Selasa, 08 Mei 2012

Surat Terbuka untuk Pak Polisi (tentang Anarki, Penghakiman Massa, Maling Sapi, dan lain-lain)


Yang terhormat,
Pak Polisi Sektor Guluk-Guluk dan Resor Sumenep
di tempat tugas

Assalamu’alaikum wr. wb.

Pak Polisi, apa kabar? Apa Bapak sempat membaca koran Radar Madura edisi Ahad (6/5) kemarin? Saya terkejut saat membaca teras berita yang cukup menghebohkan di halaman pertama Radar Madura. Judulnya “Massa Bakar Maling Hidup-Hidup”.

Di bawah judul itu, ada sebuah foto besar yang menampilkan gambar sejumlah orang di sisi kiri dan api yang sedang berkobar di sisi kanan. Orang-orang itu tidak sedang main api unggun, karena di antara kobaran api itu ada semacam papan dinding yang terbuat dari anyaman bambu. Di dekat kobaran api itu, tampak sebuah sudut bangunan. Membaca keterangan foto, saya tahu bahwa yang terbakar itu adalah kandang sapi.

Tentu Bapak sudah tahu detailnya. Tapi izinkan saya meringkas kabar yang saya baca dari Radar Madura itu. Berita itu mengabarkan peristiwa amuk massa di Dasuk Laok, Dasuk, Sumenep. Radar Madura menyebutkan, sekitar 1.500 orang membakar hidup-hidup seorang yang diduga gembong maling sapi. Selain menghakimi dan mengeksekusi sendiri maling sapi yang bernama Alwan (50) itu, massa kemudian juga memburu maling sapi lain di desa lain di Kecamatan Dasuk yang diduga masih komplotannya Alwan. Namanya Nur Bahri. Namun Nur Bahri tak ada di rumah. Massa melampiaskan kemarahan mereka dengan membakar rumah dan kandang sapi Nur Bahri.

Pak Polisi. Saya tertarik mencermati apa yang dikatakan oleh polisi setempat menanggapi berita itu. Kapolsek Dasuk AKP Zulkarnain melalui Kanit Reskrim Dasuk Ipda Haryono berujar, “Saya lagi malas wawancara. Nanti sajalah.”

Di Radar Madura keesokan harinya, yakni edisi Senin (7/5), tak ada tanggapan resmi dari pihak kepolisian terkait aksi anarkis dan penghakiman massa tersebut. Sebenarnya saya agak heran, Pak. Tidakkah aksi anarkis dan penghakiman massa seperti itu tergolong tindakan melawan hukum? Apakah bapak-bapak di sana diam-diam sedang menyelidiki masalah ini? Apakah komentar seperti di koran itu memang semacam strategi yang sudah menjadi semacam SOP (standard operating procedure) dalam penanganannya?

Pak Polisi. Membaca berita penghakiman massa tersebut saya jadi teringat Michel Foucault. Foucalt ini, Pak Polisi, adalah seorang filsuf besar Prancis yang populer dengan foto plontosnya. Dia menulis sebuah buku yang berjudul Discipline and Punish: The Birth of the Prison. Buku ini menelaah tentang pembentukan (disiplin) individu Eropa modern dengan titik fokus sejarah penjara.

Saya teringat Foucault karena dia pernah membahas soal aksi anarkis semacam itu—seperti yang di Dasuk itu, Pak. Melalui penelitian sejarah, Foucault di antaranya membahas tentang popular justice. Kakak angkatan saya di Filsafat UGM, Seno Joko Suyono (2002: 313-314), dalam skripsinya menulis bahwa popular justice adalah “istilah yang dipakai Foucault untuk menyebut fenomena riuh di masa lampau akan adanya berbagai tindakan pengadilan langsung yang dilakukan oleh masyarakat atas orang-orang yang terbukti berlaku sewenang-wenang terhadap masyarakat tanpa diperlukan lembaga perantara di antara masyarakat dan mereka yang menjadi sasaran kemarahan masyarakat seperti halnya pengadilan kini”.

Aksi anarkis yang disebut popular justice ini menurut Foucault lahir di Eropa di sepanjang abad ke-14 hingga abad ke-18 sebagai aksi perlawanan terhadap fiskalisasi sistem pengadilan yang menguntungkan sekelompok elite masyarakat. Pak Polisi, si Foucault ini memang orang yang percaya bahwa lembaga pengadilan bukanlah institusi pemberi hukuman yang netral. Nah, aksi-aksi anarkis semacam ini menurut Foucault mulai surut setelah lembaga peradilan mulai memperlengkapi dirinya dengan penjara.

Dalam skripsinya, Seno Joko Suyono (2002: 316) yang kini menjadi salah seorang jurnalis senior di Majalah Tempo menulis bahwa salah satu benang merah pembahasan Foucault tentang popular justice dan kelahiran penjara ini menunjukkan bahwa “lembaga peradilan yang kini sah disepakati sebagai institusi penegak keadilan merupakan institusi yang ternyata dalam sejarahnya tidak dikehendaki kehadirannya oleh masyarakat”.

