Kamis, 16 Oktober 2014

Kepekaan pada Alam sebagai Landasan Keimanan

Sinergi Nilai-Nilai Kenabian dan Upaya untuk Membentuk Kepedulian Lingkungan



Pendahuluan

Isu lingkungan hidup dalam beberapa dekade terakhir ini mengemuka sebagai salah satu isu penting dunia. Persoalan ini mendapatkan perhatian yang cukup besar dari berbagai pihak terutama karena dua alasan. Pertama, krisis lingkungan mengancam keberlangsungan hidup seluruh manusia dan makhluk hidup di bumi karena krisis ini langsung terkait dengan hal-hal yang berhubungan dengan kebutuhan hidup mendasar manusia dan makhluk hidup pada umumnya, seperti air, udara, makanan, dan sebagainya.

Kedua, krisis lingkungan merupakan persoalan global sehingga isu ini bisa disebut sebagai masalah bersama penduduk dunia. Krisis lingkungan ini juga meneguhkan kondisi sosiologis dunia saat ini yang disebut berada dalam era globalisasi. Dalam salah satu bukunya, Peter Singer (2004: 19-20) memberi ilustrasi bahwa seseorang yang menyemprotkan deodoran ke ketiaknya di apartemennya di New York bisa saja menyumbang bagi meninggalnya warga Punta Arenas di Chili akibat kanker kulit. Demikian pula, karbon diaoksida yang dikeluarkan oleh mobil seseorang di sebuah tempat di dunia secara berantai dapat menjadi salah satu penyebab banjir mematikan di Bangladesh.

Dampak global krisis lingkungan yang mengemuka dalam dua hingga tiga dekade terakhir dituangkan dalam risalah ilmiah dan populer, termasuk juga dalam berbagai film dokumenter. Laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) pada tahun 2001 memperlihatkan adanya tanda-tanda pemanasan yang jelas dalam satu abad terakhir. Menurut laporan ini, dekade 1990-an adalah dekade terpanas, dan 1998 adalah tahun terpanas. Permukaan laut juga dilaporkan naik antara 10 hingga 20 centimeter dalam satu abad terakhir. Sejak tahun 1960-an, salju dan tutup es berkurang sekitar 10 persen, dan gletser juga menyusut kecuali di dekat kutub (Singer, 2004: 15-16).

Gambaran ilmiah krisis lingkungan yang lebih bersifat populer, singkat, namun menyeluruh diterbitkan oleh National Geographic pada 2008 dalam dua edisi khusus bertajuk “Detak Bumi” dan “Perubahan Iklim”. Dua edisi spesial ini melaporkan perubahan iklim (climate change) dan kecenderungan global sumber daya bumi yang mengancam kualitas hidup manusia. Meski dituturkan dengan bahasa yang datar, secara tersirat diskusi semacam ini bagaimanapun akan menyentuh aspek keadilan sosial (social justice). Misalnya ketika dipaparkan bahwa 2 orang terkaya di dunia memiliki lebih banyak uang dibandingkan dengan total PDB 45 negara termiskin.

Data kuantitatif dan ilustrasi visual yang cukup menarik tersaji dalam film dokumenter berjudul “Home” (2009) arahan sutradara Yann Arthur-Bertrand. Film yang mengambil gambar di puluhan negara di dunia ini menelusuri jejak manusia pada bumi yang mewujud dalam bentuk krisis lingkungan. Dalam film ini, di antaranya dituturkan bahwa setiap tahun, 13 juta hektar hutan menghilang. Spesies punah dalam ritme 1.000 kali lebih cepat daripada kepunahan alaminya. Di seluruh dunia, satu dari sepuluh sungai besar sudah tidak lagi mengalir ke laut selama beberapa bulan dalam setahun. Sementara itu, 40% tanah subur mengalami kerusakan jangka panjang. Sejak 1950, penangkapan ikan telah meningkat lima kali lipat dari 18 juta menjadi 100 juta metrik ton per tahunnya. Kebanyakan ikan besar telah dipancing hingga punah karena mereka tak diberi kesempatan untuk bereproduksi.

Bagaimana dengan Indonesia? Laporan Kementerian Lingkungan Hidup pada tahun 2007 menyatakan bahwa Indonesia kehilangan 24 pulau kecil dalam periode 2005-2007 sebagai dampak dari perubahan iklim (Muhammad, 2008). Laporan UNDP pada tahun 2007 memaparkan bahwa pada akhir 1990-an, Indonesia kehilangan area hutannya seluas 1,6 juta hektar per tahun. Laporan Majalah Tempo tahun 2007 menyatakan bahwa pada tahun 2003, laju penggundulan hutan ini meningkat menjadi 3 juta hektar per tahun. Institut Pertanian Bogor melaporkan bahwa pada periode 1992-2000, setiap daerah di Indonesia kehilangan sekitar 300 ribu ton produksi per tahun (UNDP, 2007: 4-8).

Ancaman terhadap pertanian juga meningkat di antaranya akibat siklus musim yang tidak teratur. Pada periode Januari hingga Juli 2010, banjir telah mengakibatkan sawah seluas 66.909 hektar mengalami gagal panen (Kompas, 2/9/2010). Akibat pengaruh perubahan iklim pula, pada musim tanam (MT) I dan MT II 2010, produktivitas panen per hektar lahan padi di Banyumas dan sekitarnya hanya 3-4 ton gabah atau turun antara 40 persen dan 50 persen dibandingkan dengan rata-rata biasanya (Kompas, 14/9/2010).

Keberlanjutan sumber daya air juga mengancam Indonesia. Kecukupan air untuk berbagai keperluan penduduk di Pulau Jawa pada tahun 2025 diperkirakan hanya mencapai 320 meter kubik per kapita per tahun. Jumlah ini hanya separuh dari yang dibutuhkan sehingga akan terjadi tingkat kerawanan yang sangat parah (Kompas, 3/12/2009).

