Sabtu, 24 September 2005

Surat Buat Elva

From: “M Mushthafa” <musthov79@yahoo.com>
To: elvarahma@yahoo.com
Date: Tue, Sep 20, 2005 23:12
Subject: Elva, Temukan Permata Dirimu

Elva. Dunia tempat kau akan tinggal kelak akan menjadi semakin liar, sulit ditebak sulit dikendalikan. Perubahan juga tak akan lagi berjingkat. Ia melesat bagai kilat. Yang bergerak lamban akan menuai sesal. Yang tak bersikap cerdas akan tergilas. Aku tak tahu apakah sekarang, dari kejauhan, kau sudah dapat merasakan dentuman dan gemuruhnya, menghantam ke seluruh segi-segi kehidupan di sekitarku di sekelilingmu. Kukira tak ada yang sanggup melarikan diri bersembunyi dari dahsyat getaran perubahan zaman.

Sebutan populer yang terlalu sering aku dengar, yang mungkin di masamu akan terasa usang atau bahkan sudah tergantikan, menyatakan bahwa ini adalah zaman globalisasi; sebuah zaman ketika definisi jarak menjadi tak terlalu berarti, karena dunia telah mengerut dan menjelma semacam kampung mini, tempat desas desus tetangga begitu jelas di telinga. Sebagai kampung, dunia kemudian membuat perbauran nilai, tradisi, pandangan hidup, dan sikap sehari-hari menjadi cukup mudah berlangsung. Semuanya seperti dituang dalam sebuah gelas, dengan sebuah sendok yang terus mengaduk tak kenal lelah.

Lalu di manakah dirimu saat itu, Elva sayang? Apakah kau ikut berpusing dalam adukan itu dan tak sempat mengendap di kedalaman? Apakah kau justru merasakan asiknya pusaran arus tiada henti itu, membuatmu senantiasa merasa baru, menampik disebut kuno dan ndeso? Atau kau masih berdiri tercengang di persimpangan, takjub campur bingung menyaksikan berbagai hal di sekelilingmu?

Elva sayang. Terus terang aku mencemaskan saat-saat itu, kelak, entah di kalender berapa, saat aku perlahan harus melepasmu berkenalan dan menjelajah dunia, saat aku cukup yakin bahwa kau akan mulai menyusun bata rumah duniamu sendiri, entah bersama siapa saja. Tentu aku tak bisa menahanmu terlalu lama dalam pangkuanku dalam pelukanku. Sebab itu bukanlah sikap yang bijak pula. Sebab sejatinya kau sama sekali bukan milikku. Saat kau disebut sebagai remaja, langkah-langkah kecilmu tak akan dapat sepenuhnya kupandu, lantaran kau sudah punya keinginan dan harapan, lantaran kau sudah akil balig, sudah sanggup menentukan pilihan, sudah mulai menemukan kebebasan, dalam pengertian yang lebih luas.

Adapun dunia saat ini, apalagi kelak, sudah terlalu riuh dengan carut marut. Kadang aku berpikir bahwa dunia sekarang ini dan dunia yang akan kau hadapi ibarat belantara. Rambu-rambu menjadi tak begitu jelas dalam tatapan polosmu yang rapuh. Kau dapat dengan cukup mudah tersesat, seperti halnya juga kau akan dapat cukup mudah merasa terbuang dan terabaikan di tengah keramaian. Bahkan di beberapa tempat, jika kau amati, ada jeram, dengan pusaran ganas yang siap melumatmu ke arus kepentingan kelompok tertentu—kepentingan global, kepentingan kapital. Sialnya, mereka ini begitu piawai menyembunyikan kepentingan sepihak mereka dalam retorika dalam manis kata-kata. Dalam belantara dunia, mereka begitu lihai memoles citra, dengan disokong oleh siasat media, mengajakmu bergabung dalam kerumunan, rombongan bebek, massa yang tak kritis dan apatis, atau orang-orang yang miskin visi.

