Jumat, 14 Desember 2012

Menularkan Semangat Modern Raden Saleh: Catatan Seorang Guru SMA

Potret diri Raden Saleh - foto diambil dari Wikipedia
Apa makna mendiskusikan Raden Saleh dalam pelajaran Seni Budaya di ruang kelas sebuah SMA di pedalaman Madura? Saat pertama kali diberi tugas untuk mengampu pelajaran Seni Budaya di Kelas XII SMA 3 Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep, pada tahun pelajaran 2007/2008, pertanyaan semacam ini tak pernah terlintas dalam benak saya.

Namun, seiring berjalannya waktu serta bertambahnya bacaan dan pengalaman saya, saya seperti menghayati semangat tertentu saat di awal tahun pelajaran 2012/2013 ini mendiskusikan Raden Saleh bersama murid-murid di ruang kelas. Saya merasa menemukan makna tertentu di balik diskusi yang diliputi nuansa kesejarahan tersebut.

Membawa Raden Saleh ke ruang kelas nun jauh di pelosok Madura bagi saya terasa seperti mengantar semangat modern ke hadapan murid-murid saya. Di mata saya, mendiskusikan sosok Raden Saleh di depan murid yang kebanyakan bahkan masih tak pernah menginjakkan kaki di Jakarta adalah menanamkan semangat kosmopolitanisme untuk sebuah masa depan yang semakin majemuk.

Lini masa Raden Saleh di sepanjang abad ke-19 mencerminkan pergulatan seorang pemuda Indonesia yang mengecap gairah modern Eropa. Modernisme Raden Saleh tampak dari fakta bahwa dialah yang pertama merintis seni lukis modern Indonesia yang dibawanya dari Eropa setelah berkelana lebih 20 tahun di sana. Raden Saleh juga dipandang memelopori pelajaran kesenian di Indonesia, karena pada 1863 dia menyusun buku pelajaran menggambar untuk anak-anak sekolah dan disebar ke beberapa wilayah Nusantara.

Namun peneguhan label modern untuk Raden Saleh tak semata berdasar atas fakta-fakta tersebut. Modernisme adalah juga terutama sebuah gagasan. Memberikan label modern kepada Raden Saleh dalam dunia seni rupa Indonesia juga dilakukan karena dia membawa ide modern dalam karya lukisannya.

Salah satu gagasan modern yang mengemuka dari Raden Saleh adalah sumbangannya dalam membentuk sikap antipenjajahan. Lukisannya yang berjudul “Penangkapan Pangeran Diponegoro” yang diselesaikan pada 1857 dan dipersembahkan kepada Raja Willem III di Den Haag banyak diulas dan diapresiasi berbagai kalangan untuk menunjuk pada kesimpulan ini.

Semangat antipenjajahan ini, yang bagi sebagian kalangan juga dipandang sebagai cikal bakal tumbuhnya nasionalisme, saya diskusikan dengan penuh semangat di ruang kelas bersama murid-murid saya. Saat makna kebangsaan kini tertantang oleh aneka problem kebangsaan dalam kehidupan sosial yang semakin mendunia, saya jadi merasa seperti tengah memunguti semangat yang tersimpan dalam kisah hidup pelukis berdarah Arab ini untuk kemudian meletakkan nasionalisme dalam konteks yang lebih bermakna.

Dalam beberapa sumber, seperti ditulis oleh Werner Kraus, digambarkan betapa Raden Saleh—yang pernah tinggal di Belanda, Jerman, dan Prancis—sangat terpikat dengan modernisme Eropa. Kraus secara khusus menggambarkan bahwa kota Dresden di Jerman menjadi tempat yang istimewa di hati Raden Saleh. Tak hanya menemukan ekspresi artistik dan kepercayaan dirinya sebagai seorang seniman, periode Dresden digambarkan sebagai masa paling bahagia dalam hidupnya. Di sisi yang lain, masyarakat Jerman memberikan penghormatan yang tinggi kepadanya. Kisah Raden Saleh di Maxen, selatan Dresden, dan tinggalannya berupa Masjid Biru menjadi bagian dari peringatan ke-750 hari jadi kota Maxen tahun 2005 lalu.

Namun demikian, Raden Saleh melalui lukisan “Penangkapan Pangeran Diponegoro” tampak menyerap gagasan modern. Ia tampil sebagai individu yang independen. Meski mengagumi dan lama dididik, bekerja, dan dibesarkan di Eropa, Raden Saleh melalui adikaryanya itu memperlihatkan keteguhannya untuk menjungkirbalikkan gambaran Nicolaas Pieneman tentang peristiwa penangkapan Pangeran Diponegoro pada 28 Maret 1830. Fakta-fakta dalam lukisan Pieneman yang dibuat atas pesanan Letnan Jenderal Hendrik Merkus de Kock berjudul “Penyerahan Diri Diponegoro” (1835) itu oleh Raden Saleh dibalik dan dibantah.

Sikap independen yang bertolak dari prinsip dan gagasan modern seperti antipenjajahan atau antipenindasan ini yang juga diperkaya dengan pengalaman dunia dan dedikasinya pada dunia seni bagi saya adalah semangat yang sangat berharga untuk ditanamkan pada generasi muda yang menurut saya akan menghadapi sebuah masa depan yang semakin mondial.

Saat mengakhiri kelas yang baru saja membahas tiga artikel tentang Raden Saleh dari berbagai sumber terpilih pekan lalu, saya teringat potret diri Raden Saleh di Rijksmuseum Amsterdam yang sempat saya tatap lekat-lekat di bulan Desember 2009. Saya membayangkan kelak di antara murid-murid saya ini mungkin akan ada yang juga menatap lukisan yang sama di museum terkemuka di Belanda itu. Mereka mungkin akan bersentuhan langsung dengan berbagai peradaban dunia. Atau saya pikir paling tidak mereka kelak pasti akan banyak bergelut dengan ide-ide dunia dan gagasan modern.

Dalam konteks dan kerangka seperti inilah, saya pikir pergulatan hidup Raden Saleh menjadi relevan untuk direfleksikan bersama murid-murid saya.

Guluk-Guluk, 16 September 2012


Bahan Bacaan

Dharmawan, Budi N.D.. 2012. “Pionir di Celah Dua Loka”. National Geographic Indonesia, Mei 2012.

Kraus, Werner. 2004. “Raden Saleh di Jerman”. Jurnal Kalam, No 21, 2004.

Sachari, Agus. 2010. Seni Rupa dan Desain untuk SMA Kelas XII. Jakarta: Erlangga. Cetakan Ketiga.

Supangkat, Jim. 2000. “Raden Saleh dan Revolusi 1848”. 1000 Tahun Nusantara. Editor: J.B. Kristanto. Jakarta: Penerbit Kompas.

Suyono, Seno Joko, dkk. 2010. “Merawat Raden Saleh”. Majalah Tempo, 5 Juli 2010.


Esai ini menang dalam Kompetisi Esai Mengenang Raden Saleh (Kategori Akademisi) yang diadakan oleh Goethe Institut Indonesia, Tempo Institute, Majalah Historia, dan Badan Kerjasama Kesenian Indonesia (BKKI). Fragmen esai ini dibacakan dalam Peluncuran Buku Raden Saleh: Awal Seni Lukis Modern Indonesia karya Dr. Werner Kraus di Langgeng Art Foundation, Yogyakarta, 12 Desember 2012.

Read More..

Kamis, 15 November 2012

Berbagi Rasa Eropa


Tiap kali mengingat pengalaman Eropa selama 10 bulan dalam rentang 2009-2010, saya senantiasa bersyukur. Menjalani studi di Utrecht, Belanda, dan Trondheim, Norwegia, dengan dukungan beasiswa dari Uni Eropa, saya tak hanya memperoleh pengalaman akademik yang menarik, tapi juga pengalaman hidup yang lebih berwarna.

Perjumpaan dengan manusia dengan latar yang sangat beragam, kehidupan di negeri dengan musim yang bahkan cukup ekstrem, hidup dalam tatanan sosial yang berbeda, nilai dan ideologi atau keyakinan yang berlainan, semua merupakan pengalaman berharga yang saya temukan dalam wajah Eropa.

Saya juga bersyukur bahwa sejak menjelang keberangkatan saya ke Eropa dulu hingga kembali ke kampung halaman, saya sempat menulis sekitar 30 catatan bertajuk pengalaman Eropa. Catatan-catatan itu mengangkat tema yang beragam: pengalaman ribetnya mengurus dokumen sebelum berangkat, pengalaman bersepeda di Belanda, pengalaman “menggelandang” semalam di Frankfurt, pengalaman mengunjungi museum Anne Frank di Amsterdam, kesan lalu-lalang di kereta bawah tanah kota Paris, keterpukauan menyaksikan daun-daun yang berjatuhan di musim gugur, kesunyian musim dingin, keterpencilan kota Trondheim, Norwegia, di dekat lingkar kutub utara, dan sebagainya. Ada juga catatan yang ditulis lebih setahun setelah kepulangan saya dari Eropa. Tulisan itu mengenang sebuah tempat di dekat kampus di Trondheim yang menjadi eksotis saat musim semi datang dan bunga-bunga liar bertebaran di pinggiran hutan.

Saya telah membagikan tulisan-tulisan itu di blog saya, langsung setelah tulisan-tulisan itu dibuat. Akan tetapi, meski menurut catatan tulisan-tulisan itu telah diklik oleh puluhan bahkan ratusan pengunjung, saya masih ingin tetap berbagi rasa Eropa yang saya rekam dalam tulisan-tulisan saya itu.

Ada beberapa pengalaman yang tak sempat saya tulis saat saya di Eropa. Karena itu, saya pikir idealnya mungkin saya mesti menulis ulang pengalaman Eropa itu secara lebih utuh. Namun saya masih tak berhasil mengatur waktu saya untuk hal ini. Hingga sekarang, saya membiarkan beberapa pengalaman itu hanya tercatat sebagai tema yang seperti menunggu waktu untuk dituliskan. Apa mungkin saya kekurangan kayu bakar untuk memasak ide-ide itu?

Akhirnya, setelah lebih dua tahun pulang dari Eropa, saya memutuskan untuk memilih tulisan-tulisan yang mencatat rasa Eropa itu. Saya ingin membukukannya, meskipun dengan cara dan kemasan yang sederhana. Setelah melalui proses yang relatif singkat, dengan berbagai pertimbangan, di hadapan saya akhirnya terpilih 20 tulisan.

Saya kemudian menatanya sendiri dengan perangkat lunak di komputer. Saya juga merancang sampulnya. Dalam hal ini, saya mungkin bisa dibilang cukup berani, atau nekat, karena sesungguhnya terkait dengan perangkat lunak perwajahan, saya benar-benar masih baru mulai belajar.

Saya menggunakan foto-foto jepretan saya ketika di Eropa untuk melengkapi tulisan-tulisan itu, termasuk juga untuk sampulnya. Saya tak bisa mengabaikan foto-foto saya itu, karena sebenarnya beberapa tulisan justru lahir dari gambar yang saya rekam dengan kamera saku saya saat di Eropa.

Demikianlah. Pada akhirnya, saya pun belajar menjadi wirausaha untuk membagikan rasa Eropa ini. Setelah semuanya rampung, saya membawa naskah dengan tebal 106 halaman itu ke percetakan. Saya memperbanyak naskah yang saya beri judul 10 Bulan Pengalaman Eropa itu hingga dua ribu eksemplar.

Sekarang saya hanya bisa penasaran, ke manakah kertas-kertas yang mencatat rasa Eropa itu akan menyebar. Saya juga penasaran, bagaimana rasanya racikan pengalaman yang saya susun dan saya sajikan ini di lidah para pembaca nanti.

Selebihnya, saya mengucapkan banyak terima kasih kepada mereka yang berkenan ikut mencicipi rasa Eropa sajian saya ini. Saya juga menyampaikan terima kasih kepada mereka yang memungkinkan rasa Eropa ini dapat saya alami dan dibagi. Terakhir, saya mohon maaf jika sajian saya kurang sempurna.

Tabik.

Read More..

Selasa, 23 Oktober 2012

Menepis Religiositas Instan

Judul buku : Doa Bukan Lampu Aladin: Mengerti Rahasia Zikir dan Akhlak Memohon kepada Allah
Penulis: Jalaluddin Rakhmat
Penerbit: Serambi, Jakarta
Cetakan: Pertama, Maret 2012
Tebal: 198 halaman


Ada satu kecenderungan kurang baik yang berkembang dalam kehidupan masyarakat saat ini: sikap hidup instan. Yang paling kasat mata berupa semakin banyak dan populernya makanan dan restoran cepat saji. Yang agak abstrak berupa sikap instan dalam belajar. Ini dapat dilihat dari semakin merebaknya lembaga pendidikan atau pelatihan yang—langsung atau tidak langsung—memberi iming-iming instan.

Agama atau spiritualitas juga termasuk wilayah yang terdera serangan semangat hidup instan ini. Seseorang yang merasakan dirinya sebagai pendosa tiba-tiba ikut bergabung dengan kelompok keagamaan yang tampaknya dipandang dapat memberi keteduhan spiritual. Maunya secara instan. Hadir dua tiga kali sudah merasa bersih dan tercerahkan.

Buku yang ditulis oleh intelektual muslim kondang, Jalaluddin Rakhmat, ini secara khusus membahas soal doa. Tapi kerangka besar yang ada di baliknya adalah semangat memerangi sikap instan dalam beragama. Judulnya saja secara metaforis sudah memperlihatkan gelora semangat tersebut: Doa Bukan Lampu Aladin.