Situasi seperti yang tergambar di atas menjadi tantangan tersendiri bagi manusia. Selain isu keadilan sosial, nilai yang mengemuka adalah soal keberlangsungan manusia dan makhluk hidup lainnya di alam semesta. Menghadapi masalah dan tantangan ini, berbagai upaya telah ditempuh baik yang berupa usaha-usaha politis yang sifatnya nasional maupun global, juga pendidikan lingkungan yang dilakukan oleh lembaga formal maupun komunitas.

Selain itu, di bidang kajian ilmiah, upaya serupa juga dilakukan. Penggalian nilai dan norma keagamaan maupun kebijaksanaan lokal dilakukan untuk menopang dan membangkitkan kepedulian masyarakat luas dalam menghadapi tantangan global ini.

Tulisan pendek ini akan berupaya menggali sejarah kehidupan Nabi Muhammad saw dan memeras nilai-nilai yang terkait dengan kepedulian lingkungan. Tulisan ini mengasumsikan bahwa Nabi Muhammad adalah sosok teladan umat Islam yang menjadi salah satu rujukan utama nilai dan norma Islam. Keteladanan Nabi Muhammad juga terdapat dalam cara pandang dan cara bersikap terhadap lingkungan hidup. Diriwayatkan bahwa Nabi tidak pernah merusak sumber alam dan tanaman, bahkan dalam situasi peperangan. Dalam sejarah, hanya sekali Nabi merusak tanaman yakni saat mengepung benteng Bani Nadir. Sikap Nabi yang sangat tidak lazim ini dilakukan karena memang menghadapi situasi yang tidak biasa, sehingga untuk itu Allah pun perlu menegaskan izinnya terkait kasus ini dalam surah al-Hasyr [59] ayat 5. Lebih jauh, menurut M. Quraish Shihab, sebenarnya Nabi sekadar menebang pohon kurma yang dijadikan perlindungan oleh Bani Nadir (Shihab, 2011: 679-684).

Pertanyaan yang hendak dijawab oleh tulisan ini adalah apa saja bangunan mendasar yang dimiliki sosok Nabi Muhammad saw sehingga dirinya memiliki kepedulian yang besar untuk menjaga alam? Bagaimana jika kerangka dasar tersebut disinergikan dengan pendekatan yang dilakukan dalam ilmu lingkungan, khususnya pendidikan lingkungan sebagai sebuah bidang yang belakangan ini berkembang untuk merespons persoalan krisis lingkungan?


Krisis Lingkungan: Krisis Spiritualitas

Sebelum menjawab pertanyaan utama tersebut, penting untuk terlebih dahulu melihat akar masalah yang menjadi penyebab terjadinya krisis lingkungan yang dihadapi umat manusia saat ini.

Dari beberapa rujukan, disebutkan bahwa penyebab krisis lingkungan ini terkait dengan aktivitas manusia. Krisis lingkungan bukan disebabkan oleh sesuatu yang bersifat alamiah. Secara lebih khusus, aktivitas manusia yang dimaksud adalah aktivitas ekonomi manusia (Speth, 2008: 6; Singer, 2004: 16).

James Gustave Speth, seorang tokoh lingkungan Amerika, dalam bukunya yang berjudul The Bridge at the Edge of the World (2008) secara lebih khusus menyebut kapitalisme modern sebagai faktor kunci penyebab krisis lingkungan. Dengan melihat berbagai perubahan penting pada periode tahun 1750-2000, terlihat betapa aktivitas ekonomi manusia memang mendorong bagi banyak hal: konsentrasi karbon dioksida yang meningkat, penipisan lapisan ozon, naiknya suhu rata-rata di belahan utara bumi, meningkatnya frekuensi bencana banjir, eksploitasi ekosistem laut yang semakin meningkat, keanekaragaman hayati yang semakin terancam, dan sebagainya. Berbagai fenomena ini berjalan seiring dengan meningkatnya investasi asing, meningkatnya penggunaan air, kertas, pupuk, dan kendaraan bermotor.

Dalam uraian Speth, kapitalisme modern di antaranya didukung oleh masyarakat konsumsi. Konsumsi menjadi penting untuk memastikan salah satu landasan penting kapitalisme, yakni pertumbuhan ekonomi. Mengutip Daniel Bell, Speth menyebut pertumbuhan ekonomi sebagai “agama sekular masyarakat industri yang bergerak maju” (Speth, 2008: 47-58, 147-148).

Penekanan pada konsumsi inilah yang membuat kapitalisme menghasilkan dampak yang tak terkira. Masyarakat konsumtif terbentuk sedemikian rupa sehingga menyebabkan terputusnya kesadaran manusia akan keterikatannya dengan alam. Manusia, karena dikejar hasrat konsumsi, melupakan nilai kesinambungan atau kelestarian (sustainability).

Secara ekonomi-politik, orang-orang dalam berbagai status sosial dan profesi kemudian diperlakukan dan dipandang berdasarkan kemampuan konsumsi mereka pada produk-produk kapitalisme. Oleh karena itu, orang-orang atau kelompok masyarakat yang tidak terlibat dalam arus produksi-konsumsi kapitalisme dipandang tak memiliki nilai (Leonard, 2008). Dari sudut pandang kapitalisme, orang-orang yang sudah merasa tercukupi kebutuhannya akan dipandang “miskin” hanya karena mereka tidak masuk dalam jejaring ekonomi pasar (Shiva, 1989: 10-12).

