Senin, 18 Juni 2007

Pendidikan Berbasis Komunitas: Melawan Kapitalisme Pendidikan


A. Zaenurrasyid (Ed.), Pendidikan Alternatif Qaryah Thayyibah, LKiS, Yogyakarta, Cetakan Pertama, Januari 2007, xx + 286 halaman
Sujono Samba, Lebih Baik Tidak Sekolah, LKiS, Yogyakarta, Cetakan Pertama, Januari 2007, xvi + 94 halaman
Naylul Izza, Fina Af’idatussofa, dan Siti Qona’ah (ZaFiKa), Lebih Asyik Tanpa UAN, LKiS, Yogyakarta, Cetakan Pertama, Januari 2007, xiv + 82 halaman


Saat ini kita di Indonesia menyaksikan realitas dunia pendidikan yang begitu mengenaskan. Di satu sisi, mutu pendidikan tak kunjung menunjukkan perbaikan yang signifikan. Di sisi yang lain, dunia pendidikan juga telah menjadi bagian dari lahan industri kapitalisme, sehingga pemerataan pendidikan untuk seluruh rakyat menjadi cita-cita yang semakin jauh untuk dapat diraih. Pendidikan yang bermutu menjadi identik dengan biaya mahal, gedung megah, seragam necis, dan semacamnya.


Kebanyakan masyarakat tak mampu berbuat banyak melawan komersialisme pendidikan ini. Mereka yang berkantong tebal memercayakan anak-anaknya untuk dididik di sekolah bermutu berlabel internasional dengan biaya melangit. Mereka yang miskin kebanyakan harus merelakan anak-anaknya putus sekolah setelah menamatkan pendidikan dasar. Data di Depdiknas menunjukkan bahwa angka putus sekolah pada tingkat Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah pada tahun 2004-2005 berjumlah 685.967, sedang tingkat SMP mencapai 263.793. Jika tak putus sekolah, mereka menjalani pendidikan dengan teramat susah payah. Dalam situasi seperti ini, pendidikan kemudian menjadi beban hidup yang berat—jauh dari cita-cita pembebasan—yang kerap kali membuat rakyat semakin frustrasi. Dalam beberapa tahun terakhir, media massa lokal maupun nasional relatif cukup sering memberitakan anak-anak usia sekolah yang bunuh diri karena tak mampu membayar iuran di sekolah.


Kapitalisme pendidikan juga telah melahirkan mental yang jauh dari cita-cita pendidikan sebagai praktik pembebasan dan agenda pembudayaan. Dengan menjadi pelayan kapitalisme, sekolah saat ini tidak mengembangkan semangat belajar yang sebenarnya. Sekolah tidak menanamkan kecintaan pada ilmu, atau mengajarkan keadilan, antikorupsi, atau antipenindasan. Sekolah lebih menekankan pengajaran menurut kurikulum yang telah dipaket demi memperoleh sertifikat—selembar bukti untuk mendapatkan legitimasi bagi individu untuk memainkan perannya dalam pasar kerja yang tersedia (Illich, 2000).


Mengikuti arahan dan orientasi semacam ini, beberapa tahun terakhir ini kita telah menyaksikan praktik jual beli ijazah atau gelar akademik di mana-mana. Di pertengahan 2005 lalu misalnya tersiar kabar bahwa sebuah lembaga pendidikan di tanah air yang berafiliasi dengan sebuah perguruan tinggi di Amerika telah memiliki 53 cabang di berbagai daerah di Indonesia, dan dilaporkan telah mencetak sekitar sembilan ribu lulusan dengan berbagai gelar, mulai dari PhD, MBA, MSc, bahkan profesor, dengan sejumlah biaya tertentu.

Kapitalisme telah melahirkan mental dan budaya belajar yang tidak sehat. Pendidikan diidentikkan dengan selembar ijazah, dan mutu pendidikan disederhanakan dengan kemampuan untuk menjawab soal-soal ujian. Pendidikan kemudian meneguhkan sikap budaya instan dan pragmatisme yang dangkal (bdk, Fathurrofiq, Kompas, 16 April 2007). Dan ketika masyarakat begitu tergila-gila untuk mendapatkan gelar akademik atau pengakuan formal akan tingkat pendidikan tertentu dengan maksud menambah bobot kewibawaan dan prestise sosial mereka, tanpa diimbangi dengan upaya pendidikan dan pembelajaran yang lebih esensial dan mendasar, tanpa sadar mereka sebenarnya telah terjatuh kembali pada sebentuk sikap feodal.