Saat menjadi remaja, aku begitu mencemaskan kau terlalu begitu mudah ditarik ke sana kemari oleh pelbagai pusaran ganas itu, tanpa kau sadar sepenuhnya akan bahaya yang mengintai di balik itu semua. Memang, masa remaja adalah semacam fase peralihan saat dimulainya perjalanan diri untuk menjadi manusia dewasa. Menurutku, sebenarnya perjalanan diri menuju dewasa itu tak akan pernah tiba di titik henti, karena setiap saat manusia akan terus berusaha mengatasi sikap-sikap kekurangannya. Karena itu, tak salah jika dikatakan bahwa perjalanan itu kemudian akan menjadi begitu menantang; menantangmu untuk betul-betul menjadi pribadi mandiri dalam membaca segala gelagat dunia, di tengah perubahan-perubahan diri yang kau alami dan mulai terbitnya pertanyaan-pertanyaan eksistensial yang pada tingkat tertentu dapat mengombang-ambingkan pikiran dan perasaanmu.

Elva sayang. Memang aku percaya bahwa perjalananmu untuk menjadi pribadi mandiri tak akan sepenuhnya kau lalui sendiri. Aku tak akan membiarkanmu sendiri. Aku masih akan terus bersamamu. Doaku untuk kebahagiaanmu masih akan terus tulus kueja. Aku masih akan menjadi sahabatmu, mitramu, tempat kau berbagi bahagia dan lara. Pun, kelak kau juga akan bertemu dengan keping-dirimu; sosok yang akan menemani perjalanan hidupmu selanjutnya. Tapi satu hal, aku tak bisa henti bertanya: apakah bekal yang kuberikan buatmu sudah cukup memadai untuk perjalanan panjangmu? Apakah kau sudah cukup mengemasi peralatanmu untuk menghadapi tantangan dunia?

Elva sayang. Aku ingin menegaskan kepadamu bahwa bekal sederhana yang paling patut kau punya adalah semacam cermin. Aku sangat berharap kau dapat cukup sadar akan dirimu sendiri; kau betul-betul kenal dengan dirimu sendiri; kau dapat menjelaskan apa saja kelebihan dan potensi diri, selain juga kekurangan dan kelemahanmu; kau dapat merasakan kala kau berbuat sesuatu yang tak patut; kau dapat mengendus ketika egomu berusaha menguasai diri, ketika kau diam-diam berbohong pada dirimu sendiri—dan yang terpenting, kau mau mengakui semuanya. Cermin itu bukan untuk membuatmu narsis, tapi agar kau dapat lebih mudah menemukan permata dalam dirimu.

Aku teringat pelajaran-pelajaranku di awal kuliah dulu, sebuah pernyataan terkenal dari periode Yunani kuno: kenalilah dirimu sendiri (Gnothi se auton), yang menjadi dasar filsafat Sokrates. Menurut Sokrates, pengenalan diri bermanfaat untuk menghasilkan pengetahuan dan perilaku yang lebih baik, tepat, dan bijak. Dengan cermin yang kau punya, dengan menyelam ke relung-relung diri hingga ke palung terdalam, kau bahkan akan dapat menyingkap tirai diri yang kadang enggan kau akui, karena mungkin kau melihat itu sebagai semacam kekurangan yang tak mengenakkan. Berbagai segi negatif semacam itu, Elva sayang, bukannya harus kau tampik dan kau abaikan. Karena jika begitu, bisa jadi kau justru membiarkan si pengkritik-diri atau sisi gelapmu itu menguasai kesadaranmu. Jika mereka duduk bertakhta, kau akan kehilangan tenaga. Kau harus dapat mengelolanya, sebagai bagian dari perjalanan menuju ke kedewasaanmu.

Menurut para ilmuwan, kala seseorang menginjak remaja, ia akan lebih banyak menggunakan amigdala daripada korteks dalam otaknya untuk memproses informasi. Konon, amigdala ini lebih berkaitan dengan emosi dan insting; sedang korteks lebih pada kerja-kerja berpikir, bernalar, dan menyusun rencana ke depan. Pada masa itu emosimu akan cukup labil, mudah terombang-ambing, ketimbang fase lain dalam hidupmu. Tapi jika kau berhasil mengidentifikasi batas-batas kepantasan dari sikap dan perilaku yang kau lakukan, yang itu kau dapatkan setelah kau berhasil menyusun berbagai keping diri dalam dirimu secara lebih utuh, insya Allah kau akan dapat lebih mudah untuk berbenah. Kau akan lebih berpikiran dingin dan jernih mendengarkan kritik, dan menyikapi cercaan dan tindakan kasar tidak dengan dendam.

