaran yang sedang saya ikuti ini nantinya akan berubah bentuk saat ia sudah bisa melafalkan kata-kata dan mengucapkan kalimat secara lengkap sesuai dengan kaidah bahasa? Di manakah pelajaran bahasa cinta itu akan termuat? Apakah bahasa semesta ini akan sirna perlahan dimakan rutinitas bahasa yang sudah sifatnya biasa?

Rasanya saya pantas khawatir bahwa pelajaran berharga ini bisa saja akan menghilang di kelas kehidupan saya. Lalu bagaimana saya dapat memastikan bahwa pelajaran ini dapat terus berlangsung dalam jalinan relasi antara saya dengan anak saya?

Read More..

Selasa, 10 November 2015

Kompetisi Inovasi di Balik Revolusi Teknologi

Judul buku: Apple vs Google: Perseteruan Korporasi Besar yang Melahirkan Revolusi Teknologi Digital
Penulis: Fred Vogelstein
Penerbit: Bentang Pustaka, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, Juni 2015
Tebal: viii + 372 halaman


Perseteruan dan persaingan merupakan hal yang menarik diikuti. Apalagi jika melibatkan subjek-subjek penting yang menjadi kunci perubahan masyarakat dan dunia.

Buku ini memaparkan persaingan keras dua perusahaan raksasa yang berperan penting dalam merevolusi kehidupan masyarakat saat ini: Apple dan Google. Disadari atau tidak, kedua perusahaan besar ini telah melahirkan sejumlah inovasi teknologi informasi yang membuat bentuk dan intensitas komunikasi dan pergaulan masyarakat mengalami perubahan yang luar biasa.

Fred Vogelstein, penulis buku ini, memulai kisah revolusioner oleh Apple dan Google dari latar dan detik-detik peluncuran iPhone oleh Apple pada tahun 2007. Setelah sukses dengan iPod, awal 2007 Steve Jobs mengumumkan bahwa Apple akan mencipta ulang telepon seluler bernama iPhone. Langkah Apple untuk masuk ke industri ponsel terbilang cukup berani. Kala itu, pembuat ponsel di Amerika sangat tergantung pada operator seluler karena ponsel dibundel dengan layanan seluler (hlm 32).

Namun, visi revolusioner iPhone menunjukkan hasil luar biasa. Dalam waktu 6 bulan pertama Apple sukses menjual 3,4 juta iPhone. Tahun berikutnya, Apple membangun toko aplikasi iTunes yang kemudian juga menjadi sumber pendapatannya.

Sementara itu, rencana Google untuk mengembangkan Android sebenarnya lebih dilatarbelakangi atas kekhawatiran Google atas seteru lamanya yakni Microsoft. Google khawatir Microsoft perlahan akan menyingkirkan mesin pencari Google dari ponsel berbasis Windows CE dan menggantikannya dengan mesin pencari produk Microsoft (hlm. 70).

Maka pada bulan Juli 2005, Google mengakuisisi Android dari Andry Rubin. Rencana besar Rubin saat itu, dengan digratiskan, Android sebagai sebuah sistem operasi (OS) akan menciptakan ekosistem perangkat lunak yang ujung-ujungnya dapat memberi keuntungan bagi Google (hlm. 74-75).

Saat itu Google sebenarnya tengah menjalin kerja sama dengan Apple untuk menyuplai iPhone dengan aplikasi andalan Google. Apple dan Google bersatu untuk melawan dominasi Microsoft. Namun, perkembangan di Android pada akhirnya membuat Apple dan Google saling berhadapan secara sengit.

Ketika ponsel Android pertama diluncurkan pada September 2008, Jobs marah. Meski tak ada kehebohan saat rilis Android, Jobs dapat melihat potensi kompetitif Android. Lebih dari itu, Apple merasa dikhianati karena Google masuk ke wilayah kerjanya. Kemarahan Jobs terbukti. Pada 2010, Android meledak. Pada akhir 2010, ada hampir dua ratus model ponsel Android di lima puluh negara (hlm. 189).

Apple menanggapi demam Android dengan iPad yang dijual pertama pada April 2010. Sekali lagi, Jobs berani mengambil risiko dengan iPad. Komputer tablet telah beberapa kali berusaha dibuat tapi selalu gagal. Namun iPad ternyata sungguh berbeda (hlm. 229).

Perseteruan Apple vs Google semakin memanas dengan pengajuan gugatan oleh Apple atas sejumlah perusahaan pembuat ponsel berbasis Android, seperti Samsung, HTC, dan Motorola. Yang paling heboh adalah kasus Apple vs Samsung pada 2012 yang dimenangi oleh Apple. Samsung diharuskan membayar ganti rugi $1 miliar meski tergugat masih mengajukan keberatan atas putusan ini.

Kisah perseteruan Apple vs Google dalam buku ini tersaji dengan data yang sangat lengkap yang di antaranya belum pernah disiarkan. Selain itu, gaya tutur Vogelstein sangat memikat. Pada banyak bagian, aspek dramatis persaingan Apple vs Google tersaji bak novel yang bisa membuat pembaca ikut tegang dan mungkin emosional.

Bagi mereka yang terjun di dunia kreatif, buku ini juga menggambarkan secara cukup detail proses kelahiran inovasi revolusioner dari rahim Apple dan Google. Lingkungan kerja yang tak biasa di Google, disiplin dan kerja keras yang luar biasa di Apple, keberanian menghadapi risiko dan pola pikir tak lazim, semuanya adalah beberapa kunci penting yang dapat tersimpul dari narasi di buku ini.

Selain itu, buku ini secara tidak langsung juga memberikan gambaran tentang tantangan era informasi yang kian kompleks. Revolusi teknologi digital yang dihasilkan oleh inovasi Apple dan Google benar-benar telah mengubah banyak aspek penting dalam kehidupan saat ini, seperti dalam cara orang belajar dan mengakses informasi, cara berkomunikasi, dan menikmati hiburan. Terkait hal itu, buku ini secara tidak langsung juga bisa mengajak pembaca untuk menjadi pribadi dan konsumen yang kritis di antara berbagai produk teknologi dan perubahan yang mengikutinya.


Versi yang sedikit diperpendek dimuat di Koran Jakarta, 10 November 2015
.


Read More..

