Kamis, 31 Maret 2011

Jam Bumi dan Keadilan Energi

Menjelang akhir pekan lalu, di berbagai media, saya menemukan banyak sekali kampanye untuk ikut serta dalam program Jam Bumi (Earth Hour), yakni aksi memadamkan listrik pada hari Sabtu, 26 Maret 2011 pukul 20.30-21.30 waktu setempat. Aksi ini dimaksudkan untuk mengingatkan umat manusia tentang gaya hidup konsumtif, terutama dalam kaitannya dengan penggunaan energi, yang dalam taraf tertentu berdampak pada nasib dan keberlanjutan bumi.

Sulit untuk dipungkiri bahwa saat ini manusia memang telah mengubah wajah bumi sedemikian rupa. Di Majalah National Geographic Indonesia edisi Maret 2011, ada sebuah tulisan menarik yang menceritakan penelitian para ahli geologi dan stratigrafi tentang dampak aktivitas manusia di abad ini terhadap bumi. Seorang ahli kimia peraih Nobel dari Belanda, Paul Crutzen, menyebut era ini sebagai kala Antroposen untuk menggambarkan besarnya dampak aktivitas manusia di bumi. Memang, para ilmuwan masih sulit merumuskan bukti bebatuan yang akan menjadi rujukan geologis dari era ini, karena efek kala Antroposen lebih banyak bersifat tidak kasat mata, seperti perubahan komposisi atmosfer. Namun, melihat dampak besar yang terjadi saat ini, para ilmuwan itu memandang tak mustahil bahwa manusia bisa menyebabkan terjadinya “kemusnahan massal keenam”.

Dalam tulisan tersebut, digambarkan bahwa untuk mengukur dampak manusia terhadap bumi, kita bisa memasukkan tiga variabel: populasi, kemakmuran, dan teknologi. Nah, dalam kerangka ketiga variabel ini, saya pikir energi memiliki peran yang cukup penting. Dalam kemakmuran dan teknologi, jelas ada energi. Lebih jauh, dari berbagai sumber, kita dapat membaca betapa konsumsi energi kita luar biasa. Di tulisan yang saya sebut di atas juga digambarkan bagaimana perusahaan minyak bekerja mengebor tanpa henti untuk meratakan puncak pegunungan Appalachia untuk menambang batu bara, yang memasok separuh listrik Amerika Serikat. Juga ada foto hamparan ladang minyak South Belridge, California, yang ditemukan pada 1911 dan terus diekspolitasi dan menghasilkan 32 juta barel per tahun.

Jam Bumi, yang dilakukan pada akhir pekan terakhir di bulan Maret, adalah semacam jeda sejenak untuk menekan nafsu konsumtif manusia. Ia diharapkan dapat menjadi pengingat atas kehausan energi yang diumbar oleh manusia.

Saya sangat sepakat dengan ide dasar Jam Bumi yang katanya dicetuskan di Australia pada Maret 2007 ini. Namun, mungkin karena saya dibesarkan dan tinggal di pelosok desa di pedalaman Madura yang cukup sering mengalami pemadaman listrik, ada gagasan-gagasan lain yang muncul dalam pikiran saya sejak pertama berhadapan dengan kampanye masif Jam Bumi tahun lalu. Ide-ide itu semakin ramai berbicara di pikiran saya menjelang akhir pekan yang lalu karena kebetulan tiga bulan terakhir saya mencoba mencatat jumlah pemadaman listrik yang terjadi di tempat tinggal saya.

