Senin, 23 November 2009

Di Sepanjang Titik-Titik Perjalanan

Kereta ini sebentar lagi akan segera melaju ke arah timur bergerak menjauh dari titik matahari tenggelam. Angin musim dingin bertiup sedikit kencang. Tak ada cahaya keperakan. Langit mendung. Tak ada biru. Hanya kelabu.

Dari atas kereta yang berada di ketinggian, aku dapat menyaksikan orang-orang lalu-lalang. Beberapa di antara mereka tampak berlari ke arah bus yang terparkir rapi. Begitulah. Stasiun memang selalu ramai. Tapi aku tak tahu, seberapa banyak jumlah penjemput dan pengantar di stasiun ini. Apakah tradisi menjemput dan mengantar juga lazim di negeri ini?

Bersama seorang teman, hampir sepanjang hari aku menjelajahi kota ini, menyusuri lorong-lorong dan sudut-sudutnya yang menyimpan banyak hal dari masa lalu. Kincir angin di tepi kanal, rumah seorang pelukis ternama dengan patung anak kecil di halamannya, perpustakaan yang menyimpan buku-buku dan manuskrip dari abad-abad silam, benteng tua, dan juga museum.

Dan sekarang, sore ini, aku duduk di atas kereta yang akan segera bergerak ke arah timur. Aku akan melanjutkan perjalanan. Di antara keramaian, sambil menikmati lagu-lagu bernuansa Renaisans, pikiranku tertegun pada gagasan tentang perjalanan.

Sampai kapan sebenarnya aku akan berada di perjalanan? Empat puluh satu menit perjalanan kereta yang akan kutempuh tak lama lagi hanyalah setitik kecil dari langkah-langkah kaki lainnya yang mungkin nyaris tak berhingga. Di manakah ujungnya?

Di antara deru kereta yang mulai melaju, aku membayangkan bahwa ini adalah sebuah perjalanan dalam perjalanan. Aku telah meninggalkan satu titik perhentian dalam titik perhentian yang jauh lebih besar. Di antara himpunan titik-titik itulah, sekarang aku tengah berusaha membuat gambar—dengan warna-warninya, bersama lika-likunya.

Read More..

Orang Miskin Dilarang Sakit

Minggu, 15 November. Sore itu saya mendapat kabar duka dari Madura. Widadah (sehari-hari dipanggil Wiwid), yang pernah menjadi murid terbaik saya di SMA 3 Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep, dikabarkan meninggal dunia oleh sepupu saya. (Allahummaghfir laha warham-ha waj‘al jannata ma'wa-ha). Dia meninggal di ICU RSUD Sumenep, setelah sehari sebelumnya melahirkan dua anak pertamanya (kembar). Saat menerima kabar itu, saya tak terlalu banyak bertanya tentang kronologi dan sebab-musababnya. Saya hanya tertegun. Lama. Sungguh, saya terkejut sekali mendengar berita duka ini. Saya membayangkan dua putra kembarnya, keluarganya.

Sepertinya baru kemarin, saat saya memberikan buku Muhammad karya Martin Lings untuknya, setelah dia dinobatkan sebagai siswa teladan di pertengahan 2008 lalu di sekolah. Saya mencoba mengingat-ingat, kapan terakhir kali saya berjumpa dengan dia. Sayangnya, ingatan saya tak cukup kuat. Setelah lulus dari SMA 3 Annuqayah, dia menikah, dan sependek ingatan saya, saya tak pernah bertemu dengannya lagi.

Saya memang tak berusaha mencari informasi lebih jauh tentang meninggalnya Wiwid. Akan tetapi, secara kebetulan, saya menemukan berita tentang itu. Seorang teman di Facebook yang juga seorang anggota DPRD Sumenep menuliskan dua posting di dindingnya yang berkaitan dengan hal itu. Saya kutip lengkap dan persis sebagaimana berikut:


sekali lg pelayanan RSUD Smnp m'dapat sorotan negatif dari masyarakat, pelayanan t'hadap pasien ASKESKIN krg m'dapatkan pelayanan standart minimal, t'buti pasien operasi melahirkan "Widadah" asal desa Poreh Kec. Lenteng Smp saat ini sedang tergolek kritis di ruang ICU krn t'indikasi adanya infeksi pasca operasi yg diakibatkan telatnya penangan dari petugas di sana. (15 November 2009, 9.43 WIB)
sampai info ini ditulis blm ada 1 dokterpun yg menangani pasien tsb, walau sy telah telpon lgsg k Kep. RSUD "dr. Kifli Mahmud" (15 November 2009, 9.44 WIB)



Membaca dua posting itu dua hari yang lalu, saya agak terkejut, bercampur sedih, dan juga jengkel. Pikiran saya jadi ke mana-mana. Sempat terlintas di benak saya: seharusnya ada sesuatu yang bisa dilakukan oleh pihak rumah sakit untuk menyelamatkan Wiwid. Tapi, hal yang terjadi tidaklah menurut aturan yang semestinya.

