Sabtu, 25 April 2009

Environmental Week

This week, I had several environmental activities. First, I had an environmental workshop held by Community Development Bureau of Pondok Pesantren Annuqayah. The theme of this workshop is “Global Warming, Local Cooling”, and participants are thirty Annuqayah teachers. This workshop conducted on Tuesday, April 21, at MAK Annuqayah. Facilitator of this workshop is Ridho Saiful Ashadi, former Executive Director of WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia—Indonesian Forum for the Environment) East Java.

The workshop began at 10.00 a.m., two hours late from the schedule. Mas Ipul, the facilitator, delayed his departure from Surabaya because his wife borne approximately at midnight.

Actually, this workshop didn’t really satisfy me because plot of discussion during the workshop didn’t go on as I expected—at least based on the schedule that I received before. The discussion primarily focused on developing social transformation in general. Environmental issues had a minor space to be discussed here. Mas Ipul said that the most important thing to develop local cooling movement is concerning to framework of idea. Mas Ipul introduced new method of thinking called “Asset-Based Thinking”. This reminded me to positive psychology developed by Martin EP Seligman, a professor at the University of Pennsylvania, which I knew from his book, Authentic Happiness. Mas Ipul explored this method of thinking extensively.

In fact, I can understand his choice to underline this approach in front of environmental and social problem on the whole. Environmental movement needs new, fresh strategies and power. But, in my opinion, environmental awareness as a basis of environmental education for the teachers should be built up by a sufficient supply of information and knowledge. OK, Mas Ipul said that such information is very easily found on internet webpages. The teachers just need to type the keyword on the search engine webpage and they will have a great deal of information and knowledge to encourage their environmental insight. But the fact is Annuqayah teachers are generally not acquainted with internet and information technology. And I’m almost sure that those who are familiar enough with internet maybe have a little concern to environmental issues.

When the workshop had finished, I thought that this workshop must be followed by another environmental workshop, or even an integrative action managed by Annuqayah teachers or at their respective schools. This subsequent workshop should reach to the core issues of environmental education, that environmental education is about our moral education—our ethical attitudes to the nature.

My second activity is a live interview at local television, Madura Channel, Sumenep. This interview held on Thursday, April 23, one day after the celebration of Earth Day. The theme is about environmental education. More exactly, about my experience accompanying environmental community at SMA 3 Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep. This community concern on specific issue, that is plastic rubbish. The students recycled plastic rubbish in school neighbourhood to be creative accessories, like a school bag, pencil case, etc. Their activities got public attention through publication of mass media.

In that session of live interview, I tried to make the idea of Earth Day become more concrete through the example of my students’ activities. I tried to turn the discussion on the focus of ethical perspective, but the interviewer still focused to my students’ activities and achievements.

During the live interview, there was an interesting comment from Pak Gani, an audience who is a teacher in Sumenep. He said that my students’ activities, that are recycling plastic rubbish to be a handicraft, are not creative achievements. Pak Gani said that other individuals and communities in Indonesia also had done the same creation, including Pak Gani himself. So, Pak Gani challenged me and my students to initiate a truly new creation related to environmental project.

To be honest, I believe that our environmental activities are not a genuine project. But I’m very sure that every project has specific complexities in its local context. Those are the real challenge of every social project. Furthermore, plastic rubbish increases around us, so we cannot underestimate this fact and have to make a concrete response in our community.

My third environmental activity this week is a voluntary work with my students cleaning up our base camp of our environmental project on School Climate Challenge Competition British Council. Our school participated in this prestigious competition by managing three environmental projects, that is recycling plastic rubbish, conservation of the Asian palmyra palm (Borassus flabellifer), and organic fertilizer.

We cleaned up the dirty area at the corner of our school area this morning until midday. We are very contented with the result of our hard work. We think that we will be more enthusiastic to manage our project.

Yes, this environmental week give me valuable supplies to encourage the struggle on environmental issues.

Read More..

Kamis, 23 April 2009

Al-Hikmah Surabaya: Ironi untuk Pesantren

Rabu pekan lalu, 15 April, saya berkesempatan mengunjungi SMA Al-Hikmah Surabaya. Saya tidak sendiri ke saya. Saya bersama rombongan guru-guru Annuqayah. Semuanya berjumlah 60 orang. Keenam puluh orang itu adalah perwakilan Yayasan Annuqayah, pengurus Pesantren, pimpinan satuan pendidikan dari tingkat dasar sampai menengah atas, dan wali kelas MA 1 Annuqayah Putra dan MA 1 Annuqayah Putri.