Saya melakukan ini karena tergerak oleh iklan Perusahaan Listrik Negara (PLN) di beberapa koran nasional pada tanggal 12 Januari 2011 lalu yang di antaranya memaparkan data pemadaman listrik tahun 2010. Di situ disebutkan bahwa di wilayah Pamekasan, sepanjang 2010 terjadi 25 kali pemadaman. Saya pikir, Sumenep termasuk dalam data tersebut. Begitu melihat iklan itu, saya spontan mempertanyakan data yang ditampilkan PLN tersebut. Memang, dalam iklan itu tidak dijelaskan yang dimaksud pemadaman itu apa, berlangsung berapa lama, dan seterusnya. Tapi saya merasa bahwa di daerah saya, listrik begitu sering padam. Karena itu, sejak melihat iklan itu, saya mencoba mencatat pemadaman listrik yang terjadi di wilayah saya. Hasilnya: hingga 26 Maret lalu, listrik padam sudah terjadi 27 kali.

Kalau saya bertanya apa saya perlu ikut serta dalam aksi Jam Bumi jika di daerah saya listrik sudah sering kali padam, ini sama sekali bukan berarti saya tak setuju dengan poin yang mendasari Jam Bumi. Sekali lagi, saya sungguh sepakat dengan nilai-nilai yang mendasari kampanye Jam Bumi. Pertanyaan ini sebenarnya saya munculkan lebih untuk melihat persoalan konsumsi energi ini secara lebih utuh dan menyeluruh.

Ajakan untuk menghemat energi tentulah nilai yang positif. Akan tetapi, penting untuk dicatat bahwa upaya pembentukan gaya hidup hemat energi dengan seruan seperti itu berada dalam kategori personal (environmental) ethic. Menurut saya, berbicara tentang energi, seperti juga isu lingkungan yang lain, kita tak boleh berhenti hanya pada tingkat personal semacam ini. Transformasi nilai yang semata bersifat personal tak akan punya kekuatan yang cukup kuat untuk bisa berdampak luas dalam bentuk perubahan sosial (Nordström, 2008: 133-134).

Harus ada upaya yang lebih luas ke arah kebijakan publik yang mendukung tak hanya pada upaya pembentukan gaya hidup hemat energi, tapi juga pada keadilan energi. Contoh keadilan energi yang paling mudah dicerna tergambar dalam data yang menunjukkan bahwa 23% energi global dikonsumsi Amerika Serikat yang penduduknya hanya 5% dari warga dunia (National Geographic, Detak Bumi 2010).

Gandi R. Setyadi, salah seorang kenalan saya saat di Trondheim, Norwegia, yang pernah memaparkan makalah tentang situasi energi di Indonesia dalam forum Persatuan Pelajar Indonesia Trondheim tahun lalu, menjelaskan bahwa di tahun 2008, 54% energi dikonsumsi oleh sektor industri, 32% oleh sektor transportasi, dan 14% oleh sektor rumah tangga.

Isu keadilan energi ini buat saya menjadi penting tak hanya karena listrik sering padam di wilayah saya, yang berada di wilayah pelosok atau kampung. Bukan hanya karena saya dan para tetangga saya—atau mereka yang kira-kira senasib—tampak mengonsumsi energi lebih sedikit dibanding mereka yang tinggal di Jakarta atau kota-kota besar dunia lainnya sehingga mestinya seruan dan aksi Jam Bumi harus diletakkan dalam proporsi yang lebih tepat.

Lebih dari itu, saya sering mendengar keluhan warga kepulauan Sumenep yang masih tak bisa menikmati keadilan energi di negeri ini, sedang wilayah mereka sebenarnya kaya migas dan telah dieksploitasi. Di Kangean, wilayah kepulauan Sumenep yang berada di arah timur Pulau Madura, misalnya, masyarakatnya masih kesulitan listrik, padahal sejak 1982 di blok migas Kangean telah beroperasi banyak perusahaan migas (Em Lukman Hakim, Harian Surya, 24 Januari 2009).

Sementara seruan aksi Jam Bumi tetap bernilai penting, di sisi yang lain, bagaimanapun, kita juga harus melihat fakta-fakta seperti ini, yang tiada lain menyiratkan adanya ketidakadilan energi.