Jika benar dugaan dalam posting teman saya itu, bahwa infeksi pasca operasi itu diakibatkan telatnya penanganan petugas rumah sakit, sungguh, ini adalah kali kesekian saya mendapat kabar tentang masyarakat kecil di Sumenep yang kurang mendapatkan perhatian dalam hal pelayanan kesehatan. Memang, kerap saya dengar bahwa pasien dengan Asuransi Kesehatan Masyarakat Miskin (Askeskin) mendapat perlakuan berbeda di rumah sakit.

Mestinya para petugas kesehatan itu mengerti bahwa kesehatan bukanlah hal yang sepele. Ia bisa berkaitan langsung dengan hak hidup seseorang. Hak untuk mendapat akses kesehatan yang baik adalah hak setiap warga negara. Dan negara berkewajiban untuk memenuhinya.

Hanya karena seseorang menggunakan Askeskin, yang itu berarti dia tidak mampu membayar dengan penuh dan dibantu oleh negara, para petugas malah menganaktirikannya. Sungguh logika dan juga kepekaan mereka telah tumpul. Mestinya, orang yang tak mampu itu mendapat perhatian lebih, bukannya diabaikan.

Jika benar bahwa penyebab meninggalnya Wiwid adalah karena telatnya penanganan petugas (dan ini tentu saja masih harus diverifikasi secara jujur dan objektif—sebentar, apakah dalam hal ini saya bersikap cukup wajar dan masuk akal untuk mengharapkan objektivitas?), maka jelas para petugas yang mestinya bertanggung jawab telah melakukan hal yang salah—paling tidak secara moral. Mereka telah lalai dalam tanggung jawabnya. Membiarkan orang meninggal karena layanan kesehatan yang tidak maksimal adalah sesuatu yang tidak baik atau salah secara moral. Jika seseorang mampu mencegah terjadinya hal yang buruk secara kesehatan tanpa harus mengorbankan hal penting pada dirinya (apalagi itu adalah kewajibannya), maka jika orang itu tak melakukannya, berarti ia telah melakukan suatu kesalahan.

Saya tidak mendapat sumber informasi yang lain mengenai hal ini. Meski begitu, saya cukup mudah untuk meyakini bahwa pelayanan rumah sakit di negeri kita memang masih sungguh jauh dari standar. Saya banyak mendengar cerita-cerita semacam ini dari beberapa kawan. Di koran dan media massa lainnya, kita juga sering mendapat informasi serupa, tentang buruknya layanan kesehatan, dan, lebih jauh lagi, tentang kecenderungan memperlakukan orang sakit sebagai barang dagangan—bukan manusia.

Saat rehat di kelas kuliah saya yang sedang berdiskusi soal etika biomedis (layanan kesehatan) beberapa pekan yang lalu, saya bilang kepada teman kelas saya yang seorang dokter dari Slovenia bahwa buat saya diskusi semacam ini saat ini masih terasa cukup mewah. Standar pelayanan kesehatan di negeri saya masih jauh dari memadai. Sementara itu, di belahan dunia yang lain, orang sudah lama berbicara dan mempraktikkan kewajiban untuk tidak menularkan penyakit kepada orang lain (obligatory precautions), informed consent, dan semacamnya.

Saya juga jadi teringat Michel Foucault (1926-1984), filsuf Prancis yang menulis buku The Birth of the Clinic (1963), yang bertutur tentang relasi kuasa yang bekerja di rumah sakit melalui tatapan medis (medical gaze, regard) para dokter yang bekerja dengan paradigma kontrol dalam kerangka panopticon.

Saya juga jadi teringat judul sebuah buku yang cukup menarik: Orang Miskin Dilarang Sakit. Ya, orang miskin jangan sampai sakit, karena mereka tak akan mendapatkan pelayanan yang baik di negeri ini. Buku ini tidak saja menunjukkan banyak hal tentang carut-marut wajah layanan kesehatan di negeri kita. Lebih dari itu, cobalah Anda ketikkan judul buku ini di mesin pencari Google, dan Anda akan mendapatkan tulisan-tulisan dan laporan faktual bernada serupa dari berbagai sumber.

