Senin, 17 September 2007

Televisi dan Refleksi Religiusitas Puasa


Dalam dunia televisi di Indonesia, bulan Ramadan setiap tahun disambut dengan semarak. Berbagai program khusus bernuansa religius digelar. Bahkan, ada program televisi yang dimulai beberapa pekan sebelum umat Islam melaksanakan ibadah puasa, dan dirancang sebagai semacam sekuel dari program di bulan puasa sebelumnya.

Menurut beberapa penelitian, berbagai macam program televisi di bulan Ramadan tak bisa dilepaskan dari ideologi besar televisi, yakni dalam konteks posisinya sebagai media hiburan yang bekerja dengan logika pasar. Santri Indra Astuti (2007: 74-83) dalam sebuah penelitiannya misalnya menunjukkan bahwa bagi dunia televisi, Ramadan adalah komoditas—tidak lebih. Karena itu, tujuan berbagai program khusus Ramadan tidak lain adalah untuk meraih hati dan memanjakan pemirsa. Akibatnya, kendali mutu untuk muatan program-program tersebut kurang menjadi perhatian.

Sebagai ilustrasi, hampir semua program Ramadan di televisi disampaikan dengan gaya banyolan, dengan artis atau pelawak sebagai komunikator utamanya. Nyaris tak tampak ada upaya serius dari pihak produser untuk melibatkan kaum agamawan (ulama) dalam merancang program yang sesuai dan lebih kena. Yang lebih buruk lagi, meski tema yang diangkat memang berupa isu-isu keagamaan yang lebih bersifat sehari-hari, tak jarang muncul berbagai bentuk kekerasan verbal dan sikap yang tak santun yang terlontar dari komunikator utama di program tersebut.

Dari salah satu kesimpulan penelitian tersebut, menarik untuk lebih dicermati masalah makna religiusitas yang selama ini ditampilkan berbagai program Ramadan tersebut. Makna religiusitas macam apa yang dominan dalam program-program tersebut?

Patut disayangkan bahwa—sependek pengamatan penulis—makna religiusitas yang diusung oleh program Ramadan di televisi itu kebanyakan masih tak beranjak dari paradigma keberagamaan yang—dalam bahasa Gordon W. Allport—bersifat ekstrinsik. Dalam sikap keberagamaan ekstrinsik, agama digunakan untuk menunjang motif-motif lain, seperti kebutuhan akan status, rasa aman, atau harga diri. Orang-orang yang beragama dengan cara ini melaksanakan bentuk-bentuk ibadah hanya pada tataran kulitnya saja (Rakhmat, 1998: 26).

Kita bisa melihat pemaknaan religiusitas yang bersifat permukaan ini dalam tema-tema yang diangkat dalam berbagai program Ramadan tersebut. Kebanyakan tema agama yang disajikan di sana lebih banyak berkaitan dengan aspek-aspek keagamaan yang bersifat ritual atau bentuk-bentuk penghayatan keagamaan yang kurang secara signifikan berkaitan dengan penguatan moralitas individual atau sosial seseorang. Jika bentuknya cerita (sinetron), tema dan alurnya kebanyakan bisa sangat klise dan khas sinetron Indonesia: seseorang yang “beriman” dan teraniaya, tapi kemudian berkat ketabahannya dia dapat melewati segala masalahnya dengan akhir yang membahagiakan.

Religiusitas yang dominan dalam program televisi di bulan Ramadan kurang menyentuh nilai-nilai substantif agama yang bertolak dari realitas umat. Religiusitas di sini nyaris sepenuhnya dikerangkeng dalam pengertian ritualisme, dan kadang seperti menjadikan agama sebagai pelarian atau penghiburan atas penderitaan hidup dan realitas masyarakat kita yang korup dan “sakit”. Makna “positif” religiusitas dalam kerangka penguatan nilai dan moralitas sosial, yakni nilai-nilai yang kental dalam makna terdalam ibadah puasa, tak menjadi tema dominan. Agama seperti tak diajak untuk berdialog dengan realitas konkret di masyarakat, dan hidup di “dunia lain” yang indah dan menyejukkan—tetapi sejatinya dangkal.

Jika dicermati lebih jauh dan lebih mendalam, hal ini mungkin tak terlalu mengejutkan. Program televisi bernuansa keagamaan di bulan Ramadan dapat dikatakan sebagai salah satu wujud representasi dan persepsi yang bersifat kontinu dari berbagai program keagamaan di layar kaca. Dalam beberapa tahun ini, dunia televisi kita tumpah ruah dengan berbagai “sinetron religi” yang dalam beberapa hal kadang mendangkalkan makna agama itu sendiri. Dalam beberapa tayangan tersebut, agama, misalnya, digambarkan identik dengan hal-hal yang berbau “mistik”. Realitas yang ditampilkan nyaris sama sekali tak berjangkar pada realitas umat.

Sungguh sayang, televisi yang dalam jagad Indonesia saat ini menjadi media yang sangat signifikan dalam menanamkan nilai-nilai kepada masyarakat masih berkutat pada logika kapital. Dalam program Ramadan, dapat dikatakan bahwa dalam beberapa hal televisi telah mengorbankan makna religiusitas agama yang substantif dan kontekstual, untuk kemudian ditukar dengan rating yang menawan.

Dengan mengambil cara pandang yang berbeda, dari perspektif masalah yang diulas ini kita juga dapat berefleksi dan mengaca diri dengan mengajukan pertanyaan: religiusitas dan sikap keberagamaan macam apa sebenarnya yang sejauh ini banyak berkembang dan dipahami masyarakat, seperti yang tercermin dalam penerimaan dan apresiasi mereka terhadap berbagai program Ramadan di televisi itu? Jawaban atas pertanyaan ini akan cukup berpengaruh atas upaya kaum agamawan dan kelompok masyarakat lainnya untuk lebih memberikan makna yang kontekstual dan membumi bagi agama yang dipeluknya.

Wallaualam.

0 komentar: