Sabtu, 31 Januari 2004

Moralitas Syariah yang Terbelenggu Formalisme

Etos dan moralitas Syariah akhir-akhir ini kian terancam oleh kecenderungan formalisme. Formalisme berdasar pada cara pandang positivistik terhadap hukum dan ajaran agama. Berbagai ketentuan hukum (ahkâm) dipandang telah dapat menampung seluruh semangat dan ruh Syariah, sehingga apa pun yang berada di luar ketentuan tersebut akan dianggap berseberangan dengan Syariah itu sendiri. Fakta keragaman pendapat dalam suatu ketentuan hukum tidak dipandang secara lebih mendalam, sebagai isyarat akan adanya sesuatu hal yang melampaui ketentuan hukum yang bersifat tekstual tersebut.

Isu formalisasi hukum Islam dalam wilayah kehidupan bernegara semakin menenggelamkan diskursus tentang etos dan moralitas Syariah tersebut. Perbincangan dikerahkan habis-habisan hanya untuk menimbang keuntungan dan kerugian dari langkah formalisasi tersebut. Situasi ini diperkental dengan perang jargon di berbagai media yang terkadang tiba pada level klaim yang mengeras dan sulit dicairkan dengan pikiran jernih. Yang mengenaskan, di bagian akhir perdebatan, muncul stigma buruk kepada mereka yang menolak formalisasi tersebut.

Muncul pertanyaan tentang apakah aspirasi formalisasi ini pada dasarnya berjalan berbarengan dengan mengentalnya formalisme dan paradigma positivisme dalam keberagamaan. Tulisan ini tidak ingin berusaha menjawab pertanyaan ini, tetapi ingin bergerak melampaui perdebatan tersebut dan masuk ke dalam wilayah substansial Syariah, yakni moralitas Syariah. Dengan mengangkat masalah moralitas Syariah, tulisan ini ingin menyegarkan kembali pemahaman kita yang bersifat lebih mendasar tentang Syariah itu sendiri.

Khaled Abou El Fadl, guru besar hukum Islam di UCLA School of Law, Amerika Serikat, dalam salah satu karyanya yang menawan, Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority, and Women (2001), menegaskan bahwa Syariah bukan semata perintah-perintah positif (ahkâm), tetapi juga terdiri atas tujuan (maqâshid), prinsip (qawâ‘id), dan metodologi analisis dan pemahaman (ushûl fiqh). Artinya, hukum Tuhan di sisi yang lain adalah juga sebuah epistemologi dan metodologi. Namun demikian, Abou El Fadl menengarai bahwa sekarang ini orang-orang banyak mengidentikkan hukum Tuhan dengan ketentuan-ketentuan positif (ahkâm) sehingga etos hukum Tuhan itu menjadi terancam.

Keterancaman tersebut salah satunya berakar dari berkuasanya paradigma formalisme dan positivisme dalam memandang Syariah. Formalisme dapat didefinisikan sebagai cara pandang terhadap hukum yang kurang menimbang sisi kedalamannya, dengan hanya menyisakan keterpakuan pada aspek eksterior hukum. Formalisme ini diperteguh dengan paradigma positivisme yang meyakini bahwa di dalam setiap aturan hukum pasti terdapat kandungan moral yang diembannya. Positivisme itu sendiri, sebagai sebuah filsafat, pada dasarnya mengasumsikan adanya ketertundukan realitas dalam formula-formula hukum tertentu yang bersifat pasti, jelas dan tegas. Positivisme cenderung tidak menoleransi ambiguitas dan pluralitas.