Kegiatan ini sebenarnya adalah bagian dari Program Peningkatan Mutu Madrasah kerja sama Pondok Pesantren Annuqayah dengan Sampoerna Foundation (SF) Jakarta. Program ini fokus pada peningkatan mutu dua madrasah yang saya sebut tadi. Kebetulan saya membantu mengorganisasi kegiatan untuk program ini. Tujuan utama kunjungan ke SMA Al-Hikmah yang langsung dilanjutkan dengan magang beberapa guru Annuqayah selama dua hari di Al-Hikmah terutama adalah untuk mempelajari model pengelolaan program bimbingan dan konseling di sekolah itu. Karena itu, dua Madrasah Induk—istilah untuk menyebut satuan pendidikan yang terlibat dengan program SF tersebut—melibatkan seluruh wali kelasnya dalam kunjungan ini.

Rencana kunjungan ini sebenarnya sudah cukup lama, cuma sempat tertunda. Koordinasi dengan pihak SMA Al-Hikmah dilakukan oleh Kiai Alawi Thaha, termasuk tentang alur kegiatan di sana. Saya lebih banyak membantu teknis penyiapan di belakang.

Rombongan berangkat dari Annuqayah Rabu lewat tengah malam, sekitar pukul 00.35 WIB. Perjalanan ke Surabaya lancar-lancar saja. Saat azan subuh, kami terapung di tengah Selat Madura. Begitu merapat ke Tanjung Perak, kami langsung menuju Masjid Al-Akbar Surabaya untuk shalat Subuh dan istirahat. Setelah sarapan dengan nasi katering, tepat pukul 07.25 WIB rombongan menuju SMA Al-Hikmah yang lokasinya tak jauh dari Masjid Al-Akbar.

Matahari bersinar cerah saat rombongan kami memasuki komplek SMA Al-Hikmah yang cukup luas. Di halaman dan lapangan, tampak murid-murid sedang berolah raga. Bus langsung menuju lokasi parkir. Begitu turun dan masuk ke komplek gedung SMA Al-Hikmah, rombongan langsung disambut oleh petugas dan langsung diantarkan ke ruang pertemuan.

Begitu semua rombongan duduk rapi di tempat yang tersedia, acara langsung dimulai. Susunan acara berlangsung cukup sederhana. Setelah dibuka, ketua rombongan Annuqayah, Kiai Alawi Thaha, memberikan sambutan dan perkenalan. Kemudian, Kepala SMA Al-Hikmah, Drs. Edy Kuntjoro, memberikan sambutan sekaligus presentasi tentang pengelolaan SMA Al-Hikmah.

Presentasi berlangsung sangat menarik dan menyentuh. Waktu berjalan tanpa terasa. Tak tampak rasa bosan di wajah hadirin. Mungkin karena Pak Edy bisa menguasai para hadirin dengan retorika dan penampilannya. Alurnya runtut dan penggambarannya terperinci dan sangat hidup. Pak Edy juga pandai mempermainkan intonasi. Sesekali dia melambatkan kecepatan suaranya, atau berbicara tanpa pengeras suara dengan setengah berbisik.

Pemaparan Pak Edy dimulai dari sejarah lembaga pendidikan Al-Hikmah yang berdiri pada tahun 1989 dan diinisiasi oleh warga sekitar Gayungsari Surabaya yang berpusat di Masjid Al-Hikmah. Saat itu muridnya hanya 13 orang. Kini murid di semua lembaga pendidikan Al-Hikmah mencapai 2300 orang. SMA Al-Hikmah sendiri baru berdiri pada tahun 2005, dan saat ini jumlah muridnya sekitar 210 orang.

Meski baru meluluskan satu angkatan, SMA Al-Hikmah tampak mampu menorehkan prestasi yang cukup luar biasa. Dari sekian pemaparan tentang manajemen pengelolaan, aktivitas, dan capaian SMA Al-Hikmah, saya dapat berkesimpulan bahwa visi sekolah yang menerapkan sistem full day school ini tampak membuahkan hasil yang positif.