Doa dalam semua agama merupakan salah satu titik sentral kegiatan ibadah. Doa adalah bentuk komunikasi para pemeluknya dengan Tuhan. Sayangnya, para penganut agama kadang memanjatkan doa dalam kerangka egoismenya. Mereka seakan ingin mendikte Tuhan dan berharap doanya dikabulkan seketika.

Inilah salah satu bentuk perilaku dan cara pandang instan dalam keberagamaan. Kang Jalal, sebutan populer Jalaluddin Rakhmat, melalui buku ini berusaha untuk meletakkan doa dalam kerangka keberagamaan yang lebih baik, yakni keberagamaan yang lebih dewasa. Menurut Kang Jalal, beragama yang matang adalah beragama yang dibangun di atas dasar cinta.

Jalal menerangkan bahwa kata doa berasal dari kata da‘â (bahasa Arab) yang berarti memanggil. Karena itu, pada makna terdalam, doa adalah panggilan pada Sang Kekasih. Doa bukan tuntutan, tapi harus berangkat dari ketulusan dan cinta. Jika doa, ibadah, atau segala amal kebaikan dilakukan untuk melayani kepentingan diri sendiri, pada tingkat spiritualitas tertinggi hal ini menjadi masalah yang serius karena akan dipandang sebagai kemusyrikan. Cukup masuk akal. Doa atau amal yang egois sebenarnya menduakan Tuhan dengan diri kita sendiri.

Dengan penuturan yang menarik, Jalal mengingatkan bahwa dalam sejarah, ada banyak kisah yang menceritakan betapa doa-doa para nabi atau kekasih Allah pun tidak langsung dikabulkan dalam sekejap. Doa Nabi Zakariyya untuk punya anak harus menunggu 60 tahun untuk dipenuhi Allah. Doa Nabi Musa agar Fir’aun dijatuhkan baru dijawab 40 tahun kemudian.

Doa dalam derajat tertinggi adalah doa yang merupakan bisikan cinta. Bagaimana menakar cinta kita kepada Allah? Jalal mengajak kita untuk merenung dengan mengajukan sebuah pertanyaan retoris: di manakah sebenarnya kita menempatkan Tuhan dalam hati kita serta dalam perilaku kita sehari-hari? Jalal menyebutkan bahwa di antara ciri pencinta Allah adalah bahwa ia kerap melakukan muhâsabah (koreksi diri) dan juga murâqabah. Yang terakhir ini berarti bahwa kita mengabdi kepada Allah seakan-akan kita melihat Allah, atau jika tidak demikian kita merasa bahwa Allah selalu mengawasi kita.

Landasan cinta adalah adab paling mendasar dalam berdoa. Adab lainnya, terang Jalal, hendaknya doa kita tidak meminta hal-hal yang sangat spesifik. Doa yang baik adalah doa yang lebih berisi pengakuan akan kehinaan dan kekecilan diri kita. Seperti doa Nabi Adam a.s. yang termuat dalam Alquran surat al-A‘râf/7: 23, “Ya Allah, kami telah menganiaya diri kami sendiri. Sekiranya Engkau tidak mengampuni kami, pasti kami menjadi orang yang merugi.”

Di antara doa yang cukup populer di semua agama adalah doa permohonan ampun. Dalam Islam, doa ini disebut istighfâr. Dalam salah satu bagian di buku ini, Jalal mengingatkan bahwa istighfâr bukanlah pemutihan. Kelirulah anggapan yang mengatakan bahwa dengan hanya ber-istighfâr, kita bisa lolos dari hukuman Tuhan. Jalal meluruskan bahwa doa istighfâr secara khusus mengandaikan beberapa hal. Pertama, istighfâr menuntut adanya penyesalan, pengakuan terus terang atas kesalahan kita. Ini diwujudkan dalam bentuk permintaan maaf pada orang yang telah dilanggar. Kedua, istighfâr mengharuskan kita untuk berkomitmen tidak akan mengulangi lagi kesalahan serupa.

Buku ini tampaknya memang bukan buku yang ditulis utuh. Judul buku ini sebenarnya diambil dari salah satu esai Kang Jalal di Majalah Ummat yang terbit tahun 1990-an dan dimuat di buku kumpulan esai Kang Jalal yang berjudul Reformasi Sufistik (1998). Namun demikian, meski berupa antologi, buku ini sangat menarik untuk dibaca—sebagaimana buku-buku Kang Jalal yang lainnya.

Dalam bingkai yang besar, buku ini hendak menjaga kita agar tidak terjebak dalam religiositas atau spiritualitas instan. Dari sudut pandang yang lain, kita dapat melihat Kang Jalal melalui bukunya ini ingin menjaga agar agama tidak ikut menjadi bagian dari budaya populer yang dangkal. Bukankah keberagamaan yang dangkal bisa jadi akan memunculkan hal-hal yang kadang justru bertentangan dengan visi mendasar keagamaan itu sendiri?

Esai-esai reflektif dalam buku ini juga memuat hal-hal spesifik tentang doa. Misalnya, tentang amalan doa sebelum tidur, doa memohon perlindungan dan keluasan rizki, dan sebagainya. Jalal juga melampirkan doa-doa praktis sehari-hari. Ada doa memohon kesejahteraan dan keselamatan yang diambil dari doa Imam Ali Zainal Abidin—salah seorang imam Syiah—yang bagian-bagiannya oleh Jalal dibahas cukup mendalam. Maklum, Jalal memang identik dan menguasai ajaran-ajaran Syiah.

Buku ini bernilai penting untuk ikut mendewasakan keberagamaan masyarakat. Dengan beragama secara dewasa, kita bisa berharap bahwa agama dapat lebih strategis memainkan peran transformatif dalam kehidupan masyarakat.

Read More..

Rabu, 26 September 2012

Menyiram Pohon, Merawat Kehidupan


Sejak pertengahan Juni lalu, saya punya kegiatan tambahan di sela bermacam kegiatan utama saya. Kegiatan tambahan itu adalah menyiram pohon. Ceritanya, Juni lalu, di akhir acara Kemah Lingkungan yang diadakan oleh komunitas peduli lingkungan di sekolah tempat saya mengajar (Pemulung Sampah Gaul [PSG] SMA 3 Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep), ada penanaman pohon di halaman sekolah. Pohon yang ditanam bermacam. Ada pohon nangka, disusul dengan rambutan, melinjo, dan mangga. Pohon-pohon inilah yang sesekali saya siram.

Sudah lebih tiga bulan kegiatan ini saya lakukan. Pagi-pagi sekali, atau kadang sore hari, saya mengangkut air-air dalam timba ke paling tidak enam titik utama di halaman sekolah.

Sebenarnya perawatan pohon ini ditangani oleh anak-anak anggota PSG. Namun saya ingin turut menyiram dan merawat pohon-pohon ini. Pada saat liburan puasa dan lebaran, saat sekolah libur dan santri-santri pulang, tugas menyiram saya catat dengan garis tebal di agenda saya. Maklum, di tengah cuaca yang sangat panas, pohon-pohon itu tentu sangat membutuhkan air.

Saat cukup lama tak disiram, beberapa daun pohon nangka, misalnya, sempat tampak mengering. Mungkin juga karena terus diterpa terik matahari. Akhirnya, saya meletakkan semacam pelindung di atas pohon nangka itu agar tak langsung diterjang sinar matahari di siang hari.

Suka duka menyiram pohon juga saya rasakan. Pernah suatu kali bibit pohon trembesi yang sudah ditanam dan disiram selama sekitar dua pekan dipatahkan orang. Bahkan ada yang dicabut oleh entah siapa. Tentu saya sedih. Juga bercampur marah. Saya bertanya-tanya: ke manakah kini air-air yang telah saya siramkan dan diserap pohon trembesi itu?

Mencari sumber air terdekat untuk diangkut ke titik penyiraman juga menjadi bagian dari kisah saya. Jika saya harus mengangkut air dari rumah saya yang memang bersebelahan dengan sekolah, saya harus berjalan sekitar 70 meter ke titik terdekat pohon di sekolah itu. Dari sumber yang sama, ke titik paling jauh saya berjalan sekitar 120 meter.

Di lingkungan sekolah sebenarnya ada keran air. Hanya saja ia tidak mengalir sepanjang waktu. Karena itu, saat saya tahu keran air itu sedang mengalir, dan di rumah air sedang relatif terbatas, dan pohon-pohon itu sudah cukup lama tak disiram sehingga tanahnya sangat kering, saya tak bisa menyia-nyiakan kesempatan itu. Saya pun mengangkut air-air dalam timba dari keran air yang berjarak 40 meter ke titik terdekat pohon yang ditanam di sekolah.

Menjalani kegiatan baru ini, saya jadi teringat esai Dewi Lestari yang dimuat di Pikiran Rakyat, 23 Juli 2006. Menanam pohon, dalam pemaparan Dee, panggilan akrab Dewi Lestari, adalah sebentuk tanggung jawab kita untuk membayar suplai oksigen yang kita hirup setiap hari. Saya berpikir bahwa melalui pepohonan itu, Allah telah memberikan oksigen untuk kita secara gratis. Jadi betapa tak tahu dirinya jika manusia hanya bisa menebangi pohon.

Bagi saya, menyiram pohon pada akhirnya adalah rasa syukur kepada Allah dan keinginan untuk ikut merawat kehidupan. Sesungguhnya, kaum muslim setiap hari senantiasa menegaskan sebutir gagasan penting yang sangat terkait dengan hal ini setiap kali shalat, paling tidak 17 kali sehari: bahwa Allah itu rabb alam semesta. M. Quraish Shihab menerjemahkan ayat kedua surat al-Fatihah itu sebagai berikut: “Segala puji hanya bagi Allah pemelihara seluruh alam.”

Lebih dari sekadar menanam, menyiram adalah sebuah kegiatan yang saya pikir cukup menantang. Saya cukup sering membaca berita di media massa tentang kegiatan penanaman sejumlah pohon di beberapa tempat. Frasa penanaman seribu pohon tampaknya sudah begitu populer untuk menunjukkan kecintaan pada alam atau lingkungan hidup. Akan tetapi, setiap kali mendengar kabar tentang kegiatan semacam ini, pikiran saya selalu dipenuhi dengan tanda tanya: setelah ditanam, lalu siapa yang merawatnya?

Saya cukup percaya bahwa kehidupan kita saat ini tampaknya memang telah banyak dikuasai oleh paradigma produksi. Orang-orang didorong untuk menghasilkan sesuatu sebanyak mungkin, termasuk juga untuk menorehkan catatan prestasi yang sifatnya produktif. Namun cukup banyak orang yang lupa pada paradigma konservasi. Kita kadang abai untuk merawat hal-hal berharga yang telah menjadi milik kita. Merawat hal yang berharga kadang diremehkan sehingga tak digolongkan sebagai sebentuk prestasi.

Pada titik ini, menyiram pohon, merawat kehidupan, bagi saya adalah juga melatih menjaga hal-hal berharga yang saya miliki saat ini. Kehidupan adalah hal mendasar yang sangat berharga yang melandasi kegiatan peradaban lainnya. Untuk itu, meski dalam tingkat yang sederhana, saya ingin menjadi bagian dari mereka yang ikut menjaga hal-hal berharga yang telah diraih manusia.

Dengan gagasan seperti ini, rasa lelah saat mengangkut air-air dalam timba itu tak begitu terasa. Saya tahu bahwa air-air itu tak akan sia-sia. Delapan liter untuk tiap pohon akan tercatat bersama tunas-tunas hijau yang akan merimbunkan halaman. Kemudian kelak kicau burung akan lebih sering terdengar di halaman sekolah kami, seolah ikut mengucap syukur atas anugerah kehidupan untuk kami semua.

Read More..

Kamis, 13 September 2012

350 Kata: Agar Siswa Mencintai Bahasa


Setiap masuk ke tahun pelajaran baru di sekolah, saya selalu berusaha memunculkan pertanyaan berikut: apa hal baru yang saya tawarkan untuk dibawa ke ruang pembelajaran di dalam kelas? Pertanyaan ini saya ajukan untuk diri saya sendiri terutama sebagai pengingat bahwa sebagai guru saya seharusnya terus mencoba melakukan hal-hal baru yang sifatnya pengembangan sehingga proses pembelajaran punya peluang yang lebih besar untuk menjadi lebih baik.

Jawaban seperti apa yang sebenarnya saya harapkan? Terus terang, saya sesungguhnya menginginkan jawaban yang relatif lebih jelas dan terukur. Maksudnya? Saya tidak terlalu mengharapkan jawaban-jawaban yang masih belum begitu jelas wujudnya dalam tingkat penerapannya. Misalnya, “Saya akan memperbanyak metode dialog dan diskusi di dalam kelas”; atau “Saya akan menyentuh unsur kecerdasan emosional dan spiritual siswa”; dan semacamnya.

Jawaban seperti ini memang terdengar bagus. Namun demikian, saya pikir jawaban semacam ini masih berjarak cukup jauh dengan ruang kelas. Kedengarannya masih mengawang-awang. Jawaban seperti ini, menurut saya, lebih cocok menjadi semacam visi (pembelajaran) yang mendasari berbagai bentuk nyata butir kegiatan pembelajaran lainnya yang lebih terperinci.

Tentu saja visi dalam pengertian seperti ini memang dibutuhkan. Akan tetapi saya sekarang tidak sedang mau memusatkan pembicaraan atau membahas panjang soal visi. Saya ingin bertanya hal konkret yang hendak dilakukan seorang guru di ruang kelas yang sifatnya baru dan belum dilakukan sebelumnya—paling tidak oleh guru itu sendiri.

Atas pertanyaan ini, apa jawaban saya tahun ini? Saya punya satu jawaban sederhana: untuk pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia kelas X di SMA 3 Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep, tahun pelajaran ini saya memilih 350 kosa kata dari dalam buku pegangan yang digunakan siswa untuk kemudian dibuatkan semacam kamus kecil yang ditambahkan pada buku pegangan tersebut. Saya memilih 350 kata yang kira-kira belum dipahami atau cukup asing bagi siswa. Ketiga ratus lima puluh kosa kata ini lalu dijelaskan artinya secara singkat. Penjelasan makna kata saya ambil dari Kamus Besar Bahasa Indonesia. Pada beberapa lema, saya menambahkan muradifnya dari Tesaurus Bahasa Indonesia karya Eko Endarmoko.

Kosa kata ini akan menjadi bagian dari bahan pembelajaran di kelas. Artinya, siswa harus hafal dan paham. Terkait dengan hal ini, saya akan mengadakan penilaian untuk menguji hafalan dan pemahaman siswa. Penilaian atau ujian itu akan dilakukan secara berangsur dan berkala. Rencananya setiap sekitar tiga pekan.

Saya melakukan hal ini karena menurut saya penguasaan kosa kata adalah hal yang sangat mendasar dalam pembelajaran bahasa—bahasa apa pun. Penguasaan kosa kata adalah modal yang sangat penting untuk mengembangkan berbagai segi kemampuan berbahasa.

Saya teringat sosok guru Eugene Simonet yang diperankan oleh Kevin Spacey dalam Pay It Forward (2000), guru Ilmu Sosial yang suka menggunakan kosa kata baru di kelas dan menugaskan murid-muridnya untuk mencari artinya di dalam kamus.

Lebih jauh lagi, saya teringat Paulo Freire yang dalam Cultural Action for Freedom (1972)—yang membahas tentang filosofi mendasar praktik pendidikan dalam kaitannya dengan pendidikan sebagai praktik pembebasan—menulis: “The human word is more than mere vocabulary—it is word-and-action.” Freire menempatkan kata-kata dalam ranah yang radikal. Memahami kata-kata pada akhirnya adalah belajar mencermati hubungan manusia dengan dunia yang akan menjadi dasar dan pendorong baginya untuk melakukan perubahan.

Sesungguhnya ada landasan lain yang berasal dari ingatan saya saat saya mengaji tafsir di pesantren sekitar 20 tahun silam. Di bagian awal surah al-Baqarah, dalam kisah penciptaan Nabi Adam a.s., al-Qur’an menunjukkan bahwa kelebihan manusia (Nabi Adam a.s.) atas malaikat adalah penguasaan Nabi Adam a.s. atas kata-kata (asmâ’). Dalam ayat itu diterangkan bahwa Allah mengajarkan (semua) kata-kata (asmâ’) kepada Nabi Adam a.s. dan kemudian Allah menantang dan menguji malaikat terkait kata-kata tersebut. Dikisahkan bahwa malaikat mengaku kalah (Q., s. al-Baqarah/2: 31-33).

Di tingkat praktik, apa yang saya lakukan ini sebenarnya bukan hal yang baru. Lebih 10 tahun lalu, saat saya mengikuti program English Extension Course di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, dalam salah satu mata pelajaran, yakni Vocabulary, ada kamus khusus yang disiapkan pengajarnya untuk melengkapi buku pegangan yang digunakan di kelas. Kata-kata yang dipilih adalah kosa kata dari buku pegangan tersebut. Dalam satu semester, peserta kursus harus menghafalkan kosa kata yang berjumlah lebih dari 2.700 kata. Secara berkala, ada tes hafalan kosa kata—kalau tak salah setiap dua pekan.

Berdasar pengalaman saya mengajar di beberapa lembaga pendidikan di Sumenep, yang kebetulan semua berada di kawasan pedesaan, penguasaan kosa kata siswa, atau bahkan mahasiswa, relatif masih terbatas. Mungkin memang perkenalan, keakraban, dan kecintaan mereka pada bahasa atau kamus masih kurang—bahkan mungkin juga di kalangan guru-gurunya.

Yang sebenarnya ironis, saya kadang menemukan pengurus publik yang tidak paham dengan arti kata-kata tertentu sehingga tidak tertib dalam berbahasa. Ada catatan kakak sepupu saya yang menemukan bahwa polisi di Madura ternyata ada yang buta warna. Kakak saya itu menemukannya dalam sebuah dokumen kepolisian. Mereka tak bisa membedakan warna biru dan hijau—apakah ini terpengaruh kosa kata bahasa Madura? Beberapa waktu lalu saya sendiri pernah menulis kegagalan aparat polisi di Sumenep dalam memahami kata-kata dalam dokumen publik yang mereka buat sendiri sehingga berdampak sangat fatal.

Atas situasi yang terkait dengan pengurus publik ini, saya tak bisa berbuat banyak. Ini berada cukup jauh dari wilayah kewenangan saya. Yang bisa saya lakukan sebagai guru bahasa dan sastra Indonesia di sebuah SMA di pedalaman Madura adalah menyiapkan generasi yang mencintai bahasa. Atas keinginan atau visi tersebut, kali ini saya punya modal 350 kata yang saya harapkan bisa menjadi pendorong agar siswa mencintai bahasa dan terus mengembangkan berbagai potensi kebahasaan lainnya.

Oleh karena itu, setelah sebelumnya hanya dilakukan secara tidak tertata, akhirnya saya memutuskan untuk mendorong minat dan penguasaan siswa atas kosa kata secara lebih terencana. Jika pada tahun sebelumnya saya pernah menugaskan siswa untuk mencari arti kata-kata tertentu pada beberapa pertemuan di kelas, atau selalu membahas arti kata-kata yang dipandang cukup asing secara cukup panjang untuk setiap materi bacaan di berbagai pelajaran, sekarang saya ingin ada proses dan atau sasaran yang lebih terukur dan terencana.

Tiga ratus lima puluh kata mungkin jumlah yang terbilang sedikit. Namun, sampai di sini saya lalu teringat sebuah kutipan dari Bruce Barton dalam buku Stephen R. Covey yang sangat terkenal, The Seven Habits of Highly Effective People: “Sometimes when I consider what tremendous consequences come from little things.... I am tempted to think...there are no little things.” Kadang saat saya menyadari betapa dahsyatnya dampak dari hal-hal kecil... saya tergoda untuk berpikir... bahwa sebenarnya tak ada hal-hal yang kecil.

Sekali lagi, mungkin ini memang langkah kecil. Tiga ratus lima puluh kata jumlahnya tak besar. Karena itu saya menggunakan istilah “kamus kecil”. Tapi saya pikir saya menyusun kamus kecil ini dengan cinta—kecintaan saya pada bahasa, juga pada siswa-siswa saya. Dan saya yakin bahwa dengan landasan cinta, insya Allah hasil yang bakal terbit akan memiliki nilai dan kekuatan yang bisa jadi tak kita duga.

Tulisan ini semula ditayangkan di sini.

Read More..

Senin, 30 Juli 2012

Bila Media Tak Setia pada Fakta


Mengamati pemberitaan media tentang kasus ijazah Moh. Azhari, alumnus Madrasah Aliyah 2 Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep, yang dianggap tak memenuhi persyaratan dalam penerimaan brigadir brimob dan dalmas oleh Kepolisian Resor Sumenep di bulan Juni hingga Juli 2012, saya menjadi prihatin. Saya prihatin dengan mutu pemberitaan di media yang beberapa di antaranya ternyata tak setia pada fakta.

Kasus ini menjadi cukup menghebohkan saat beberapa ribu alumnus Pondok Pesantren Annuqayah bersama unsur pondok pesantren lain di Sumenep mengadakan aksi turun jalan pada hari Selasa, 17 Juli 2012. Beberapa televisi nasional sempat menurunkan liputannya. Namun, sayangnya, beberapa bagian dalam berita itu sungguh jauh panggang dari api.

Headline news MetroTV pukul 16.00 WIB hari Selasa tanggal 17 Juli 2012 memuat 3 kesalahan mendasar dalam memberitakan aksi turun jalan di Sumenep tersebut. Pertama, disebutkan bahwa pengunjuk rasa dalam aksi itu berjumlah ratusan. Kedua, kericuhan terjadi di Markas Kepolisian Resor Sumenep. Ketiga, kericuhan terjadi karena massa dihalangi petugas untuk masuk ke Mapolres Sumenep.

Ralph Tampubolon, pembaca berita pada acara tersebut tampil gagah dengan jas dan dasi serta rambut modis. Di saku jasnya, tampak saputangan menonjol sedikit keluar. Bagi yang tak tahu persis kejadian di lapangan, tentu dia akan berpikir bahwa ketiga fakta yang benar-benar tak berdasar itu benar adanya. Apalagi Ralph Tampubolon membacakan naskah beritanya dengan meyakinkan.

Faktanya, aksi turun jalan ini diikuti oleh ribuan orang. Saya sendiri tidak tahu persis jumlah peserta aksi karena tidak hadir pada kejadian tersebut. Namun beberapa sumber yang hadir menyebutkan angka paling sedikit 1.500 orang. Bahkan ada yang menyatakan mungkin sampai 3.000 orang. Sumber-sumber saya itu mungkin memang tak punya dasar teori penghitungan massa yang profesional. Tapi jika saya melihat foto-foto yang didokumentasikan dari aksi tersebut, angka ratusan itu jelas sangat jauh dari fakta.

Yang kedua, kericuhan tak terjadi di Mapolres Sumenep. Kejadian itu terjadi pada jarak sekitar 1,5 kilometer dari Mapolres, yakni di Kantor DPRD Sumenep. Gedung DPRD Sumenep berbeda dengan Mapolres. Ada patung kuda terbang di halaman DPRD, dan di Mapolres tak ada patung yang diambil dari lambang Kabupaten Sumenep itu.

Ketiga, penyebab kericuhan jelas tidak seperti itu. K. A. Dardiri Zubairi, seorang jurnalis warga produktif di Sumenep yang juga hadir pada aksi tersebut, menuliskan laporannya bahwa kericuhan terjadi saat Wakapolres yang hendak dibawa ke Guluk-Guluk tiba-tiba diambil paksa oleh sejumlah petugas. Padahal Wakapolres sebelumnya sudah menyatakan kesediaannya pada massa. Pada titik inilah massa merasa dikhianati. Apalagi kemudian ada saksi mata yang melihat bahwa petugas memukul beberapa demonstran.

Titik kejadian yang penting ini saya tanyakan ke beberapa sumber utama lainnya. Dan mereka menegaskan fakta serupa.

Atas semua ini, saya sungguh prihatin dan bertanya-tanya: dari manakah sumber berita MetroTV itu berasal sehingga ia melaporkan fakta-fakta yang boleh dibilang, maaf, asli ngawur?

Aksi hari Selasa tanggal 17 Juli itu memang menarik perhatian karena dari segi jumlah massa yang sangat banyak. Media televisi lain yang menurunkan beritanya adalah SCTV. Namun sayang, urutan kejadian yang dipaparkan pada Liputan 6 Malam itu sangat berpotensi untuk membelokkan fakta.


Ini dia kutipan berita yang dilaporkan oleh Salli Nawali itu:

“Unjuk rasa ribuan santri asal Sumenep Madura di Jawa Timur di gedung DPRD setempat berakhir rusuh. Mereka melempari polisi, merusak pos penjagaan serta pot-pot bunga lantaran merasa dilecehkan oleh Kapolres Sumenep setelah rekan mereka ditolak mendaftar dalam rekrutmen bintara Polri.”

Pemirsa yang tak mengikuti rangkaian kejadian kasus yang bermula satu bulan sebelum aksi turun jalan tersebut akan membuat kesimpulan rekaan peristiwa sederhana: ada santri ditolak mendaftar di Kepolisian, lalu teman-temannya unjuk rasa dan rusuh.

Pembawa berita menuturkan dengan penuh percaya diri sambil memainkan intonasinya saat tiba di bagian yang memaparkan tentang aksi rusuh. Dia tampak yakin dengan apa yang dia bacakan.

Saya sudah menjelaskan titik kejadian terkait penyebab kericuhan pada aksi tersebut. Yang terpenting, dalam berita ini tak dijelaskan sejumlah langkah dialog yang diambil oleh beberapa pihak untuk menjelaskan kesalahan Polres Sumenep—yang akhirnya diakui sendiri secara resmi pada tanggal 24 Juli yang lalu.

Pihak Madrasah Aliyah 2 Annuqayah pada tanggal 18 Juni sudah mendatangi Polres untuk menjelaskan status ijazah yang mereka keluarkan—bahwa MA 2 Annuqayah mengikuti sistem pendidikan nasional di bawah Kementerian Agama RI, dan seterusnya. Pada tanggal 21 Juni, Dewan Pendidikan Kabupaten Sumenep mendatangi Polres Sumenep untuk menjelaskan hal yang sama. Tapi Polres bersikukuh bahwa keputusan mereka sudah sesuai dengan petunjuk Polda Jawa Timur.

Pada tanggal 5 Juli, Annuqayah bersama sebuah LSM bernama LKP2M mendatangi DPRD Sumenep menjelaskan duduk perkara kasus ini dan meminta DPRD Sumenep untuk memfasilitasi pertemuan dengan Kapolres Sumenep, Dinas Pendidikan Sumenep, Kantor Kementerian Agama Sumenep, dan Dewan Pendidikan Kabupaten Sumenep. Pada acara ini, Annuqayah mengeluarkan pernyataan sikap yang juga disampaikan ke Polres Sumenep.

Pada tanggal 16 Juli, Wakapolres Sumenep bersama rombongan menemui pengasuh Annuqayah. Mereka membawa alasan yang sama sebagaimana sudah diungkapkan kepada pihak MA 2 Annuqayah dan Dewan Pendidikan Kabupaten Sumenep. Bedanya, kali ini mereka diperkuat dengan surat dari Polda Jawa Timur.