Secara perseorangan, kapitalisme menyerang psikologi manusia dengan mempersalahkan mereka jika mereka tidak ikut serta dalam arus ekonomi (terutama konsumsi) kapitalisme ini. Dengan cara ini, masyarakat modern dipaksa untuk menyesuaikan diri dengan ritme hidup yang dikehendaki kapitalisme seperti yang tergambar dalam kutipan berikut:

So we are in this ridiculous situation where we go to work, maybe two jobs even, and we come home and we’re exhausted so we plop down on our new couch and watch TV and the commercials tell us “YOU SUCK” so gotta go to the mall to buy something to feel better, then we gotta go to work more to pay for the stuff we just bought so we come home and we’re more tired so you sit down and watch more TV and it tells you to go to the mall again and we’re on this crazy work-watch-spend treadmill... (Leonard, 2008).

Jadi, kita berada dalam situasi yang menggelikan ini: kita pergi bekerja, bahkan mungkin dengan dua pekerjaan, dan kita pulang dan kelelahan sehingga kita menjatuhkan diri di sofa baru kita sambil menonton televisi dan iklan yang memberi tahu kita “KAMU MEMALUKAN” jadi pergilah ke mall untuk membeli sesuatu agar lebih baik, kemudian kita bekerja lebih keras lagi untuk membeli barang yang baru kita beli dan kemudian kita pulang dan lebih kelelahan lagi sehingga kamu duduk dan menonton televisi lagi dan televisi kemudian menyuruhmu untuk pergi ke mall lagi dan kita lalu berada dalam lingkaran kerja-nonton-belanja yang membosankan ini...

Melalui ritme hidup seperti dalam kutipan di atas, ideologi konsumsi pada akhirnya mengubah cara pandang seseorang dalam mendefinisikan dirinya dan memahami hubungan dirinya dengan alam. Nilai diri manusia kemudian banyak ditentukan oleh benda-benda yang dikonsumsi. Inilah yang kemudian mewujud dalam cara pandang materialisme. Pada gilirannya, setelah tenggelam pada perilaku konsumsi yang berlebihan, pelan-pelan hubungan manusia dengan alam diputus. Dalam ideologi konsumsi, manusia dan berbagai bentuk kekayaan alam kemudian direduksi menjadi unit-unit produksi (Abdul-Matin, 2010: 22, 30).

Kapitalisme modern dan ideologi konsumsi inilah yang menjadi akar penyebab eksploitasi sumber daya alam yang merusak ketahanan lingkungan dan mengancam keberlangsungan hidup manusia yang lestari. Dari gambaran di atas, tampaklah bahwa kapitalisme dan ideologi konsumsi dapat dilihat sebagai gambaran krisis spiritualitas manusia dan mengalihkan kebutuhan kerohaniannya pada benda. Manusia tak berhenti untuk memuaskan dirinya dengan benda-benda konsumsi. Tepatlah kiranya pernyataan terkenal Mahatma Gandhi bahwa dunia tidak akan cukup untuk melayani keserakahan manusia.

Inilah potret masyarakat modern yang dalam ilustrasi Seyyed Hossein Nasr disebut telah kehilangan visi keilahiannya dalam menghadapi realitas hidup. Visi tersebut menjadi tumpul ketika manusia memuja ilmu dan teknologi sehingga integritas kemanusiaannya tereduksi dan kemudian ia terperangkap ke dalam sistem yang tidak manusiawi. Krisis spiritual dalam pandangan Nasr digambarkan saat manusia memiliki cara pandang yang terbatas dan tereduksi atas realitas berupa pudar dan hilangnya dimensi spiritual. Alam kehilangan dimensi sucinya dan benar-benar menjadi sesuatu yang banal (Nasr, 1988: 17-50).

Dengan melihat krisis lingkungan sebagai sesuatu yang berakar dari krisis spiritual inilah maka upaya untuk melihat kembali sejarah kehidupan Nabi Muhammad saw. menjadi sangat relevan untuk dilakukan. Bagaimanapun, sejarah kehidupan Nabi adalah sumber ajaran dan inspirasi kaum muslim pada khususnya yang sarat dengan nilai-nilai mendasar agama, termasuk juga unsur spiritualitas dalam melihat alam. Bagian berikut akan menelaah secara singkat bagaimana sisi spiritualitas Nabi dibangun secara beriringan dengan kepekaan dan penghargaan pada alam.


Kepekaan pada Alam dan Dasar Keimanan: Padang Pasir dan Ayat Kawniyyah

Pendekatan spiritual untuk mengatasi tantangan krisis lingkungan telah banyak diupayakan, termasuk yang menggunakan sudut pandang Islam. Ibrahim Abdul-Matin (2010: 5), muslim Amerika yang juga aktivis lingkungan, misalnya mengutip prinsip-prinsip dasar agama hijau (green deen) yang disarikan dari ajaran-ajaran Islam. Menurut sumber yang dikutipnya itu, ada enam prinsip dasar agama hijau menurut Islam, yakni: (1) memahami kesatuan Tuhan dan ciptaan-Nya; (2) melihat tanda-tanda (ayat) Tuhan di mana saja; (3) menjadi penjaga (khalifah) di bumi; (4) menjaga kepercayaan Tuhan (amanah); (5) berjuang menegakkan keadilan (‘adl); dan (6) menjalani kehidupan yang seimbang dengan alam.

Terkait isu lingkungan, Nurcholish Madjid menghubungkan konsep manusia sebagai khalifah dengan konsep taskhir yang sama-sama bersumber dari pemaparan al-Qur’an. Dalam kerangka taskhir (lihat, surah al-Jatsiyah [45] ayat 13), nilai segala sesuatu di alam semesta berada lebih rendah daripada manusia. Namun, dalam memanfaatkan alam, manusia sebagai duta Tuhan memiliki tugas untuk menjaga dan menggunakannya secara bertanggung jawab (Madjid, 1992: 294-302).