Tapi aku juga mesti mengingatkan, bahwa kau tak boleh sepenuhnya mengenyahkan bilik perasaan dalam dirimu. Perasaan, emosi, jika ditempatkan dan disikapi secara wajar dan benar, itu akan bernilai penting, untuk membuatmu berbagi haru dan empati, menanamkan sikap peduli, dan mengikis sikap apatis. Jangan sampai kau mengarungi perjalanan hidupmu hanya dengan nalar, tanpa sentuhan lembut perasaan. Aspek emosi dalam diri itu akan ikut menegaskan segi-segi manusiawimu, dengan segala kelebihan dan kekurangannya.

Elvaku sayang. Aku berharap kelak, terutama di masa remajamu, kau akan suka menuliskan catatan harianmu, tapak-tapak kecilmu, di bukumu. Aku ingin di situ kau melakukan semacam solilokui, bertukar pikiran dengan cermin-diri, berbagi perasaan, kegundahan dan kebahagiaan dalam beragam ekspresi. Aku tahu bahwa di situ kau kadang akan menjumpai kesunyian. Tapi sunyi dalam solilokui adalah hening yang akan mengantarkanmu pada bening. Hening, yang akan memendarkan cahaya permatamu. Hening, yang akan mengingatkanmu untuk menghargai dan mensyukuri hidupmu. Masih ingatkah kau Elva, saat kuceritakan, bahwa ibumu tak menamaimu dengan bunga, bukan hanya karena bunga indah pun bahkan ada yang beracun, tapi karena dengan namamu ibumu ingin mengingatkanmu (dan mendoakanmu) tentang hal itu, bahwa hidupmu adalah beribu anugerah?

Elva sayang. Cinta terlalu luas, horison harapan nyaris tak berbatas. Hidup di zaman yang begitu bergegas ini membuatku tak menemukan wadah yang cukup lapang untuk menampung semua cinta dan harapan. Kadang aku gamang menyaksikan akan betapa beratnya deraan hidup, yang mungkin juga akan menamparmu, sementara kita kadang mengalami kesulitan untuk mengarifi hidup yang cuma sekali ini. Harapku, semoga aku telah dan akan dapat memberimu dunia kecil yang tak terlalu buruk—juga orang-orang di sekitarmu—yang bisa memberimu kehangatan dan perasaan damai, memberimu ruang dan kesempatan memperbaiki diri, tempat pikiran-pikiran dapat dipertemukan di satu ruang bijak bercahaya benderang, tempat harapan, keinginan, perasaan, dan pencarian diri-yang-autentik diberi layaknya penghargaan; dan semoga itu semua cukup menguatkanmu untuk menghadapi dunia.

Elva sayang. Penghargaan terhadap hidup serta sikap hidup dan komitmen yang menyertainya kupikir akan dapat menjadi modal berharga untuk melepasmu bergaul dengan dunia. Tentu nanti kau akan berhadapan dengan berbagai situasi konkret yang akan menuntutmu untuk berpikir jernih beribu kali, untuk menemukan sikap dan jalan keluar yang dewasa. Insya Allah, jika kau dapat bersikap jujur pada dirimu, terlatih berpikiran jernih, mengenali dirimu seutuhnya, kau akan lebih mudah membuat keputusan dan tak selalu jatuh dalam bimbang. Dan di setiap tangga, kukira kau harus terus berefleksi tentang apa yang telah kau lalui. Bukankah kau masih ingat salah satu ungkapan bijak kesukaanku, yang menyatakan bahwa hidup tanpa refleksi adalah hidup yang tak layak dijalani?

Elva sayang. Selamat menempuh garis perjalanan hidupmu. Semoga Tuhan selalu memberimu kebahagiaan.

Read More..