”Visi SMA Al-Hikmah adalah membentuk murid yang berakhlaqul karimah dan berprestasi akademik optimal,” demikian kata Edy di bagian awal presentasi, mengacu pada teks PowerPoint yang ditampilkan di layar. Dari pemaparan lebih terperinci, tampak bahwa visi yang sederhana tapi bernilai substantif ini mampu dibumikan dengan rangkaian strategi dan manajemen yang begitu rapi, tertata, padu, dan konsisten.

Ada banyak strategi yang diambil untuk mencapai visi tersebut, mulai dari sistem perekrutan guru, sistem evaluasi, penanaman karakter keagamaan yang kuat, dan sebagainya. Hasilnya, untuk poin yang pertama, yakni soal akhlaqul karimah, saya menyaksikan hal-hal yang luar biasa di sini yang mengantarkan saya pada kesimpulan bahwa pendidikan moral atau pendidikan karakter di sini terlaksana cukup efektif dan padu sehingga memberi hasil yang baik.

Pendidikan karakter berbasis ajaran Islam tampak jelas menjadi ruh kehidupan dan aktivitas sehari-hari di Al-Hikmah. Setiap sebelum masuk kelas, seluruh warga Al-Hikmah membaca a-Qur’an tanpa kecuali. Ajaran-ajaran keagamaan yang sederhana benar-benar dihargai dengan cara membiasakannya dalam kehidupan sehari-hari, baik itu oleh guru maupun murid. Warga Al-Hikmah terbiasa shalat tahajjud, shalat berjamaah, puasa sunnah, berinfak, berdoa setiap memulai aktivitas, mengaji al-Qur’an, dan amalan-amalan lainnya.

Tak hanya ajaran keagamaan yang bersifat formal, nilai-nilai keagamaan yang bersifat substansial juga tampak menjadi ruh Al-Hikmah, seperti kejujuran, kebersihan, kedisiplinan, sikap saling menghormati, penghargaan kepada orang lain, semangat belajar, dan lain sebagainya. Jika ditemukan dalam suatu ujian ada guru yang memberi kunci jawaban pada murid, atau ada guru yang memberi nilai ujian yang tak semestinya, maka si guru mendapatkan sanksi berat dari Yayasan. Jika guru datang terlambat di sekolah, dan itu berarti ia tidak mengikuti sesi mengaji bersama, maka si guru langsung akan diminta mengaji di ruangan Kepala Sekolah.

Dalam tingkat tertentu, banyak hal yang semestinya ada di pesantren dan belakangan sudah terasa mulai langka saya temukan di Al-Hikmah. Di Annuqayah, saya punya dugaan kuat bahwa tak banyak murid lulusan Aliyah dan sederajat yang hafal Juz ‘Amma. Sementara itu, murid SMA Al-Hikmah yang akan lulus diwajibkan menghapal Juz ’Amma dan juz pertama dengan maknanya. Saya tahu kefasihan bacaan al-Qur’an murid SMA Al-Hikmah saat saya shalat berjamaah Zhuhur yang dipimpin oleh salah murid. Memang, Al-Hikmah menaruh perhatian khusus pada soal kemampuan baca al-Qur’an, sehingga jika ada guru yang diterima di Al-Hikmah dan masih belum lancar baca al-Qur’an, maka ia wajib mengikuti program bimbingan membaca al-Qur’an hingga lancar.

Baik melalui pemaparan Pak Edy maupun melalui pengalaman yang ditemukan di lapangan, terutama oleh peserta kunjungan yang kemudian magang, rombongan guru Annuqayah dapat merasakan berbagai macam kelebihan sekolah ini, mulai dari komitmen pengabdian guru, bimbingan kepada murid, pendidikan karakter (spiritual), dan sebagainya. Lebih dari itu, beberapa guru Annuqayah juga sampai terharu, tersentuh, terpana, dan kagum dengan torehan prestasi Al-Hikmah dalam membentuk suasana pendidikan di lingkungan sekolah mereka.

Setelah presentasi dan dialog yang berlangsung hingga sekitar pukul 10.00 WIB itu, rombongan Annuqayah kemudian melihat secara langsung kegiatan murid dan guru serta berbagai fasilitas yang ada di SMA Al-Hikmah. Pada saat berkeliling, banyak hal mengagumkan yang ditemui di Al-Hikmah terkait dengan kerapian, ketertiban, kedisiplinan, dan sebagainya. Saat makan siang selepas shalat Zhuhur, misalnya, ada salah seorang guru Annuqayah yang ditegur oleh murid Al-Hikmah karena makan sosis sambil berdiri. Si murid menegur dengan sangat sopan. Luar biasa!