Kajian ini berusaha untuk menelaah secara lebih dekat sejarah kehidupan Nabi Muhammad saw. pada khususnya dan teks suci Islam yakni al-Qur’an pada umumnya yang memperlihatkan bagaimana Nabi dan Islam memiliki pandangan dan sikap yang bercorak ramah lingkungan. Dengan cara ini, diharapkan dapat diperoleh temuan yang sifatnya lebih memperlihatkan proses pembentukan nilai ramah lingkungan pada diri Nabi dan Islam.

Periode formatif yang bernilai penting pada pembentukan karakter peduli lingkungan terdapat pada masa kanak-kanak Nabi Muhammad. Kesimpulan ini secara sekilas diulas oleh Tariq Ramadan (2007) dalam bukunya yang merupakan sejarah singkat Nabi Muhammad yang bercorak reflektif.

Sebagaimana diketahui bersama, tak lama setelah Nabi dilahirkan di kota Mekah, Nabi kemudian diasuh oleh Halimah al-Sa‘diyah di pedalaman Arabia selama empat tahun. Pengasuhan ini sebenarnya mengikuti tradisi masyarakat Arab perkotaan pada waktu itu, termasuk Mekah. Keluarga besar Arab perkotaan menitipkan anak-anak mereka untuk disusui oleh suku pengembara agar anak-anak mereka dapat menghirup udara segar padang pasir dan menyerap kemampuan berbahasa yang fasih dan puitis yang masih bertahan di sana. Apalagi, menurut sebuah riwayat, Mekah saat kelahiran Nabi diserang wabah penyakit yang menyebabkan tingginya angka kematian bayi (Lings, 2009: 34-35).

Bagaimanapun, kehidupan di padang pasir sangatlah berbeda dengan kehidupan kota Mekah yang menjadi salah satu kota dagang penting di Semenanjung Arabia. Kehidupan suku pengembara di padang pasir memberikan pengalaman langsung kepada Nabi untuk hidup secara alamiah dan dekat dengan alam. Pengalaman yang bersifat langsung inilah yang menurut Tariq Ramadan membentuk dasar keimanan pada diri Nabi dengan dasar kedekatan pada alam. Keimanan sebagai hubungan personal dengan Tuhan terbentuk melalui perenungan yang tidak bersifat formalistik, tapi bersifat langsung.

Thus, God decided to expose His Prophet, from his earliest childhood, to the natural lessons of creation, conceived as a school where the mind gradually apprehends signs and meaning. Far removed from the formalism and soulless religious rituals, this sort of education, in and through its closeness to nature, fosters a relationship to the divine based on contemplation and depth that will later make it possible, in a second phase of spiritual education, to understanding the meaning, form, and objectives of religious rituals. Cut off from nature in our towns and cities, we nowadays seem to have forgotten the meaning of this message... (Ramadan, 2007: 13-14).

Jadi, Tuhan memutuskan untuk memberi pengalaman kepada Nabi sejak usia dini berupa pelajaran dari alam tentang penciptaan, mirip dengan sebuah sekolah yang di dalamnya pikiran menangkap dan memahami tanda dan makna. Jauh dari bentuk formalisme ritual keagamaan yang tak bermakna, pendidikan semacam ini, dalam dan melalui kedekatannya pada alam, mengembangkan sebuah hubungan dengan Tuhan didasarkan atas perenungan mendalam yang pada tahap pendidikan spiritual berikutnya akan memungkinkan untuk memahami makna, bentuk, dan tujuan ritual keagamaan. Karena kehidupan perkotaan kita saat ini menyebabkan kita terputus dari alam, kita sekarang sungguh telah melupakan pesan ini...

Secara khusus, kehidupan padang pasir dalam konteks kehidupan bangsa Arab memiliki makna lebih jauh yang cukup beragam. Selain soal khazanah bahasa suku pengembara, padang pasir dan kehidupan mengembara sebenarnya cukup terkait dengan landasan keimanan yang kemudian dibangun oleh Islam.

Menurut Martin Lings, kehidupan mengembara identik dengan kebebasan. Keduanya tak bisa dipisahkan. Penduduk kota yang hidup menetap digambarkan sebagai tahanan. Mereka “menjadi bulan-bulanan waktu”. Kehidupan yang rutin dan statis di perkotaan ini diperhadapkan secara kontras dengan kehidupan mengembara yang bebas. Kebebasan dalam mengembara ini kemudian tampaknya identik dengan ladang subur bagi imajinasi sastrawi yang bagi masyarakat Arab dipandang berharga (Lings, 2009: 34-35). Sementara itu, menurut Tariq Ramadan, selain pengalaman akan kebebasan, padang pasir memberi pengalaman kefanaan, kerapuhan, dan kehinaan (Ramadan, 2007: 12). Pengalaman tentang kefanaan ini menjadi penting untuk digarisbawahi karena menurut Toshihiko Izutsu, bangunan etik yang ditawarkan oleh Islam di antaranya adalah pandangan tentang kesementaraan kehidupan dunia. Menurut Izutsu, masyarakat Arab jahiliah tidak memiliki imajinasi tentang kehidupan lain di masa yang akan datang sehingga mereka tidak punya gagasan tentang akhirat (Izutsu, 1993: 53-64).

Untuk menunjukkan pentingnya nilai-nilai yang dapat muncul dari kehidupan padang pasir ini, Tariq Ramadan kemudian mengutip sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari:

كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيبٌ ، أَوْ عَابِرُ سَبِيلٍ

Artinya: “Hiduplah di dunia seakan-akan kau orang asing atau pengembara.”