Minggu, 08 November 2015

Memburu Harta yang Berkah


Judul buku: Belajarlah kepada Lebah dan Lalat: Langkah Cerdas Mendapatkan Kekayaan dan Keberkahan Hidup
Penulis: K.H. Agoes Ali Masyhuri
Penerbit: Zaman, Jakarta
Cetakan: Pertama, Juni 2015
Tebal: 238 halaman


Hidup yang berharga adalah hidup yang mendatangkan kebaikan untuk diri sendiri maupun sesama. Itulah hidup yang berkah. Hidup yang berkah dijelaskan dengan ilustrasi bahwa segala yang diperoleh dalam hidup, baik itu harta, ilmu, keluarga, usia, dan sebagainya, memberi nilai tambah bagi berbagai bentuk kebaikan.

Buku yang ditulis oleh Gus Ali, panggilan akrab KH Agoes Ali Masyhuri (pengasuh International Islamic Boarding School Bumi Shalawat Progresif Sidoarjo) ini memuat esai-esai reflektif tentang menapaki jalan hidup yang berkah. Secara khusus Gus Ali memfokuskan uraiannya pada soal kekayaan yang dapat mengantar pada hidup yang berkah.

Dalam membahas masalah ini Gus Ali menggunakan sudut pandang keagamaan yang bersifat esoteris (tasawuf). Di bagian awal, Gus Ali menyentakkan pembaca dengan beberapa hal mendasar, yakni bahwa Allah itu sungguh-sungguh Maha Pemberi Rezeki. Gus Ali memberi ilustrasi kehidupan dunia binatang yang saling memberi dukungan dalam keberlangsungan kehidupannya.

Selain itu, Gus Ali juga memaparkan bentuk-bentuk rezeki baik yang bersifat lahiriah maupun batiniah. Ini mengantarkan pada kesimpulan bahwa manusia itu sesungguhnya diciptakan untuk kaya. Jika binatang saja dapat mencukupi kebutuhannya dengan baik, apalagi manusia yang memiliki banyak potensi diri yang dapat memudahkan usahanya untuk mendapatkan rezeki atau kekayaan.

Gus Ali juga menambahkan bahwa Allah telah menciptakan segala sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia sebelum Dia menciptakan manusia. Jalan menuju rezeki dan kekayaan telah disediakan (halaman 21). Meski manusia diciptakan untuk kaya, ada satu penghambat utama yang juga dimiliki manusia, yakni bahwa manusia itu suka menganggur dan malas.

Albert Camus menyatakan bahwa pengangguran adalah santapan bagi setan. Senada dengan itu, Imam Syafii juga mengingatkan bahwa jika kita tidak menyibukkan diri dengan kebaikan, kita akan disibukkan dengan kebatilan (halaman 45-46). Dengan mengambil teladan yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW Gus Ali menegaskan bahwa kerja itu adalah ibadah.

Lebih dari sekadar sesuatu yang bersifat personal, Gus Ali menegaskan bahwa bekerja itu adalah bentuk kontribusi nyata seseorang bagi pembangunan peradaban. Pada titik ini, Gus Ali seperti hendak menegaskan bahwa hidup yang berkah itu juga adalah hidup yang memberi sumbangan kebaikan bagi sesama.

Ilustrasi sederhana tentang kekayaan yang memberi keberkahan hidup itu digambarkan dengan ibarat lebah dan lalat. Lebah tidak sembarang dalam mencari makan, juga dalam membangun rumahnya. Selain itu, lebah tidak suka mengganggu makhluk hidup lain, malahan madu yang dihasilkan lebah memberi manfaat kepada banyak makhluk lain. Ini berbeda dengan lalat yang sembarangan dalam mencari makan.

Ia hinggap pada makanan di dapur, tapi juga tak masalah untuk hinggap di tempat sampah atau bahkan pada bangkai dan kotoran manusia. Karena itu, bagi manusia lalat identik dengan penyebaran penyakit. Dalam menjelaskan tentang cara memperoleh kekayaan yang berkah, Gus Ali menggunakan kerangka keagamaan, yakni bahwa semuanya harus berlandaskan nilai dan ajaran agama.

Artinya, bekerja itu mulai dari cara memilih sumbernya, proses mendapatkannya, hingga penggunaannya harus diliputi oleh nilai agama sebagai panduan moral hidup. Karena itu, dalam mem-buru kekayaan yang berkah, dalam bekerja kita harus memulai dengan selalu ingat (zikir) kepada Allah dan diliputi oleh semangat takwa.

Setelah berusaha dengan bekerja, kita juga harus rida dengan apa yang dianugerahkan Allah kepada kita. Ini adalah sikap dasar. Dalam bentuk laku konkret, agama mendorong agar kita bangun pagi-pagi benar untuk bekerja (etos), juga untuk berbagi rezeki yang diperoleh pada orang lain (halaman 84, 92).

Jika kerangka kebajikan agama memberi keberkahan hidup maka demikian pula sebaliknya. Hal-hal yang membuat kekayaan tidak berkah adalah hal-hal yang berseberangan dengan agama. Misalnya berbuat curang dalam berbisnis atau aniaya kepada orang lain, atau enggan bersedekah karena takut harta akan habis (halaman 109).

Buku ini bernilai penting karena kerangka keimanan dalam melihat kekayaan dan kerja akan menjadi panduan moral yang dapat menjadi penjamin mutu bagi keberkahan kekayaan itu sendiri. Jika kita belakangan melihat orang-orang kaya, tapi menjalani hidup yang hampa, sangat mungkin itu karena keberkahan tercabut dari hartanya.


Tulisan ini dimuat di Koran Sindo, 25 Oktober 2015.


Read More..

Senin, 19 Oktober 2015

Merawat Gairah Membaca


Mendapatkan sesuatu itu bisa jadi cukup mudah. Yang lebih sulit dari itu adalah mempertahankannya. Demikian kurang lebih ungkapan bijak yang pernah saya dengar. Benar, merawat sesuatu itu justru sering lebih sulit daripada mendapatkannya.

Membaca termasuk dalam masalah ini. Saat godaan kegiatan hidup sehari-hari semakin banyak, tidak mudah rasanya untuk mempertahankan gairah membaca. Apalagi jika levelnya masih berusaha untuk membentuk dan mengokohkan gairah membaca.

Saya sebenarnya masih belum merasa sebagai orang yang punya gairah membaca yang sangat baik. Saya tidak bisa bertahan sangat lama membaca buku, tidak seperti beberapa orang yang saya kenal yang bisa betah berjam-jam menekuri halaman-halaman buku. Satu jam membaca buku tanpa diselingi kegiatan lain bagi saya terasa cukup berat.

