Minggu, 28 Maret 2010

Sebuah Cerita Akhir Pekan


Hari ini gerimis turun hampir seharian. Sesekali salju yang agak keras turun, mirip butiran es yang amat kecil. Saya merasakannya saat keluar membeli jeruk ke tempat belanja di sudut komplek asrama. Butir-butir es itu jatuh menerpa jaket dan terdengar seumpama alat musik perkusi. Saat saya melintas di atas tumpukan salju yang agak mengeras atau yang becek, suaranya menjadi nyaris tak terdengar tergantikan oleh suara gesekan sepatu.

Hari ini langit mendung berwarna kelabu. Tak ada matahari. Jendela kamar basah diterpa rintik yang tertiup angin. Jelang petang, saat lampu-lampu rumah yang berderet di bebukitan mulai dinyalakan di kejauhan, kabut turun memotong jarak pandang.

Malam datang semakin terlambat. Menghadap jendela yang agak buram, saya menunggu bulan yang akan muncul dari balik gedung di seberang kamar. Tapi langit memang kelam tertutup awan—dan bulan bersembunyi di sana.

Tirai jendela saya biarkan terbuka, berharap akan menemukan bulan menggantung di angkasa memancarkan cahaya saat orang memadamkan lampu-lampu mereka selama sejam. Langit tetap berselimut awan yang gelap.

Pukul 20.30, lampu kamar saya padamkan. Saya buka jendela kamar pelan-pelan. Dingin seketika masuk menyerbu. Rumah-rumah di bebukitan itu masih bercahaya. Di bawah, pohon yang kerontang tampak suram di antara penerangan lampu yang berwarna kekuningan. Salju masih menutupi tanah di bawahnya. Suasana begitu lengang.

Malam terus berjingkat, seperti pencuri yang tak ingin diketahui keberadaannya. Apakah saya memang punya harta yang cukup berharga untuk dicuri? Entahlah. Akhir pekan ini, saya merasa begitu tua dan lelah. Tua dan malam. Sedang meja saya masih berantakan.

Moholt, Trondheim, 27/03/2010 22.48

Read More..

Sabtu, 27 Maret 2010

Perkenalan yang Terlambat


“Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali,” demikian sebuah ungkapan bijak mengatakan. Kalimat ini terlintas di pikiran saya saat baru beberapa menit menonton film dokumenter berjudul Addicted to Plastic (2009). Di bagian pembuka film itu, ada gambaran singkat betapa kehidupan kita mulai dari kamar tidur hingga berbagai kegiatan yang lain telah dikepung habis-habisan oleh plastik.

Saya merasa terlambat berkenalan dengan informasi penting perihal plastik—dengan berbagai masalahnya. Meski saat duduk di bangku Madrasah Aliyah pernah tertarik pada isu lingkungan dan sempat menulis sebuah artikel tentang lingkungan, saya merasa cukup terlambat untuk mendapatkan “pencerahan” yang pada gilirannya berlabuh pada sikap yang konsisten, lebih konkret, dan lebih luas.

Saat mengikuti acara Environmental Teachers’ International Convention (ETIC) 24-29 Maret 2008 yang lalu di Kaliandra, Pasuruan, momentum “pencerahan” itu pun datang. Forum yang kaya inspirasi itu mendorong saya untuk kemudian menemukan berbagai informasi mendasar yang cukup revolusioner buat saya berkaitan dengan isu lingkungan.

Plastik adalah yang paling awal. Hasil penelusuran saya di internet memberi saya banyak informasi yang cukup mengejutkan. Buat saya yang hidup dan dibesarkan di kampung di pedalaman Madura, saya baru sadar bahwa plastik sebenarnya adalah sejenis makhluk yang hadir secara diam-diam di sekitar saya, sampai akhirnya saya tersadar ketika mereka telah memberi ancaman nyata yang mewujud dalam tumpukan sampah yang nyaris tak dapat terurai.