Ibn Hajar al-Asqalani (Vol. 12, 2004: 197-198) menyebutkan bahwa hadis ini mengajarkan sikap zuhd di dunia dan agar kita memenuhi kebutuhan hidup secukupnya saja. Seorang pengembara, tulis al-Asqalani, tidak butuh pada bekal yang melebihi dari keperluan untuk tiba di tempat yang dituju di perhentian berikutnya. Al-Ghazali mendefinisikan zuhd secara sederhana sebagai “mengalihkan kesenangan (raghbah) pada sesuatu yang lebih baik”. Pada zuhd, sikap berpaling dari kesenangan duniawi dilakukan meski yang bersangkutan memiliki kemampuan untuk meraihnya (al-Ghazali, Vol. 4, tt: 211-212).

Dalam konteks kehidupan kontemporer yang dipenuhi dengan ideologi konsumsi, sikap zuhd menjadi salah satu hal yang penting dikemukakan. Keterjebakan manusia modern pada materialisme di satu sisi terjadi karena kealpaannya pada kesementaraan kehidupan duniawi akibat beragam bentuk godaan yang kian hari semakin gencar.

Kehidupan gurun juga menawarkan bentang pemandangan cakrawala tanpa batas yang mengundang pengamatan indera manusia. Secara khusus, dalam kehidupan gurun, benda-benda langit akan hadir dengan lebih jelas bagi pandangan mata manusia. Pemandangan langit di malam hari yang sunyi dan minim polusi cahaya di tengah gurun pada tingkat tertentu mampu menguatkan nuansa makna dan rasa yang begitu kaya dari suasana gurun.

Dalam sebuah riwayat, dikisahkan bahwa saat di malam hari Muhammad kecil tampak merasa gelisah, Halimah membawanya keluar kemah. Menurut Halimah, Muhammad kecil biasanya akan tenang setelah ia memandang bintang-bintang di langit sehingga lalu matanya tertutup dan tidur nyenyak (Shihab, 2011: 227).

Kekuatan pemandangan langit yang terbuka sebagaimana di gurun sebenarnya ditegaskan dalam banyak ayat di dalam al-Qur’an, di antaranya dalam surah Alu ‘Imran [3] ayat 190-191.

إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَاخْتِلاَفِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لآيَاتٍ لِّأُوْلِي الألْبَابِ - الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىَ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذا بَاطِلاً سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

Artinya: Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan Kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah Kami dari siksa neraka.”

Al-Razi menjelaskan bahwa kandungan ayat ini sebenarnya mirip dengan surah al-Baqarah [2] ayat 164. Keduanya sama-sama menjelaskan tanda-tanda keagungan Allah dalam berbagai bentuk fenomena alam. Bedanya, dalam surah al-Baqarah ada 8 fenomena alam yang disebut, sedangkan dalam ayat ini tersisa tiga hal (langit, bumi, malam dan siang). Dalam pandangan al-Razi, tiga hal yang disebut dalam ayat ini berkaitan dengan fenomena langit/angkasa yang sifatnya lebih mengagumkan dibandingkan dengan fenomena alam yang disebut dalam surah al-Baqarah yang sifatnya fenomena daratan (al-ardliyyah). Hati manusia, menurut al-Razi, lebih mudah merasakan keagungan Allah melalui fenomena langit (Al-Razi, Vol. 9, 2004: 109-110).

Ayat ini dan rangkaian ayat berikutnya yang merupakan penutup surah Alu ‘Imran dan merupakan ayat yang diturunkan di Madinah memiliki nilai istimewa yang perlu dibahas lebih jauh di sini. Ayat tersebut diturunkan di malam hari dan menurut penuturan ‘Aisyah r.a. dalam sebuah hadis telah membuat Nabi menangis sepanjang malam. Akhirnya, saat subuh tiba, Bilal bertanya mengapa Nabi menangis sedang Allah telah mengampuni semua dosanya. Nabi menjawab: “Wahai Bilal, tidakkah aku ingin menjadi hamba yang bersyukur? Mengapa aku tidak menangis sedang malam ini Allah telah menurunkan ayat ini (surah Alu ‘Imran ayat 190-200). Sungguh celaka orang yang membaca ayat ini tapi tidak memikirkannya!” (al-Razi, Vol. 9, 2004: 109).

Memikirkan fenomena alam raya dipandang dapat mengantarkan pada tingkat keimanan (tawhid) yang mendalam. Al-Razi menjelaskan bahwa manusia tidak mungkin berpikir tentang Sang Maha Pencipta yakni Allah swt. Hal ini sudah ditegaskan dalam salah satu hadis Nabi yang berbunyi: “Berpikirlah tentang makhluk dan jangan kalian berpikir tentang Sang Pencipta.” Namun dengan sebuah ilustrasi yang sangat teperinci, al-Razi menunjukkan bahwa berpikir tentang ciptaan Allah akan dapat mengantarkan kita pada karakter sempurna dari Sang Pencipta. Tak harus dari hal yang besar, bahkan dengan memikirkan secara panjang dan mendalam selembar daun yang terdapat di sebuah pohon maka pada akhirnya orang yang berpikir itu akan menemukan keagungan Allah (al-Razi, Vol. 9, 2004: 111-112).

Keutamaan berpikir (tafakkur)—yang dalam ayat di atas disebut setelah kata kerja “berdzikir”—telah ditegaskan oleh banyak ulama. Dalam kitab tafsirnya, al-Qurthubi mengutip pendapat Ibn al-‘Arabi yang mengatakan bahwa bagi kaum sufi, kegiatan berpikir (tafakkur) ini lebih utama daripada berdzikir. Alasannya, berpikir dapat mengantarkan seseorang pada tingkat makrifat (al-Qurthubi, Vol. 2, 2007: 652).