Biasanya saya menyelingi dengan kegiatan lain sekadar untuk mengambil jeda. Mungkin ini juga terkait dengan kemampuan dan daya tahan mata saya yang terganggu akibat kecelakaan dijatuhi kayu pada saat berusia 13 tahun.

Saat menyadari betapa masih banyak buku-buku penting di bidang yang saya minati yang masih belum saya baca, saya jadi berpikir bagaimana caranya agar kegiatan membaca ini bisa lebih terjaga demi mengokohkan dan merawat gairah membaca saya.

Kesadaran ini muncul bersamaan dengan perkenalan saya dengan media sosial khusus untuk pembaca buku, yakni Goodreads. Saat memasukkan judul-judul buku yang pernah saya baca tuntas, ternyata jumlahnya tidak sebanyak yang saya bayangkan. Sejak itulah saya berusaha membangun komitmen membaca secara lebih konsisten.

Teknisnya bagaimana? Dengan mempertimbangkan berbagai kegiatan saya yang lain, saya kemudian meneguhkan niat untuk minimal dalam satu tahun bisa menamatkan 12 judul buku. Artinya, satu bulan khatam satu buku. Agar lebih mudah, perhitungannya saya mulai sejak awal tahun. Setelah menamatkan membaca satu buku, saya catat data dan tanggal selesainya di Goodreads.

Bila ada hari-hari atau pekan-pekan yang sudah padat dengan berbagai kegiatan atau tugas kependidikan, biasanya saya akan cukup kesulitan untuk menamatkan satu buku. Kesibukan macam ini bisa berlangsung selama satu, dua, atau tiga bulan. Saya butuh jeda waktu yang cukup tenang untuk bisa menyelesaikan buku secara utuh.

Kadang juga faktornya terkait dengan pilihan buku. Gairah membaca, dalam pengalaman saya, sering terkait dengan pilihan buku yang disiapkan untuk dibaca. Ada jenis buku tertentu yang dapat lebih mudah memantik gairah membaca, bahkan di saat kesibukan cukup padat. Misalnya, saat menuntaskan buku Misteri Berserah Kepada Allah karya Ibn ‘Athaillah al-Sakandari (Penerbit Zaman) yang merupakan terjemahan dari kitab al-Tanwir fi Isqath al-Tadbir, yang saya baca di bulan September lalu. Juga buku Apple vs Google karya Fred Vogelstein terbitan Bentang yang saya baca Agustus lalu.

Komitmen mengkhatamkan buku minimal 12 judul dalam setahun cukup membantu untuk mengingatkan dan mendorong saya jika pada titik waktu tertentu target yang dipatok tampak mengkhawatirkan. Pada situasi seperti ini, kadang saya mengambil langkah pragmatis: saya memilih buku yang cukup tipis asal temanya masih masuk dalam bidang minat bacaan saya.

Dalam memenuhi target bacaan, saya juga berusaha mempertimbangkan variasi jenis buku. Misalnya, saya berusaha agar dalam satu tahun ada buku teks yang dapat menjadi rujukan tulisan ilmiah yang saya tuntaskan secara utuh.

Dengan target yang cukup sedikit itu, saya berusaha pilihan buku untuk buku-target ini bisa relatif ideal. Artinya, saya berusaha memilih buku yang bergizi, buku yang dikerjakan dengan cukup baik dan sungguh-sungguh, atau memiliki keunggulan yang lain. Kadang ada juga buku yang ternyata setelah dibaca jauh dari harapan karena isinya cukup bermasalah.

Ya, cukup banyak suka duka atau hal-hal yang saya temukan seiring dengan upaya membangun komitmen membaca ini pada beberapa tahun terakhir. Yang jelas, di kesadaran saya, sampai saat ini masih tertanam kuat bahwa masih banyak buku bermutu, buku legendaris, atau buku babon di bidang minat bacaan atau keilmuan saya yang masih menjadi target.

Tapi ternyata saya tidak sendiri. Ada, atau mungkin banyak, orang lain yang juga punya kegelisahan yang sama. Beberapa bulan lalu, saat Seno Gumira Adjidarma berkunjung ke Annuqayah untuk sebuah acara diskusi, dia juga menuturkan bahwa dia masih belum tuntas membaca beberapa karya sastra dunia terkemuka yang mestinya dia baca.

Jadi ini menjadi semacam hiburan buat saya. Tapi tentu, hiburan ini bisa menipu dan bisa melenakan jika saya kemudian jadi melupakan niat dan komitmen saya untuk merawat gairah membaca ini.

Namun demikian, saya juga perlu menggarisbawahi bahwa urusan membaca ini baru satu hal. Hal lain yang lebih penting juga masih banyak, seperti mengamalkan apa yang saya baca, membagikan apa yang saya baca kepada orang-orang di sekitar, dan sebagainya. Untuk hal-hal yang disebut terakhir ini, saya pikir saya juga sangat perlu membangun strategi untuk menguatkan tekad agar bisa mewujudkannya.


Read More..

Minggu, 04 Oktober 2015

Teladan Sultan Para Wali

Judul buku: Syekh Abdul Qadir Al-Jailani: Biografi Sultan Para Wali
Editor: Syekh Tosum Bayrak & Saleh Ahmad al-Syami
Penerbit: Zaman, Jakarta
Cetakan: Pertama, 2015
Tebal: 250 halaman
ISBN: 978-602-1687-49-9


Di kehidupan komunitas muslim Indonesia sehari-hari, nama Syekh Abdul Qadir al-Jailani sangat terkenal. Hal ini tidak saja karena dia adalah pendiri Tarekat Qadiriyah yang punya banyak pengikut di seluruh penjuru dunia, termasuk di Indonesia. Syekh Abdul Qadir juga menyandang gelar Sultan Para Wali. Karena itu, di pembukaan acara-acara doa bersama, masyarakat muslim tradisional Indonesia sering tidak lupa untuk turut mendoakan Syekh Abdul Qadir.

Dalam kepercayaan muslim tradisional, para wali (seperti Wali Songo yang sangat populer di Indonesia) dihormati karena mereka dipandang menyandang karamah dan menjadi penghubung silsilah keimanan mereka pada Islam. Lebih dari itu, para wali juga menjadi saluran “penghubung” (wasilah) spiritualitas dan doa pada Allah swt.

Buku ini memuat biografi singkat Syekh Abdul Qadir al-Jailani yang ditulis oleh Syekh Tosum Bayrak dan Saleh Ahmad al-Syami. Selain biografi, buku ini juga memuat petikan terpilih dari karya-karya al-Jailani.

