Senin, 28 Maret 2005

Catatan Kehilangan dari Wafatnya Munir

Judul Buku : Munir: Sebuah Kitab Melawan Lupa
Penyunting : Jaleswari Pramodhawardani dan Andi Widjajanto
Pengantar : Daniel Dhakidae
Penerbit : Mizan, Bandung
Cetakan : Pertama, Desember 2004
Tebal : lx + 548 halaman


Meninggalnya Munir dalam penerbangannya ke Belanda 7 September yang lalu menyisakan luka mendalam bagi bangsa ini. Kepergian sosok pejuang HAM yang belum genap berumur 40 tahun itu mengingatkan banyak hal dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia: tentang masih banyaknya agenda-agenda perjuangan penegakan demokrasi dan hak-hak asasi yang masih harus terus dilanjutkan, tentang komitmen keteguhan moral dan keberanian, atau juga tentang langkanya sosok pahlawan yang betul-betul total mengabdi untuk kepentingan bangsa.

Buku ini lahir dari refleksi serta rasa kehilangan atas meninggalnya pejuang HAM yang pernah menerima “YapThiam Hien Human Rights Award” (1998) ini. Buku yang diluncurkan pada momentum seratus hari wafatnya Munir ini secara garis besar terdiri dari dua bagian. Bagian pertama, yang ditulis dengan gaya feature, memuat penuturan sejumlah orang, baik itu kawan atau lawan ideologi almarhum, tentang bagaimana perjumpaan dan pengalaman mereka bersama Munir. Sedang bagian kedua menyajikan sejumlah tulisan yang lebih merupakan refleksi atas gagasan dan concern perjuangan Munir berkaitan dengan HAM dan demokrasi, seperti soal wacana sipil-militer, intervensi militer dalam konflik warga sipil, filosofi penegakan hukum, atau tentang reformasi kebijakan pertahanan dan keamanan negara.

Di bagian pertama, pembaca yang sebelumnya mengenal Munir melulu lewat media akan dapat menjumpai sosok Munir yang lebih utuh. Bahkan, pada titik tertentu, dengan gaya tulisan yang penuh empati dalam beberapa esai yang termuat, pembaca akan dapat menemukan ruang penghayatan yang lebih mendalam tentang perjuangan dan keseharian Munir.

Rachland Nashidik, yang pada tahun-tahun terakhir ini bersama Munir di Imparsial misalnya, memberikan kesaksian tentang bagaimana semangat juang, kesahajaan, dan kesederhanaan Munir dalam bekerja, bagaimana Munir yang ternyata kurang dari setahun ini baru memiliki mobil—Toyota Mark II tahun 1970-an yang dibelinya secara mencicil—dan sebelumnya biasa menggunakan motor berpelat “N”, bagaimana Munir yang saat dirawat di rumah sakit pun masih tak mau melepaskan laptop-nya dan terus bekerja, bagaimana Munir tak berhenti membaca buku, menulis, dan berdebat, untuk menunjang aktivitas dan perjuangannya.

Yang tak kalah menariknya lagi adalah penuturan panjang Adnan Buyung Nasution tentang bagaimana interaksinya dengan Munir yang notabene beberapa kali memiliki sikap yang berseberangan dengannya. Buyung memulai kisahnya sejak pertama kali berjumpa dengan Munir dalam sebuah forum para aktivis LSM di Malang pada 1993, dan Buyung kemudian mengenal Munir yang kritis, suka bertanya, dan berani memberi sanggahan dan kritik sehingga ia kemudian tertarik untuk mengajaknya bergabung di Jakarta. Ketika Buyung mengisahkan “perseteruannya” saat Buyung menjadi Ketua Tim Advokasi Perwira TNI pada 1999 yang dituduh melakukan pelanggaran berat HAM di Timor Timur, Buyung menunjukkan bagaimana Munir memang adalah seorang pejuang muda yang berkarakter, yang berani menyatakan pendiriannya langsung di hadapan Buyung dengan argumentasi yang tertata tapi disampaikan dengan santun. Demikian pula ketika keduanya berbeda pandangan tentang bagaimana memosisikan LBH/YLBHI dalam Rakernas di bulan November 2001. Buyung juga menceritakan tentang bagaimana Munir yang selalu berbicara dengan lugas, langsung, dan tanpa basa-basi itu juga tak enggan untuk mengakui kekhilafannya dan meminta maaf saat mereka bertemu pada suasana lebaran 2003.

Cukup tepat jika buku ini diberi judul Munir: Sebuah Kitab Melawan Lupa. Dengan meminjam ungkapan Milan Kundera yang sudah cukup populer itu, bahwa perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan manusia melawan lupa, kita betul-betul dapat mengerti bagaimana sosok Munir adalah sebuah monumen pengingat kepada kita semua tentang berbagai persoalan hak asasi dan demokrasi di negeri ini: tentang bagaimana kekerasan negara beroperasi dalam sebuah rezim yang totaliter, bagaimana penghilangan paksa dan pembunuhan politik cukup mudah terjadi, tentang bagaimana buruh dan nyawa manusia tak dihargai.

Dengan bergerak di isu yang sangat partikular pada saat itu, yaitu saat menangani para korban penculikan politik pada saat transisi di era reformasi, Munir, menurut Todung Mulya Lubis, mampu menjadi sumber inspirasi bagi lahirnya gerakan hak asasi manusia yang lebih luas. Dengan gigih Munir memberikan sebuah pendidikan politik yang cerdas kepada masyarakat untuk mengingatkan bahaya kekerasan (militer) negara atas warga sipil, dengan, misalnya, berkampanye memasang baliho besar yang memperlihatkan foto-foto orang hilang, dan bagaimana Munir mendampingi proses investigasi dan advokasi untuk mereka. Di sinilah terlihat keberanian Munir untuk berhadapan risiko yang tak kalah ngerinya—bahwa suatu saat Munir bisa saja dihilangkan secara paksa oleh entah siapa.