Eksprimentasi Pendidikan Alternatif


Tiga buku yang diterbitkan LKiS Yogyakarta di awal 2007 ini merupakan sebuah potret yang hadir menghentak kesadaran kita yang menuturkan sebuah upaya sederhana sekelompok masyarakat di Desa Kalibening Salatiga Jawa Tengah dalam bersiasat menghadapi situasi dunia pendidikan yang sedemikian akut ini. Ketiga buku ini, dengan perspektifnya masing-masing, berkisah tentang sebuah lembaga pendidikan alternatif bernama SMP Alternatif Qaryah Thayyibah yang berusaha dibangun bersama oleh masyarakat Kalibening di tahun 2003 dan ternyata saat ini telah mulai menunjukkan hasil yang positif dan sangat diapresiasi oleh banyak pemerhati pendidikan di Indonesia.


Buku berjudul Pendidikan Alternatif Qaryah Thayyibah merupakan semacam kliping atau dokumentasi dari berbagai media (Harian Kompas, Harian Suara Merdeka, Harian Pikiran Rakyat, Majalah Tempo, dan sebagainya) yang meliput sejarah, aktivitas, dan prestasi SMP Alternatif Qaryah Thayyibah.


Sedangkan buku berjudul Lebih Baik Tidak Sekolah ditulis oleh Sujono Samba, guru teater dan musik di SMP Qaryah Thayyibah. Dalam buku ini, seniman yang pada tahun 1995 menerima HDX Award untuk lagu ciptaannya berjudul Jodoh yang dinyanyikan oleh Manis Manja Grup ini mengungkapkan keprihatinannya atas keterpurukan dunia pendidikan di Indonesia. Pak Jono, demikian ia biasa dipanggil, memaparkan sejumlah data riset yang menunjukkan bahwa mutu pendidikan di Indonesia tak kunjung membaik. Berdasarkan laporan Human Development Index (HDI) Indonesia yang dibuat oleh United Nations Development Program (UNDP) misalnya, pada tahun 2005 Indonesia berada di peringkat ke-110 dari 177 negara, di bawah Vietnam, Filipina, Thailand, Malaysia, Brunai, dan Singapura yang sesama negara ASEAN. Sedangkan menurut laporan monitoring global yang diterbitkan oleh UNESCO pada bulan Juni 2005 dilaporkan bahwa dari 14 negara berkembang di Asia Pasifik, Indonesia menduduki peringkat ke-10 dalam hal kualitas pendidikan dasar.


Buku Sujono Samba ini dapat dilihat sebagai pembacaan yang relatif lebih cermat atas fakta pencapaian program pendidikan di Indonesia, yang dapat menjadi latar besar bagi lahirnya model pendidikan alternatif seperti yang dilakukan masyarakat Kalibening. Pada intinya, Pak Jono mengkritisi pola pendidikan yang selama ini diterapkan di kebanyakan sekolah di Indonesia. Pendidikan tak hanya tidak memihak kaum miskin, tetapi juga cenderung membelenggu kreativitas, mengasingkan dari realitas, mengerdilkan idealisme, dan melahirkan rasa cemas dan lemah.


Dengan latar seperti itulah, Sujono kemudian menuturkan beberapa paradigma mendasar yang coba dibangun di lingkungan komunitas Qaryah Thayyibah. Dalam buku Pak Jono dan buku Pendidikan Alternatif Qaryah Thayyibah ini, dituturkan bahwa sekolah alternatif ini didirikan bukan dengan latar perencanaan yang matang, tetapi lebih karena kebetulan. Alkisah, pada pertengahan tahun 2003, beberapa warga Desa Kalibening merasa prihatin dengan mahalnya biaya pendidikan anak-anak mereka yang akan menginjak tingkat SLTP. Ahmad Bahruddin, salah seorang ketua RW setempat, bersama-sama dengan wadah Serikat Paguyuban Petani Qaryah Thayyibah (SPPQT) berinisiatif untuk membicarakan masalah ini untuk dicarikan jalan keluar. Pada rapat inilah muncul pemikiran untuk mendirikan sekolah alternatif. Dari 30 warga yang dikumpulkan, 12 orang siap menyekolahkan anak mereka ke sekolah baru tersebut.