Air minum dalam kemasan plastik adalah contoh yang cukup mudah dilihat. Saya tidak tahu kapan persisnya orang-orang di kampung saya dan yang lainnya menjadi begitu terpikat dengan produk ini. Air dalam kemasan sudah menjadi bagian hidup sehari-hari masyarakat di sekitar saya. Di sekolah, kantor-kantor pemerintah, bahkan saat bertamu ke tetangga pun, saya biasanya akan disuguhi air dalam kemasan plastik. Semakin hari jenisnya pun semakin beragam—tak hanya air minum biasa, tapi juga teh, dan sebagainya. Sulit saya bayangkan sebelumnya: bahkan saya bisa mendapatkannya setelah ikut tahlilan di tetangga.

Kantong kresek adalah wujud lain dari plastik yang paling populer. Dari pusat perbelanjaan di kota-kota hingga pasar tradisional di desa, hampir semua menggunakan kantong kresek atau berbahan plastik. Mungkin karena proses kedatangannya yang cukup samar, orang-orang kebanyakan sulit bersikap kritis untuk mempertanyakan muasal dan nasib akhir dari kantong kresek yang diterima setiap kali mereka berbelanja ini. Mereka tak sadar bahwa usia kantong-kantong kresek itu akan jauh lebih panjang dari rata-rata usia kita. Tak hanya itu, mereka juga tak sadar akan harga yang harus dibayar untuk itu semua.

Ketaksadaran ini sering kali saya temukan saat saya berbelanja. Juli 2009, saat berkunjung ke Yogyakarta, saya sempat mampir ke sebuah toko buku dan membeli dua buah buku tipis. Saya membayar Rp 24.800,- untuk dua buku tersebut. Kebetulan saya tak membawa tas ransel. Akan tetapi, karena merasa kedua buku itu dapat saya pegang dengan nyaman, saya menolak kantong kresek yang diberikan oleh pelayan toko itu.

Si pelayan tampak keheranan dan setengah memaksa saya untuk menerima kantong kresek itu. “Mbak, saya tak mau menambah jumlah sampah,” kata saya, singkat.

Tapi dia tetap memaksa. “Gapapa Mas, ini. Nanti kalau sudah di luar, buang saja ke tempat sampah kalau memang tak mau,” katanya dengan nada dan ekspresi yang tak nyaman.

Saya tambah heran dan jadi bertanya-tanya dalam hati, apakah dia memaksa karena alasan promosi, yakni karena di kantong kresek itu ada nama toko buku ini?

“Mbak, tanpa kantong kresek, saya bisa membawa dua buku saya dengan nyaman. Jadi tak perlu. Lagi pula, sampah plastik itu butuh puluhan atau bahkan ratusan tahun untuk dapat terurai di tanah,” jawab saya sambil bergegas meninggalkannya yang tampak masih menunjukkan rasa jengkelnya atas penolakan saya.

Ini bukan pengalaman pertama saya berhadapan dengan pelayan toko yang keheranan saat ada pembeli menolak diberi kantong kresek. Sebenarnya, di penghujung 2008, di toko buku yang sama, saya juga mengalami kejadian serupa—dengan pelayan yang berbeda.

Bagi saya, pengalaman seperti ini jelas menunjukkan lemahnya pengetahuan dasar mereka tentang bahaya sampah plastik sehingga mereka tidak merasa sedang dikepung oleh bahaya sampah plastik. Akhirnya, peluang besar untuk menyampah dengan kantong kresek menjadi biasa. Sebaliknya, menolak kantong kresek tampak sebagai sikap yang aneh.

Biasanya, jika memang berniat untuk berbelanja, saya akan membawa kantong kain atau tas ransel dari rumah. Saat di rumah, saya cukup sering membawa tas plastik daur ulang karya murid-murid SMA 3 Annuqayah jika memang berniat mau berbelanja. Sering kali tas plastik daur ulang ini menjadi perhatian orang, termasuk pelayan toko. Pada saat itulah saya sering mendapat kesempatan untuk sekadar berbagi info mendasar tentang bahaya sampah plastik.