Ironisnya, kepergian Munir sendiri justru berakhir dengan sebuah drama yang mengenaskan. Sebagaimana dituturkan dalam buku ini oleh Aboeprijadi Santoso, wartawan Radio Nederland, kematian Munir yang penuh “misteri” politik-birokrasi itu justru hingga kini belum mendapatkan perhatian yang cukup serius dari negara. Padahal, masyarakat mungkin akan sepakat untuk mengatakan bahwa tokoh yang pernah menerima “Right Livelihood Award” (tahun 2000) dari Swedia ini adalah sosok pahlawan yang betul-betul berjuang dengan penuh integritas untuk penegakan HAM dan demokrasi.

Sungguh patut disesalkan jika sebuah bangsa tak lagi mampu menghargai nilai dan makna perjuangan para pahlawannya. Dalam konteks kasus Munir, dengan mengapresiasi kehadiran buku ini secara mendalam, pembaca akan segera berkesimpulan bahwa satu-satunya jalan ke arah penghargaan itu tak lain adalah dengan menuntaskan penyelidikan kasus kematian Munir sekaligus terus melanjutkan agenda-agenda perjuangan Munir ke depan.

* Tulisan ini dimuat di Jawa Pos, 27 Maret 2005


Read More..

Rabu, 23 Maret 2005

Doa yang Menghapus Trauma (Yakinkan Aku)

Pada titik tertentu, kadang manusia di zaman ini mungkin telah dikutuk untuk hidup terlalu dengan logika. Tak ada yang salah dengan logika. Karena benar, justru karena nalar manusia menjadi cukup berharga. Dengan nalar, manusia, di sepanjang sungai sejarah yang dilaluinya, berupaya gigih untuk mencari penjelasan dari semua yang dihadapinya. Berbagai peristiwa hidup, dari yang paling individual hingga yang sosial, semua terjelaskan oleh berbagai disiplin yang terus berkembang, semakin mendalam, dan semakin meluas cakupannya.

Suatu hari, aku berjumpa dengan Trauma. Menurut kamus bahasa Indonesia yang kupunya, Trauma bisa berarti ‘luka berat’, atau ‘keadaan jiwa atau tingkah laku yang tidak normal sebagai akibat dari tekanan jiwa atau cedera jasmani’. Kamus lainnya mencatat, Trauma adalah sebentuk goncangan emosional, ketika sebuah peristiwa yang betul-betul menekan menimpa, sehingga goncangan psikologis yang diakibatkannya dapat berlangsung lama.

Sebenarnya, sungguh, aku ingin sekali kenal lebih jauh dengan Trauma. Sayang, stok pengetahuan, referensi, dan kesempatanku saat ini cukup terbatas. Tapi aku kira, Trauma sudah masuk ke dalam kategori common sense bagi kebanyakan orang, dan karena itu, aku bisa berkesimpulan, bahwa Trauma memang merupakan sebuah pengalaman hidup yang akan cukup menyulitkan. Ya, menyulitkan. Juga perih. Di tengah beban hidup yang kian hari kian sulit, Trauma datang membawa beban yang luar biasa tak terkira. Apakah manusia memang sudah tercipta cukup kuat untuk berhadapan dengan Trauma?

Aku ingin bertanya kepadamu, Rika, tentang siapa sebenarnya Trauma. Aku percaya kau punya sejenis informasi tentang ini. Aku ingin bertanya, dengan apa Trauma bisa dienyahkan. Aku ingin tahu, bagaimana dia harus diperlakukan—apa kita harus baikan dengan dia, atau mengambil sikap bermusuhan?

Rika, aku ingin bercerita bahwa dalam ruang common sense-ku yang teramat sederhana, Trauma masih merupakan hal yang sulit sekali—untuk tidak mengatakan tak bisa—dihilangkan. Sayang sekali, aku terlalu terbiasa menggunakan nalar semacam ini, yang entah salah entah benar. Lalu nalar dan logika ini harus bertemu dengan harapan-harapan, seperti bahwa, tentu saja, kita akan selalu berharap bahwa orang yang benar-benar kita cintai, sampai kapan pun, dapat hidup dengan kebahagiaan, dengan damai dan tenang. Sementara Trauma, bagaimanapun juga, sulit bersanding dengan alam pikiran yang tenang. Karena memang, Trauma datang seperti tsunami terdahsyat yang menghantam karang rapuh seseorang. Trauma membuat seseorang harus keluar dari suatu ruangan, dengan tak lagi cukup kuat untuk menjadi dirinya sendiri, harus hidup dengan berbasa-basi, karena bilik impian masa depan dalam dirinya sepertinya sudah nyaris dihabisi.

Selain pertanyaan-pertanyaan umum di atas, sebenarnya aku ingin sekali bertanya—dan ini adalah pernyataan eksistensial buatku—apakah doa, sebagai bentuk lain dari harapan yang menguat dan mengendap, bila dilakukan atas dasar hati yang bersih dan penuh, dapat membalikkan keadaan, bahwa Trauma yang bertamu ke ruang pribadi orang yang kita kasihi itu dapat dihilangkan? Beri aku saran, Rika, bagaimana menundukkan nalar kerdilku yang belakangan terus membuatku sangat bersedih, yang membuatku sulit menerima kenyataan pahit, bahwa Trauma akan terus mengurungnya dalam kesedihan. Rika, yakinkan aku, bahwa harga harapan dan ketulusan itu jauh lebih bernilai ketimbang nalar…

Read More..