Urutan peristiwa ini, dalam pandangan saya sebagai pengurus Annuqayah yang ikut mengawal penyelesaian masalah ini, di satu sisi memperlihatkan sikap keras kepala aparat dan lembaga kepolisian untuk mengubah cara pandangnya yang nyata-nyata salah. Semua peristiwa ini juga tersiar di beberapa media setempat, termasuk juga melalui media jejaring sosial seperti Facebook atau Twitter. Dengan kata lain, masyarakat yang bisa memahami urutan kejadiannya dengan nalar sehat secara gamblang juga menyaksikan sikap keras kepala aparat dan lembaga kepolisian ini.

Proses yang panjang ini menjadi hilang dalam pemberitaan SCTV. Saya paham bahwa ada keterbatasan durasi dalam menyiarkan berita ini. Tapi menghilangkan fakta yang sangat terkait dan bernilai penting sangat berpotensi membelokkan fakta yang dipaparkan. Dan itulah yang menurut saya terjadi.

Pemberitaan dari media setempat juga ada yang memuat fakta tak berdasar. Pada terbitan 6 Juli 2012, sehari setelah Annuqayah dan LKP2M mendatangi DPRD Sumenep, harian Radar Madura dan Kabar Madura menurunkan berita pertemuan ini. Namun sayang, berita itu memuat fakta tak berdasar.


Radar Madura, yang pertama kali terbit pada 27 Juli 1999, menurunkan beritanya di halaman “Radar Sumenep” dengan judul “Ayah Azhari Ngadu ke Dewan”. Judul berita ini jelas tak berdasar. Yang hadir ke DPRD Sumenep itu adalah rombongan pengurus Annuqayah dan LKP2M. Tak ada ayah Azhari. Di dalam berita ini, dijelaskan bahwa ayah Azhari datang ke DPRD Sumenep ditemani salah seorang pimpinan MA 2 Annuqayah. Waktu kedatangannya pun salah. Di situ ditulis sekitar pukul 13.00 WIB. Padahal, 40 menit sebelum jam yang disebutkan itu, pertemuan di gedung DPRD Sumenep sudah berakhir. Pun, dalam berita itu, sama sekali tak disebutkan kutipan dari juru bicara Annuqayah pada pertemuan tersebut, K. Moh. Naqib Hasan.

Dugaan saya: tampaknya wartawan Radar Madura tak mendapatkan informasi peristiwa ini dari sumber pertama atau dari lapangan. Tapi dia dengan penuh percaya diri menulis berita ini untuk kemudian disiarkan.

Kabar Madura memuat berita pertemuan di DPRD Sumenep tanggal 5 Juli itu keesokan harinya di halaman pertama. Dalam berita berjudul “Tuntut Panitia Lokal Minta Maaf”, kalimat pertama langsung memuat fakta yang salah. Ini kutipannya:

“Aktivis Lembaga Kajian, Penelitian dan Pengembangan Masyarakat (LKP2M) Pondok Pesantren (Ponpes) Annuqayah Guluk-Guluk, Sumenep, akan menuntut Polres Sumenep agar meminta maaf.”


Kesalahan fakta dalam kalimat ini adalah ketika penulisnya memasukkan LKP2M sebagai bagian dari Annuqayah. Padahal, LKP2M itu lembaga di luar Annuqayah. Di berita pelengkap dengan judul lainnya di halaman yang sama, Kabar Madura, yang mulai terbit sejak 1 Juni 2012 lalu, juga memuat kesalahan penyebutan rombongan Annuqayah yang hadir ke DPRD Sumenep. Di situ disebutkan ada Kepala MA 1 Putri Annuqayah. Padahal, Kepala MA 1 Annuqayah Putri sama sekali tidak terlibat dalam penanganan kasus ini dari awal sampai akhir.

Apakah pemberitaan yang tidak berdasar fakta ini hanya terjadi pada kasus ijazah Madrasah Aliyah 2 Annuqayah? Saya tidak bisa menjawab secara pasti dan ilmiah. Perlu penelitian yang lebih cermat. Tapi, sependek pengetahuan saya, tampaknya soal ketepatan fakta ini memang masih menjadi masalah utama untuk media cetak lokal di Madura.

Pada tanggal 5 Mei 2012 lalu, misalnya, Radar Madura menurunkan berita perampokan di Ketapang, Sampang. Korbannya seorang janda kaya. Namun ada beberapa fakta penting yang keliru, yakni penyebutan usia korban perampokan dan foto korban. Pada edisi keesokan harinya, Radar Madura memberi pembetulan.

Radar Madura edisi 5 Mei dan 6 Mei. Bandingkan foto yang salah dan foto yang  benar.


Saya sungguh prihatin dengan fakta bahwa ternyata baik media nasional maupun media lokal masih belum benar-benar berpegang pada ketepatan fakta yang mereka angkat sebagai prinsip mendasar jurnalisme. Saya jadi teringat tulisan Andreas Harsono dalam mengantar buku Jurnalisme Sastrawi: Antologi Liputan Mendalam dan Memikat (KPG, 2008) yang menuturkan bahwa Majalah The New Yorker sejak terbit tahun 1925 memperkenalkan jabatan fact checker (pemeriksa fakta) yang bertugas memeriksa ketepatan fakta yang diangkat di setiap naskah.

Apakah yang demikian ini mungkin masih terlalu ideal bagi media di Indonesia?

Dalam pandangan awam saya, ketepatan fakta adalah sesuatu yang tak bisa ditawar. Bila media tak mau setia pada fakta, dampaknya bisa panjang. Bahkan mungkin bisa fatal. Informasi yang sesat bisa menghasilkan sikap dan tindakan yang juga sesat. Tujuan utama jurnalisme, sebagaimana ditulis oleh Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam The Elements of Journalism, “menyediakan informasi yang diperlukan agar orang bebas dan bisa mengatur diri sendiri”, akan sulit—bahkan mungkin mustahil—tercapai bila dibangun di atas dasar fakta yang tidak tepat.

Pertanyaan berikutnya: apa kita hanya bisa prihatin? Adakah sesuatu yang bisa kita lakukan?

Bagi saya, masalah ini menghadirkan dua tantangan. Pertama, kita perlu mendidik diri kita sendiri dan masyarakat pada umumnya untuk melek media, yakni untuk bisa memiliki bekal yang cukup (dan kritis) dalam mencerna informasi. Tujuannya agar sebagai pembaca kita dapat melihat celah-celah dan kemungkinan pembelokan informasi—baik disengaja atau tidak—yang mungkin terjadi.

Kedua, secara aktif kita juga ditantang untuk menghidupkan jurnalisme warga. Dahulu, saat pemerintah Orde Baru menekan dan membatasi ruang gerak media massa, Seno Gumira Ajidarma menulis sebuah esai berjudul “Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara”. Kini, ketika era kebebasan justru ternyata kadang menghadirkan media yang tidak teliti mengangkat fakta, saya bisa mengatakan: “Ketika Jurnalisme Tak Setia pada Fakta, Jurnalis Warga Harus Bicara”.

Menurut saya, kedua butir tantangan ini merupakan pekerjaan rumah kita bersama. Sebuah pekerjaan yang tidak kecil, sehingga harus dikerjakan bersama-sama. Jika ini tak dilakukan, ruang publik kita bisa jadi akan terus disesaki dengan informasi-informasi palsu yang kotor dan menyesatkan.

Wallahualam.

Baca juga:
>> Melek Informasi

Read More..

Senin, 09 Juli 2012

Nalar Bahasa Pengurus Publik

Menteri ESDM diprotes pembaca Kompas karena tidak tertib berbahasa.

Di rubrik “Redaksi Yth” Harian Kompas tanggal 1 Mei 2012, ada surat pembaca yang sangat menarik perhatian saya. Surat pembaca itu berjudul “Menteri dan Bahasa Indonesia”, ditulis oleh Ketua Umum Yayasan WJS Poerwadarminta, Marius Widjajarta. Dia risau dengan pernyataan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Jero Wacik, di halaman muka Kompas edisi 23 April 2012.

Berikut kutipan surat pembaca Marius Widjajarta:

Sebagai Ketua Umum Yayasan WJS Poerwadarminta, yayasan yang—antara lain—berupaya melestarikan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan betul, saya risau dengan pernyataan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik mengenai pembatasan pemakaian BBM bersubsidi yang konon akan diterapkan dalam waktu dekat.

Pada paragraf kelima berita halaman muka
Kompas edisi 23 April 2012, "Mobil Pribadi 1.500 Cc ke Atas Tak Pakai BBM Subsidi", tersua pernyataan langsung Menteri ESDM Jero Wacik: "Tidak ada mobil yang pas 1.500 cc, ada 1.490 cc, 1.492 cc." Lalu, keterangan berikutnya berbunyi: "Mobil dengan kapasitas seperti itu akan digolongkan dengan mobil berkapasitas 1.500 cc ke atas."

Apabila pernyataan itu dikaitkan dengan kaidah bahasa Indonesia yang baik dan betul, pengertian 1.500 cc ke atas adalah "1.500 cc, 1.501 cc, dan seterusnya". Jika yang dimaksudkan Menteri ESDM bahwa aturan itu mencakup mobil "1.490 cc, 1.492 cc", seharusnya ia mengatakan bahwa aturan "tidak boleh menggunakan BBM bersubsidi" itu berlaku untuk mobil berkapasitas 1.400 cc ke atas.


Saya sangat sedih mengingat Menteri ESDM merupakan pejabat publik berpendidikan tinggi. Ucapan dan tingkah lakunya semestinya teladan bagi masyarakat luas.


Melalui surat pembaca di atas, saya jadi tersadar bahwa kemampuan berbahasa pengurus publik di negeri kita masih bermasalah. Bahkan sebenarnya bukan hanya tentang kemampuan berbahasa, karena saya percaya bahwa bahasa pada dasarnya juga adalah soal nalar. Bahasa bukan semata soal komunikasi dan ekspresi, tapi juga soal cara berpikir. Manusia itu berpikir dengan bahasa. Jadi, kesalahan berbahasa sangat mungkin terjadi karena kekurangrapian berpikir.

Lalu bagaimana jika yang salah berpikir itu orang-orang yang termasuk pengurus publik atau pemegang kebijakan strategis? Atau mereka yang punya pengaruh besar bagi kehidupan masyarakat, seperti Menteri ESDM atau yang lainnya?

Anda, pembaca, tentu dapat mengemukakan jawabannya. Tapi izinkanlah saya memberikan gambaran yang lebih jelas melalui kasus yang sedang saya hadapi saat ini.

Ceritanya begini. Ada seorang lulusan Madrasah Aliyah 2 Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep, bernama Azhari, mendaftar dalam penerimaan brigadir brimob dan dalmas di Kepolisian Resor Sumenep. Namun dia dinyatakan tidak lulus karena ijazahnya tidak diakui oleh panitia penerimaan di Polres Sumenep.

Kenapa tidak diterima? Menurut polisi, ijazah Azhari (yakni ijazah MA 2 Annuqayah) tidak diakui atau dianggap tidak memenuhi syarat karena MA 2 Annuqayah berada di bawah naungan pondok pesantren. Sedangkan pesantren yang diakui oleh mereka, katanya, hanya empat pesantren sebagaimana tercantum dalam brosur penerimaan.

Pembaca, agar lebih jelas, saya kutip secara lengkap bagian dari brosur yang menjelaskan hal tersebut:

II. PERSYARATAN LAIN.

1. Berijazah serendah-rendahnya SMU/MA jurusan IPA/IPS atau SMK yang sesuai dengan kompetensi dengan tugas pokok Polri (kecuali Tata Busana dan Tata Kecantikan) dgn nilai rata-rata HUAN (Hasil Ujian Akhir Nasional) min 6,25 (enam koma dua lima) untuk IPA dan 6,5 (enam koma lima) untuk jurusan IPS dan SMK;


2. Khusus untuk lulusan pondok pesantren sesuai dengan Surat Departemen Pendidikan Nasional yang diakui setara dengan SMU dan diperbolehkan mendaftar menjadi anggota Polri antara lain: a. Ponpes Gontor Ponorogo; b. Ponpes Al-Amien Prenduan Sumenep; c. Ponpes Mathabul Ulum Sumenep; d. Ponpes Modern Al-Barokah Patianrowo Nganjuk;




Brosur penerimaan brigadir brimob dan dalmas Polres Sumenep.


Sebelum saya lanjutkan, saya ajak pembaca untuk mencerna kembali dua poin dalam kutipan di atas dengan cermat. Bacalah dengan nalar yang lurus dan tangkaplah pokok gagasannya.

Apabila sudah dicerna ulang, baiklah, sekarang teruskan.

Penolakan polisi dengan alasan sebagaimana disebut di atas menurut saya secara terang benderang menunjukkan kesalahan nalar bahasa polisi. Menurut saya, panitia/polisi gagal memahami persyaratan yang tercantum dalam brosur yang mereka buat sendiri. Gagal bagaimana? Menurut saya, mereka tak bisa memahami pokok gagasan yang hendak disampaikan oleh pembuat kebijakan terkait persyaratan ijazah—siapa sebenarnya pembuat kebijakan tersebut?

Jika kita perhatikan alasan penolakan polisi, mereka sebenarnya berpikir seperti ini: bagi mereka, semua ijazah lembaga pendidikan formal setingkat Madrasah Aliyah atau SMA yang berada di bawah naungan pesantren tak akan diakui—bahkan meskipun telah terakreditasi dan diakui oleh Kementerian Agama atau Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI—kecuali lembaga pendidikan yang dikelola oleh keempat pesantren tersebut.

Apakah cara berpikir seperti ini dapat dibenarkan secara logika (bahasa)? Mari kita lihat secara lebih cermat dengan akal sehat.