Sekitar pukul 13.15 WIB, rombongan Annuqayah meninggalkan SMA Al-Hikmah. Dari Al-Hikmah, rombongan kembali menuju Masjid Al-Akbar untuk shalat. Rombongan baru meninggalkan Surabaya pada pukul 17.00 WIB dan tiba di Annuqayah jelang tengah malam.
Oleh-oleh terbesar dari Al-Hikmah adalah ironi pendidikan untuk pesantren. Al-Hikmah, tempat pendidikan berbasis masyarakat perkotaan, tampak lebih berdaya untuk menghidupkan nilai keagamaan dan nilai moral yang sangat dijunjung pesantren. Sementara saat ini pesantren tampak mengalami krisis, terutama di bidang pendidikan—khususnya pendidikan moral.

Tentu ini tak berarti bahwa pesantren kemudian tak memiliki kekuatan positif yang tersisa. Pak Edy benar—sebagaimana disampaikannya saat sambutan. Jika Annuqayah telah bertahan sebagai lembaga pendidikan keagamaan sepanjang lebih 120 tahun, maka itu berarti Annuqayah punya satu kekuatan besar.

Saya sangat menggarisbawahi pernyataan Pak Edy ini, terutama untuk menumbuhkan semangat bahwa berbagai pekerjaan rumah yang menunggu untuk diselesaikan di Annuqayah mestinya dapat menemukan jalan keluarnya jika kekuatan besar yang membuat Annuqayah bertahan melewati berbagai periode zaman itu ditemukan dan dimanfaatkan dengan baik. Demikianlah—semestinya.

Read More..

Jumat, 10 April 2009

Money Politics Around Us

Indonesian people had taken part in legislature election yesterday. Regardless of many critics of people toward some aspect of the election, including the preparation of the election, controversy about fixed list of voters, questionable capacity of the candidates of legislature, abstentions (non-voters), etc., we can say that the election had held successfully.

But I was very sorry that I cannot attend at the election booth when the ballot has been counted. I cannot look closer at the counting process because I had another job yesterday. I cycled around Annuqayah, and I had not enough time to pay close attention to the counting.

Last night, in the midst of my business, I had a little talk about the result of the election in some local voting booth with some colleagues. They are moslem students (santri) in this pesantren. They told me some valuable information about the result and something connected with the election yesterday.

They gave emphasis on the contested local candidates, especially the members of big family of Annuqayah. They mentioned numbers. From this starting point, they notified me such a bad news about the students. They reported about “the dawn attack”, a term for the practice of money politics just before the election.

To be honest, this dawn attack actually is not a new method to get supports and obtain votes. But I really shocked to hear that because the students, that is santri, who had learned and absorbed religious values in pesantren, fell into the temptation of the money politics. In fact, they not only had injected by a set of religious values. They also had learned civic education in their formal education. They are without doubt well-educated persons.

But the religious values and their complicated concept about democracy has no meaning in front of the dawn attack. I really amazed to know that something knocked them down were a pack of cigarette, instant noodles, a ten thousand rupiah, or even “wrapped rice”. They are the price of their votes.

When my colleagues told me about the money politics around this religious educational institution, a such radical conclusion arose on my mind: that our moral-religious education and civic education had failed. I know that this is an inconvenient conclusion. Moreover, for the candidates who still have honesty and sincerity, and they lose in this election by way of the dawn attack, this is really a bitter truth. But of course this will remind us that the struggle to civilize our society requires more energy and better strategy.

Read More..

Sabtu, 04 April 2009

For whom the People (don’t) Hope

A few days before the Indonesian legislature election will be held on 9 April 2009, I wonder what do the people think about this election. Do they still keep their hope for the betterment of their lives? During the time of public campaign provided by General Election Commission, I didn’t see glittering campaigns in my district except a little that I read the news in mass media. I found cold responses from people’s everyday talks concerning this election. The exited interest maybe only on the money politics. I conclude that people’s enthusiasm to discuss and participate to this election tend to be decreased. Some people talk about political apathism, the indifferences of people’s participation in this celebration of democracy.