SMP Alternatif Qaryah Thayyibah yang secara resmi terdaftar sebagai SMP terbuka ini kemudian mulai beraktivitas dengan fasilitas seadanya, dengan lebih memfokuskan pada upaya peningkatan mutu pendidikan dan relatif mengabaikan fasilitas dan kelengkapan yang bersifat formal. Sekolah ini tak memiliki gedung atau ruang kelas. Sekolah ini menempati dua ruangan di rumah Bahruddin yang sebelumnya digunakan sebagai sekretariat SPPQT. Selebihnya kelas kadang juga digelar di alam bebas.


SMP Qaryah Thayyibah dikelola dengan prinsip pendidikan berbasis komunitas. Artinya, kegiatan pendidikan diselenggarakan dan diarahkan menurut kebutuhan komunitas atau warga setempat. Bahruddin, yang kemudian menjadi semacam kepala sekolah, dalam pengantar buku Pendidikan Alternatif Qaryah Thayyibah memberikan ilustrasi bahwa ketika anak-anak di sekolah itu mencoba mengembangkan proyek budidaya belut, maka yang mereka lakukan itu dimaksudkan untuk dapat memenuhi kebutuhan nutrisi dan gizi komunitas—bukan dalam kerangka komoditas pasar. Konsep pendidikan berbasis komunitas ini merupakan kritik tajam terhadap pola pendidikan saat ini yang seperti terlepas dari akar kebudayaan dan kebutuhan para peserta didik. Bahruddin menggambarkan bagaimana anak-anak desa bersekolah ke kota dan bagaimana potensi diri anak-anak desa itu dimanfaatkan oleh kepentingan kelompok lain (baca: kaum kapitalis). Oleh karena itu, sejalan dengan kurikulum berbasis kebutuhan yang mereka kembangkan, siswa yang belajar biologi dan geografi di sekolah tersebut, misalnya, berupaya memecahkan masalah sesuai dengan kebutuhan masyarakat, seperti upaya konservasi sumber air bersih, pembuatan data base desa, atau penelitian tentang limbah pabrik.

Karena berbasis komunitas, sekolah ini juga memberi ruang partisipasi yang cukup luas bagi para warga atau wali murid, termasuk juga siswa. Hingga batas tertentu, siswa juga ikut berpartisipasi dalam proses pendidikan. Waktu dan tempat belajar misalnya ditentukan berdasarkan kesepakatan siswa dan guru—tidak harus selalu berlangsung dalam ruang kelas. Setiap hari, selepas salat Zuhur berjamaah, para siswa berembug bersama tentang masalah yang dihadapi di kelas, baik itu berkaitan dengan materi atau hal yang lain. Setiap bulan, para wali murid bertemu untuk membicarakan masalah kelangsungan proses pendidikan di sekolah.
Dalam praktik pembelajaran di kelas, guru juga diposisikan secara berbeda dengan pandangan konvensional. Guru didorong untuk rendah hati, terus memiliki semangat untuk belajar bersama siswa, menjadi fasilitator yang baik, dan memberikan apresiasi yang mendalam atas berbagai kreativitas siswa.

Sekolah ini, yang pada 2005 lalu mendapat penghargaan dari Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, disebut “alternatif” karena biayanya murah. Tiap siswa hanya membayar iuran Rp 15.000,- tiap bulan. Selain iuran bulanan, tiap siswa juga ditarik uang Rp 4.500,- tiap hari, dengan rincian Rp 2.000,- ditabung untuk pembelian komputer, Rp 1.500,- untuk uang makan, dan Rp 1.000,- untuk tabungan bila ada kebutuhan khusus. Meski biayanya murah, siswa di sekolah ini dapat mengakses internet 24 jam. Koneksi internet yang merupakan bantuan dari pengusaha penyedia layanan internet di Salatiga ini memungkinkan wawasan, informasi, dan pergaulan siswa di sana sedemikian luas dan menjelajah ke berbagai tema.

Sekolah yang kini telah memasuki tahun kelima ini—artinya, telah memiliki jenjang pendidikan kelas 2 SMA—telah menorehkan sejumlah prestasi memukau. Pertengahan tahun lalu, tiga pelajar SMP Qaryah Thayyibah ini, yaitu Fina, Izza, dan Kana, menerima Indonesia Creative Award 2006 dari Yayasan Cerdas Kreatif Indonesia pimpinan Seto Mulyadi berkat tulisan mereka tentang Ujian Nasional (UN). Sebagai tugas akhir di sekolah mereka, ketiga siswa ini membuat karya penelitian yang mengkritisi kebijakan pemerintah tentang UN, yang kemudian terbit di Kompas edisi 3 Juli 2006.