Sampai di sini saya semakin merasa bahwa upaya yang lebih sistematis, utuh, dan menyeluruh sangatlah penting. Sekali lagi, kebajikan personal tidaklah cukup. Harus ada kebijakan publik yang mendukung. Saya teringat salah satu bagian dalam buku Di Bawah Bendera Asing (LP3ES, 2009) yang ditulis oleh teman kelas saya dulu di Filsafat UGM, M. Kholid Syeirazi. Saya kira saya perlu mengutip langsung bagian yang saya maksud itu:

“Menyerukan penghematan energi merupakan perbuatan mulia, tetapi akan sia-sia jika dia merupakan excuse dari kegagalan mengurus sektor energi. Menyerukan rakyat menghemat BBM, misalnya, tidak akan sinkron dengan kebijakan meliberalisasi industri otomotif yang membuat sektor ini tumbuh dua digit dalam beberapa tahun terakhir. Padahal, sumber energi di sektor ini nyaris belum terdiversifikasi, dengan ketergantungan pada BBM mencapai 99,9 persen (hlm. 257-258).”

Namun penting pula untuk dicatat bahwa kealpaan atau kelalaian kita dan sejumlah pihak pada aspek keadilan energi ini tak juga berarti bahwa upaya membangun personal ethic di bidang energi berupa langkah penghematan (personal) menjadi tak penting. Jika ada orang yang abai dengan aspek personal ini dengan dasar tuntutan pemenuhan keadilan energi, maka mungkin itu dapat dilihat sebagai bentuk sikap yang salah kaprah dan cari-cari alasan saja.

Kesimpulannya, dua aspek itu sama penting. Dan poin utama tulisan ini sebenarnya hanya sekadar ingin mengingatkan dan menegaskan dimensi yang lebih utuh untuk melengkapi gaya hidup hemat energi, yakni sisi keadilan energi yang musti diperjuangkan oleh semua pihak.

Read More..

Jumat, 25 Maret 2011

Juara Sepanjang Masa


Hampir tiga bulan yang lalu, di sebuah pertemuan dengan wali murid di sekolah tempat saya mengajar, ada sebuah pertanyaan menarik yang dilontarkan oleh seorang wali murid. Dia bertanya tentang prestasi murid di sekolah dalam ajang perlombaan baik di tingkat lokal, regional, maupun nasional. “Apa ada yang pernah menang olimpiade sains baik di tingkat regional atau nasional?” katanya.

Pertanyaan ini saya duga muncul setelah belakangan masyarakat Madura, khususnya di wilayah Sumenep dan Pamekasan, cukup sering mendapat informasi di media massa tentang pelajar Madura yang menang di ajang bergengsi olimpiade sains internasional.

Faktanya, murid-murid di sekolah tempat saya mengajar, SMA 3 Annuqayah, tak memiliki prestasi bergengsi seperti itu. Menurut catatan sekolah, murid SMA 3 Annuqayah kebanyakan “hanya” pernah menang di beberapa ajang lomba tingkat kabupaten. Memang, sekolah kami masih belum punya prioritas untuk membibit murid-murid di ajang lomba seperti itu. Kami menghadapi banyak keterbatasan. Pembelajaran sains, terutama yang mengarah pada prestasi akademik seperti ini, masih belum menjadi agenda pengembangan yang utama.

Sejauh ini, pikiran saya tentang prioritas pengembangan pendidikan di sekolah lebih banyak tertuju pada upaya untuk menciptakan satu model pendidikan yang kontekstual, yakni suatu model pendidikan yang betul-betul berupaya menghubungkan aktivitas pembelajaran dengan kebutuhan murid dan komunitas masyarakat. Setelah beberapa tahun bergelut di dunia pendidikan, saya merasa bahwa pendidikan di sekolah sering tidak cukup tersambung dengan kebutuhan anak didik dan masyarakat serta kurang mampu memancing daya kritis mereka membaca kenyataan hidup di sekitar.