Poin kedua dalam persyaratan tersebut menurut saya sebenarnya adalah untuk mengkhususkan atau mengecualikan poin persyaratan yang pertama. Perhatikan frasa “yang diakui setara dengan SMU” dalam poin kedua persyaratan tersebut. Frasa ini menunjukkan bahwa poin kedua ini ingin mengecualikan pesantren yang tidak memiliki Madrasah Aliyah atau SMA yang mengikuti sistem pendidikan nasional tetapi memiliki sistem pendidikan sendiri yang setara dengan Madrasah Aliyah atau SMA.

Pesantren Al-Amien, Prenduan, misalnya, memiliki Tarbiyatul Mu’allimien Al-Islamiyah (TMI), yakni lembaga pendidikan setingkat Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah atau SMP dan SMA dengan model atau sistem mandiri yang tidak sama dengan sistem pendidikan nasional. Nah, menurut saya, poin kedua ini hendak menyatakan bahwa sistem pendidikan khas pesantren yang berbeda dengan sistem pendidikan nasional sebagaimana terdapat di keempat pesantren tersebut di atas juga diakui oleh Negara, yakni diakui setara dengan Madrasah Aliyah atau SMA, sehingga lulusannya dapat mendaftar dalam penerimaan brigadir brimob dan dalmas ini.

Karena itu, dalam pengumuman penerimaan siswa TMI di Al-Amien, dijelaskan bahwa ijazah TMI diakui setara dengan Madrasah Aliyah atau SMA oleh Negara. Sebaliknya, dalam pengumuman penerimaan siswa di Madrasah Aliyah atau SMA di Annuqayah, tak perlu ada penjelasan semacam ini. Cukup menjelaskan bahwa madrasah/sekolah ini sudah terakreditasi (oleh Negara).

Masalahnya polisi berpikir terbalik, sehingga kesimpulannya sangatlah fatal. Jika mengikuti logika polisi, maka seluruh lembaga pendidikan formal setingkat Madrasah Aliyah atau SMA yang bernaung di pondok pesantren tidak akan diakui ijazahnya oleh polisi meskipun telah terakreditasi oleh Negara dan mengikuti Ujian Nasional—kecuali lembaga pendidikan di empat pesantren yang disebut dalam brosur tersebut. Logika yang sesat ini akan meruntuhkan wewenang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian Agama dalam menilai mutu dan keabsahan lembaga pendidikan yang mengikuti sistem Negara.

Saya sangat heran mengapa polisi sampai salah paham dan sesat pikir hingga sejauh ini. Saya tak habis pikir, jika mereka tak mencerna kalimat-kalimat dalam brosur itu dengan logika, lalu mereka memahaminya dengan apa? Saya semakin heran ketika di media massa polisi menjawab bahwa mereka hanya mengikuti aturan. Aturan apakah itu tepatnya?

Saya pikir dalam hal ini mungkin mereka hanya ikut-ikutan, ikut apa kata atasan, dan tak mau mencoba mengikuti aturan bahasa, aturan nalar. Apakah mereka menempatkan atasan lebih tinggi daripada nalar?

Bahkan jika pun mereka mau memaksa menggunakan logika terbalik seperti di atas, saya pun masih bisa menunjukkan kelemahan lainnya yang bersumber dari keteledoran berbahasa yang termuat dalam kutipan brosur tersebut di atas, khususnya di poin kedua.

Apa itu? Biar lebih jelas, saya kutip kembali poin kedua di atas:

2. Khusus untuk lulusan pondok pesantren sesuai dengan Surat Departemen Pendidikan Nasional yang diakui setara dengan SMU dan diperbolehkan mendaftar menjadi anggota Polri antara lain: a. Ponpes Gontor Ponorogo; b. Ponpes Al-Amien Prenduan Sumenep; c. Ponpes Mathabul Ulum Sumenep; d. Ponpes Modern Al-Barokah Patianrowo Nganjuk;

Baiklah. Taruhlah saya akan ikut logika sesat polisi, bahwa poin kedua ini akan diperhitungkan pertama kali jika ada pendaftar yang berasal dari lembaga pendidikan di bawah pengelolaan pesantren. Tapi coba perhatikan kata “antara lain” di poin kedua ini.

Bagaimanakah penggunaan kata “antara lain” yang benar dan sesuai nalar?

Menurut saya, “antara lain” digunakan saat kita hendak menyebutkan sejumlah hal/barang dan kita hanya menyebutkan sebagian saja. Perhatikan contoh penggunaan kata “antara lain” yang saya kutip dari Harian Kompas edisi 7 Mei 2012: “Pada tahun yang sama, anggota TNI tercatat melakukan 56 perilaku arogan, yang antara lain berwujud penganiayaan, penembakan, dan intimidasi”. Kata “antara lain” dalam kalimat ini menunjukkan bahwa perilaku arogan anggota TNI tak hanya berwujud penganiayaan, penembakan, dan intimidasi. Ini hanya sebagian. Ada lagi yang lainnya. Jika Anda membaca lebih lanjut laporan Kompas di edisi 7 Mei 2012 itu, Anda akan menemukan bentuk arogansi anggota TNI yang lain, seperti pelecehan seksual, penangkapan dan penahanan sewenang-wenang, dan yang lainnya.



Contoh penggunaan kata "antara lain" di Kompas, 7 Mei 2012.


Nah, jika penggunaan kata “antara lain” seperti ini, yakni untuk menyebut sebagian dari sebuah himpunan, maka berarti seharusnya ada pesantren lain yang juga diakui setara dengan SMA selain keempat pesantren tersebut. Apakah Annuqayah termasuk? Apakah Pesantren Al-Is’af, Kalabaan, Guluk-Guluk, juga termasuk? Apakah Pesantren Karay, Ganding, termasuk? Polisi mestinya tahu jawabannya.

Tapi polisi tak bisa menjawab: “Oooo tidak, hanya empat pesantren itu saja yang diakui setara”. Kalau menjawab seperti ini, berarti polisi sedang melawan nalar atau aturan bahasa—melanggar hukum bahasa.

Dua kesalahan fatal ini, sekali lagi, menunjukkan nalar bahasa pengurus publik di negeri ini masih kacau. Untuk kasus yang saya ulas panjang ini, saya sangat heran (saya sesungguhnya butuh ekstra hiperbola untuk mengungkapkan keheranan saya ini) karena di media massa secara cukup lama, sejak kasus ini pertama kali dipersoalkan oleh Azhari ke polisi pada 21 Juni lalu hingga tulisan ini dibuat, polisi tak mau mengubah pandangannya. Bahkan, Kabar Madura edisi 6 Juli 2012 menulis: “Rahbini (Kabag Sumber Daya Manusia Polres Sumenep—MM) juga menjelaskan, Pantia Seleksi Administrasi Tahap Pertama melibatkan pihak Dinas Pendidikan Sumenep yang diwakili Mery Margaret, Penggiat LSM Tajul Arifin, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Sumenep Jazuli, dan dua anggotanya, Aiptu Teguh Prawoto dan Ipda Rasyidi”. Sekali lagi, saya heran.


Pemberitaan kasus ijazah Azhari di Kabar Madura, 6 Juli 2012.

Saya juga sedih. Sebagai guru Bahasa Indonesia yang juga mengajar Logika, kasus ini dari satu sisi mungkin menunjukkan kegagalan pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah. Belakangan ini, kemampuan menyerap pokok gagasan dalam sebuah paragraf atau kalimat yang diajarkan dalam pelajaran Bahasa Indonesia memang telah disorot oleh banyak kalangan—dinilai belum berhasil. Ada yang mengatakan, ini juga terkait dengan rendahnya kebiasaan membaca.

Namun demikian, dari sisi yang lain, masalah ini memunculkan tantangan bagi saya. Sebagai guru Bahasa Indonesia, saya tertantang untuk mengupayakan proses pembelajaran bahasa di sekolah yang lebih baik dan bermutu sehingga masyarakat pada umumnya dapat berbahasa secara lebih baik. Saya harus meneguhkan komitmen saya agar dapat mengajar dengan lebih baik, dan juga mengajak rekan-rekan guru Bahasa Indonesia yang lain untuk juga meningkatkan mutu pembelajaran Bahasa Indonesia di sekolah.

Siapa tahu di antara murid-murid saya kelak ada yang menjadi pengurus publik, sehingga jika saya dan guru-guru Bahasa Indonesia berhasil memberi dasar-dasar kebahasaan yang baik, terutama dari segi logika bahasa, mereka nantinya akan dapat mengurus masyarakat dengan pola pikir yang tertib, lurus, dan sehat.

Baca juga:
Surat Terbuka untuk Pak Polisi

Read More..

Selasa, 08 Mei 2012

Surat Terbuka untuk Pak Polisi (tentang Anarki, Penghakiman Massa, Maling Sapi, dan lain-lain)


Yang terhormat,
Pak Polisi Sektor Guluk-Guluk dan Resor Sumenep
di tempat tugas

Assalamu’alaikum wr. wb.

Pak Polisi, apa kabar? Apa Bapak sempat membaca koran Radar Madura edisi Ahad (6/5) kemarin? Saya terkejut saat membaca teras berita yang cukup menghebohkan di halaman pertama Radar Madura. Judulnya “Massa Bakar Maling Hidup-Hidup”.

Di bawah judul itu, ada sebuah foto besar yang menampilkan gambar sejumlah orang di sisi kiri dan api yang sedang berkobar di sisi kanan. Orang-orang itu tidak sedang main api unggun, karena di antara kobaran api itu ada semacam papan dinding yang terbuat dari anyaman bambu. Di dekat kobaran api itu, tampak sebuah sudut bangunan. Membaca keterangan foto, saya tahu bahwa yang terbakar itu adalah kandang sapi.

Tentu Bapak sudah tahu detailnya. Tapi izinkan saya meringkas kabar yang saya baca dari Radar Madura itu. Berita itu mengabarkan peristiwa amuk massa di Dasuk Laok, Dasuk, Sumenep. Radar Madura menyebutkan, sekitar 1.500 orang membakar hidup-hidup seorang yang diduga gembong maling sapi. Selain menghakimi dan mengeksekusi sendiri maling sapi yang bernama Alwan (50) itu, massa kemudian juga memburu maling sapi lain di desa lain di Kecamatan Dasuk yang diduga masih komplotannya Alwan. Namanya Nur Bahri. Namun Nur Bahri tak ada di rumah. Massa melampiaskan kemarahan mereka dengan membakar rumah dan kandang sapi Nur Bahri.

Pak Polisi. Saya tertarik mencermati apa yang dikatakan oleh polisi setempat menanggapi berita itu. Kapolsek Dasuk AKP Zulkarnain melalui Kanit Reskrim Dasuk Ipda Haryono berujar, “Saya lagi malas wawancara. Nanti sajalah.”

Di Radar Madura keesokan harinya, yakni edisi Senin (7/5), tak ada tanggapan resmi dari pihak kepolisian terkait aksi anarkis dan penghakiman massa tersebut. Sebenarnya saya agak heran, Pak. Tidakkah aksi anarkis dan penghakiman massa seperti itu tergolong tindakan melawan hukum? Apakah bapak-bapak di sana diam-diam sedang menyelidiki masalah ini? Apakah komentar seperti di koran itu memang semacam strategi yang sudah menjadi semacam SOP (standard operating procedure) dalam penanganannya?

Pak Polisi. Membaca berita penghakiman massa tersebut saya jadi teringat Michel Foucault. Foucalt ini, Pak Polisi, adalah seorang filsuf besar Prancis yang populer dengan foto plontosnya. Dia menulis sebuah buku yang berjudul Discipline and Punish: The Birth of the Prison. Buku ini menelaah tentang pembentukan (disiplin) individu Eropa modern dengan titik fokus sejarah penjara.

Saya teringat Foucault karena dia pernah membahas soal aksi anarkis semacam itu—seperti yang di Dasuk itu, Pak. Melalui penelitian sejarah, Foucault di antaranya membahas tentang popular justice. Kakak angkatan saya di Filsafat UGM, Seno Joko Suyono (2002: 313-314), dalam skripsinya menulis bahwa popular justice adalah “istilah yang dipakai Foucault untuk menyebut fenomena riuh di masa lampau akan adanya berbagai tindakan pengadilan langsung yang dilakukan oleh masyarakat atas orang-orang yang terbukti berlaku sewenang-wenang terhadap masyarakat tanpa diperlukan lembaga perantara di antara masyarakat dan mereka yang menjadi sasaran kemarahan masyarakat seperti halnya pengadilan kini”.

Aksi anarkis yang disebut popular justice ini menurut Foucault lahir di Eropa di sepanjang abad ke-14 hingga abad ke-18 sebagai aksi perlawanan terhadap fiskalisasi sistem pengadilan yang menguntungkan sekelompok elite masyarakat. Pak Polisi, si Foucault ini memang orang yang percaya bahwa lembaga pengadilan bukanlah institusi pemberi hukuman yang netral. Nah, aksi-aksi anarkis semacam ini menurut Foucault mulai surut setelah lembaga peradilan mulai memperlengkapi dirinya dengan penjara.

Dalam skripsinya, Seno Joko Suyono (2002: 316) yang kini menjadi salah seorang jurnalis senior di Majalah Tempo menulis bahwa salah satu benang merah pembahasan Foucault tentang popular justice dan kelahiran penjara ini menunjukkan bahwa “lembaga peradilan yang kini sah disepakati sebagai institusi penegak keadilan merupakan institusi yang ternyata dalam sejarahnya tidak dikehendaki kehadirannya oleh masyarakat”.