Bringing to light on this case and revealing from a more radical question, I wonder what do the people think about this election. More exactly: do they think that they will vote their representatives, their leaders—people who speak, act, and struggle on behalf their interests and aspirations? I am increasingly doubtful that they have this kind of point of view. Political corruption, the conduct of member of legislative assembly and the candidates, even in this reformation period, frustrated and shrunk their hopes to this election. I read about the candidates who were arrested for criminal causes on the magazine: distributing marijuana, ecstasy, or illegal drugs, even stealing motorcycle.

I was really disappointed when I thought that this election had lost its ethical meaning, its substantive meaning. How many times, material and social cost had wasted for this election? Is it fair enough if I hope nothing—maybe just a little? As an individual, what should I do? Thus, importantly, I wonder for whom the people must hope?

Ooo the true leader of our community, please save our nation.

Read More..

Kamis, 02 April 2009

Pesantren dan Pendidikan Lingkungan

Di antara ajaran agama yang bersumber dari hadis Nabi Muhammad saw yang diajarkan cukup awal dan cukup populer adalah hadis yang menjelaskan tentang salah satu cabang iman, yang berbunyi: “Kebersihan adalah bagian dari iman.” Sayangnya, hadis ini di pusat komunitas muslim sendiri ternyata nyaris berhenti sebagai slogan dan kehilangan kekuatannya untuk menyuntikkan kesadaran akan kebersihan dan kepedulian lingkungan pada umumnya. Ironisnya, pesantren, yang sering digambarkan sebagai pusat pendidikan muslim tradisional yang telah cukup lama berakar di Indonesia, seperti sulit untuk dilepaskan dari citra yang berseberangan dengan ajaran tersebut. Bagaimana kita bisa memahami salah satu ironi di dunia pesantren ini?

Secara sosiologis, kebanyakan pesantren di Indonesia tumbuh dari lingkungan alam pedesaan. Dengan latar seperti ini, maka kedekatan komunitas pesantren dengan alam terajut secara natural. Seperti di lingkungan masyarakat pedesaan pada umumnya, santri mula-mula terbiasa membersihkan lingkungan pondoknya dua kali sehari, yakni pada pagi hari dan sore hari. Nasi bungkus atau sejenisnya yang dijual di lingkungan pondok menggunakan daun pisang. Warung atau toko di dalam pesantren relatif tidak banyak, karena santri-santrinya kebanyakan masih memasak sendiri untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari.

Perubahan pola konsumsi masyarakat akibat semakin masifnya infiltrasi dunia industri dan bisnis (lebih tepatnya: kapitalisme) ke wilayah pelosok pedesaan pada satu sisi telah menantang proses pendidikan lingkungan berbasis pendidikan moral yang dilakukan di pesantren. Sementara pesantren masih bergulat keras untuk lebih membumikan ajaran-ajarannya tentang kebersihan, cinta lingkungan, pola hidup sederhana, dan semacamnya, pesantren tiba-tiba juga harus berhadapan dengan tantangan terpaan badai global berupa gaya hidup konsumeristik dan instan yang pada gilirannya dapat menyurutkan pencapaian upaya penanaman pendidikan lingkungan tersebut.

Seperti halnya di komunitas masyarakat lain pada umumnya, modernisasi dengan berbagai produk teknologi dan mesin kapitalismenya telah menceraikan kesadaran akan persaudaraan manusia dengan alam. Masyarakat kita, seperti juga terjadi di pesantren, menjadi miskin wawasan, informasi, dan—yang terpenting—kepekaan, tentang berbagai dampak buruk dari pola dan gaya hidup kita yang berubah itu. Miskinnya informasi dan kepekaan ini praktis kemudian tak memberikan dorongan yang berdaya untuk memikirkan secara lebih intens penanganan teknis masalah lingkungan, kebersihan, dan semacamnya secara lebih terpadu dan “radikal”.