Contoh yang sering saya kemukakan untuk gagasan ini terkait dengan bidang pertanian dan kesehatan. Saya kadang menyesalkan mengapa sekolah kurang menyentuh dan mengembangkan hal yang terkait dengan pertanian dan kesehatan dari apa yang selama ini sudah tumbuh dan berkembang di masyarakat. Padahal murid-murid di sekolah tempat saya mengajar hampir semua berlatar belakang keluarga petani dengan kemampuan ekonomi yang terbatas.

Saya cukup sering bertanya-tanya kenapa sekolah tidak berusaha memahami, menelaah lebih dekat, dan bahkan mungkin mencarikan jalan keluar bagi keluhan-keluhan dan kesulitan hidup yang dihadapi kaum petani. Tentang pengembangan pupuk, benih, pestisida, pemasaran hasil pertanian, dan sebagainya. Ini bukan berarti sekolah harus ikut-ikutan masuk ke wilayah politik atau kebijakan. Paling tidak ada upaya-upaya nyata untuk bisa ikut berempati dengan masalah-masalah sehari-hari yang dihadapi petani.

Saya yakin bahwa para petani sesungguhnya punya khazanah pengetahuan tentang bagaimana mengolah lahan dan produk pertanian mereka—demikian juga halnya di bidang kesehatan. Nah, yang saya sesalkan, di tengah ancaman hilangnya khazanah pengetahuan lokal gara-gara tergeser oleh gugus pengetahuan (modern) baru (di bagian ini, saya teringat Vandana Shiva yang menyinggung tentang penyingkiran pengetahuan lokal oleh ideologi developmentalisme), mengapa sekolah seperti diam saja?

Buat saya, kepekaan untuk membaca masalah yang ada di masyarakat semacam ini perlu diutamakan untuk didorong di sekolah. Dengan kata lain, sesederhana apa pun pengetahuan yang mungkin dan berhasil diolah serta dicapai oleh murid dan komunitas sekolah pada umumnya, yang paling penting adalah bagaimana capaian itu bisa memberi manfaat kepada masyarakat dan komunitas. Paling tidak, jika belum ada hal yang berhasil dicapai, kegiatan pembelajaran oleh murid dan guru di sekolah diarahkan pada visi seperti ini.

Kembali ke soal ajang kompetisi seperti olimpiade sains internasional sebagaimana disebut di atas, saya kadang bertanya-tanya: di manakah mereka saat ini, pelajar-pelajar yang pernah menorehkan prestasi emas di olimpiade internasional itu? Apa yang sudah mereka berikan kepada komunitas tempat mereka dibesarkan? Apakah mereka bisa turut serta menjaga dan mengembangkan khazanah pengetahuan nenek moyang mereka?

Maka menjawab pertanyaan si wali murid di atas tadi, saya katakan bahwa untuk saat ini, sekolah kami lebih memprioritaskan pada upaya penumbuhan semangat berbagi kepada masyarakat, semangat untuk memberikan hal sekecil apa pun pada masyarakat, yang kalau bisa tak hanya bersifat sesaat, tapi berkelanjutan. Jika ada murid punya kemampuan menjahit, mari kita dorong dia untuk dapat mengajarkan keterampilannya itu pada rekannya di sekolah. Jika ada yang bagus mengaji al-Qur’an, mari dorong dan beri dia kesempatan untuk mengajarkannya pada teman di sekolah.

Saya berpikir bahwa prestasi di lomba-lomba, jika hanya menjadi alat (entah untuk tujuan apa), kadang bisa melenakan. Bila sudah menang lomba ini itu, seakan semuanya selesai. Sampai di situ saja. Padahal pendidikan di sekolah bukan dirancang agar anak pintar menjawab soal-soal di ajang cerdas cermat atau saat menghadapi ujian.

Tentu cara pandang seperti ini bukan serta merta berarti bahwa menang di ajang lomba bertaraf internasional bukan menjadi impian kami. Forum semacam itu sangat baik untuk memberi kesempatan murid-murid memiliki pengalaman dan interaksi yang lebih kaya—meski pengalaman yang kaya juga bisa didapat dari forum-forum lain di luar ajang lomba.