Minggu, 18 September 2005

Kisah Tragis Korban Kekerasan Anak

Judul buku : 24 Wajah Billy
Penulis : Daniel Keyes
Penerbit : Qanita, Bandung
Cetakan : Pertama, Juli 2005
Tebal : 700 halaman


Dalam masyarakat kita, anak masih sering cenderung dipandang sebagai milik orangtua, sehingga di satu sisi tindakan kekerasan terhadap anak seperti mendapat permakluman dan toleransi serta dipandang sebagai bagian dari pendidikan yang memang merupakan kewajiban orangtua. Selain itu, tindakan kekerasan terhadap anak secara umum juga lebih dipandang sebagai masalah internal keluarga, sehingga relatif menjadi tabu untuk dibicarakan secara lebih terbuka.

Padahal, kita tentu akan sepakat bahwa anak sebenarnya juga memiliki hak untuk dapat menikmati suasana hangat dalam keluarga, sehingga ia dapat mengembangkan potensi dirinya secara lebih sempurna. Kesadaran tentang hak-hak anak dan efek buruk kekerasan terhadap anak masih menjadi sesuatu yang cukup langka di masyarakat kita. Bentakan, tamparan, pengurungan, ataupun penelantaran (neglect), dipandang dalam kerangka pendisiplinan anak.

Novel karya Daniel Keyes yang berkisah tentang perjalanan hidup William S. Milligan ini secara tidak langsung mempertegas kepada kita betapa tindakan kekerasan terhadap anak dapat melahirkan tragedi berkepanjangan yang tidak sederhana. Akibat serangkaian trauma masa kecil dan kekerasan yang ia alami sejak anak-anak hingga remaja, Billy, demikian dia akrab dipanggil, mengidap kepribadian majemuk (dissosiative identity disorder). Gangguan kejiwaan yang diderita Billy yang mirip skizofrenia dan ditandai dengan gejala amnesia ini terungkap setelah ia ditahan atas tuduhan serangkaian pemerkosaan di kampus Ohio State University pada Oktober 1977. Sebelum menjalani proses pengadilan, sejumlah psikiater terkemuka menyatakan kondisi Billy yang berkepribadian majemuk itu, sehingga ia dipandang tidak layak menjalani proses persidangan. Setelah dirawat di RS Harding selama sembilan bulan, Billy divonis tak bersalah karena dinilai tidak waras.

Penyingkapan sosok-sosok pribadi yang tinggal dalam diri Billy, yang kesemuanya berjumlah 24 kepribadian, terjadi setelah ia dirawat secara baik oleh Dr. David Caul di Athens Mental Health Center. Di situlah “Sang Guru”, yang merupakan fusi dari seluruh sosok pribadi Billy, bercerita tentang suka duka perjalanan hidup Billy, tentang bagaimana seluruh kepribadian itu lahir satu-persatu. Di bagian inilah para pembaca awam akan dapat lebih mudah memahami mengapa kepribadian majemuk itu mungkin terjadi pada diri seseorang.

Riwayat keluarga Billy memang cukup rumit. Ayah kandungnya bunuh diri saat ia balita. Di tengah keterjepitan kehidupan ekonomi keluarganya, ibunya sempat rujuk dengan mantan suaminya, Dick Jonas, meski tak bertahan lama. Kehadiran ayah tiri lainnya yang baru, Chalmer, ternyata semakin memperburuk beban psikologis Billy. Chalmer tidak hanya suka membentak Billy dan ibunya, tetapi juga beberapa kali melakukan pelecehan seksual dan penyiksaan fisik kepada Billy. Bayang-bayang trauma dan ketakutan yang sangat terhadap perlakuan Chalmer inilah yang sepertinya banyak menjadi latar kemunculan sosok-sosok pribadi yang lain dalam diri Billy. Dapat ditegaskan bahwa pribadi-pribadi tersebut muncul sebagai reaksi atas trauma dan situasi tertekan yang bersifat kronis yang dihadapi Billy. Mereka “diciptakan” sebagai mekanisme pertahanan diri, dengan membangkitkan satu sisi tertentu dari diri Billy untuk menghadapi situasi yang tak tertanggungkan.