Padahal, keberagaman dan perbedaan pendapat adalah fakta yang tak terbantahkan dalam khazanah pemikiran hukum Islam. Fakta keberagaman ini sebenarnya adalah argumen paling kuat untuk menolak paradigma positivisme dalam hukum. Salah satu aspek penting dari pluralitas pendapat dalam hukum Islam adalah isyarat bahwa sebenarnya ada sesuatu hal yang menjadi sasaran bidik berbagai aturan hukum yang diperdebatkan ketentuannya itu. Pada titik ini, menfokuskan perbincangan hanya kepada aspek perintah positif hukum (ahkâm) menjadi tidak memadai, bahkan mungkin bisa membelokkan diskusi pada hal-hal yang tidak substansial sehingga makna utuh Syariah menjadi terdistorsi. Bila ini yang terjadi, maka substansi tujuan Syariah yang dalam tradisi klasik dirumuskan dengan tahqîq mashâlih al-‘ibâd (mewujudkan kemaslahatan manusia) menjadi problematis. Moralitas Syariah menjadi terabaikan.

Kita bisa mengangkat contoh sederhana berikut ini. Menurut mazhab Syâfi‘î, seorang ayah memiliki hak ijbâr, hak untuk memaksa anak gadisnya untuk menikah dengan pria tertentu pilihan si orang tua. Sementara, dalam mazhab Hanafî, seorang perempuan berhak menentukan pilihannya sendiri, dengan siapa dia akan menikah. Seorang ayah yang bermazhab Syâfi‘î yang berpola pikir formalis-positivistik mungkin akan ngotot memaksakan calon yang direstuinya untuk anaknya dan mengabaikan pertimbangan dan kehendak anak gadisnya. Ketentuan ijbâr tersebut akan dilihat sebagai sebuah aturan yang dengan sendirinya bermoral, dan mengabaikan keragaman pendapat mazhab lain. Fakta bahwa dalam mazhab Syâfi‘î pun ada pandangan bahwa disunahkan meminta izin si gadis tidak dibaca sebagai isyarat penghargaan dan perimbangan Syariah terhadap keinginan dan kepentingan si perempuan.

Dari contoh singkat ini terlihat bahwa moralitas Syariah memang rentan terbelenggu oleh nalar formalisme. Moralitas Syariah ini salah satunya dapat terbaca bila dalam ketentuan (ahkâm) yang diperselisihkan, terutama bila menyangkut persoalan interaksi sehari-hari (mu‘âmalât), dimunculkan sikap kritis tentang mengapa para fukaha itu bisa berbeda pendapat secara sedemikian rupa dalam persoalan tersebut. Apa yang sebenarnya menjadi poin kunci dari berbagai pendapat yang berbeda tersebut. Apa benang merah dari tiap ketentuan tersebut, dan apa yang sebenarnya ingin dicapai dan dijaga. Pertanyaan-pertanyaan bercorak investigatif ini diharapkan dapat menyibak hikmah moral di balik silang pendapat tersebut.

Berkaitan dengan soal ini, Abou El Fadl memunculkan sebuah pertanyaan sederhana tetapi menukik: apakah suatu ketentuan hukum itu secara intrinsik memuat nilai kebaikan (hasan bi dzâtihi) dan berlaku untuk dirinya sendiri atau memiliki tujuan lain yang lebih tinggi? Jika jawabannya yang pertama, kebaikan hukum itu sendiri secara inheren sudah terjamin sehingga tinggal diterapkan begitu saja. Jika pilihannya yang terakhir maka dibutuhkan sebuah tinjauan yang bersifat ‘empiris’, cermat, tulus, jujur dan terbuka tentang apakah tujuan lain itu telah dapat tercapai. Di satu titik, mungkin perdebatan akan tiba pada pendefinisian suatu asumsi moral tertentu yang bisa saja diperselisihkan. Dalam kasus ijbâr di atas, bisa saja akhirnya muncul asumsi bahwa seorang gadis, dalam kondisi apa pun, tidak akan cukup cakap untuk membuat penilaian tentang suami macam apa yang terbaik untuk dirinya, atau muncul asumsi yang menyatakan bahwa seorang gadis yang sudah mendapat pendidikan yang memadai akan mampu membuat pilihan dan pertimbangan yang baik untuk dirinya.