Sekolah tempat saya mengajar masih memiliki banyak keterbatasan. Dengan dana yang terbatas, kami berupaya mengelola kegiatan pengembangan mutu pendidikan, termasuk yang secara langsung berkaitan dengan kegiatan ekstra-kurikuler, dengan penekanan visi pada pembentukan sistem pendidikan yang menekankan pada upaya menjawab tantangan dan kebutuhan kontekstual masyarakat yang berkesinambungan dan padu.

Dengan kerangka ini, prestasi kependidikan pada akhirnya buat saya terutama bukanlah soal menang di lomba ini itu. Tapi lebih pada bagaimana murid-murid dibekali kepekaan, kemampuan, pengetahuan, dan pengalaman untuk membaca dan merespons persoalan di sekeliling mereka. Memang mungkin prestasi semacam ini tak cukup mudah terlihat secara langsung. Tak ada piala dan panggung megah yang membanggakan. Tapi saya pikir jenis prestasi yang semacam ini dapat lebih baik, setidaknya pada sisi nilai keberlanjutan dan manfaat bagi masyarakat.

Saya pikir, dengan visi semacam ini, saya ingin menjaga agar kegiatan pendidikan dapat tetap memihak pada kelompok-kelompok marginal yang rentan terhadap berbagai bentuk ancaman kehidupan global sekarang ini. Bagi saya, agenda visi semacam ini cukup menantang karena harus dinegosiasikan dalam sebuah sistem yang cukup rumit dan tak steril dari kepentingan banyak pihak. Akan tetapi, jika kami nanti berhasil membuat sedikit saja langkah maju dalam kerangka visi semacam ini, ya, sedikit saja, rasanya kami seakan telah menjadi juara sepanjang masa.

Read More..

Rabu, 02 Maret 2011

Bahasa Tubuh

Sekitar akhir 2009 yang lalu, saat saya masih di Utrecht, saya ingat pernah membaca sebuah tulisan di blog teman saya tentang kiat mengikuti tes wawancara untuk beasiswa luar negeri. Dalam tulisannya itu, ia menjelaskan tentang pentingnya mengelola bahasa tubuh yang baik selama wawancara.

Saya teringat tulisan teman saya ini setelah saya selesai mengikuti wawancara di Jakarta untuk seleksi program pertukaran pemuda ke Australia dan kemudian tepat keesokan harinya saya punya urusan pribadi di sebuah kantor pemerintahan di kawasan Senayan. Saya teringat tulisan teman saya tersebut gara-gara memperhatikan bahasa tubuh pejabat yang berhadapan dengan saya di Senayan.

Selama beberapa menit—mungkin sampai belasan menit—si pejabat berhadapan dengan saya, saya tak ingat dia sempat menatap mata atau wajah saya—bahkan sepertinya juga orang sebelum saya. Dia berbicara sambil melihat atau membolak-balik berkas-berkas yang saya bawa, atau melihat ke arah layar komputer. Benar, bahkan saya sungguh tak ingat dia melirik ke saya atau antrean orang setelah saya.

Saya rasa saya tak perlu cerita detail tentang bagaimana bahasa tubuh si pejabat ini. Namun jika Anda kebetulan warga Sumenep, rasanya Anda tak akan cukup sulit untuk bisa punya pengalaman serupa dan menangkap poin cerita saya. Cukup datang ke kantor pemerintahan untuk sebuah urusan, maka peluang Anda untuk punya pengalaman seperti saya mungkin bisa di atas 50 persen.

Kembali ke tulisan teman saya itu, dia menulis bahwa soal attitude atau sopan santun dalam wawancara sebenarnya adalah sesuatu yang common sense, bisa ditangkap dengan pemahaman biasa. Pandangan mata, misalnya, bisa menunjukkan seberapa santun sikap seseorang terhadap lawan bicaranya. Jika dalam sebuah tes wawancara Anda berbicara tanpa pernah menatap mata lawan bicara Anda, tentu itu bukan sebuah sikap yang baik. Demikian pula, permainan air muka dan gerakan mata Anda ketika menyimak atau untuk menanggapi pembicaraan si pewawancara akan menunjukkan seberapa Anda memperhatikan dan berusaha masuk ke dalam tema perbincangan.

