Rabu, 23 Januari 2008

Asma Nadia dan Dilema Poligami

Judul buku: Istana Kedua
Penulis: Asma Nadia
Penerbit: Gramedia, Jakarta
Cetakan: Pertama, Agustus 2007
Tebal: 248 halaman


Beberapa bulan terakhir ini, di beberapa koran nasional terjadi perdebatan yang cukup sengit dan panas tentang kecenderungan beberapa sastrawan dalam merepresentasikan perempuan dan seksualitas dalam karya-karya mereka. Ada kalangan yang berdiri di titik ekstrem: menghujat atau membela, dan ada pula yang berusaha menengahi. Karya sastra yang kental dengan tema seksualitas pada tingkat tertentu identik dengan perempuan penulis yang melahirkan karya tersebut.

Polemik tersebut, hingga tingkat tertentu, berpeluang untuk mengabaikan kreativitas dan pergulatan perempuan penulis lainnya yang juga melahirkan karya-karya sastra. Jika sastra bertema seksualitas perempuan oleh beberapa kalangan dipandang sebagai karya yang bernuansa pemberontakan atas pengekangan seksualitas perempuan dalam lingkungan budaya patriarki, maka sebenarnya para perempuan penulis memiliki caranya masing-masing untuk menunjukkan “perlawanannya” terhadap konstruksi budaya yang melingkupinya.

Contohnya bisa ditemukan dalam novel terbaru karya Asma Nadia ini. Dalam novel ini, Asma mengangkat tema poligami dengan memberi penekanan pada segi nasib dan pergulatan perempuan di ruang keluarga.

Kisah dalam novel ini berpusat pada kehidupan sepasang suami istri yang hidup berbahagia, Andika Prasetya dan Arini. Keduanya telah menikah selama sepuluh tahun dan dikaruniai tiga orang anak. Alur cerita dibuka dengan kegundahan Arini. Secara kebetulan ia menemukan informasi mencurigakan yang mengantarkannya pada sebuah nomor telepon. Ketika nomor itu dihubungi, di ujung telepon terdengar suara perempuan yang langsung memperkenalkan diri sebagai “Nyonya Prasetya”.

Kegundahan Arini, yang seorang penulis, dalam novel ini diperkuat oleh guratan nasib yang dialami Lia, teman kosnya ketika kuliah dulu. Dalam sebuah reuni kecil-kecilan, Arini terkejut begitu tahu bahwa Lia telah cerai dengan Benny, suaminya yang mantan aktivis kampus. Menurut Lia, ia menemukan suaminya tidur dengan sekretarisnya di rumah mereka.

Arini menjadi semakin sadar, bahwa laki-laki itu cukup mudah berpaling ke perempuan lain—sesuatu yang membuatnya tak habis mengerti. Saat mencoba berintrospeksi, Arini berkesimpulan bahwa dirinya sudah cukup berbakti kepada suaminya dan memberikan semua yang ia punya. Tapi mengapa diam-diam suaminya membangun istana kedua tanpa sepengetahuan dirinya?

Selain Arini, ada tokoh kunci lain dalam novel ini, yang kemudian diketahui sebagai “Nyonya Prasetya” itu. Ia adalah Mei Rose, seorang gadis berdarah keturunan yang menjalani hidup memilukan bersama tantenya. Di tengah upayanya untuk merajut kehidupannya secara mandiri, Mei beberapa kali ditipu mentah-mentah oleh beberapa orang lelaki, yang salah satunya sampai membuatnya hamil. Dalam rasa putus asanya, ia mencoba bunuh diri. Namun nasib berkata lain. Pada saat kritis itulah Mei bertemu dengan Pras, yang menolongnya dan kemudian mengantarkannya pada mahligai pernikahan.
Kisah dalam novel ini berakhir dengan pertemuan Arini dan Mei. Ada dialog tajam antara keduanya, yang cukup menghentak kesadaran Arini. Mei menggugat Arini, agar Arini bisa maklum dengan nasibnya. Mei mengingatkan bahwa Arini telah mendapatkan banyak hal yang patut disyukuri: orangtua, suami yang baik, anak-anak yang sehat, karier kepenulisan, segalanya. Lalu Mei bercerita tentang kemalangannya, bahwa hal baik yang pernah terjadi pada hidupnya hanyalah kehadiran Pras. Mei menuntut permakluman.

Di halaman-halaman akhir, digambarkan bagaimana perasaan Arini yang sepertinya bisa memberi permakluman untuk Pras dan Mei. Dalam bagian terakhir, digambarkan bagaimana masa depan anak-anaknya menjadi penguat tersendiri bagi Arini untuk menerima garis hidupnya itu.

Dalam novel ini, banyak bagian yang memuat gugatan kritis terhadap praktik poligami. Ada bagian yang mencoba menelanjangi dalih kaum laki-laki yang beralasan poligami dalam rangka mengikuti sunah Nabi, sementara dalam praktiknya mereka kurang menghargai istri pertama dan anak-anaknya. Lagi pula, mengapa teladan kehidupan Nabi yang dicontoh adalah episode poligami Nabi, padahal Nabi menjalin rumah tangga hanya bersama seorang istri, Khadijah, selama 28 tahun? Kaum lelaki kadang juga berdalih menikahi istri keduanya untuk alasan menolong, dan demi mendidik istri pertama mereka untuk belajar ikhlas dan mendapatkan tiket yang semakin mudah menuju surga!

Akan tetapi, berbagai gugatan atas poligami yang diangkat Asma dalam novel ini menjadi agak dilematis. Alur novel ini pada akhirnya memang seperti memberi permakluman untuk pilihan poligami Pras—dan Arini juga menerimanya. Mei yang mualaf; Mei yang tak punya siapa-siapa; Mei yang memilukan; semuanya seperti dibuat sebagai alasan untuk memaafkan kasus poligami Pras. Alur dalam novel ini seperti hendak mengatakan bahwa kasus poligami Pras adalah “aturan main yang ditetapkan Tuhan”, atau sebuah “takdir”. Mungkin dapat dikatakan bahwa sepertinya Asma ingin mengantarkan akhir kisah ini dalam sebuah happy ending, dengan plot yang diatur sedemikian rupa. Meski arahnya cenderung demikian, dalam novel ini kita dapat merasakan bahwa Asma juga merasa wajib memberi catatan-catatan kritis atas praktik poligami yang ada selama ini.

Dari sini pembaca dapat memahami dan membaca secara implisit “batas-batas wacana” yang hendak ditegaskan Asma dalam masalah poligami ini. Seperti juga di salah satu bagian novel ini yang menggambarkan pengandaian Arini yang merasa jijik bila berhubungan badan dengan suaminya—karena mengetahui suaminya yang berpoligami—tetapi akhirnya Arini tak bisa menggugat lebih jauh karena ada teks hadis yang menyatakan bahwa Allah dan malaikat mengutuk istri yang menolak suaminya dalam masalah itu.

Banyak hal lain yang bisa digali dan didiskusikan lebih lanjut dari novel yang ditulis oleh penulis berbakat yang saat ini menjadi CEO Lingkar Pena Publishing House ini. Terlepas dari pro dan kontra masalah poligami dan “pesan” yang berusaha disampaikan, novel ini telah memperkaya perspektif perempuan dalam membaca masalah poligami. Dan itu menegaskan bahwa perempuan penulis di Indonesia tak hanya bisa menggugat budaya patriarki dengan mengeksplorasi tema seksualitas, tetapi bisa juga berangkat dari tema yang lain yang sebenarnya juga masih cukup kaya dan bernilai penting untuk terus digali.




Read More..