Terapi yang dijalani Billy setelah ia diputus tak bersalah dan upayanya untuk hidup sebagai orang normal memang tak berjalan mulus. Beberapa pemberitaan media yang cenderung menyudutkan Billy dan keterlibatan berbagai pihak menanggapi kasus yang sangat menggemparkan itu, baik pengacara, hakim, polisi, politisi, dokter, hingga petugas medis, cukup mengganggu proses terapi sehingga Sang Guru sempat menghilang. Padahal, kehadiran Sang Guru untuk memediasi dialog di antara sosok-sosok pribadi itu, untuk kemudian saling mengenal, berkomunikasi, dan saling membantu memecahkan masalah masing-masing, sangatlah diperlukan.

Bagian akhir novel yang edisi bahasa Inggrisnya terbit tahun 1982 ini berkisah tentang bagaimana Billy harus dirawat di tiga rumah sakit berpenjagaan maksimum selama dua setengah tahun, termasuk RS Lima, yang sempat membuat Billy cukup tertekan, hingga akhirnya kembali ditangani Dr. Caul di Athens. Selanjutnya, menurut Ensiklopedi Wikipedia, Billy bebas pada 1988 dan kini tinggal di California, memiliki Stormy Life Productions dan membuat film. Meski hingga kini masih berkepribadian majemuk, dia sempat menjadi penyelia dalam pembuatan film tentang kisah hidupnya sendiri, The Crowded Room, yang disutradarai Joel Schumacher.

Banyak pelajaran yang dapat dipetik dari kisah Billy ini. Selain melengkapi novel-novel populer berlatar pribadi yang memiliki masalah mental yang belakangan cukup banyak terbit dan mendapat respons positif, termasuk novel Sybil karya Flora Rheta Schreiber yang berkisah tentang gadis dengan 16 kepribadian dan edisi bahasa Indonesianya hingga kini telah cetak ulang dua belas kali, secara khusus novel ini sekali lagi semakin mempertegas tentang efek buruk kekerasan terhadap anak. Meski bukan penyebab langsung, hampir semua penderita kepribadian majemuk memiliki riwayat kekerasan di masa kecilnya, seperti yang dialami Billy, yang dituturkan dengan sangat baik dan cukup detail oleh Keyes dalam buku ini.

Kekerasan terhadap anak itu sendiri sebenarnya masih menjadi persoalan yang cukup akut. Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jawa Timur misalnya mengungkapkan bahwa kasus kekerasan terhadap anak yang diungkap di media Jawa Timur sepanjang 2002 ada 210 kasus (Kompas, 24/04/2003). Sementara itu, Kak Seto Mulyadi, Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak, memaparkan bahwa di banyak tempat dan forum pertemuan dengan para orangtua, diperkirakan 50-60 persen orangtua mengaku melakukan child abuse dalam berbagai bentuk (Kompas, 09/01/2003).

Ditambah lagi dengan pola perlakuan yang kurang bijak terhadap anak yang menderita keterbelakangan mental atau bermasalah. Bukannya dihadapi dengan kesabaran ekstra dan lebih telaten, mereka kadang dieksploitasi, ditelantarkan, dan atau dibatasi ruang geraknya. Dalam kasus Billy misalnya, dia sering merasa dipersalahkan atas sejumlah perilakunya di rumah, baik oleh ayah tiri maupun ibunya, sehingga merasa betul-betul tersudut, kehilangan sosok pelindung, rasa nyaman, dan kehangatan di keluarga, hingga bahkan tak dapat mengenali dan mendefinisikan identitas dirinya secara utuh.

Karya yang disusun atas dasar wawancara dengan sosok Sang Guru dan puluhan narasumber lainnya ini tidak saja mengajak kita untuk berbagi haru dan empati, tapi juga untuk mencoba memulai berbuat sesuatu yang lebih konkret untuk masa depan kehidupan anak-anak kita yang lebih baik. Dibutuhkan ruang-ruang sosial yang cukup kondusif dan bebas dari teror kekerasan, di tingkat keluarga maupun yang lebih luas, agar proses pengenalan diri dan penggalian potensi anak dapat benar-benar mengantarkannya kepada titik yang lebih utuh dan manusiawi.


Read More..