Al-Jailani hidup hampir persis sezaman dengan Imam al-Ghazali (450-505). Dia dilahirkan di al-Jil atau Jailan yang kini termasuk wilayah Iran pada tahun 470 dan meninggal pada tahun 562 dalam usia 92 tahun (hlm. 16, 71).

Pendidikan keagamaan dan spiritualitasnya diperoleh di Bagdad yang ketika itu menjadi pusat peraban Islam di masa Dinasti Abbasiyah. Al-Jailani tiba di Bagdad ketika ia berusia 18 tahun. Pada saat yang sama, al-Ghazali meninggalkan kota Bagdad di tengah krisis spiritual yang dialaminya.

Ada kisah menarik saat al-Jailani dalam perjalanan ke Bagdad. Dengan bekal harta peninggalan ayahnya yang juga dibagi dengan saudaranya, al-Jailani berangkat ke Bagdad dengan 40 keping emas. Sebelum berangkat, ibunya berpesan agar al-Jailani senantiasa jujur. Nah, di tengah perjalanan, rombongan al-Jailani dicegat oleh perampok. Dengan polos, al-Jailani memberi tahu bahwa ia membawa 40 keping emas di balik bajunya.

Setelah menggeledah dan membuktikan pengakuan al-Jailani, si perampok malah terkejut dan tertegun. Yang luar biasa, para perampok itu justru terilhami untuk bertobat. Oleh para penafsir kisah orang-orang suci, ini disebut sebagai pertanda keberkahan al-Jailani untuk menuntun orang ke jalan kebaikan (hlm. 18-19).

Sebelum memasuki kota Bagdad, al-Jailani dikisahkan dicegat oleh Nabi Khidir dan memberinya jalan pada penempaan spiritual di pinggiran kota Bagdad selama 6 tahun. Setelah lewat 6 tahun, mulailah al-Jailani belajar di Bagdad. Guru spiritual al-Jailani adalah Syekh Hammad ibn Muslim al-Dabbas. Ia juga belajar ilmu-ilmu agama kepada Ali Abul Wafa al-Qayl, Qadhi Abu Sa’id al-Mubarak ibn Ali al-Muharrimi, dan sebagainya. Dari yang terakhir inilah al-Jailani dianugerahi jubah darwis, simbol silsilah spiritualitas yang tersambung ke Nabi (hlm. 27-28).

Saat al-Jailani menerima banyak murid dan menjadi guru ruhani bagi mereka, al-Jailani memberikan teladan spiritual yang luar biasa. Dikisahkan bahwa al-Jailani pernah bertutur tentang dua belas sifat sebagai kriteria guru ruhani sejati. Dua di antaranya adalah menyembunyikan aib manusia dan bersedia memberi maaf untuk orang lain (hlm. 35). Sikap yang sangat lembut ini dilapisi dengan keikhlasan dan tawaduk yang luar biasa sehingga tak heran hingga sekarang banyak orang yang percaya akan keberkahan yang dipancarkan al-Jailani.

Hidup di tengah kota Bagdad yang menjadi pusat kekuasaan tidak membuat al-Jailani menjadi penjilat. Ia dikenal tak pernah berusaha mendekat apalagi berteman dengan penguasa. Dikisahkan bahwa ia tak pernah memberi penghormatan berlebihan pada penguasa yang melebihi penghargaan dan penghormatannya pada orang-orang biasa.

Ini menegaskan sikap para kaum spiritualis yang memandang kehidupan dunia dengan berbagai godaannya, seperti harta, kedudukan atau kekausaan, dan popularitas, sebagai potensi penghalang bagi tersucikannya diri.

Namun demikian, bukan berarti al-Jailani antidunia. Menurut al-Jailani, dunia haruslah dikejar sebagai kebutuhan pokok saja. Kebutuhan terhadap dunia, bagi al-Jailani, hanyalah sebatas bekal orang yang bepergian (hlm. 151). Ini berdasar pada pandangan bahwa dunia hanyalah sementara, sedang tujuan dari perjalanan adalah akhirat.

Al-Jailani memang tidak menulis banyak karya tulis. Ada 3 karya yang disepakati dinisbahkan kepadanya, yakni al-Gunyah, al-Fath al-Rabbani, dan Futuh al-Ghayb (hlm. 80). Namun demikian, al-Jailani penting dan berpengaruh terutama bukan lantaran karyanya tapi karena inspirasi keteladanan dalam hal spiritualitasnya.

Dalam konteks seperti itulah maka buku ini menjadi menarik dan penting untuk dibaca. Teladan orang-orang suci seperti al-Jailani yang memberi keteduhan dalam beragama dan merangkul mereka yang tersesat untuk kembali ke jalan kebaikan sangatlah penting untuk terus disampaikan, agar agama senantiasa tampak sebagai jalan yang memberi terang.


Tulisan ini dimuat di Harian Radar Madura, 4 Oktober 2015.


Read More..

Kamis, 03 September 2015

Ihwal Pembangunan


Melalui proses yang mungkin jarang diperhatikan, sebuah kata terkadang menjadi mantra. Maknanya dipahami begitu saja sebagaimana biasa dan apa yang tersimpul di balik makna kata itu dalam kehidupan yang nyata dipandang benar dan wajar adanya.

Sesekali, mari kita cubit nalar kita sedikit agar ia tidak lelap di antara sihir kerutinan hidup yang terus menguasai kita.

Misalnya tentang kata “pembangunan.” Secara kebahasaan, kata “pembangunan” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti “proses, cara, perbuatan membangun.” Ia dipandang menggambarkan sesuatu yang baik—bahkan kadang harus dilakukan. Tapi apa jadinya jika kata “pembangunan” telah menjadi mantra?

Tadi siang, saat melintas di jalan menuju rumah saya di Desa Taro’an, Tlanakan, Pamekasan, saya melewati jalan yang sedang diperbaiki. Beberapa bulan lalu, jalan beraspal selepas kota Pamekasan menuju rumah saya ini penuh lubang. Persisnya, kerusakan parah ada di titik 3 kilometer menjelang rumah. Tapi sejak beberapa hari yang lalu jalan ini mulai diperbaiki. Ada beberapa kendaraan berat yang bekerja sepanjang hari. Truk-truk besar lalu-lalang mengangkut kerikil dan seperti pasir kasar yang digunakan untuk mempertinggi jalan.