Dalam memahami ayat di atas, para mufassir juga berusaha membandingkannya dengan ayat serupa di surah al-Baqarah [2] ayat 164. Dalam surah al-Baqarah, ayat-ayat kawniyyah disebutkan menjadi tanda bagi “qawm ya‘qilun”, sedang dalam surah Alu ‘Imran digunakan istilah “ulul albab”. M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa ayat 190 surah Alu ‘Imran ini statusnya merupakan tingkat lanjut dibandingkan surah al-Baqarah [2] ayat 164. Selain dikuranginya penyebutan ayat-ayat kawniyyah, istilah “ulul albab” menurut Quraish Shihab berarti “orang-orang yang memiliki akal murni, yang tidak diselubungi oleh “kulit”, yakni kabut ide, yang dapat melahirkan kerancuan dalam berpikir”. “Ulul albab” adalah mereka yang telah mencapai kemurnian akal sehingga dengan merenungkan atau memikirkan fenomena alam raya maka ia akan dapat menemukan bukti yang sangat jelas tentang keesaan dan kekuasaan Allah swt (Shihab, Vol. 2, 2009: 370-371). Al-Razi menjelaskan perbedaan ‘aql dan lubb dalam menjelaskan ayat ini. Menurut al-Razi, ‘aql adalah bagian luar (zhahir) sehingga ‘aql merupakan tahapan awal sedangkan lubb adalah tingkatan ‘aql yang sudah sempurna (al-Razi, Vol. 9, 2004: 110).

Perenungan yang mendalam atas berbagai fenomena alam raya dilakukan dengan kegiatan berpikir (tafakkur). Menurut al-Ghazali, kegiatan berpikir merupakan titik mula kebajikan. Berpikir dapat menghasilkan pengetahuan baru—sesuatu yang tidak diperoleh dengan berdzikir—yang dari pengetahuan baru itu hati seseorang dapat berubah sehingga pada gilirannya kemudian mendorong pada perubahan perilaku. Berikut ini kutipan lengkap pandangan al-Ghazali (Vol. 4, t.t.: 413) tersebut:

وأما ثمرة الفكر فهى العلوم والأحوال والأعمال ولكن ثمرته الخاصة العلم لا غير نعم إذا حصل العلم في القلب تغير حال القلب وإذا تغير حال القلب تغيرت أعمال الجوارح فالعمل تابع الحال والحال تابع العلم والعلم تابع الفكر فالفكر إذن هو المبدأ والمفتاح للخيرات كلها

Buah dari kegiatan berpikir adalah ilmu, keadaan, dan amal. Akan tetapi, buah yang khas adalah berupa ilmu, tidak lainnya. Ya, benar, jika ilmu telah diperoleh dalam hati seseorang, maka keadaan hati akan berubah. Jika keadaan hati telah berubah, maka perbuatan anggota badan akan berubah juga. Karena itu, amal mengikuti keadaan, dan keadaan mengikuti ilmu, dan ilmu mengikuti pikiran. Jika begitu, maka berpikir adalah permulaan dan kunci semua kebaikan.

Keterbukaan alam semesta untuk menjadi landasan keimanan yang kuat bagi seorang muslim yang berpikir (bertafakkur) juga tidak lepas dengan petunjuk-petunjuk tekstual lain yang disampaikan melalui kitab suci al-Qur’an. Dalam surah al-Fatihah, Allah menyebut diri-Nya dengan istilah “rabb al-‘alamin” yang biasa diterjemahkan “Tuhan semesta alam”. M. Quraish Shihab menerjemahkan dengan “Tuhan Pemelihara seluruh alam.” Secara kebahasaan, “rabb” bermakna pemilik atau tuan. Selain itu, “rabb” juga berarti memelihara, mendidik, mengasuh. Al-Qurthubi mengatakan bahwa dalam artian yang pertama maka kata ini merupakan sifat dari dzat (shifat dzat) Allah swt. Sedangkan dalam arti yang kedua, kata ini merupakan sifat perbuatan (shifat fi‘l) Allah (al-Qurthubi, Vol. 1, 2007: 138-139).

Dengan kerangka makna menurut pengertian yang kedua, maka Allah swt. memelihara alam semesta ini dengan segala kemahabesaran dan kemahasucian-Nya. Dalam konteks ini, maka status manusia sebagai khalifah (wakil, duta) Allah di bumi menjadi relevan dalam kaitannya dengan nilai-nilai yang mendukung pelestarian lingkungan sebagaimana disebut oleh Ibrahim Abdul-Matin di atas. Tugas dan tanggung jawab pengasuhan dan pelestarian alam raya juga diserahkan Allah kepada manusia.

Dari uraian singkat ini, tampaklah bahwa pengalaman hidup Nabi di masa kanak-kanak di padang pasir pedalaman Arabia bersama suku pengembara Bani Sa‘d telah berhasil membentuk dasar-dasar kepekaan Nabi dalam membaca ayat-ayat kawniyyah Allah swt. Kepekaan yang dimiliki Nabi dalam menerima pesan alam juga diperoleh atas anugerah Allah berupa kelapangan pintu pemahaman dan anugerah ketenangan. M. Quraish Shihab menafsirkan kata “syaraha” dalam surah al-Syarh [94] dalam pengertian nonmaterial seperti ini (bukan dalam pengertian material, yakni “membelah dada”, sebagaimana lazim dijelaskan dalam penggalan sejarah kehidupan Nabi saat diasuh Halimah), serupa dengan doa yang dipanjatkan Nabi Musa as dalam surah Thaha [20] ayat 25-27 yang di antaranya memohon kelapangan dada setelah memohon tambahan ilmu dan pemahaman (Shihab, 2011: 236-237).