Wah, pemikiran Foucault ini tentu bagi Bapak yang berstatus sebagai penegak hukum akan terdengar cukup “mengerikan” ya. Saya saja masih sulit untuk menerima pemikiran semacam itu. Bayangkan saja, bagaimana jadinya jika tak ada lembaga peradilan? Di mana keadilan akan dicari? Pak Polisi, tampaknya cukup menarik jika kita bisa berdiskusi soal ini lebih mendalam.

Terus apa hubungannya berita di Radar Madura itu dengan si Foucault? Juga tanggapan polisi yang katanya lagi malas wawancara itu?

Sebenarnya cukup sederhana, Pak. Melalui Foucault, saya kok jadi menduga bahwa aksi anarkis dan penghakiman massa seperti itu terjadi karena kekecewaan masyarakat atas kerja lembaga kepolisian, terutama dalam mengatasi masalah pencurian. Sama seperti aksi popular justice di Eropa yang berlatar kekecewaan masyarakat atas fiskalisasi sistem pengadilan.

Andai sekarang Foucault masih hidup, dan kebetulan sedang bertamasya ke Pantai Lombang dan mendengar kabar heboh di Radar Madura itu (eh, tapi Foucault tak bisa bahasa Indonesia ya), ia mungkin akan semakin yakin dengan tesisnya tentang popular justice dan lembaga peradilan itu.

Tapi saya pikir mungkin sebenarnya saya tak perlu harus mengundang Foucault di surat ini untuk berkesimpulan bahwa masyarakat selama ini telah cukup sering kecewa dengan kerja penanganan kriminalitas oleh kepolisian. Kesimpulan semacam ini paling tidak bisa saya dapatkan dari rekaman percakapan sehari-hari beberapa warga di sekitar saya.

Ambil contoh saja kasus yang cukup populer. Bapak ‘kan tahu, masyarakat Madura itu banyak yang memelihara sapi. Dan setiap kali saya mendengar kasus pencurian sapi, saya sering sedih karena masyarakat, terutama yang berasal dari kelas menengah ke bawah, akan kesulitan untuk mendapatkan haknya atas keadilan. Sulit sekali sapi yang dicuri bisa kembali—saya jadi berpikir mungkin maling sapi jauh lebih hebat daripada para teroris yang suka main bom itu. Kadang sapi yang dicari ditemukan, namun si maling malah minta tebusan. Ibarat jatuh masih kena roboh tangga.

Saya mengambil contoh kasus pencurian sapi karena ini kasus aktual di desa saya. Jum’at dini hari dua minggu yang lalu (27/4), misalnya, salah seorang tetangga saya kehilangan sepasang sapinya. (Sebetulnya itu sapi adik saya yang dipelihara salah seorang tetangga dekat kami.) Tak lama setelah dilakukan pencarian, ditemukanlah salah seekor sapi yang hilang itu di desa tetangga. Setelah diurus, lalu ada desas-desus: jika satu ekor sapi lainnya ingin ditemukan, silakan bayar dua juta rupiah. Dengan kata lain, minta tebusan.

Kasus ini semakin mengenaskan lagi, Pak. Kepala Desa beserta perangkatnya yang kami hubungi malah bilang hal seperti itu biasa. Hilang dua kembali satu, dan dimintai tebusan. Biasa? Saya tidak yakin Pak Klebun ini bisa bergurau menghadapi masalah seperti ini. Bukannya mau membantu mencarikan sapi yang hilang atau melaporkannya ke pihak kepolisian, dia malah terkesan diam saja. Saya berpikir, apakah dia masih sibuk mengurusi tuntutan sejumlah masyarakat yang mempersoalkan pembagian beras untuk masyarakat miskin yang tak beres dan sempat digugat ke DPRD beberapa waktu lalu?

Seminggu setelah peristiwa pencurian itu, lagi-lagi ada pencurian sapi di desa sebelah. Saya tidak tahu detail kelanjutannya. Yang jelas para tetangga di desa saya saat ini menjadi resah.

Pak Polisi, tampaknya alur kisah kasus pencurian sapi nyaris selalu seperti itu. Masyarakat bawah menjadi korban dan sulit sekali menemukan keadilan. Ini pengamatan awam saya, yang tak punya data detail seperti Bapak.