Suara Siswa Menolak UAN

Buku lainnya tentang SMP Alternatif Qaryah Thayyibah ini berjudul Lebih Asyik Tanpa UAN. Buku ini merupakan hasil penelitian tiga orang siswa kelas 3 SMP Alternatif Qaryah Thayyibah Desa Kalibening Salatiga tentang UAN. Tiga siswa itu bernama Naylul Izza, Fina Af’idatussofa, dan Siti Qona’ah; mereka biasa dipanggil Izza, Fina, dan Kana—yang bisa disingkat ZaFiKa. Keikutsertaan ZaFiKa dalam UAN 2006 terbilang unik, karena selain sekolah mereka memang tidak mewajibkan siswanya untuk ikut UAN, tujuan ZaFiKa untuk mengikuti UAN lebih didasarkan atas rasa ingin tahu tentang bagaimana sebenarnya UAN, apa manfaat UAN dan apakah UAN memang dibutuhkan oleh siswa.

SMP Alternatif Qaryah Thayyibah yang menginduk pada SMPN 10 Salatiga memang bersikap cukup “aneh” tentang UAN. Alih-alih mendorong untuk mengikuti UAN, para siswa dan orangtua siswa kelas 3 di sekolah itu justru bersepakat agar para siswa kelas 3 menyusun tugas akhir yang disebut “disertasi” yang diarahkan pada kebutuhan komunitas. Ada yang menggarap tema penanaman pare, pembuatan briket dari sampah daun bambu kering, ada yang meneliti kurikulum Madrasah Ibtidaiyah di kampung mereka, dan ada pula yang mengamati dampak limbah pabrik tekstil. Ini sesuai dengan semangat paradigma pendidikan mereka, yakni pendidikan berbasis kebutuhan (komunitas).

ZaFiKa tertarik dengan tema UAN dengan beragam kontroversi yang mengitari pelaksanaannya, sehingga mereka memutuskan untuk “memantau” langsung dari dekat pelaksanaan UAN. Layaknya sebuah penelitian ilmiah, ZaFiKa memulai uraiannya dengan semacam latar belakang masalah, berikut rumusan persoalan atau tujuan yang hendak dicapai. Pada bagian ini, ZaFiKa memaparkan rasa keingintahuan mereka atas dipertahankannya pelaksanaan UAN, meski suara penolakan sudah dinyatakan banyak pihak. Sejak awal ZaFiKa sudah tak sepakat dengan pelaksanaan UAN. UAN hanya akan membatasi keinginan siswa sehingga membuat siswa menjadi tidak kreatif dan sulit menentukan arah kebutuhan belajar mereka yang sebenarnya.

Pembatasan UAN hanya pada tiga mata pelajaran—yakni Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Matematika—bagi ZaFiKa berarti tidak mengakomodasi keragaman minat siswa atas bermacam mata pelajaran yang lain. Bahkan, saat mengikuti UAN dengan materi Bahasa Indonesia, ZaFiKa merasa bahwa soal yang muncul tidak cukup untuk menguji kemampuan dan penguasaan mereka atas materi yang diujikan itu, karena dari sekian bab yang telah dipelajari, yang keluar hanya 25 persen. ZaFiKa memberi ilustrasi berikut: bayangkan ada siswa yang suka dan mahir dalam hal yang berkaitan dengan drama, tetapi di ujian Bahasa Indonesia tak satu pun ada soal tentang drama. Ini berarti kemampuan dan penguasaan siswa tersebut tidak dapat diukur dengan baik.

Dalam pemaparan tentang proses pelaksanaan UAN yang dituturkan dengan model catatan harian, ZaFiKa juga menemukan beberapa siswa di sekolah induk tempat mereka beruji melakukan aksi menyontek. ZaFiKa sangat menyesalkan hal ini. Bagi ZaFiKa, menyontek seakan melatih siswa untuk mendapatkan sesuatu tanpa usaha atau kerja keras. Tapi dalam beberapa hal ZaFiKa cukup dapat memahami konteks kejadian itu, karena UAN secara psikologis memang telah menekan sedemikian rupa sehingga siswa sangat khawatir tidak lulus. Akhirnya siswa menghalalkan segala cara. Bahkan kemudian terungkap di media bahwa meski menggunakan sisten pengawasan silang antarsekolah, terjadi kerja sama antarguru untuk memudahkan atau memberi peluang siswa menyontek.