Lebih dari itu, jalan yang sejak pertama kali saya lewati di akhir 2013 tak pernah diperbaiki itu tampaknya juga akan diperlebar, termasuk juga di sebelum jalan yang aspalnya rusak berat. Tanda-tanda pelebaran itu tampak dari pohon-pohon yang ditebang di kanan kiri jalan. Batang-batang pohon rebah di atas tanah.

Inilah poin yang ingin saya bicarakan. Pengaspalan jalan, termasuk pelebaran jalan, tentu saja adalah contoh dari apa yang disebut “pembangunan.” Orang-orang, termasuk saya tentunya, akan menikmati jalan yang nantinya akan nyaman dan lebar ini. Namun demikian, jika pembangunan harus meminta tumbal berupa ditebangnya pepohonan yang di antaranya sudah cukup rindang itu maka ini sudah dianggap biasa dan wajar.

Memang betul, segala sesuatu bisa memuat risiko. Ini adalah risiko pembangunan, tepatnya pelebaran jalan. Pohon-pohon yang tumbang itu, yang untuk bisa rimbun dan rindang tidak bisa disulap dalam waktu semalam, adalah harga yang harus dibayar untuk jalan yang nyaman dan lebar.

Namun jika “pembangunan” tidak kita inginkan sebagai serupa mantra, maka kita harus berpikir tentang risiko atau tumbal yang diakibatkannya. Artinya, pohon-pohon itu mestinya benar-benar kita pertimbangkan.

Sayang pepohonan itu tak bisa berbicara atau menggugat atas posisinya sebagai risiko pelebaran jalan. Jika pepohonan itu menjadi seperti Ent di trilogi The Lord of the Rings, mereka mungkin akan menunjukkan bahwa makna “pembangunan” bisa memberi sesuatu yang mungkin akan merugikan.


Read More..

Jumat, 28 Agustus 2015

Kosmopolitanisme Islam ala Gus Nadir

Judul Buku: Dari Hukum Makanan Tanpa Label Halal hingga Memilih Mazhab yang Cocok
Penulis: Prof. H. Nadirsyah Hosen, Ph.D.
Penerbit: Mizania, Jakarta
Cetakan: Pertama, Juni 2015
Tebal: xliv + 228 halaman


Ada anggapan bahwa hukum Islam itu kaku dan cukup sulit beradaptasi dengan perkembangan dunia. Melalui buku ini, Gus Nadir, panggilan akrab Prof. H. Nadirsyah Hosen, Ph.D., membuktikan bahwa anggapan itu keliru.

Buku ini sebagian besar berisi tanya-jawab tentang hukum Islam dengan mengambil latar situasi masa kini dan dunia global. Bertolak dari pengalaman tinggal di Australia selama 18 tahun, Gus Nadir mengangkat masalah-masalah sederhana di bidang hukum Islam yang biasa dialami sehari-hari di kehidupan modern, terutama di luar negeri.

Misalnya tentang hukum makanan tanpa label halal. Umat Islam yang pernah tinggal di luar negeri pasti akan merasakan masalah mencari makanan halal. Di Eropa, umat Islam biasanya akan berbelanja di toko-toko muslim Maroko atau Turki. Memang ada juga daging yang diberi label halal. Tapi bagaimana hukum daging tanpa label halal?

Dalam buku ini, Gus Nadir mengangkat kegelisahan seorang muslim Indonesia yang belajar di Australia tentang daging yang dibelinya di supermarket biasa dan tanpa label halal. Sebagian rekannya yang juga muslim jadi ragu untuk menikmati hidangan yang dibuatnya.

Atas situasi ini, Gus Nadir, yang memiliki 6 gelar akademik di bidang hukum dan hukum Islam, menjelaskan dengan cukup teperinci, termasuk dari sudut pandang beberapa mazhab hukum Islam. Misalnya, ada yang mewajibkan secara mutlak agar sembelihan itu dilakukan dengan menyebut nama Allah (basmalah). Namun begitu, Imam Syafi’ie memberi hukum sunnah. Yang dilarang adalah menyembelih dengan menyebut selain nama Allah karena itu seolah-olah berarti mempersembahkan sembelihan kepada selain Allah.

Ada lagi kisah yang agak lucu tapi bagi mereka yang pernah hidup di luar negeri pasti sudah terbiasa mengalaminya. Di luar negeri, selain di masjid, cukup sulit menemukan tempat berwudu seperti di Indonesia karena toilet yang ada berjenis toilet kering. Jadinya, jika berwujud di wastafel, seorang muslim harus mengangkat kakinya saat membasuh kaki. Selain terlihat geli, ini juga membuat lantai menjadi basah atau becek.

Gus Nadir menjelaskan bahwa dalam menerapkan syariat, Islam berprinsip untuk memudahkan pelaksanaan ajaran tertentu dalam situasi khusus seperti dalam kasus di atas. Untuk masalah ini, Gus Nadir merujukkannya pada contoh yang diberikan Rasulullah yang memperbolehkan mengusap khuff (sesuatu yang menutupi kaki sampai mata kaki baik berupa sepatu atau kaos kaki) saat berwudu. Nabi melakukan ini baik dalam status bermukin maupun saat di perjalanan. Tentu saja ada syarat dan ketentuan tertentu dan hal lain mengatur hal ini yang diuraikan dengan baik oleh Gus Nadir.

Selain masalah yang spesifik berkaitan dengan hukum Islam, Gus Nadir juga memaparkan tentang masalah keislaman secara umum, seperti ucapan selamat natal, mencari fatwa keagamaan (termasuk bertanya via Google), penghinaan terhadap Nabi Muhammad, dan sebagainya.

Gus Nadir juga mengangkat masalah Islam di Australia. Sebagaimana di masyarakat Barat Kristen pada umumnya, Islam kadang memang disalahpahami di Australia. Misalnya, pada tahun 2005, Menteri Pendidikan Australia, Brendan Nelson, menyarankan agar sekolah Islam di Australia mengadopsi Simpson values atau jika tidak they should “clear off”. Simpson values ini adalah nilai-nilai kepahlawanan yang merujuk pada legenda John Simpson Kirkpatrick (w. 1915).

Gus Nadir, yang kini mengajar di Fakultas Hukum Monash University, Australia, menyesalkan kecurigaan dan miskomunikasi Barat yang bahkan terjadi di kalangan pejabat teras ini. Nelson, tulis Gus Nadir, rupanya tidak tahu tentang kisah kepahlawanan tokoh muslim seperti Shalahuddin al-Ayyubi yang legendaris yang mencerminkan nilai-nilai Islam yang tak jauh berbeda dengan Simpson values yang dimaksud. Yang terjadi, lanjut Gus Nadir, bukanlah the clash of civilization, tapi the clash of ignorance.