Jadi, membaca berita di Radar Madura, setelah saya berpikir seperti ini, saya kok rasanya menjadi tidak terkejut lagi, Pak. Pak Polisi, masyarakat tampaknya sudah capek. Bapak tahu, kehidupan ekonomi masyarakat kian hari kian sangat sulit. Lalu harta berharga mereka, sapi, dicuri. Keadilan hanya mimpi. Para pengurus publik tampak tak punya empati. Jadi, kalau proposisi-proposisi seperti ini disusun rapi, saya kira kesimpulannya akan mudah ditemukan. Tak perlu kuliah Logika untuk menguji validitas penyimpulannya: bahwa aksi anarkis dan penghakiman massa itu adalah buah dari kekecewaan atas susahnya menemukan keadilan.

Memikirkan kesimpulan saya ini, saya mencoba menemukan dan menyusun proposisi-proposisi yang lain—proposisi alternatif—yang diharapkan dapat mengantarkan pada kesimpulan berbeda. Tapi ternyata saya sulit sekali dan tak berhasil menemukan proposisi alternatif itu. Apa Bapak kira-kira bisa membantu?

Apakah Kapolsek Dasuk yang bilang lagi malas wawancara itu sebenarnya sama seperti saya yang sudah berusaha mencari proposisi alternatif dan ternyata benar-benar tak bisa menemukan kesimpulan lain, lalu yang ada hanya kesimpulan yang berbau Foucault seperti di atas tadi? Hanya saja Pak Kapolsek mungkin merasa tak pantas untuk mengemukakan kesimpulan semacam itu kepada publik.



Saat saya menyimpan kesimpulan seperti di atas tadi, secara kebetulan Senin (7/5) kemarin saya membaca sebuah berita menarik di Kompas. Berita itu tampaknya adalah semacam tanggapan, rangkuman, atau refleksi atas kasus heboh “Koboi Palmerah” yang ramai dibicarakan masyarakat di berbagai situs jejaring sosial. Kompas menurunkan tulisan yang agak komprehensif tentang arogansi aparat TNI dan Polri belakangan ini. Data Kompas menyebutkan bahwa di tahun 2011, ada 657 kasus kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian, baik berupa penyiksaan, penganiayaan, penembakan, pelecehan seksual, intimidasi, ataupun penangkapan dan penahanan sewenang-wenang.

Kompas mengutip Kepala Lembaga Pendidikan Polri Komisaris Jenderal Oegroseno. Oegroseno tak menampik masih adanya perilaku arogan di jajaran kepolisian itu. Menurutnya, ini tak bisa dilepaskan dari rendahnya pendidikan di kalangan anggota kepolisian dan kurangnya pengawasan di lapangan. Sampai di sini, misi pengayoman dan perlindungan yang menjadi norma menjadi bermasalah.

Banyak pendapat dikutip di Kompas, termasuk Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro yang mengatakan bahwa mental arogan itu tak ada—kejadian semacam “Koboi Palmerah” adalah kasuistis.

Pak Polisi, mungkin surat saya ini sudah terlalu panjang. Intinya, melalui kesempatan ini, saya ingin mengatakan kepada Bapak bahwa jika Bapak melakukan pembiaran terhadap berbagai tindakan pelanggaran hukum di wilayah Bapak, sangat mungkin tindakan anarkis dan penghakiman massa seperti yang terjadi di Dasuk itu terulang kembali. Saya kira proposisi saya di atas jika disusun akan cukup kuat untuk tiba pada kesimpulan semacam ini.

Di desa saya dan sekitarnya, belakangan cukup marak berbagai kejadian yang mestinya ditindaklanjuti dan diatasi. Perjudian (togel) dan pencurian, misalnya, cukup sering terjadi. Sayang saya belum punya waktu untuk mencatat kasus-kasus pencurian mulai dari tabung gas elpiji, mesin pompa air, hingga sapi yang dalam beberapa tahun terakhir cukup sering saya dengar. Yang jelas itu semua tak boleh dibiarkan, karena ada Bapak di sini, yang mengemban tugas mulia dari negara untuk mengatasinya.

Bagi Bapak yang terhormat, menangani tindakan pelanggaran hukum adalah tugas negara, dan itu, dalam bahasa Stephen Covey, berada dalam lingkaran pengaruh (circle of influence) Bapak. Bagi kami yang awam, itu sekadar ada dalam lingkaran kepedulian (circle of concern) kami. Jadi tolong, jangan sampai Bapak membuat masyarakat menganggap Bapak sudah tiada, sehingga secara paksa mereka kemudian menobatkan diri sebagai yang berwenang untuk menumpas kesewenang-wenangan seperti kasus-kasus pencurian itu.

Kiranya ini yang bisa saya sampaikan. Mohon maaf jika ada kata-kata yang kurang berkenan. Semoga Bapak diberi kekuatan untuk menjalankan tugas pengabdian di tengah banyaknya keterbatasan dan masalah. Saya percaya, jika niat baik dan niat tulus diperjuangkan, keterbatasan tak akan jadi penghalang untuk melakukan sesuatu demi kebaikan.

Wassalam,

Guluk-Guluk, 8 Mei 2012

M. Mushthafa

Read More..