Pada titik inilah Syariah sebagai sebuah metodologi membutuhkan perangkat dasar nalar (‘aql) yang jernih dan berlandaskan ketulusan, intuisi (fithrah) yang peka membaca karakter dasar manusia, eksplorasi tentang kategori baik dan buruk (husn dan qubh), dan mungkin juga keterbukaan terhadap khazanah keilmuan yang lain untuk dapat terus menghidupkan dimensi moral yang termuat di dalam suatu aturan hukum. Ditambah dengan perangkat dan bahan-bahan dasar yang lain, seperti khazanah ulama Islam klasik yang begitu canggih dan melimpah, semua itu dipadukan dalam terang sudut pandang nilai-nilai Syariah yang bersifat mendasar. Tapi tentu ini harus dilakukan dengan tetap menjaga integritas teks-teks primer yang validitas dan otoritasnya diakui.

Sudah saatnya diskusi tentang Syariah digeser ke level yang lebih luas dan mendalam, menuju suatu titik perbincangan yang, sebagaimana ditegaskan oleh Abou El Fadl, menempatkan Syariah sebagai sebuah metodologi untuk menjalani kehidupan yang penuh perenungan demi mencari hukum Tuhan serta sebagai proses pembuktian dan penyeimbangan nilai-nilai pokok Syariah dalam mencapai sebuah kehidupan yang bermoral. Sikap dasar yang diperlukan adalah keterbukaan, kesungguhan, dan ketulusan hati, untuk memulai perbincangan tentang hal tersebut tanpa klaim-klaim menyudutkan dan bersifat apriori. Dengan landasan sikap dan sejumlah perangkat tersebut di atas, formalisme dan positivisme dapat ditelanjangi dan dilucuti pembenarannya, sehingga sikap keberagamaan kita semakin bening, tulus dan fitri. Wa Allâh a‘lam bi al-shawâb.

Januari 2004 –
di antara langit yang runtuh, perih yang menyayat, aku mengais sisa-sisa yang berharga

Read More..

Rabu, 07 Januari 2004

Membebaskan Psikologi dari Belenggu Positivisme


Judul buku : Ilmu Jiwa Berjumpa Tasawuf: Sebuah Upaya Spiritualisasi Psikologi
Penulis : Lynn Wilcox
Penerbit : Serambi, Jakarta
Cetakan : Pertama, November 2003
Tebal : 336 halaman


Arah perkembangan spesialisasi ilmu yang pada abad-abad terakhir di penghujung milenium kedua semakin terlihat jelas pada satu sisi memang mampu menghadirkan kedalaman pengkajian yang luar biasa. Detail yang sangat khusus dari suatu bidang terjelajahi dengan sangat baik. Akan tetapi, ternyata perkembangan semacam ini kadang juga bisa membuat sebuah disiplin ilmu terpuruk dalam jerat cara pandang positivisme.

Lynn Wilcox, seorang mursyid sufi dan profesor psikologi pada California State University, dalam buku ini menunjukkan bahwa akibat dari superspesialisasi dalam bidang ilmu tersebut, psikologi telah menjadi kering dan bahkan cenderung melupakan muasal tempat lahirnya. Psikologi akhirnya terlalu sibuk berburu serpihan data dan informasi tentang manusia. Para psikolog dari spesialisasi yang berbeda mempelajari beragam aspek manusia dan mengabaikan pengertian mendasar psikologi itu sendiri.

Kata “psikologi” pertama kali digunakan dalam bahasa Inggris pada sekitar tahun 1600-an untuk menyebut jiwa, dan psikologi mula-mula adalah cabang metafisika yang membahas jiwa. Tapi akhirnya unsur jiwa sebagai elemen penting dalam psikologi tak lagi diperhitungkan. Maka, mulailah babak positivisme dalam psikologi dirayakan, seperti dalam psikologi eksprimental dan behaviorisme.