Berbagi pengetahuan, berbagi pengalaman, dan berbagi kesadaran. Itulah yang juga saya lakukan bersama murid-murid SMA 3 Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep, sejak April 2008. Sepulang dari ETIC di Pasuruan, bersama murid-murid saya mencoba menyebarkan informasi tentang bahaya sampah plastik. Sejauh ini, kami menggunakan media hasil kreasi daur ulang sampah plastik sebagai penarik perhatian atau sebagai pintu masuk ke perbincangan yang lebih luas dan mendalam. Dari satu sekolah ke sekolah yang lain, juga dari satu komunitas ke komunitas yang lain, kami mencoba mengajak mereka untuk mencermati perubahan di sekitar, khususnya bagaimana sampah plastik telah pelan-pelan semakin mengancam.

Sampai di sini saya berkesimpulan bahwa sering kali kita butuh informasi dan pengetahuan untuk bisa mengubah perilaku tertentu. Tentu tak semua jenis informasi dan pengetahuan bisa memberi pengaruh perubahan. Mungkin kita juga harus pintar mengolahnya, meraciknya dengan “bahan” yang lain, agar informasi dan pengetahuan itu bisa menginspirasi untuk perubahan.

Dan ini bukanlah hal yang mudah.

Selain informasi dan pengetahuan, saya percaya bahwa dukungan sistem itu perlu, seperti bahwa kantong kresek itu tak dibagikan secara gratis di pusat perbelanjaan, seperti juga kenyamanan bersepeda di Belanda, dan semacamnya.

Akan tetapi, setelah tujuh bulan tinggal di Eropa, saya menjadi semakin percaya bahwa pengetahuan dan dukungan sistem saja mungkin tak akan cukup. Di Belanda dan Norwegia, misalnya, meski kantong kresek di pusat perbelanjaan ada harganya (EUR 0,22 di Belanda dan NOK 0,70 di Norwegia), saya kadang masih melihat orang belanja tak membawa kantong sendiri dari rumah sehingga harus beli kantong kresek.

Lain dari itu, teman flat saya yang orang Eropa ternyata juga tak terbiasa memilah jenis sampah, meski di komplek asrama mahasiswa di sini tong sampah dibuat terpisah dan para mahasiswa diingatkan untuk memilah sampah. Saat teman-teman di Milis Keluarga Trondheim, milis warga Indonesia di Trondheim, Norwegia, membahas tentang Earth Hour, ada yang kritis mempertanyakan mengapa lampu di kampus NTNU Trondheim sering menyala di malam hari meski mungkin ruangannya sedang tak digunakan.

Di Indonesia pun, saya juga pernah mengalami paradoks serupa saat mengikuti sebuah acara yang diselenggarakan oleh lembaga yang menaruh minat besar pada pendidikan lingkungan. Sajian makan siangnya menggunakan kemasan styrofoam.

Memang, sikap konsisten itu tak mudah dilakukan.

Pengalaman menyaksikan paradoks semacam itu, baik di tanah air maupun di Eropa, menjadi hiburan tersendiri buat saya. Perkenalan saya yang terlambat dengan pengetahuan dan informasi yang revolusioner dalam kaitannya dengan gaya hidup ramah lingkungan tak membuat saya minder dan surut untuk mendorong diri saya sendiri agar bisa lebih konsisten.

Lebih dari itu, ada hal penting yang selalu saya garis bawahi, yakni bahwa dukungan pengetahuan dan informasi, sistem, dan mungkin perangkat teknologi ramah lingkungan, semuanya adalah faktor eksternal. Perubahan, bagaimanapun, selalu akan kembali ke diri kita sendiri—bukan yang lain.

Moholt, Trondheim, 27/03/2010 12.10

Baca juga:
Against Plastic Rubbish

Read More..

Sabtu, 06 Maret 2010

Serasa di Minas Tirith


Sebulan di Trondheim, 500 kilometer arah utara ibukota Norwegia, Oslo, saya kadang membayangkan seolah sedang tinggal di Minas Tirith, ibukota kerajaan Gondor. Paling tidak, itu yang cukup sering saya rasakan setiap kali berjalan mendaki atau turun bukit menuju atau dari kampus Dragvoll NTNU.