Setelah menggambarkan pengalaman mereka mengikuti UAN, yang diselingi dengan semacam refleksi atas pengalaman mereka itu, serta menyajikan beberapa data baik yang dihimpun dari lapangan maupun dari berbagai media tentang pelaksanaan UAN, di akhir bagian ZaFiKa menawarkan sejumlah solusi alternatif pelaksanaan UAN. ZaFiKa menegaskan bahwa semua sekolah atau lembaga pendidikan seharusnya mempunyai hak untuk menentukan langkah mereka sendiri, termasuk dalam menyusun kurikulum. Pemerintah hendaknya memberikan kebebasan pada masing-masing sekolah untuk menyusun evaluasi sendiri, membuat rapor sendiri, dan mengadakan ujian sendiri—dan pemerintah harus memberi pengakuan atas itu semua. Prestasi siswa mestinya menggunakan alat ukur lain yang lebih jelas. Bagi ZaFiKa, UAN tak dapat dijadikan tolok ukur prestasi belajar siswa.

Buku yang ditulis oleh tiga “peneliti muda” dari SMP Qaryah Thayyibah ini menarik karena ia tidak saja menyuarakan aspirasi siswa tentang pelaksanaan UAN. Lebih dari itu, buku ini memperlihatkan capaian menarik dari sebuah sistem sekolah yang dibangun di atas konsep pendidikan berbasis komunitas. SMP Qaryah Thayyibah, tempat ZaFiKa belajar, telah mampu menumbuhkan dan mengasah sikap kritis para siswanya terhadap apa yang ada di sekeliling mereka tanpa harus tertinggal dari pengetahuan umum yang sudah didapat oleh siswa lain dengan sistem pendidikan yang lazim digunakan.

Dari UAN yang diikutinya, ZaFiKa tidak saja memperoleh predikat “lulus”, tetapi mereka juga berhasil merefleksikan pengalaman mereka itu dalam sebuah karya penelitian yang meski sederhana tapi cukup bermakna. Sementara secara formal mereka tidak mendapat pelajaran semacam metode penelitian sosial, ZaFiKa telah berhasil memperlihatkan bakat mereka untuk bersikap peka serta membuat penelitian dan analisis atas problem sosial di sekitar kehidupan aktual mereka.

Sayangnya, buku ini tidak dilengkapi dengan pengantar dari pihak pengelola SMP Qaryah Thayyibah untuk menjelaskan bagaimana mereka mendampingi dan membimbing para siswanya dalam menyusun “disertasi” para siswa, termasuk karya penelitian ini. Meski demikian, hal itu tidak mengurangi gizi buku ini untuk dapat memberi inspirasi kepada para praktisi pendidikan, guru, dan juga siswa, baik untuk mengkritisi sistem evaluasi pembelajaran di sekolah maupun untuk memaknai proses pembelajaran itu sendiri secara lebih kritis dengan dicermati dalam kerangka kebutuhan anak didik.

Investasi Kebudayaan

Kemunculan SMP Alternatif Qaryah Thayyibah merupakan sebuah kritik paradigmatik yang cukup telak atas paradigma pendidikan yang secara umum dipraktikkan di Indonesia. Sulit untuk dibantah bahwa pendidikan saat ini telah menjadi bagian dari jejaring kapitalisme global. Pendidikan telah berbelok dari orientasinya yang bersifat primordial. Ia tak lagi mendorong peserta didik untuk menjadi subjek yang merdeka, tetapi justru mengerdilkan wawasan berpikir mereka. Makna pendidikan dimampatkan hanya semata untuk tujuan mendapatkan pekerjaan, sehingga bidang pendidikan yang banyak diminati adalah yang laku keras di bursa kerja. Kenyataannya, kesempatan kerja di Indonesia hingga saat ini sangat sulit, sehingga jumlah pengangguran tetap melimpah. Menurut catatan Depnakertrans, pada tahun 2006 ada 500 ribu tenaga sarjana yang menganggur. Hal ini jelas memperlihatkan lemahnya mutu pendidikan di negeri ini. Pendidikan hanya melahirkan lulusan bermental pekerja, bermental buruh, dan tak bisa menghasilkan petani yang mandiri, usahawan kecil yang penuh inisiatif dan berswadaya, atau pengrajin yang mampu bersaing dengan produk impor. Karena sudah menjadi bagian dari jejaring kapitalisme, pendidikan menegaskan ketergantungan bangsa ini kepada bangsa-bangsa maju.