Dari kasus-kasus hukum Islam sehari-hari dan politik di Australia pada khususnya, Gus Nadir dengan penguasaannya yang mendalam atas khazanah Islam klasik dalam buku ini berhasil menunjukkan wajah kosmopolitanisme Islam: bahwa dalam hal hukum, syariat Islam itu tidaklah kaku dan dapat hidup dengan selaras di era modern. Selain itu, Islam juga membawa nilai-nilai agung yang sangat relevan dan kontekstual hingga kini.

Penyampaiannya yang bersifat populer, yakni bermodel naratif dan penuh dengan dialog, membuat buku yang ditulis oleh lulusan Pesantren Buntet Cirebon putra almarhum Prof. K.H. Ibrahim Hosen ini renyah dicerna. Meski demikian, dengan referensi yang kaya dan otoritatif, jelaslah bahwa buku ini bukan karya sembarangan dan tak boleh disepelekan.


Tulisan ini dimuat di Koran Madura, 28 Agustus 2015.

Read More..

Kamis, 27 Agustus 2015

Senjata Orang-Orang Mukmin

Judul buku: Kitab Doa Tertua: Al-Ma’tsurat
Penulis: Abu Bakr al-Thurthusyi al-Andalusi
Penerbit: Zaman, Jakarta
Cetakan: Pertama, 2015
Tebal: 478 halaman


Bagi seorang yang beriman, doa menjadi kunci penting dalam mengarungi tantangan hidup. Doa tidak saja memberi jawaban atas masalah keduniawian tapi juga atas masalah keakhiratan.

Buku ini adalah kitab klasik karya seorang ulama terkemuka dari Andalusia (Spanyol), yakni Abu Bakr al-Thurthusyi al-Andalusi (w. 520 H.). Buku memberi uraian yang sangat lengkap tentang doa, meliputi pengertian, manfaat, tata cara atau panduan, dan contoh-contoh doa Nabi yang semuanya bersumber dari rujukan otoritatif.

Doa pada dasarnya menjadi bagian pokok dari agama sehingga bernilai sangat penting bagi pemeluknya. Seorang mukmin adalah hamba Allah yang membaktikan seluruh hidupnya sebagai ibadah atau penghambaan kepada Allah. Erat dengan status seorang mukmin sebagai hamba, doa menurut Abu Bakr bisa bermakna penyembahan atau juga penghambaan (‘ibadah). Selain itu, doa juga bisa bermakna permintaan tolong (isti‘anah), memohon dan meminta, atau juga berarti panggilan.

Doa menjadi penanda penghayatan seorang mukmin. Dalam surah al-A‘raf ayat 55, setelah memberi perintah untuk berdoa, di akhir ayat Allah menyebutkan bahwa Dia tidak menyukai orang yang melampaui batas. Al-Qurthubi kemudian menafsirkan bahwa yang dimaksud orang yang melampaui batas adalah orang yang enggan berdoa. Keengganan untuk berdoa dipandang identik dengan kesombongan atau bahkan sikap menentang.

Dalam pengertian memohon atau meminta, doa adalah sebentuk komunikasi manusia dengan Tuhan. Karena itu, agar lebih sempurna, ada tata cara tertentu yang mesti diperhatikan. Ada yang berkaitan dengan sikap batin. Misalnya, sebelum berdoa, seseorang harus merendahkan dan memasrahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan. Demikian pula, harus ada kebulatan tekad dan optimisme selain rasa khusyuk. Bahkan, teladan dari para nabi, rasul, wali, dan orang saleh mengajarkan bahwa sebelum berdoa, kita memulai dengan bertobat atas maksiat dan pelanggaran yang telah diperbuat.

Tata cara berdoa yang bersifat lahiriah misalnya sebaiknya kita berdoa dengan suara lirih atau pelan. Ini seperti yang dikisahkan al-Qur’an saat Nabi Zakariya berdoa agar mendapatkan keturunan. Selain itu, berdasarkan hadis, berdoa dilakukan sambil menengadahkan tangan.

Dalam melafalkan doa, telah lazim diketahui bahwa sebaiknya dimulai dengan memuji dan mengagungkan Tuhan, kemudian dilanjutkan dengan mengucapkan shalawat atas nabi-Nya. Sementara itu, terkait redaksi doa, dikatakan bahwa memohon dengan cara halus lebih baik daripada terang-terangan sebagaimana telah banyak dicontohkan oleh para nabi, seperti Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa, dan yang lainnya.

Sebagian ulama berpendapat bahwa memuji kepada Tuhan itu lebih utama daripada sekadar berdoa. Ini yang misalnya dapat kita temukan dalam kisah Nabi Yunus yang ditelan ikan besar. Al-Qur’an surah al-Anbiya’ ayat 87 merekam apa yang dibaca Nabi Yunus. Dari bacaan itu, kita melihat bahwa yang dilakukan Nabi Yunus bukan memohon, tapi mengesakan dan menyucikan Tuhan serta mengakui kesalahannya.

Abu Bakr menulis bahwa Allah telah memuliakan umat Nabi Muhammad saw dengan diturunkannya surah al-Fatihah yang sangat istimewa. Surah ini menjadi contoh yang sangat baik tentang doa karena paruh awalnya memuat pujian dan pengagungan, dan separuh sisanya memuat doa.

Abu Bakr juga menguraikan tentang waktu-waktu yang mustajab untuk berdoa. Berdasarkan keterangan beberapa hadis, disebutkan bahwa di antara waktu yang mustajab adalah tengah malam, hari jum’at, antara azan dan iqamat, setelah shalat fardu, malam lailatul qadar, dan hari ‘Arafah.

Lebih dari separuh buku yang aslinya berjudul al-Du‘a’ al-Ma’tsur wa Adabuhu wa Ma Yajibu ‘ala al-Da‘i Ittiba‘uhu wa Ijtinabuhu ini memuat doa-doa yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. Ada banyak contoh doa, mulai dari yang sifatnya umum seperti tasbih, tahmid, tahlil, dan takbir, atau juga doa yang sifatnya spesifik atau terkait dengan hal tertentu. Ada doa ketika mendengar azan, masuk rumah, mendengar kokok ayam, ditimpa kesusahan, digigit binatang beracun, naik kendaraan, ketika terkejut, dan sebagainya.

Melimpah dan beranekanya contoh doa Nabi ini di satu sisi menegaskan makna spiritual doa bagi seorang mukmin. Ini memberi gambaran ideal bahwa kehidupan seorang mukmin harus selalu diliputi oleh kepasrahan dan kebergantungan pada Zat Yang Mahakuasa yang kemudian terekspresikan melalui doa.

Keunggulan buku ini tidak saja terletak pada sumber rujukannya yang otoritatif, tapi juga pada kelengkapan uraiannya tentang berbagai segi doa. Selain itu, dalam menguraikan doa-doa Nabi, juga dijelaskan latar peristiwa yang ada di balik doa-doa tersebut.


Tulisan ini dimuat di Kabar Madura, 27 Agustus 2015.

Read More..

Senin, 27 Juli 2015

Harga Gila


Dalam situasi apa Anda merasa tertipu saat berbelanja? Saya punya pengalaman buruk berbelanja yang baru terasa setelah saya tiba di rumah. Saat memeriksa struk belanja di rumah karena akan saya salin ke dalam catatan pengeluaran yang biasa saya tulis di komputer, saya tersadar bahwa ternyata harga yang saya bayarkan untuk barang tertentu ternyata sungguh gila!

Kok bisa ada harga gila? Harga gila yang saya maksud adalah harga yang tidak wajar, yakni jauh melebihi harga biasanya di tempat belanja yang berbeda. Kebetulan, barang yang saya beli tadi juga saya beli 10 hari sebelumnya di tempat yang berbeda. Saya sangat jengkel karena harganya jauh berbeda.

Bayangkan! Di toko tempat tadi pagi saya berbelanja, harga satuan barang A tercatat Rp 7.300,-. Padahal, di toko yang lain, 10 hari yang lalu saya membelinya dengan harga satuan Rp 5.000,-! Sementara itu, untuk barang B, tadi pagi saya membeli dengan harga satuan Rp 6.300,- sedangkan untuk barang yang sama 10 hari lalu saya membelinya dengan harga Rp 4.200,-!

Para pembaca yang budiman. Anda mungkin pernah mengalami hal serupa dan mungkin juga mengetahui bahwa ada toko tertentu yang memang menjual beberapa barang dengan harga yang lebih mahal. Tapi perbandingan beda harga yang saya temukan ini sungguh terlalu jauh: dua barang itu lebih mahal 46% dan 50%! Gambarannya, untuk barang B, di toko tempat tadi pagi saya berbelanja Anda akan mendapatkan 2 barang, sedangkan di tempat lain Anda bisa mendapatkan 3 barang!

Memangnya di mana tadi pagi saya berbelanja, dan di mana tempat belanja saya 10 hari sebelumnya? Tadi pagi saya berbelanja di toko ritel swalayan modern (waralaba nasional) dan 10 hari lalu saya berbelanja di toko swalayan lokal. Keduanya sama-sama berada di kota Pamekasan.

Saat tadi pagi masih gemas dengan fakta yang saya temukan, saya jadi teringat beberapa bulan lalu saat secara tak sengaja melihat label harga sebuah makanan ringan di ritel swalayan modern serupa yang harganya juga sungguh gila. Saya lihat harga satuannya Rp 2.400,- padahal di swalayan lainnya saya tahu bahwa harganya Rp 1.500,-! Lebih mahal 60%!



Saya pikir pembaca yang budiman juga punya pengalaman yang sama atau mirip di toko eceran yang saya maksud, yakni bahwa ada beberapa barang yang harganya sungguh gila!

Memang, yang namanya swalayan mengasumsikan bahwa pembeli sudah sadar dengan harga barang yang akan dia beli. Tapi, saat sedang terburu, pembeli mungkin tidak sempat memperhatikan label harga yang tercantum.

Secara pribadi, sebenarnya saya memang berusaha agar sebisa mungkin tidak berbelanja di toko eceran seperti tempat tadi pagi itu. Alasan utamanya mungkin bisa dibilang cukup ideologis: masuknya toko eceran swalayan modern ke pelosok beberapa tahun terakhir ini dinilai oleh banyak pihak sebagai serangan bagi pengusaha kecil di tingkat lokal. Ritel-ritel itu pelan-pelan dapat membunuh pengusaha lokal dan pasar tradisional. Padahal, pasar tradisional merupakan ruang publik yang bernilai penting secara sosial dan budaya—selain ekonomi.

Beberapa pihak memprotes kebijakan pemerintah lokal yang terkesan cukup longgar dalam memberi izin. Namun, bukankah keputusan berbelanja di mana dan apa itu pada akhirnya berada pada tingkat individu?

Demikianlah, pembaca yang budiman. Pengalaman tadi pagi tampaknya harus menjadi pengingat yang tegas buat saya atas niatan saya untuk sedapat mungkin tidak berbelanja di ritel modern (waralaba nasional) itu.

Itu yang sifatnya personal. Lalu bagaimana melihat pengalaman tadi dari sudut pandang sosial? Ada beberapa pertanyaan yang kemudian muncul. Misalnya, apakah tidak ada regulasi yang mengatur harga jual barang jika ternyata harga jualnya sungguh tidak wajar? Atau, jika mau mengeluh, kepada siapa masyarakat menyampaikannya?

Sekali lagi, pengalaman berbelanja tadi pagi ini mengajak saya untuk kembali merenung dan mengingat bahwa ada banyak aspek terkait dengan kegiatan konsumsi kita sehari-hari. Itu bisa sesuatu yang terkait dengan problem etis (seperti terkait isu keadilan lingkungan) atau bahkan mungkin juga ideologis dan politis. Pada akhirnya, pada tingkat individu, ini menegaskan pentingnya menjadi konsumen yang kritis dan bertanggung jawab.

Read More..

Minggu, 19 Juli 2015

Meneropong Realitas yang Timpang


Judul buku: Gelandangan di Kampung Sendiri: Pengaduan Orang-Orang Pinggiran
Penulis: Emha Ainun Nadjib
Penerbit: Bentang Pustaka, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, Maret 2015
Tebal: viii + 288 halaman
ISBN: 978-602-291-078-7


Kenyataan hidup sehari-hari sering tampil sebagai sesuatu yang biasa. Akibatnya, sering kali kepekaan kita tumpul dan tak bisa menangkap pesan hidup di balik sebuah peristiwa. Akhirnya hidup ini menjadi jalinan arus yang hambar sehingga dalam bahasa Sokrates menjadi hidup yang tak layak dijalani karena tanpa refleksi.