Berbagai potensi bidang studi di sekolah formal, baik sains maupun humaniora, yang dapat diarahkan pada upaya pendidikan lingkungan tetap bergerak dengan alur kurikulum yang standar: mengikuti kehendak negara—bukankah hampir semua pesantren kini memiliki sekolah formal “bermazhab negara” yang seperti nyaris “lebih kuat” dibandingkan dengan kegiatan kepesantrenannya? Kalaupun ada beberapa guru atau sekolah yang mulai melakukan terobosan baru untuk memasukkan unsur ekopedagogi dalam aktivitas kependidikannya, itu masih membutuhkan dukungan integratif dari pihak-pihak dan sistem terkait, termasuk yang bersifat teknis.

Pendidikan sains dan humaniora di sekolah kita tak cukup mampu merespons perubahan cepat pola konsumsi dan gaya hidup instan yang terjadi di masyarakat, sehingga ia tak memberi porsi yang cukup besar untuk memperkaya informasi dan wawasan serta memupuk kesadaran akan kecintaan terhadap bumi—satu-satunya rumah bersama umat manusia. Padahal, jika ditarik ke dimensi religius, penghargaan terhadap sumber daya alam pada dasarnya adalah sebentuk rasa syukur terhadap anugerah Allah swt.

Dewi Lestari, seorang novelis yang belakangan juga memberi perhatian yang besar terhadap isu lingkungan, menulis di weblognya ihwal bagaimana kita tidak dididik untuk tahu—atau mau tahu—tentang dari mana benda-benda yang kita konsumsi berasal, berapa banyak sumber daya alam yang digunakan untuk memproduksi itu semua, dan ke mana semua itu akan berakhir riwayatnya—kertas, tisu, bungkus permen, puntung rokok, komputer, pakaian, dan sebagainya.

Mungkin matematika akan sedikit menunjukkan manfaatnya jika kita secara kasar mencoba berhitung tentang satu segi atau salah satu sumber daya yang terpakai di lingkungan Pesantren Annuqayah ini. Pasta gigi, misalnya. Dari empat ribu lebih santri Annuqayah, ke manakah kemasan pasta gigi mereka tiap bulannya, dan bagaimana nasibnya? Dari sedikitnya 17 unit pendidikan formal di Annuqayah yang hampir dipastikan semuanya mengkonsumsi air dalam kemasan plastik, bagaimana dan ke mana sampah-sampahnya ditangani?

Lemahnya upaya untuk memperkuat dan menyebarkan informasi dan kepekaan ini membuat tantangan untuk membumikan ajaran-ajaran moral tentang kebersihan dan pendidikan lingkungan di pesantren menghadapi tantangan berat. Pendidikan moral untuk menumbuhkan rasa tanggung jawab untuk merawat kehidupan dan alam semesta menjadi seperti tak berjangkar jika tak dibarengi dengan informasi, media, contoh, dan “basis material” yang memadai.

Dari paparan singkat di atas ini, dapatlah disimpulkan bahwa untuk membenahi pendidikan lingkungan di pesantren, pesantren setidaknya harus bermain di dua wilayah sekaligus: perhatian di bidang pengayaan dan penyebaran informasi serta aspek teknis terkait, serta integrasi pendidikan lingkungan berbasis moral ke dalam seluruh aktivitas kependidikan.

Pergulatan pesantren untuk mengokohkan pendidikan lingkungan di komunitasnya pada sisi yang lain juga memperlihatkan cara pesantren merespons perubahan yang bersumber dari luar. Aspek yang cukup terkait dengan pendidikan lingkungan ini dapat berupa pola konsumsi komunitas pesantren pada umumnya dan juga praksis pendidikan moral, yakni pendidikan nilai-nilai keagamaan, di lingkungan pesantren. Sungguh, dua hal ini sangat menarik dan menggoda untuk ditelaah secara lebih serius dan mendalam, terutama hal yang terakhir. Karena bagaimanapun, pendidikan di pesantren sejatinya adalah pendidikan moral yang berlandaskan ajaran-ajaran Islam.



Tulisan ini dimuat di Majalah Muara, 2009.

Baca juga:

Read More..

Rabu, 01 April 2009

Belajar Bersama tentang Persoalan Lingkungan

Setelah sempat tertunda dua kali, akhirnya program pelatihan dan penguatan kapasitas untuk seluruh anggota tim proyek School Climate Challenge (SCC) Competition British Council SMA 3 Annuqayah terlaksana. Memang, realisasinya tidak persis sama dengan yang direncanakan. Jika mulanya program pelatihan dan penguatan kapasitas di awal ini dirancang berlangsung tiga hari berturut-turut, namun akhirnya terlaksana tidak demikian.