Untuk keluar dari belenggu positivisme yang terus membayangi psikologi, Wilcox mengajukan cara pandang tasawuf sebagai ikhtiar mempertemukan psikologi dengan muasalnya, untuk dapat menggerakkan psikologi melampaui kategori-kategori positivistik dan materialistik yang tengah menguasainya. Wilcox memberi sebuah ibarat sederhana tapi begitu mengena. Menurutnya, psikologi bagaikan mempelajari karakteristik sebuah lampu: berapa tingginya, bobotnya, serta bahan yang menyusunnya, atau tentang bagaimana lampu bisa serasi dengan ruang yang akan diteranginya. Tapi psikologi alpa dengan sumber daya listrik yang dapat membuat lampu itu menyala. Tasawuf berkaitan dengan proses penyalaan lampu dan ihwal bagaimana menapak jalan menuju Sumber terang.

Orientasi positivistik ini terjadi karena metode psikologi yang cenderung mengedepankan riset kuantitatif yang hanya didasarkan pada pengamatan indra fisik belaka. Ini membuat psikologi tercurah pada medan sempit yang menyulitkannya mencapai jalan menuju Pengetahuan Absolut. Ibarat pohon, psikologi cenderung sibuk memerhatikan daun-daunnya sehingga melupakan pohonnya, atau bahkan bahwa sebenarnya ada hutan yang begitu luas yang perlu dirambah.

Dalam buku ini Wilcox mengupas secara gamblang aspek-aspek mendasar psikologi, mulai dari sejarah perkembangan, metode, dan berbagai tema-tema umum yang menjadi kajiannya seperti tentang motivasi, memori, pikiran, aktualisasi diri, cinta, agama, dan sebagainya, untuk kemudian dieksplorasi berdasarkan doktrin-doktrin tasawuf. Dengan cara seperti ini, Wilcox membawa psikologi ke dalam rumusan dan ukuran-ukuran baru yang lebih bernuansa spiritual.

Dalam pembahasan tentang sensasi dan memori, penjelasan lebih jauh dari perspektif tasawuf tiba pada peringatan bahwa indra-indra fisik berkenaan dengan sensasi dan memori serta penafsiran materialistik tentang keduanya dapat menjauhkan dan mendistorsi manusia dari realitas absolut. Tasawuf mengajak manusia untuk belajar mengembangkan dan meningkatkan kemampuan penglihatan dan pendengaran melalui mata dan telinga bawaan untuk kembali berhubungan dengan Sumber Kekuatan cahaya. Untuk itu manusia harus mulai melucuti kendali otak yang berlebihan itu, menyeimbangkannya dengan gelombang Lantunan Ilahi dalam diri yang fitri. Demikian pula, manusia juga dilatih agar memori untuk merekam hal-hal tidak hanya dari sudut pandang fisik dan material belaka.

Ketika mengupas soal motivasi pun kita menemukan sebuah perspektif yang menarik tentang hal ini. Psikologi mendefinisikan motivasi sebagai sesuatu yang mengarahkan perilaku manusia, dan melihatnya sebagai bersifat mekanistik atau kognitif. Tapi psikologi tidak mempertanyakan prinsip yang menggerakkan dalam kehidupan ini, dan hanya membahas tentang bagaimana emosi atau motif bekerja. Tasawuf menjelaskan bahwa kekuatan yang menggerakkan itu adalah pancaran ilahiah dari roh Tuhan dan mengajarkan bagaimana cara memperoleh akses ke proporsi yang lebih luas dari spektrum motivasi yang mencakup antara roh Tuhan, dinamika universal, dimensi fisik dan spiritual.

Pelbagai eksplanasi yang dipaparkan dalam buku ini menunjukkan bahwa dengan perjumpaannya dengan tasawuf, psikologi bisa belajar untuk lebih menukik ke sisi personal-eksistensial manusia dengan menggali dimensi kualitatif, baik dari sisi pengetahuan-diri maupun pengetahuan tentang sang Pencipta. Dalam perjumpaan inilah diharapkan baik psikologi maupun tasawuf dapat memberikan kontribusi bagi nestapa kemanusiaan yang terus membayangi kehidupan, mengantarkan umat manusia ke penemuan makna inti keberadaannya yang hakiki.


Tulisan ini dimuat di Koran Tempo, 4 Januari 2004.



Read More..