Mengingat itu semua, saya benar-benar takut untuk sakit. Sungguh. Bukan apa-apa. Karena saya memang termasuk orang miskin.

Read More..

Rabu, 11 November 2009

Daun-Daun yang Berpulang

Daun-daun itu jatuh ke tanah bersama hembusan angin dingin di bawah bentangan langit yang kelabu. Daun-daun itu terbang, luruh perlahan, sehingga dahan-dahan pepohonan pun jadi kerontang. Daun-daun itu, yang beberapa bulan sebelumnya cerah menghijau, beberapa pekan terakhir berubah warna. Mereka berganti kemerah-merahan, kuning, cokelat, dan akhirnya tak mampu lagi menggantung dan bertahan. Pegangan mereka lunglai, dan satu persatu gugur berserakan.

Sang Waktu telah merontokkan kekuatan mereka dan membawanya ke musim ini. Sang Musim telah mengantarkan daun-daun itu pada takdir purba yang telah tercatat bersama semesta. Di hamparan tanah yang mulai sering basah karena embun dan rintik hujan, mereka sama sekali tampak tak resah. Sesekali ditiup angin yang agak kencang, di sana mereka menunggu lebur untuk pulang ke rumah asal.

Sang Musim, perlahan tapi pasti, juga tengah mengusir burung-burung ke selatan, menceraikan persaudaraan tulus mereka dengan rimbun daun-daun di tanah ini. Kicaunya mulai jarang terdengar. Tataplah langit, dan kau akan menyaksikan burung-burung yang tampak mulai bergegas menemukan tempat yang lebih nyaman ke arah selatan, berkelana mencari pohon dan dedaunan.

Burung-burung itu terbang ke selatan menjemput harapan. Tapi aku tak tahu apakah mereka akan kembali ke tempat ini dengan cerita tentang langit biru yang teduh dan daun-daun yang menghijau. Mungkin mereka justru akan menemukan asap hitam yang terus mengepul dari hutan-hutan. Mungkin saja rumah singgah mereka di sana, di selatan, sudah tak lagi nyaman.

Di sini, saat ini, daun-daun sedang berpulang. Pohon-pohon pun mulai kesepian. Sayang sekali, aku tak akan berada di tempat ini saat mereka datang kembali. Padahal, sepertinya mereka akan menghidangkan kisah-kisah dari tanah leluhur yang penuh kebijaksanaan.

Read More..

Senin, 09 November 2009

Belajar tentang Belajar: Dua Bulan di Utrecht University

Setelah dua bulan menjalani studi di program Master of Applied Ethics Utrecht University, saya mencatat beberapa hal menarik terkait dengan sistem pendidikan tinggi di sini yang dalam banyak hal cukup memberi inspirasi. Sebelumnya, jauh sebelum saya berangkat ke Eropa dan mengetahui bahwa sepanjang satu semester di Utrecht University saya hanya akan mengikuti empat mata kuliah, saya merasa cukup senang karena berpikir bahwa beban studi (akademik) saya tidak akan terlalu banyak. Itu berarti saya akan cukup punya waktu untuk berkegiatan di luar aktivitas akademik, termasuk jalan-jalan.

Tetapi ternyata saya keliru. Empat mata kuliah yang untuk satu semester dibagi dalam dua blok itu (satu blok ada dua mata kuliah) ternyata menyita banyak waktu saya. Setelah menuntaskan blok pertama dan selesai mengikuti dua mata kuliah utama, saya jadi tahu bahwa ternyata tugas-tugas kuliah begitu banyak, seperti juga halnya bahan-bahan bacaan yang mesti tuntas dilahap sebelum masuk kelas.

Tugas-tugas itu telah terjadwal dengan rapi sepanjang 9 pekan di blok pertama. Begitu juga bahan bacaan. Sebenarnya, saya sudah menerima informasi tentang satu mata kuliah menyangkut gambaran umum, tujuan, alur, referensi, dan tugas-tugas, tepat 20 hari sebelum perkuliahan dimulai—saat itu saya masih berada di Madura. Dosen pengampu salah satu mata kuliah itu mengirimkannya via email ke seluruh mahasiswa, lengkap dengan peta tempat kuliah, toko buku, dan info pendukung lainnya.
Inilah catatan pertama saya: perkuliahan di sini dirancang dengan sangat matang. Dosen menyiapkan semuanya dengan sangat baik dan terencana. Dan mereka sangat disiplin dengan rencana tersebut, sehingga aktivitas perkuliahan dapat berjalan dengan sangat baik.

Dari sisi mahasiswa, perkuliahan di sini menuntut kerja keras dan kemandirian. Jika tak membaca bahan bacaan atau artikel yang diwajibkan untuk satu pertemuan tertentu, jangan harap kita bisa benar-benar paham dengan apa yang sedang dibicarakan di kelas. Kelas di sini bukan dirancang untuk menambah stok pengetahuan baru. Kelas adalah ruang untuk mendiskusikan artikel relevan yang sudah ditentukan sebelumnya dalam daftar referensi, dan dosen menjadi pengarah dan mitra yang menawarkan alur dan alternatif.

Memang, pada tataran ide, hal semacam ini mungkin bukan sesuatu yang baru. Dahulu, di dunia pendidikan Indonesia ada istilah CBSA, atau Cara Belajar Siswa Aktif. Sayangnya, hal semacam ini, bahkan di tingkat perguruan tinggi pun, baru lebih sebagai teori saja. Di tingkat praktik, sulit sekali kita menemukan sistem belajar semacam ini. Karena itu, menjalani suatu proses belajar yang benar-benar menuntut sikap aktif seperti ini buat saya adalah sesuatu yang baru, menarik, dan menantang.
Inilah catatan kedua saya: sistem kuliah di sini, paling tidak dari pengalaman saya dua bulan ini, memberi ruang dan bahkan menuntut sikap aktif dari mahasiswa.

Dengan jumlah mata kuliah yang relatif sedikit dalam satu semester, saya juga mencatat bahwa tradisi akademik di sini adalah memberi kesempatan yang cukup leluasa untuk menggali suatu tema hingga cukup mendalam. Dengan kata lain: terfokus. Mata kuliahnya saja sudah cukup spesifik. Dalam blok pertama, misalnya, saya mengikuti dua kuliah dengan nama Ethical Theory and Moral Practice dan satu lagi Human Dignity and Human Rights. Hasilnya tentu saja lebih jelas, memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang tema tertentu.

Setelah saya telusuri, ternyata hal semacam ini tidak hanya berlaku di tingkat program magister. Salah seorang teman sekelas saya yang orang Belanda kebetulan berlatar belakang pendidikan S1 jurusan filsafat. Menurut dia, kuliah di S1 di sini juga demikian adanya: satu semester terdiri dari empat mata kuliah.

Saya beruntung telah belajar bersama teman-teman kelas yang berjumlah sekitar 20 orang dengan latar yang sangat beragam. Mereka berasal dari berbagai negara: Belanda, Amerika, Kanada, Italia, Serbia, Slovenia, Afrika Selatan, Bangladesh, dan Cina. Karena jurusan saya terbilang interdisipliner, latar belakang studi mereka juga beragam, tak hanya filsafat. Ada yang kedokteran, hukum, turisme, ekonomi, dan politik. Dengan aneka latar itu, di kelas kami dapat berbagi banyak hal berdasarkan perspektif masing-masing.

Dari segi usia, mereka sangat beragam. Beberapa masih berumur 23 tahun, belum lama menyelesaikan studi S1. Tapi ada juga yang sudah berkepala lima—mungkin seusia dengan sang dosen. Yang menarik, mereka yang sudah cukup lanjut itu mengikuti program ini bukan semata untuk meraih gelar, tapi tampak karena benar-benar haus akan ilmu dan pengalaman akademik. Salah seorang di antara mereka, yang kebetulan pernah satu kelompok dalam dua tugas mata kuliah bersama saya, adalah seorang perempuan yang sudah punya cucu dan telah bekerja sebagai dosen di NHTV Breda University. Dia meminati studi turisme dan merasa perlu belajar tentang aspek etis dalam turisme sehingga dia mengikuti program ini.

Demikianlah. Sejak sebelum berangkat, saya memang telah mencatat bahwa saya belajar di Eropa tidak hanya sekadar untuk menuntut ilmu khusus sesuai dengan jurusan saya. Saya juga ingin sekali belajar tentang bagaimana sistem perkuliahan di Eropa berlangsung. Dan, selama dua bulan di sini, saya sudah belajar banyak hal tentang itu. Mungkin apa yang saya tangkap ini memang masih belum cukup menjadi gambaran yang utuh tentang sistem pendidikan di sini. Akan tetapi, semuanya tampak inspiratif. Beberapa di antaranya ingin sekali saya coba nanti di Indonesia, meski tak musti dilakukan di sistem pendidikan formal.

Saya yakin, dalam rentang sisa waktu saya di sini, saya masih akan belajar banyak hal tentang semua itu—semoga bisa lebih luas, mendalam, dan substantif.

>> Beri rating untuk tulisan ini di Blog Radio Nederland Wereldomroep.

Read More..