Esai-esai budayawan kondang Emha Ainun Nadjib yang terkumpul dalam buku ini mengajak pembaca untuk merefleksikan kenyataan hidup sehari-hari. Yang menarik, refleksi Emha terfokus pada kisah-kisah hidup orang-orang pinggiran. Di halaman persembahan buku ini, secara eksplisit Emha menyebut “orang-orang yang dianiaya,” “orang-orang yang ditindas,” “orang-orang yang dirampas kemerdekaannya,” dan “orang-orang yang dimiskinkan”.

Penyebutan Emha ini jelas merupakan sebentuk keberpihakan yang sifatnya cukup ideologis. Artinya, dalam meneropong kenyataan hidup yang timpang, Emha berada di pihak mereka yang terpinggirkan itu. Pihak yang terpinggirkan kerap tak memiliki saluran untuk menyatakan diri di ruang publik sehingga Emha kemudian seperti menjadi juru bicara untuk mereka.

Contohnya seperti kisah para pedagang di pasar yang diancam secara samar oleh seorang pejabat lantaran proses pembongkaran dan renovasi pasar. Emha menampilkan dialog orang-orang kecil yang resah dan merasa tak dihargai itu. Di sebuah bagian, Emha menulis bahwa mereka bukannya tidak setuju, tapi hanya ingin diajak berunding, diakui dan dihargai bahwa mereka juga adalah subjek utama pembangunan.

Esai-esai dalam buku ini memang ditulis pada paruh pertama dekade 1990-an, saat pemerintah Orde Baru nyaris sepenuhnya tak memberi ruang kritis dan ruang partisipasi masyarakat dalam proses politik dan pembangunan. Kisah pedagang pasar di atas cukup sering terjadi tapi tak ada media yang siap mengangkat isu ini secara terang-terangan.

Lebih dari sekadar menyajikan ironi pembangunan, Emha memberikan refleksi sederhana yang cukup tajam dan mendasar. Misalnya terkait kasus pembangunan Kedung Ombo, Jawa Tengah, yang mendapat penolakan dari warga namun akhirnya diresmikan pada tahun 1991. Seperti pedagang pasar, warga sebenarnya bukan hendak membangkang dan melawan program pembangunan yang dicanangkan pemerintah. Mereka hanya menuntut keadilan. Tapi, tulis Emha, apakah untuk menuntut keadilan warga akhirnya harus mendapat cap sebagai “melawan konstitusi”?

Perlawanan memang identik dengan orang-orang pinggiran, termasuk di antaranya kaum buruh. Masalahnya, pemerintah Orde Baru ketika itu kemudian terbiasa memberi stigma negatif kepada para buruh yang sering memprotes ketidakadilan yang dialaminya dengan menyebut mereka sebagai “komunis”. Padahal, tulis Emha, tak harus menjadi komunis untuk memprotes ketidakadilan.

Namun Emha tak hanya berhenti di sini. Emha mengajak pembaca untuk menelaah lebih mendalam. Jika isu buruh dalam konteks internasional memang cukup identik dengan komunis, Emha mengusik kita untuk melihat kenyatan kaum buruh di negara-negara komunis yang ketika itu justru ditindas penguasa. Malah kaum buruh di negara kapitalis cenderung berjaya.

Selain berangkat dari hasil pengamatan, Emha juga menulis esai-esainya berdasarkan pengaduan baik secara langsung maupun melalui surat. Pada tahun 1992 Emha misalnya pernah menerima surat dari seorang pendeta di Nusa Tenggara Timur yang menyampaikan keresahannya akibat proyek hutan tanaman industri yang menggusur hutan adat dan padang ternak warga dan jemaatnya. Mereka sudah mengadu kepada aparat, tapi hasilnya nihil dan tak memuaskan.

Emha juga menulis beberapa esai tentang kasus mutilasi di Probolinggo tahun 1992 yang membuat geger. Mbah Jiwo, seorang nenek, memutilasi cucunya sendiri. Badan cucunya itu diiris-iris menjadi 79 bagian. Sebagian kabarnya dijadikan bahan membuat rawon. Orang-orang terkejut, juga mengecam. Atas peristiwa ini, Emha mengemukakan refleksi menarik. Kalau orang-orang terkejut dengan sadisme Mbah Jiwo dan menganggap Mbah Jiwo sebagai orang yang tak normal, mengapa banyak masyarakat memandang biasa realitas yang sebenarnya juga tak biasa dan bahkan mungkin juga termasuk sadis?

Emha menyebut seorang ibu di pasar yang bekerja mulai tengah malam hingga esok sorenya hanya untuk seribu-dua ribu rupiah, sementara di sebuah kantor ada orang yang hanya duduk-duduk digaji ratusan juta rupiah. Apakah ini bukan sadisme dalam mekanisme perekonomian kita?

Di tengah berbagai fenomena ketimpangan sosial dan ketidakadilan itu, memang ada para pemuda yang tampak peduli misalnya dengan menggelar demonstrasi. Namun, atas fenomena seperti ini, Emha memberi catatan kritis. Emha khawatir mereka yang “hobi” demonstrasi itu “lebih berorientasi kepada keasyikan memprotes daripada pencarian jalan keluar”.

Meskipun esai-esai dalam buku ini ditulis lebih 20 tahun lalu tapi kekuatan refleksi dan relevansinya tetap cukup kuat. Esai-esai dalam buku ini tidak saja menghadirkan suara orang yang terpinggirkan, tapi juga memuat refleksi kritis terkait isu pembangunan dan kehidupan sosial pada umumnya.

Bukankah ketimpangan sosial yang menuntut perhatian pemerintah dan semua unsur masyarakat hingga ini masih menjadi masalah serius bagi bangsa ini? Bukankah masih banyak masyarakat kita yang menjadi gelandangan di kampung sendiri? Demikian juga masalah pembangunan kadang juga masih berbenturan dengan aspirasi masyarakat, seperti dalam kasus pembangunan semen di Rembang, Jawa Tengah.

Kekuatan esai-esai Emha ada pada sudut pandangnya yang kritis, reflektif, dan tak biasa sehingga dapat menghadirkan kenyataan hidup yang timpang dengan lebih menggugah. Perspektif Emha dalam esai-esainya menghidupkan kepekaan kemanusiaan kita yang mendasar sehingga juga menggiring kita untuk berbuat sesuatu demi mengatasi berbagai realitas timpang itu meski dengan cara yang sederhana.


Tulisan ini dimuat di Harian Jawa Pos, 19 Juli 2015.


Read More..