Wah, pemikiran Foucault ini tentu bagi Bapak yang berstatus sebagai penegak hukum akan terdengar cukup “mengerikan” ya. Saya saja masih sulit untuk menerima pemikiran semacam itu. Bayangkan saja, bagaimana jadinya jika tak ada lembaga peradilan? Di mana keadilan akan dicari? Pak Polisi, tampaknya cukup menarik jika kita bisa berdiskusi soal ini lebih mendalam.

Terus apa hubungannya berita di Radar Madura itu dengan si Foucault? Juga tanggapan polisi yang katanya lagi malas wawancara itu?

Sebenarnya cukup sederhana, Pak. Melalui Foucault, saya kok jadi menduga bahwa aksi anarkis dan penghakiman massa seperti itu terjadi karena kekecewaan masyarakat atas kerja lembaga kepolisian, terutama dalam mengatasi masalah pencurian. Sama seperti aksi popular justice di Eropa yang berlatar kekecewaan masyarakat atas fiskalisasi sistem pengadilan.

Andai sekarang Foucault masih hidup, dan kebetulan sedang bertamasya ke Pantai Lombang dan mendengar kabar heboh di Radar Madura itu (eh, tapi Foucault tak bisa bahasa Indonesia ya), ia mungkin akan semakin yakin dengan tesisnya tentang popular justice dan lembaga peradilan itu.

Tapi saya pikir mungkin sebenarnya saya tak perlu harus mengundang Foucault di surat ini untuk berkesimpulan bahwa masyarakat selama ini telah cukup sering kecewa dengan kerja penanganan kriminalitas oleh kepolisian. Kesimpulan semacam ini paling tidak bisa saya dapatkan dari rekaman percakapan sehari-hari beberapa warga di sekitar saya.

Ambil contoh saja kasus yang cukup populer. Bapak ‘kan tahu, masyarakat Madura itu banyak yang memelihara sapi. Dan setiap kali saya mendengar kasus pencurian sapi, saya sering sedih karena masyarakat, terutama yang berasal dari kelas menengah ke bawah, akan kesulitan untuk mendapatkan haknya atas keadilan. Sulit sekali sapi yang dicuri bisa kembali—saya jadi berpikir mungkin maling sapi jauh lebih hebat daripada para teroris yang suka main bom itu. Kadang sapi yang dicari ditemukan, namun si maling malah minta tebusan. Ibarat jatuh masih kena roboh tangga.

Saya mengambil contoh kasus pencurian sapi karena ini kasus aktual di desa saya. Jum’at dini hari dua minggu yang lalu (27/4), misalnya, salah seorang tetangga saya kehilangan sepasang sapinya. (Sebetulnya itu sapi adik saya yang dipelihara salah seorang tetangga dekat kami.) Tak lama setelah dilakukan pencarian, ditemukanlah salah seekor sapi yang hilang itu di desa tetangga. Setelah diurus, lalu ada desas-desus: jika satu ekor sapi lainnya ingin ditemukan, silakan bayar dua juta rupiah. Dengan kata lain, minta tebusan.

Kasus ini semakin mengenaskan lagi, Pak. Kepala Desa beserta perangkatnya yang kami hubungi malah bilang hal seperti itu biasa. Hilang dua kembali satu, dan dimintai tebusan. Biasa? Saya tidak yakin Pak Klebun ini bisa bergurau menghadapi masalah seperti ini. Bukannya mau membantu mencarikan sapi yang hilang atau melaporkannya ke pihak kepolisian, dia malah terkesan diam saja. Saya berpikir, apakah dia masih sibuk mengurusi tuntutan sejumlah masyarakat yang mempersoalkan pembagian beras untuk masyarakat miskin yang tak beres dan sempat digugat ke DPRD beberapa waktu lalu?

Seminggu setelah peristiwa pencurian itu, lagi-lagi ada pencurian sapi di desa sebelah. Saya tidak tahu detail kelanjutannya. Yang jelas para tetangga di desa saya saat ini menjadi resah.

Pak Polisi, tampaknya alur kisah kasus pencurian sapi nyaris selalu seperti itu. Masyarakat bawah menjadi korban dan sulit sekali menemukan keadilan. Ini pengamatan awam saya, yang tak punya data detail seperti Bapak.

Jadi, membaca berita di Radar Madura, setelah saya berpikir seperti ini, saya kok rasanya menjadi tidak terkejut lagi, Pak. Pak Polisi, masyarakat tampaknya sudah capek. Bapak tahu, kehidupan ekonomi masyarakat kian hari kian sangat sulit. Lalu harta berharga mereka, sapi, dicuri. Keadilan hanya mimpi. Para pengurus publik tampak tak punya empati. Jadi, kalau proposisi-proposisi seperti ini disusun rapi, saya kira kesimpulannya akan mudah ditemukan. Tak perlu kuliah Logika untuk menguji validitas penyimpulannya: bahwa aksi anarkis dan penghakiman massa itu adalah buah dari kekecewaan atas susahnya menemukan keadilan.

Memikirkan kesimpulan saya ini, saya mencoba menemukan dan menyusun proposisi-proposisi yang lain—proposisi alternatif—yang diharapkan dapat mengantarkan pada kesimpulan berbeda. Tapi ternyata saya sulit sekali dan tak berhasil menemukan proposisi alternatif itu. Apa Bapak kira-kira bisa membantu?

Apakah Kapolsek Dasuk yang bilang lagi malas wawancara itu sebenarnya sama seperti saya yang sudah berusaha mencari proposisi alternatif dan ternyata benar-benar tak bisa menemukan kesimpulan lain, lalu yang ada hanya kesimpulan yang berbau Foucault seperti di atas tadi? Hanya saja Pak Kapolsek mungkin merasa tak pantas untuk mengemukakan kesimpulan semacam itu kepada publik.



Saat saya menyimpan kesimpulan seperti di atas tadi, secara kebetulan Senin (7/5) kemarin saya membaca sebuah berita menarik di Kompas. Berita itu tampaknya adalah semacam tanggapan, rangkuman, atau refleksi atas kasus heboh “Koboi Palmerah” yang ramai dibicarakan masyarakat di berbagai situs jejaring sosial. Kompas menurunkan tulisan yang agak komprehensif tentang arogansi aparat TNI dan Polri belakangan ini. Data Kompas menyebutkan bahwa di tahun 2011, ada 657 kasus kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian, baik berupa penyiksaan, penganiayaan, penembakan, pelecehan seksual, intimidasi, ataupun penangkapan dan penahanan sewenang-wenang.

Kompas mengutip Kepala Lembaga Pendidikan Polri Komisaris Jenderal Oegroseno. Oegroseno tak menampik masih adanya perilaku arogan di jajaran kepolisian itu. Menurutnya, ini tak bisa dilepaskan dari rendahnya pendidikan di kalangan anggota kepolisian dan kurangnya pengawasan di lapangan. Sampai di sini, misi pengayoman dan perlindungan yang menjadi norma menjadi bermasalah.

Banyak pendapat dikutip di Kompas, termasuk Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro yang mengatakan bahwa mental arogan itu tak ada—kejadian semacam “Koboi Palmerah” adalah kasuistis.

Pak Polisi, mungkin surat saya ini sudah terlalu panjang. Intinya, melalui kesempatan ini, saya ingin mengatakan kepada Bapak bahwa jika Bapak melakukan pembiaran terhadap berbagai tindakan pelanggaran hukum di wilayah Bapak, sangat mungkin tindakan anarkis dan penghakiman massa seperti yang terjadi di Dasuk itu terulang kembali. Saya kira proposisi saya di atas jika disusun akan cukup kuat untuk tiba pada kesimpulan semacam ini.

Di desa saya dan sekitarnya, belakangan cukup marak berbagai kejadian yang mestinya ditindaklanjuti dan diatasi. Perjudian (togel) dan pencurian, misalnya, cukup sering terjadi. Sayang saya belum punya waktu untuk mencatat kasus-kasus pencurian mulai dari tabung gas elpiji, mesin pompa air, hingga sapi yang dalam beberapa tahun terakhir cukup sering saya dengar. Yang jelas itu semua tak boleh dibiarkan, karena ada Bapak di sini, yang mengemban tugas mulia dari negara untuk mengatasinya.

Bagi Bapak yang terhormat, menangani tindakan pelanggaran hukum adalah tugas negara, dan itu, dalam bahasa Stephen Covey, berada dalam lingkaran pengaruh (circle of influence) Bapak. Bagi kami yang awam, itu sekadar ada dalam lingkaran kepedulian (circle of concern) kami. Jadi tolong, jangan sampai Bapak membuat masyarakat menganggap Bapak sudah tiada, sehingga secara paksa mereka kemudian menobatkan diri sebagai yang berwenang untuk menumpas kesewenang-wenangan seperti kasus-kasus pencurian itu.

Kiranya ini yang bisa saya sampaikan. Mohon maaf jika ada kata-kata yang kurang berkenan. Semoga Bapak diberi kekuatan untuk menjalankan tugas pengabdian di tengah banyaknya keterbatasan dan masalah. Saya percaya, jika niat baik dan niat tulus diperjuangkan, keterbatasan tak akan jadi penghalang untuk melakukan sesuatu demi kebaikan.

Wassalam,

Guluk-Guluk, 8 Mei 2012

M. Mushthafa

Read More..

Rabu, 25 April 2012

Sudahkah Anda Punya Kamus?


Kamus apa saja yang Anda punya? Berapa jumlahnya?

Pertanyaan ini pernah saya lontarkan di kelas Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah. Pernah juga saya ajukan kepada murid-murid di kelas Jurnalistik, kelas Tata Bahasa Arab, atau dulu di Klub Penerjemah (Bahasa Inggris) yang dampingi.

Saat itu, jawabannya kebanyakan negatif.

Ketika beberapa pekan lalu saya diundang sebuah lembaga Bahasa Arab untuk mendiskusikan tema liputan majalah yang akan mereka terbitkan, saya bertanya pada mereka: apa ada yang masih belum punya Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia? Tak ada jawaban tegas. Tapi ada yang senyum malu-malu—sebuah pengakuan terselubung—di antara yang hadir saat itu.

Perhatian para pelajar di tempat saya berkegiatan, yakni di Pondok Pesantren Annuqayah, terhadap nilai penting kamus tampaknya masih kurang. Memang, mungkin saja mereka punya masalah daya beli. Pada umumnya, kamus yang baik biasanya memang agak mahal harganya. Namun demikian, saya menduga kuat bahwa yang terjadi bisa saja bukan semata soal daya beli, tapi juga karena mereka tak merasakan nilai penting kamus.

Menurut saya, kamus punya nilai penting yang sangat mendasar bagi seorang pelajar. Pemahaman terhadap makna kata-kata dari berbagai teks yang kita jumpai merupakan syarat penting agar kita dapat menyerap pengetahuan, informasi, dan ilmu baru dengan lebih mudah. Saat ini, hampir dipastikan setiap hari kita melakukan kegiatan membaca: pesan pendek, berita di koran atau majalah, kitab suci, iklan, mungkin juga buku. Jika kita tak berhasil memahami kata-kata dari teks yang kita baca, apalagi kata-kata itu menjadi kata kunci, maka hambatan kita amatlah berat untuk dapat menangkap makna dan pesan teks tersebut.

Pada kamus-lah kita dapat menimba informasi tentang makna kata-kata. Memang, bisa saja kita bertanya kepada orang lain. Tapi kamus menyediakan penjelasan yang lebih mantap dan kukuh.

Penguasaan makna kata-kata yang lebih banyak akan memberi kemungkinan yang lebih luas bagi kita untuk menerima pengetahuan, informasi, dan ilmu baru. Demikian pula, penguasaan bahasa baru selain bahasa ibu kita juga akan memperlebar cakrawala kemungkinan penyerapan ilmu baru.

Dalam sejarah Islam, ada kisah yang menuturkan bahwa Nabi Muhammad saw. meminta tebusan pada musuh yang ditangkap dengan mengajarkan bahasa asing yang dikuasainya kepada kaum muslim. Kisah semacam ini menunjukkan adanya kesadaran nilai penting bahasa dalam kaitannya dengan kelompok masyarakat dan peradaban.

Sayangnya, banyak pelajar, bahkan mungkin juga mereka yang berstatus sebagai guru, kurang tertarik dengan kamus (atau, dalam konteks yang lebih luas, bahasa). Bisa jadi lupa. Atau, mereka tidak mengutamakan untuk memiliki kamus. Mungkin memang ada banyak daftar lain yang mengalahkan kamus. Misalnya, telepon genggam baru, baju baru, dan semacamnya. Dan kamus ada di nomor kesekian puluh—atau bahkan mungkin tak terpikir.

Saya lalu teringat pada salah satu kamus “besar” yang dahulu pernah saya beli ketika masih bersekolah. Saya periksa barusan. Ada Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia yang bertanggal pembelian 25 Agustus 1994. Ada juga Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer karangan Peter Salim dan Yenny Salim yang saya beli pada tanggal 12 Agustus 1996. Saya ingat, kamus yang saya beli seharga Rp 72.000,- ini saya beli bersama beberapa buku lain setelah saya punya uang dari hasil usaha jasa rental komputer amatiran yang saya kelola.

Cicilan Kamus

Beberapa bulan yang lalu, saya punya gagasan untuk membantu mendorong murid-murid dan santri di lingkungan saya untuk mencintai dan membeli kamus. Idenya muncul setelah saya melihat di mana-mana semakin banyak program kredit kendaraan bermotor dan barang-barang lainnya. Saya lalu berpikir: kenapa tidak mencoba membuat program cicilan kamus?

Saya lalu mencoba menjajaki kemungkinannya. Di beberapa kesempatan, saya bicara dan bertanya kepada murid-murid. Tanggapannya positif.