Sampai di sini saya pun juga teringat pada uraian Michel Foucault (1926-1984) tentang lahirnya pola relasi baru antara dokter dan pasien di Eropa di akhir abad ke-18, sebagaimana ia paparkan dalam The Birth of the Clinic. Akibat penemuan otopsi yang memungkinkan penyelidikan mendalam pada organ-organ interior tubuh manusia, lahirlah sistem katalogisasi ekspresi simptomik tubuh pasien di setiap rumah sakit. Sistem klasifikasi simptom ini menurut Foucault melahirkan cara pandang baru dunia medis untuk memahami pasien lebih sebagai fakta patologis (a pathological fact). Nah, di titik ini, Foucault lalu menggambarkan struktur persepsi dokter yang baru ini dalam istilah “gaze” (“regard”, dalam bahasa Prancis), yang berarti “sorot mata” atau “tatapan”. Istilah ini digunakan untuk menggambarkan munculnya cara pandang baru di luar kedudukan pasien sebagai subjek manusia yang harus disembuhkan, yakni dengan memberi porsi yang besar pada penyelidikan (“sorot mata klinis”) atas reaksi-reaksi patologis tubuh pasien.

Saya tidak tahu apa jika Foucault hidup di zaman sekarang dia akan menyelidiki pola relasi antara pejabat publik di birokrasi dan masyarakat seperti dalam pengalaman saya di atas. Tapi saya merasa bahwa penelitian Foucault atas buku-buku kedokteran klinis yang ditulis antara tahun 1790 hingga 1820 (yang kemudian melahirkan buku The Birth of the Clinic) dan termasuk juga penelitiannya tentang penjara dan semacamnya cukup sejalan dengan konteks yang sedang saya ceritakan di sini. Semuanya berada dalam kerangka disiplin, yang oleh Seno Joko Suyono (2002) dipandang sebagai kata kunci Foucault dalam menjelaskan pembentukan diri-eksternal kelas menengah Eropa.

Jika sorot mata baru dalam dunia medis di Eropa dinilai begitu penting oleh Foucault dalam membentuk tatanan masyarakat baru di Eropa, saya tidak tahu seberapa penting dan mendalam makna bahasa tubuh atau sorot mata pejabat publik seperti dalam kisah saya ini. Lebih jauh, apakah cara perlakuan seperti ini memang terjadi secara luas ataukah hanya di wilayah atau situasi tertentu? Juga, sejak kapan?

Catatan ini sendiri sebenarnya lahir setelah ada cerita senada yang saya dengar dari seorang teman beberapa hari yang lalu saat ia punya urusan di sebuah kantor pemerintahan di Sumenep. Teman saya itu bercerita tentang ucapan-ucapan dan bahasa tubuh seorang pejabat yang sama sekali tak simpatik. Saya sama sekali tak heran mendengar cerita teman saya itu, karena sesungguhnya saya sendiri pernah mengalaminya saat mengurus prasyarat keberangkatan saya ke Eropa pertengahan 2009 lalu.

Atas semua kisah semacam ini, saya kadang berpikir: jika masyarakat senantiasa atau sering sekali punya pengalaman buruk dalam berhubungan dengan pejabat publik, apakah itu tidak berarti bahwa negara diam-diam sedang berusaha tampil sebagai sosok yang menakutkan bagi para warganya? Tidakkah pengalaman semacam ini akan membentuk persepsi publik untuk melihat negara bukan sebagai bagian dari dirinya, bahkan sebagai sosok “penjajah” atau sosok yang korup, sehingga negara kemudian semata menjadi semacam formalitas yang hanya dibutuhkan untuk mengisi formulir data pribadi?

Read More..