Apa yang sudah dilakukan Bahruddin dan rekan-rekannya dalam membangun model pendidikan alternatif Qaryah Thayyibah telah benar-benar membuka mata kita bahwa sebenarnya masyarakat memiliki potensi yang cukup besar untuk melakukan perubahan, yakni untuk membebaskan diri dari berbagai bentuk belenggu kemiskinan dan kepapaan dalam struktur masyarakat yang pincang dan sakit. Dengan kata lain, sebuah modal kultural yang dihimpun dan diberdayakan untuk menguatkan komunitas, membangun kemandirian, melalui upaya pendidikan yang lebih bernilai substantif (bdk, Abdurrahman Wahid, 1984, xvi-xxii).

Dalam kerangka paradigma pendidikan alternatif, pendidikan dipandang sebagai bagian dari upaya hominisasi dan humanisasi (N. Driyarkara, 1991: 80-83). Pendidikan pada tahap yang paling minimal merupakan proses penjadian manusia. Manusia tidak semata-mata dilihat sebagai sosok makhluk biologis, melainkan juga sebagai sosok pribadi sekaligus sebagai subjek. Pada taraf ini pendidikan harus diusahakan untuk membentuk makhluk yang mempribadi dan berperan sebagai subjek. Inilah proses hominisasi. Lebih jauh lagi, pendidikan juga merupakan proses humanisasi. Humanisasi berada pada tahapan yang lebih tinggi dari sekedar hominisasi. Humanisasi dalam konteks pendidikan berarti bahwa pendidikan juga dilihat sebagai suatu proses pembangunan peradaban manusia. Hal ini berdasarkan pengandaian bahwa manusia adalah juga makhluk sosial yang membentuk peradabannya secara bersama-sama dan bersifat lintas-generasi. Dengan melihat praktik pendidikan sebagai suatu wujud kerja kultural maka manusia yang menjadi subjek pendidikan harus dilihat dari totalitas unsur-unsur penyusunnya (tubuh dan jiwa). Pendidikan juga harus dilihat dalam bingkai ekspresi cipta, rasa, dan karsa manusia.

Berdasarkan pandangan ini, orientasi pendidikan harus digeser dari sekadar pemenuhan kebutuhan ekonomi negara menjadi pandangan bahwa pendidikan adalah juga strategi pembangunan peradaban bangsa—dan inilah yang lebih penting. Pendidikan adalah sebuah proses human investment, sehingga pendidikan juga merupakan ikhtiar paling penting dalam membangun masyarakat berkeadaban.

Upaya kultural yang dilakukan Bahruddin dan rekan-rekannya ini juga seperti menegaskan kembali suara Ivan Illich (1926-2002), filsuf dan aktivis pendidikan kelahiran Austria, dalam bukunya yang legendaris, Deschooling Society. Dalam buku tersebut, Illich melucuti hak istimewa sekolah yang selama ini dipandang sebagai satu-satunya lembaga masyarakat yang memiliki otoritas untuk mengelola pendidikan. Bahruddin secara tidak langsung telah menelanjangi topeng licik kapitalisme yang diam-diam mendekam di dunia pendidikan kita. Bahruddin bersuara dan memprotes dunia pendidikan bukan dengan teriakan lantang di jalanan, tetapi dengan berbisik, dengan langkah nyata yang pelan tapi penuh makna.

Melalui tiga buku ini, semoga suara hening dari Kalibening ini mampu ditangkap kedalaman maknanya oleh masyarakat Indonesia yang lain. Juga oleh para elite negeri ini, yang semasa kampanye tak bosan mengumbar janji untuk memperjuangkan peningkatan mutu pendidikan Indonesia, tapi hingga kini belum terlihat buktinya yang lebih nyata.



Bahan Bacaan
Abdurrahman Wahid, 1984, “Pembebasan Melalui Pendidikan: Punyakah Keabsahan?: Tinjauan Sepintas Atas Sebuah Pendekatan”, kata pengantar dalam buku Paulo Freire, Pendidikan sebagai Praktek Pembebasan, penerjemah: Alois A. Nugroho, Gramedia, Jakarta.

Fathurrofiq, “Ujian Nasional: Nihilisasi Budaya Belajar”, Kompas, 16 April 2007.

Illich, Ivan, 2000, Bebaskan Masyarakat dari Belenggu Sekolah, penerjemah: A. Sonny Keraf, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

N. Driyarkara, 1991, Driyarkara tentang Pendidikan, Cet. III, Kanisius, Yogyakarta.



Read More..