Dari sudut pandang yang lain maka ini bisa berarti bahwa diperlukan adanya kesiapan mental yang baik untuk dapat menerima pesan alam yang bersifat spiritual sebagaimana yang diperoleh Nabi Muhammad saw. Ini bisa meliputi sikap terbuka dalam menerima berbagai kemungkinan pesan yang disampaikan alam dan sikap rendah hati disertai keyakinan bahwa alam semesta juga memiliki status yang sama dengan manusia, yakni sama-sama makhluk Allah, sebagaimana difirmankan Allah dalam surah al-An‘am [6] ayat 38. Menurut M. Quraish Shihab, ayat ini menyatakan keserupaan binatang dan burung dengan manusia dalam hal tuntutan perlakuan yang sama dan wajar (Shihab, Vol. 3, 2009: 413).

Dengan landasan yang demikian, maka tidak sulit bagi kita untuk memahami dan menemukan pandangan dan sikap Nabi yang ramah lingkungan baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung. Misalnya, sikap Nabi yang peduli terhadap kesejahteraan binatang (animal welfare). Nabi pernah menegaskan tentang pahala bagi orang yang memberi minum untuk hewan yang sedang kehausan. Nabi juga memberi tuntunan agar dalam menyembelih hewan harus dengan proses yang tidak menyakiti. Demikian pula, Nabi mengajarkan agar kaum muslim mau berbagi air dan tidak berlebihan dalam menggunakan air, bahkan saat berwudu.

Ada pula sikap ramah lingkungan Nabi yang merupakan tafsiran dan kontekstualisasi dari pemikir masa kini. Ibrahim Abdul-Matin (2010: xxii) misalnya menafsir hadis yang menyatakan bahwa Nabi menyarankan kita untuk mengambil hidangan yang terdekat saat makan dalam pengertian bahwa Nabi mendorong kita untuk mengutamakan makanan dari sumber-sumber lokal.


Nilai-Nilai Kenabian dan Pendidikan Lingkungan

Sampai di sini dapat disimpulkan bahwa kepedulian Nabi pada pelestarian alam dan lingkungan berada dalam kerangka spiritual (keimanan). Prinsip-prinsip dasarnya kurang lebih sama dengan yang disampaikan Ibrahim Abdul-Matin tentang agama hijau di atas. Kerangka spiritual tersebut di antaranya terbentuk melalui pengalaman langsung Nabi terutama pada masa kanak-kanak saat tinggal bersama suku pengembara di padang pasir. Pengalaman langsung tersebut diolah dengan anugerah kemampuan tafakkur yang berlandaskan pada keterbukaan dan kebersihan akal dan hati Nabi sehingga dari situlah kerangka spiritual tersebut terbentuk.

Dalam konteks upaya menjawab persoalan krisis lingkungan saat ini, kerangka spiritual dan nilai-nilai kenabian di atas penting untuk dicoba disinergikan dengan pendekatan salah satu bidang pembahasan khusus ilmu lingkungan, yakni pendidikan lingkungan. Menurut Nordström, ada tiga tujuan utama pendidikan lingkungan. Pertama, membentuk dan membangkitkan akhlak lingkungan yang bersifat perseorangan. Kedua, mengembangkan pemahaman dan keterampilan untuk menangani isu lingkungan. Ketiga, memfasilitasi pemberdayaan dan kewargaan yang aktif. Di balik ketiga tujuan ini, terkandung sejumlah nilai yang diperjuangkan, seperti keanekaragaman, keadilan, dan rasa hormat pada alam dan makluk hidup (Nordström, 2008: 133-137).

Dari sudut pandang ini, tampaklah bahwa kerangka spiritual yang disimpulkan dari uraian di bagian sebelumnya berada dalam konteks tujuan pendidikan lingkungan yang pertama, yakni membentuk dan membangkitkan akhlak lingkungan yang bersifat perseorangan. Jika kita melihat upaya-upaya di lapangan, yakni di Indonesia, untuk menuju pada tujuan ini maka kita akan menemukan banyak contoh yang bisa dikemukakan. Namun demikian, yang berbeda dari nilai kenabian yang dibahas sebelumnya adalah bangunan yang bersifat spiritual dan radikal dalam menempatkan alam raya dan makhluk hidup.

Pendekatan spiritual yang dikemukakan di sini menjadi penting karena ia menyentuh aspek terdalam pada diri manusia, yakni hati dan kerangka berpikir, yang pada gilirannya akan menjadi dasar bagi setiap pengambilan keputusan dan cara bersikap. Nilai-nilai kenabian tersebut di atas berusaha kembali pada akar krisis lingkungan, yakni krisis spiritual yang dialami oleh individu (yang membentuk masyarakat) manusia modern.

Dilihat dari proses penanaman nilai pada diri Nabi sebagaimana diulas singkat di atas, tampaknya proses tersebut kurang lebih serupa dengan apa yang disebut oleh Vaquette saat membahas tentang ekopedagogi sebagai “pendidikan penginderaan”. Menurut Vaquette, manusia modern mengalami kegagalan untuk berkomunikasi dengan alam karena indera mereka telah menyusut dan tumpul. Akibatnya, jarak manusia modern dengan alam pelan-pelan semakin jauh. Keduanya tidak lagi merasa sebagai satu kesatuan semesta. Untuk itu, menurut Vaquette, pendidikan alam dan lingkungan dilakukan dengan cara merangsang dan mengaktifkan indera. Dalam pendidikan penginderaan, diasumsikan dua arah komunikasi antara manusia dan alam. Pertama-tama, manusia dilatih untuk dapat menerima secara aktif berbagai informasi dan sapaan alam. Dengan dasar penangkapan dan penerimaan aktif itulah, maka manusia akan dapat mengekspresikan sikap yang ramah terhadap alam (Vaquette, 2001: 11-14).