Maka saya kemudian mengambil langkah-langkah nyata. Pertama, saya memutuskan kamus apa yang akan diangsurkan. Saya memilih Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia. Kebetulan, di kompleks tempat saya tinggal baru saja dibentuk kelompok Bahasa Arab. Dan ternyata anggotanya masih banyak yang belum punya kamus. Jadi saya pikir cicilan kamus akan menjadi sebentuk dukungan saya untuk mereka.

Kemampuan keuangan saya saat itu terbatas. Saya hanya menyediakan 30 eksemplar kamus untuk diangsurkan. Saya memesan 30 eksemplar kamus itu ke sebuah toko kitab di Surabaya dan lalu dikirimkan ke alamat saya di Guluk-Guluk, Sumenep.

Saya mendapatkan potongan harga sekitar 30%. Harga asli Rp 161.000,- dipotong menjadi Rp 111.000,-. Biaya pengiriman Rp 100.000,-. Kepada mereka yang berminat mencicil, biayanya dibulatkan Rp 115.000,- (jika harga kamus dan biaya pengiriman dijumlahkan dan dibagi 30, hasilnya sebenarnya Rp 114.333,-). Pengangsurannya saya tawarkan Rp 5.000,- setiap minggu, sehingga nanti cicilan akan lunas dalam waktu 23 minggu.

Setelah saya terima, dalam waktu singkat, ketiga puluh kamus tersebut langsung habis. Maklum, selain karena bisa mencicil, ternyata harga sebesar Rp 115.000,- itu tergolong murah, karena di toko buku terdekat kamus yang sama harganya lebih mahal sepuluh ribu rupiah. Sebenarnya, masih banyak yang berminat untuk ikut program cicilan kamus ini. Bahkan, ada yang menanyakan kamus yang lain, yakni Kamus al-Munawwir Indonesia-Arab. Sayangnya, keuangan saya terbatas untuk menyediakan kamus tersebut dalam jumlah yang lebih besar.

Jadi, sementara ini, saya minta mereka bersabar dulu.

Saya sendiri sebenarnya ingin sekali agar program semacam ini bisa diperluas. Saya bahkan berpikir, andai sekolah tempat saya mengajar punya dana yang cukup, program cicilan kamus ini bisa dilaksanakan dengan skala yang lebih luas. Termasuk dengan menyediakan kamus yang beragam, mulai dari kamus Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, atau bahkan mungkin kamus yang lainnya. Malahan, andai sekolah punya dana melimpah, khusus untuk murid sekolah membantu meringankan harga dengan subsidi sekadarnya.

Bayangkan, jika sejak setingkat SMA sederajat para murid sudah ditanamkan kecintaan pada kamus dan bahasa. Saya pikir, kemungkinan untuk membentuk semangat pembelajar dalam diri mereka akan lebih terbuka.

Baru Langkah Awal

Namun begitu, ada hal penting yang harus digarisbawahi di sini. Penyediaan kamus hanya satu langkah. Ini baru langkah awal. Program semacam cicilan kamus ini mustinya tak boleh dianggap cukup. Yang lebih penting adalah memadukan program semacam ini dengan kegiatan kreatif lainnya, seperti pengalaman saya ketika mendampingi Klub Penerjemah di Perpustakaan Madaris 3 Annuqayah.

Tahun 2008 lalu, saat saya masih aktif mendampingi Klub Penerjemah yang anggotanya kebanyakan murid setingkat SMA itu, saya mewajibkan anggota klub yang berjumlah sekitar 20 orang itu untuk membeli Learner’s Dictionary English-Indonesian 6.000 Entries yang disusun oleh Drs. R. Hardjono dan A. Widyamartaja (Kanisius, cetakan pertama tahun 1974). Kamusnya kecil, tipis, dan murah—kalau tak salah, harganya di bawah sepuluh ribu rupiah. Saya membantu membelikan kamus bagus yang sudah cetak ulang lebih 30 kali ini di Yogyakarta. Kamus itu digunakan untuk kegiatan menerjemah dan berdiskusi yang dilakukan secara rutin tiap pekan.

Jadi, tantangan selanjutnya, jika sudah banyak murid atau santri yang punya kamus, yang perlu dilakukan adalah mendorong agar mereka dapat mendayagunakan kamus-kamus itu sebaik mungkin. Di antara yang terpikir sejauh ini adalah membentuk semacam klub penerjemah yang sudah pernah saya lakukan namun hanya bertahan tak sampai 2 tahun itu.

Kegiatan-kegiatan semacam itu diharapkan akan dapat menularkan semangat dan kecintaan yang lebih luas pada pengetahuan dan ilmu. Bermula dari kecintaan pada kamus, berikutnya yang diharapkan adalah semakin meningkatnya mutu kehidupan dan peradaban yang terbentuk melalui bimbingan pengetahuan. Saya pikir ini harapan yang masuk akal dan sangat mungkin dikerjakan.

Read More..

Jumat, 20 April 2012

Menyelamatkan Otak Kanan


Sejak tahun pelajaran 2011/2012 ini, saya membuat sedikit perubahan dalam cara mengajar saya di kelas. Pertama, saya kerap memutar lagu-lagu instrumental di ruang kelas. Lagu-lagu itu saya putar dari telepon genggam yang saya bawa dengan bantuan pengeras suara portable. Kadang-kadang, lagu-lagu itu diputar dari laptop yang saya gunakan di ruang kelas.

Lagu instrumental yang saya putar bermacam-macam. Kadang musik klasik, seperti Beethoven, Bach, Mozart, atau Vivaldi. Kadang Kenny G, Richard Clayderman, Spyro Gyra, Secret Garden, atau favorit saya, Joe Satriani.

Hal lainnya baru dimulai semester ini. Sejak awal tahun 2012 ini, jika memungkinkan, saya menulis di papan dengan menggunakan spidol warna-warni: hitam, biru, merah, dan hijau. Dari sekolah tempat saya mengajar, biasanya hanya disediakan spidol warna hitam. Spidol warna-warni saya beli sendiri. Spidol warna-warni ini tak cukup mudah saya dapatkan. Spidol boardmarker biru dan merah tak saya temukan di Guluk-Guluk. Saya belinya di sebuah toko di Sumenep. Yang terakhir, warna hijau, baru saya dapatkan beberapa waktu yang lalu dengan memesan ke Yogyakarta.

Ada apa dengan musik instrumental dan spidol warna-warni? Belum lama ini beberapa mahasiswa di kelas Logika di Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (Instika) bertanya kepada saya perihal musik dan spidol warna-warni itu. Secara spontan ketika itu saya menjawab: “Saya menggunakannya untuk menyelamatkan otak kanan.”

Menyelamatkan otak kanan? Aha, rupanya pertanyaan mahasiswa tersebut telah membantu memancing otak saya untuk menemukan frasa yang kemudian menjadi judul tulisan ini—ya, pertanyaan itu berperan besar dalam melahirkan tulisan ini. Sebelumnya, saya tak membayangkan formula kata-kata tersebut sebagai jawaban atau latar belakang dari musik instrumental dan spidol warna-warni itu. Namun begitu, memang demikianlah adanya: saya pikir musik instrumental dan spidol warna-warni itu akan membantu murid di kelas untuk menyelamatkan otak kanan.

Saya menjelaskan kepada si penanya apa yang saya maksudkan dengan menyelamatkan otak kanan. Menurut saya, sistem pendidikan dan cara belajar kebanyakan kita selama ini cenderung terlalu terpaku pada potensi otak kiri saja. Karena itu, saya mencoba untuk mengimbangi penguasaan otak kiri di dunia pendidikan itu dengan musik instrumental dan spidol warna-warni.

Sebagaimana jamak diketahui, otak kiri berurusan dengan logika, angka, urutan, pola pikir linear, dan semacamnya. Sedangkan otak kanan berkaitan dengan imajinasi, kesadaran holistik, kesadaran seni, warna, dan sebagainya.

Sekarang, coba perhatikan hal-hal yang berkaitan dengan dunia pendidikan kita di sekolah. Buku pelajaran di sekolah nyaris semuanya disajikan dengan kering dan kaku. Cara siswa mencatat pun dari dulu masih tak jauh berbeda: kalimat-kalimat deskripsi atau eksposisi, dan semacamnya.

Penyajian bahan pembelajaran dan cara pencatatan yang kering dan kaku selama ini pada tingkat tertentu tampaknya telah cukup berhasil memenjarakan otak kanan. Akibatnya, sisi kreatif peserta didik kurang menemukan tempat untuk berkembang.

Penjara otak kiri yang bercorak positivistik tergambar melalui sebuah permainan yang sebenarnya cukup populer yang beberapa kali telah saya ujicobakan di kelas: sembilan titik yang membentuk kubus terdiri dari tiga baris mendatar dan menurun, lalu murid diminta untuk membuat empat garis lurus tak terputus dan harus bisa mengenai kesembilan titik tersebut. Menghadapi permainan semacam ini, pikiran murid-murid sering kali terpenjara dengan titik terluar yang membentuk kubus tersebut. Akibatnya, mereka kesulitan untuk memecahkan permainan ini.


Potensi otak kanan untuk berkembang bukan hanya dihadang oleh bahan dan penyajian kegiatan pembelajaran maupun cara pencatatan. Dalam kehidupan masyarakat kita yang lebih luas, penghargaan terhadap otak kiri cenderung lebih besar. Sedang penghargaan terhadap prestasi otak kanan masih kurang. Seorang kiai muda dan guru di Gapura yang aktif sekali menulis di blog, A. Dardiri Zubairi, pernah mencatat kurangnya penghargaan pemerintah daerah Sumenep atas prestasi di bidang sastra dibandingkan dengan bidang lain yang mengandalkan otak kiri—dan tampaknya ini bisa jadi bukan hanya terjadi di Sumenep saja. Sudah sering terjadi, murid yang berprestasi di bidang matematika atau bidang sains lainnya diberi apresiasi yang begitu meriah. Ini tak berlaku bagi murid yang punya kelebihan di bidang yang berbasis otak kanan, seperti bidang sastra.

Apa yang bisa dilakukan menghadapi ancaman terus terbatasnya ruang otak kanan di dunia pendidikan kita? Banyak hal yang bisa dilakukan. Bisa bersifat mendasar, sistematis, maupun massal. Sementara ini, di ruang kelas saya melakukannya dengan musik instrumental dan spidol warna-warni. Musik instrumental dan spidol warna-warni itu saya pikir adalah salah satu media sederhana yang tampaknya dapat merangsang otak kanan untuk berbiak dan memperkuat jejaringnya.

Kepada mahasiswa mata kuliah Logika saya katakan bahwa pelajaran Logika berpihak pada otak kiri. Karena itu, mengimbangi dominasi otak kiri dengan musik instrumental dan spidol warna-warni mungkin merupakan langkah sederhana yang patut untuk dicoba dilakukan.

Selebihnya, saya sepenuhnya sadar bahwa masih perlu dilakukan upaya-upaya lain yang lebih luas, mendasar, dan berkelanjutan untuk memberi ruang yang lebih lapang bagi otak kanan ini—ruang bagi kreativitas dan imajinasi. Musik instrumental dan spidol warna-warni mungkin hanya semacam balatentara yang pasti membutuhkan panglima yang memberi arahan dan taktik strategis.

Namun, kalaupun belum ada panglima, musik dan spidol warna-warni harus terus berjalan. Karena jika kita terus membiarkan otak kanan terpenjara maka sebenarnya, meminjam kata-kata Tony Buzan, kita telah melawan cara kerja alamiah otak. Jika demikian adanya, kita tidak saja akan mengalami hambatan yang berkepanjangan dalam belajar, bahkan mungkin saja sisi dan nilai kemanusiaan kita tak akan melangkah sempurna.

Read More..

Kamis, 29 Maret 2012

Perincian Listrik Padam 130 Kali

Tanggapan PLN Area Madura di Kompas 16 Maret 2012


Surat pembaca saya yang dimuat Kompas 1 Maret 2012 yang memaparkan hasil pencatatan saya tentang listrik padam di Guluk-Guluk, Sumenep, dalam waktu setahun, yakni mulai 12 Januari 2011 hingga 12 Januari 2012, sebanyak 130 kali ditanggapi PLN Area Madura pada Kompas 16 Maret 2012. Menurut PLN, listrik padam pada periode tersebut sebanyak 58 kali, dengan perincian 25 kali akibat kegiatan pemeliharaan terencana (preventif) dan 33 kali akibat gangguan (dengan perincian 24 kali padam di bawah lima menit dan 9 kali padam di atas lima menit).

Saya merasa perlu menanggapi PLN Area Madura karena hasil pencatatan saya ternyata berbeda cukup jauh dengan rekaman PLN. Berikut catatan saya.

Pertama, saya ingin menegaskan bahwa pengertian listrik padam dalam catatan saya adalah jika ada pemadaman dari PLN—entah karena apa—berapa pun durasinya. Padam tiga detik saya catat sebagai padam satu kali. Padam tiga jam juga saya catat satu kali. Kenyataannya, listrik padam kadang terjadi beberapa detik dengan frekuensi dua kali atau lebih dalam waktu yang relatif singkat—satu hingga dua jam, misalnya.

Kedua, agar lebih jelas, PLN, pembaca Kompas, dan juga pembaca blog saya yang budiman dapat memeriksa catatan saya tentang perincian listrik padam 130 kali tersebut. Saya cantumkan di bawah ini. Saya salin langsung dari akun twitter saya agar nuansa dan konteksnya bisa tertangkap. Mohon dimaklumi bahwa perincian catatan saya tidak terlalu detail. Bahkan kadang tak menyebutkan tanggal secara spesifik. Akan tetapi, mulai Maret 2012, saya berkomitmen untuk lebih detail mencatat listrik padam di wilayah saya.