Pelatihan yang isinya membahas persoalan-persoalan lingkungan hidup yang bersifat mendasar dalam konteks perubahan iklim terlaksana dengan waktu yang terpisah selama empat kali. Putaran yang pertama berlangsung pada hari Rabu, 18 Maret 2009 bertempat di Perpustakaan Madaris 3 Annuqayah.

Sebelumnya, anak-anak sudah disuplai dengan bahan-bahan berupa buku, majalah, dan berbagai kutipan dari internet yang cukup melimpah yang berisi berbagai pembahasan tentang masalah lingkungan hidup dengan berbagai aspeknya. Awal Maret kemarin, ketiga anggota tim juga mencari data dengan mengkliping koran-koran beberapa bulan terakhir. Jadi, fungsi saya hanya lebih sebagai fasilitator saja, atau mencoba mengarahkan pembicaraan berdasar apa yang mereka baca.

Pesertanya bukan hanya anggota tim inti tiga proyek, yakni proyek sampah plastik, proyek konservasi pohon siwalan, dan proyek pupuk. Siswi yang juga menyatakan diri siap sebagai pendamping tim inti juga mengikuti kegiatan pelatihan ini.

Dalam sesi yang berlangsung mulai 13.45 hingga 16.00 WIB ini, saya memfasilitasi anak-anak untuk berdiskusi masalah perubahan iklim atau pemanasan global. Sebelum memulai diskusi, saya memutar video pendek bertajuk “Pemanasan Global dan Dampaknya” yang dikeluarkan oleh Kantor Kementerian Negara Lingkungan Hidup RI. Video berdurasi sekitar 11 menit ini menjadi pengantar yang baik untuk memahami masalah perubahan iklim. Bahan utama sesi ini juga adalah hasil unduhan dari situs Wikipedia dan National Geographic edisi khusus yang membahas tentang Perubahan Iklim.

Putaran kedua diskusi berlangsung pada hari Ahad, 22 Maret 2009. Tempatnya juga masih di Perpustakaan Madaris 3 Annuqayah. Pada kesempatan ini, diskusi diarahkan untuk menggali masalah-masalah lingkungan hidup secara umum. Khusus pada putaran kedua ini, saya mencoba fokus pada masalah penanganan sampah dan energi.

Putaran ketiga diskusi berlangsung pada hari Selasa, 24 Maret 2009. Diskusinya melanjutkan perbincangan pada pertemuan sebelumnya, dengan berpindah pada isu hutan, problem pangan, dan keanekaragaman hayati. Sesi ketiga ini berlangsung agak lama, karena setelah berdiskusi anak-anak saya ajak nonton film The Day After Tomorrow.

Putaran terakhir diskusi dilaksanakan pada hari Selasa, 31 Maret 2009. Kali ini tempatnya di Markas Tim Lomba SCC yang baru saja direhab. Meski tempatnya sangat sederhana, anak-anak tetap antusias. Pada putaran terakhir ini, diskusi diarahkan pada solusi penanganan masalah perubahan iklim. Saya juga mengajak anak-anak untuk mencoba memahami akar masalah perubahan iklim ini, yang sejatinya berakar pada problem akhlak manusia terhadap lingkungan. Sentuhan pendekatan etis saya masukkan di sini.

Dengan modal sentuhan etis itu, saya mencoba menghubungkan kegiatan masing-masing proyek sebagai refleksi dan tindak lanjut yang diperlukan untuk mengatasi salah satu aspek persoalan lingkungan yang sudah dibahas sebelumnya. Jadi, saya mencoba meneguhkan konteks masing-masing proyek.

Empat rangkaian diskusi ini saya harapkan dapat menjadi modal dan penyemangat bagi anak-anak untuk terlibat lebih jauh dalam kegiatan cinta lingkungan pada umumnya. Menurut saya, miskinnya informasi dan wawasan tentang masalah-masalah lingkungan menjadi salah satu penyebab rendahnya kepedulian masyarakat pada umumnya untuk bersikap lebih ramah pada alam. Karena itu, dengan terus memperkaya pengetahuan tentang masalah-masalah lingkungan, diharapkan muncul sikap dan kepedulian yang lebih kuat untuk bersahabat dengan alam.

Read More..