Dengan menghidupkan kepekaan komunikasi dengan alam yang dibalut dalam kerangka keimanan, diharapkan kebajikan-kebajikan moral yang dapat menjadi dasar bagi cara pandang dan sikap ramah lingkungan pelan-pelan terbentuk sebagaimana yang kita temukan dalam pribadi Nabi Muhammad saw.

Namun demikian, pada tahap yang lebih lanjut, pembentukan moral yang sifatnya perseorangan ini tentu saja mesti dipikirkan bagaimana agar dapat terorganisasi dalam sebuah upaya yang menyeluruh dan sistematis, karena tantangan yang dihadapi saat ini sudah jauh berbeda daripada abad-abad sebelumnya. Percepatan arus informasi dan komunikasi bagaimanapun pada satu sisi juga telah mempercepat berbagai proses perubahan sosial, termasuk juga pengrusakan lingkungan yang dilakukan oleh manusia.


Penutup

Sejarah kehidupan Nabi Muhammad saw. merupakan sumber inspirasi yang penting untuk terus digali. Sebagai rujukan moral, sosok Nabi menjadi teladan bagi seorang muslim untuk semua aspek kehidupannya. Berbagai tantangan baru yang dihadapi umat manusia saat ini sangat mungkin untuk didiskusikan dalam kerangka nilai-nilai kenabian sebagaimana dicoba dalam tulisan ini.

Nilai-nilai kenabian yang berusaha dibahas dan diintegrasikan dengan pendekatan disiplin pendidikan lingkungan pada uraian di atas masih berada dalam kerangka perseorangan meski juga bisa diperluas dalam wilayah sosial. Mengikuti uraian Speth (2008: 62), pertumbuhan yang tidak lestari yang merupakan ungkapan lain bagi krisis lingkungan di antaranya memang melibatkan manusia atau masyarakat yang mengusung kerangka moral destruktif, seperti konsumerisme. Meski begitu, ulasan di atas masih belum memasukkan dua unsur penting lainnya yang disebut Speth, yakni perusahaan modern dan pemerintah. Ke depan, penelitian ke arah tersebut menjadi tantangan tersendiri, termasuk juga untuk mendialogkannya dengan sirah Nabi Muhammad.

Wallahu a‘lam.



Daftar Pustaka

Abdul-Matin, Ibrahim. 2010. Green Deen: What Islam Teaches about Protecting the Planet. San Francisco: Berrett-Koehler Publisher Inc.

al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad. t.t.. Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn. Beirut: Dar al-Fikr.

Ibn Hajar al-‘Asqalânî, Ahmad ibn ‘Alî. 2004. Fath al-Bârî Syarh Shahîh al-Bukhârî. Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Izutsu, Toshihiko. 1993. Konsep-Konsep Etika Religius dalam Qur’an. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Muhammad, Chalid. 2008. “Ecological Disasters and Indonesia's Future Threats”, The Jakarta Post (Daily Newspaper), 22 December 2008. Diakses dari http://www.thejakartapost.com/news/2008/12/22/ecological-disasters-and-indonesia039s-future-threats.html pada 5 Maret 2010.

Leonard, Annie. 2008. “Story of Stuff: Referenced and Annotated Script”. Diakses dari http://www.storyofstuff.com pada 18 Januari 2010.

Lings, Martin. 2009. Muhammad: Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik. Jakarta: Serambi.

Madjid, Nurcholish. 1992. Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Paramadina.

Nasr, Seyyed Hossein. 1988. Man and Nature: The Spiritual Crisis in Modern Man. London: Unwin Paperback.

Nordström, Hanna Kaisa. 2008. “Environmental Education and Multicultural Education – Tool Close to Be Separate?”. International Research in Geographical and Environmental Education 17: 2, hlm. 131-145.

al-Qurthubi, Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Anshari. 2007. al-Jâmi‘ li-Ahkâmil Qur’ân. Kairo: Dârul Hadits.

Ramadan, Tariq. 2007. The Meaning of the Life of Muhammad. London: Allen Lane (Penguin Books).

al-Razi, Fakhruddin Muhammad bin ‘Umar bin al-Husayn. 2004. al-Tafsîr al-Kabîr (Mafâtîhul Ghayb). Beirut: Dârul Kutub al-‘Ilmiyyah.

Shihab, M. Quraish. 2009. Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati.

Shihab, M. Quraish. 2011. Membaca Sirah Nabi Muhammad saw dalam Sorotan al-Qur’an dan Hadits-Hadits Shahih. Jakarta: Lentera Hati.

Singer, Peter. 2004. One World: The Ethics of Globalization. New Haven & London: Yale University Press.

Shiva, Vandana. 1989. Staying Alive: Women, Ecology and Development. London: Zed Books.

Speth, James Gustave. 2008. The Bridge at the Edge of the World: Capitalism, the Environment, and Crossing from Crisis to Sustainability. New Haven & London: Yale University Press.

UNDP. 2007. “The Other Half of Climate Change: Why Indonesia Must Adapt to Protect its Poorest People”. Jakarta: UNDP Indonesia. Diakses dari http://www.undp.or.id/pubs/ pada 14 Mei 2010.

Vaquette, Philippe. 2001. Belajar Mencintai Alam: 43 Permainan yang Menggugah Penginderaan pada Alam untuk Anak-Anak Usia 5 sampai 12 Tahun. Penyadur: D.M. Wirawati Suharno. Jakarta: Penerbit Djambatan.


Tulisan ini merupakan makalah yang disampaikan dalam International Conference on Islamic Civilization dengan tema "Reinventing Prophetic Ways of Life for Human Advancement" pada tanggal 29-30 Agustus 2014 yang diadakan oleh Fakultas Humaniora UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Juga diterbitkan dalam prosiding acara tersebut. Foto di atas adalah dokumentasi panitia dengan sedikit penyuntingan.

Read More..