Ketiga, saya ingin menambahkan catatan untuk PLN. Salah seorang pembaca blog saya menanggapi tulisan saya tentang listrik padam 130 kali tersebut. Dia menambahkan bahwa di Guluk-Guluk, Sumenep, yang menjadi masalah bukan hanya listrik padam, tetapi juga voltage yang kadang tak sesuai dengan yang dijanjikan, yakni 220 volt, sehingga beberapa perangkat elektronik sangat terganggu kinerjanya.

Berikut ini perincian listrik padam 130 kali:

12 Januari 2011
bbrp hari lalu PLN pasang iklan di koran, katanya di wilayah pamekasan (madura) tahun 2010 #listrikpadam 25kali /pelanggan/tahun.

14 Januari 2011
rabu 12/1 kemarin, di tempat saya (guluk2, sumenep, madura) #listrikpadam lebih 12 jam seharian.

hari ini jum'at 14/1 di tempat saya #listrikpadam barusan sekitar 30 menit.

15 Januari 2011
sabtu 15/1 subuh #listrikpadam sekitar 3 menit. apa kasus spt ini dihitung juga Pak Dahlan Iskan?

16 Januari 2011
ahad 16/1, pukul 14.35 di guluk2 sumenep #listrikpadam sekitar 3 menit. apa seperti ini juga dihitung Pak Dahlan Iskan ya wahai @infoPLN ?

24 Januari 2011
Ahad 23/1 sekitar pukul 12.54 di gulukguluk #listrikpadam sekitar 1-2 menit. kok sering begini, Pak Dahlan? @infoPLN bagaimana menurutmu?

25 Januari 2011
Selasa 25/1 pkl 12.08, di guluk2 sumenep #listrikpadam sekitar satu jam.

5 Februari 2011
Pak Dahlan Iskan, #listrikpadam jgn sering2 di sktr guluk2 sumenep. td pkl sktr 17.15 pdam. Rabu 2/2 jg. UPS sy sdh mati. kasian kmpternya.

7 Februari 2011
#listrikpadam #listrikpadam.. lagi2 Pak Dahlan Iskan..barusan pas saya di kelas jam 12an #listrikpadam beberapa menit..

26 Februari 2011
Pak Dahlan, beberapa pekan terakhir terjadi #listrikpadam di sini tapi saya tak sempat mencatatnya. sepertinya ada sekitar 3-4 kali.

1 Maret 2011
2 hari lalu #listrikpadam di sini, guluk2 sumenep. kmrn jg. tadi jg. tiap hari. sangat mengganggu, meski msg2 ga smp sejam.. gmn Pak Dahlan?

2 Maret 2011
jelang tengah malam hingga pagi agak siang tadi di guluk2 sumenep #listrikpadam lagi. apa krn angin dan hujan, Pak Dahlan?

4 Maret 2011
kemarin siang sekitar pukul 11 dan tadi malam sekitar pukul 22 #listrikpadam di guluk2. gimana targetmu, Pak Dahlan?

6 Maret 2011
di guluk2, barusan #listrikpadam beberapa menit pas setelah MU dikalahkan Liverpool 3-1..

11 Maret 2011
semalam #listrikpadam berkali2 sejak pukul 10 di wilayah guluk2 dan sekitarnya..

14 Maret 2011
tadi malam beberapa kali #listrikpadam di guluk2. barusan jg begitu. ini sdh yg kesekian kali di 2011. gmn Pak Dahlan?

23 Maret 2011
#listrikpadam betul2 nyebbelin! tadi sore. kemarin juga. kemarinnya lagi. untung UPS sdh jalan.

24 Maret 2011
jelang maghrib tadi #listrikpadam beberapa detik. untung UPS sudah bekerja dg baik.. sy mencatat #listrikpadam di daerah saya, sejak 12/1/11 sdh 27x. sy catat krn tak percaya pd iklan PLN bhw pamekasan th 2010 padam 25x.

26 Maret 2011
2 hari lalu #listrikpadam. tadi juga. msh perlukah earth hour?

29 Maret 2011
Laporan utk @infoPLN : untuk yg ke-28 sejak 12/1/2011, di guluk2 kemarin sore #listrikpadam beberapa menit.

9 April 2011
tadi malam dan barusan #listrikpadam di guluk2. berarti sejak 12/1/2011, ini yg ke-31 kali. laporan selesai... @infoPLN

10 April 2011
tadi sore #listrikpadam di guluk2, sumenep. ini yg ke-32 sejak 12/1/2011. ada yg bisa ngasi tau ke Dahlan Iskan? @infoPLN

12 April 2011
kemarin, di guluk2 sumenep #listrikpadam. trus tadi jg #listrikpadam, utk yg ke-34 sejak 12/1/2011. gimana tanggapan @infoPLN ?

13 April 2011
tadi siang, di guluk2 sumenep #listrikpadam utk yg ke-35 sejak 12/1/2011

14 April 2011
tadi siang, di guluk2 sumenep #listrikpadam utk yang ke-36 kalinya sejak 12/1/2011.. gimana Pak Dahlan Iskan? @infoPLN

16 April 2011
td mlm #listrikpadam 2x di guluk2 sumenep. td 1x. berarti td yg ke-39 sjk 12/1/2011. sptnya perlu ditulis di suratpembaca kompas nih.

17 April 2011
terang bulan di guluk2 sumenep, brsn #listrikpadam utk yg ke-40 kali sejak 12/1/2011..mgkn dahlan iskan sdg ingin menikmati bulan ya..

26 April 2011
hari ini #listrikpadam 2x di guluk2 sumenep. berarti sudah 42 kali #listrikpadam sejak 12/1/2011.

27 April 2011
hr ini #listrikpadam 2x d guluk2 sumenep. berarti sdh 44x #listrikpadam sjk 12/1/2011. apa Dahlan Iskan mau ganti alat2 elektronik yg rusak.

2 Mei 2011
hari ini #listrikpadam 2x di guluk2 sumenep. berarti sejak 12/1/2011 sdh padam 46 kali.. valentino rossi dong..!

5 Mei 2011
semalam raungan UPS membangunkanku gara2 #listrikpadam utk yg ke-47 kali sjk 12/1/2011 di guluk2 sumenep..tp aku tak bermimpi dahlan iskan..

15 Mei 2011
hatrick #listrikpadam: jum'at(an) siang, sabtu siang, smlm jam 9an. brarti sdh 50 kali #listrikpadam di guluk2 sumenep sjk 12/1/2011.

22 Mei 2011
bbrp kali #listrikpadam di guluk2 sumenep tdk diinfokan. ada 4x, shg total sjk 12/1/2011 #listrikpadam berjumlah 54 kali.

29 Mei 2011
Sabtu siang kmrn, trus pas final champion smlm, dan td siang, #listrikpadam di guluk2 sumenep. brarti sdh 57 kali padam sjk 12/1/2011/

30 Mei 2011
semalam #listrikpadam yg ke-58 sejak 12/1/2011. UPS menjerit2 membangunkan tidur saya.. apa maksudmu membangunkan saya, Pak Dahlan Iskan?

2 Juni 2011
kemarin siang, ditambah barusan, total #listrikpadam di guluk2 sumenep sdh 60 kali sejak 12/1/2011. apa kau baca wahai Pak Dahlan Iskan?

9 Juni 2011
jum'at pagi-siang &td malam #listrikpadam di guluk2 sumenep. brarti sdh 62 kali sjk 12/1/2011. sabtu-slasa kmrn ga trpantau krn sy tdk d rmh

13 Juni 2011
smlm saya tak mimpi Dahlan Iskan. UPS menjerit2 saat #listrikpadam untuk yg ke-64 kalinya di wilayah guluk2 sumenep sejak 12/1/2011.

17 Juni 2011
skdr mncatat: tgl 16/6 kmrn, #listrikpadam 4x di guluk2 sumenep. jd sjk 12/1/2011, #listrikpadam saya hitung sdh 68 kali!

dlm wkt sktr 2 jam brsn, #listrikpadam 2x di guluk2 sumenep. jd total 70 kali sejak 12/1/2011. berapa korban barang elektronik yg rusak?

19 Juni 2011
hari ini #listrikpadam 2x di guluk2 sumenep. berarti sdh 72 kali #listrikpadam sejak 12/1/2011.

21 Juni 2011
kemarin #listrikpadam sekali, jadi sejak 12/1/2011 sdh 73 kali #listrikpadam di guluk2 sumenep.

22 Juni 2011
tadi malam dan barusan #listrikpadam di guluk2 sumenep. artinya sdh padam 75 kali sejak 12/1/2011.

27 Juni 2011
ya, betul. td mlm UPS menjerit2 2x. jadi sjk 12/1/2011 #listrikpadam sdh 77 kali. RT @pangapora Apakah betul, kabarnya semalam lampu mati 2x

30 Juni 2011
semalam #listrikpadam bbrp kali sbntr2, shg total sjk 12/1/2011 #listrikpadam di guluk2 sumenep sdh 78 kali.

3 Juli 2011
lewat tengah malam, #listrikpadam membuat UPS di kamar menjerit2, membangunkan tidur saya. Ini adalah #listrikpadam ke-79 sejak 12/1/2011.

5 Agustus 2011
satu bulan tak mencatat #listrikpadam. mmg agk jarang. tp plg tidak ada 7x #listrikpadam. jd sjk 12/1/11, #listrikpadam di guluk2 sdh 86kali.

16 Agustus 2011
semalam #listrikpadam. sepekan terakhir ini ada sekitar 4x. jd sejak 12/1/2011 di guluk2 sumenep #listrikpadam sdh berjumlah 90 kali.

17 Agustus 2011
Selamat! Di hari kemerdekaan, Dahlan Iskan telah menghadiahkan #listrikpadam utk yang ke-91 kali sejak 12/1/2011 bagi warga Guluk2 Sumenep.

20 Agustus 2011
tadi siang dan tadi sore #listrikpadam di guluk2 sumenep. jadi sejak 12/1/2011 #listrikpadam sdh 93 kali.

21 Agustus 2011
tadi sore #listrikpadam di guluk2 sumenep. jadi sejak 12/1/2011 #listrikpadam sdh 94 kali.

25 Agustus 2011
kemarin malam #listrikpadam di guluk2 sumenep ketika jam tarawih. itu yg ke-95 sejak 12/1/2011.

29 Agustus 2011
OOT: 2 malam yg lalu, #listrikpadam di guluk2 sumenep. ini yg ke-96 sjk 12/1/2011..

24 September 2011
cukup lama ga ada #listrikpadam di guluk2 sumenep. sore ini muncul kembali. ini #listrikpadam yg ke-97 sjk 12/1/2011..

26 September 2011
td sore #listrikpadam di guluk2 sumenep. ini adalah yg ke-98 sjk 12/1/2011..

11 November 2011
kalau mau dihitung kasar, ada lbh 10x #listrikpadam sjk terakhir saya mencatat 26 sept lalu. di antaranya yg 4 hari berturut2 itu..

jd kl mau dirangkum, sjk 12/1/2011, #listrikpadam di area guluk2 sumenep sdh 108 kali. saya pikir ini minimal. krn kdg saya lupa tak catat.

14 November 2011
kmrn, #listrikpadam 4x di guluk2 sumenep. jd sjk 12/1/2011 #listrikpadam 112 kali.

18 November 2011
tadi jelang sore #listrikpadam di guluk2 sumenep. rabu kemarin jg. jd sjk 12/1/2011 #listrikpadam di guluk2 berjumlah 114 kali.

4 Desember 2011
Rabu kmrn #listrikpadam di guluk2 sumenep. berarti #listrikpadam sdh 116 kali sjk 12/1/2011.

6 Desember 2011
tadi malam sktr isya #listrikpadam bbrp detik di guluk2 sumenep. ini #listrikpadam yg ke-117 sjk 12/1/2011.

9 Desember 2011
Hari Kamis kemarin #listrikpadam 2x di guluk2 sumenep. jd total sjk 12/1/2011 #listrikpadam 119x...

21 Desember 2011
kemarin siang #listrikpadam dua kali di guluk2 sumenep. berarti sjk 12/1/2011 sdh 122 kali #listrikpadam. adakah HOPE terang utk 2012?

22 Desember 2011
antologi #listrikpadam guluk2 sumenep: td malam tambah 2 kali. jd sjk 12/1/2011 sdh berjumlah 124 kali.

26 Desember 2011
hari ini ada #listrikpadam di guluk2 sumenep. dlm perhitungan saya, ini #listrikpadam yg ke-125 sjk 12/1/2011.

1 Januari 2012
berarti ini #listrikpadam yg ke-126 sjk 12/1/2011 (pdhl setahun!) > RT @ahmadamal: matilampu setahun, dr 2011 sampai 2012 msh blm nyala jg..

4 Januari 2011
td malam #listrikpadam di guluk2 sumenep. sjk 12/1/2011 (hampir pas setahun),berarti ini #listrikpadam yg ke-127 utk wilayah guluk2 sumenep.

pagi ini #listrikpadam lg di guluk2 sumenep. ini yg ke-128 sjk 12/1/2011.

10 Januari 2011
mlm ahad kmrn & td mlm #listrikpadam di guluk2 sumenep. berarti, sjk 12/1/2011, sdh 130 kali. ayo, msh ada hr ini &bsk jk mau padam lg.

1 Maret 2012
saya mencatat #listrikpadam utk wilayah guluk2 sumenep mulai 12/1/2011 hingga setahun kemudian. hasilnya #listrikpadam 130 kali.

ironisnya, barusan jam 12-an #listrikpadam sktr 90 menit. mgkn org PLN blm baca Kompas.


Tulisan terkait:
>> Listrik Padam 130 Kali Setahun
>> Jam Bumi dan Keadilan Energi

Read More..