Dari sepanjang jalan setapak yang masih tertimbun salju tebal, tak begitu jauh, tampak pemandangan rumah-rumah warna-warni yang menutupi sisi bukit. Rumah-rumah itu warna-warni karena kebanyakan terbuat dari kayu dan dicat merah, kuning, hijau, biru, putih, dan nuansa warna indah yang agak sulit saya gambarkan. Satu di antaranya membentuk seperti tangga berundak mengikuti kontur bukit. Memang bukitnya tak setinggi dan securam Minas Tirith, tapi cukup untuk mengingatkan saya pada kota imajiner rekaan Tolkiens dalam trilogi terakhir The Lord of the Rings yang tergambar begitu eksotik di versi filmnya yang legendaris itu.

Saat saya melewatinya di hari yang sangat cerah, pemandangannya benar-benar indah. Langit biru yang begitu bersih benar-benar seakan ruang kosong yang aneh tapi memukau. Sisa-sisa salju yang menutupi sebagian atap rumah dan sedikit sisi bukit yang kosong membuat pemandangannya seperti negeri fantasi—ya, seperti Bumi-Tengah. Sisi bukit yang kosong itu tampak seperti cadas terjal yang tak begitu rata, sehingga salju yang memutih membentuk lukisan yang juga indah. Di halaman salah satu rumah yang berada dekat kaki bukit, tampak beberapa gazebo kecil dihampari salju di sekelilingnya yang tampak kontras dengan ukuran rumah yang begitu besar.

Sisi bukit itu terkesan sangat indah di mata saya juga karena saya telah melihatnya dalam suasana yang berbeda. Tepat sebulan yang lalu, saat baru mulai kuliah, saya pernah menikmati pemandangan bukit ini di pagi buta, satu jam sebelum matahari terbit. Waktu itu, kuliah saya masuk pukul 08.15, sedang matahari terbit pukul 08.26. Lampu-lampu temaram dan suasana yang masih gelap memberi kesan dan detail pemandangan yang berbeda.

Di kesempatan lain, saya menikmati pemandangan bukit itu saat saya pulang dari kampus dan salju sedang turun cukup lebat. Memang, pandangan mata jadi agak terbatas. Tapi rumah-rumah di lereng bukit itu tetap terlihat meski samar di antara warna putih yang dominan.

Tentu saja, pandangan saya tak selalu mengarah pada sisi bukit di jalan setapak menuju kampus itu. Karena tepat di seberang arah bukit, terhamparlah lanskap kota Trondheim yang begitu indah, lengkap dengan selat dan bebukitan lain di batas akhir pandangan saya. Tyholt Tower di area kampus Teknologi Kelautan NTNU tampak menjulang, selain menara Nidaros Cathedral yang terkenal karena menjadi tempat penobatan raja-raja Norwegia.

Pemandangan berbukit di Trondheim memang menarik karena kota kecil yang berpenduduk sekitar 170 ribu jiwa ini berada di dekat laut (selat) serta merupakan pertemuan Sungai Nidelva dan Trondheimsfjorden. Salah satu hal yang menarik saya temukan saat saya mencoba mengelili “pulau” kecil yang menjadi pusat kota Trondheim. Dikelilingi oleh Sungai Nidelva, dari situ pandangan saya dibatasi oleh bukit-bukit di kejauhan yang mengelilingi pusat kota Trondheim. Rumah-rumah kayu di tepi Sungai Nidelva pun tak kalah eksotiknya dengan rumah-rumah yang menutupi sebagian bukit-bukit itu.

Memang, sampai saat ini saya belum cukup jauh menjelajahi kota yang merupakan bekas ibukota Norwegia ini. Tapi saya sudah cukup bisa merasakan nuansa fantasi yang cukup kuat di sini. Setidaknya demikianlah dari sudut pandang saya.

Ya, serasa di Minas Tirith. Tapi saya tak bertemu Gandalf, Frodo, atau Aragorn. Pun, jangan harap saya nanti pulang akan membawa Cincin buatan Sauron. Saya bukan pahlawan—atau apa pun semacam itu. Saya berharap nanti pulang dari kota ini bukannya membawa fantasi. Saya ingin membawa sesuatu yang lebih nyata, yang mungkin akan cukup berharga untuk dibagi untuk semua.

Read More..