Selasa, 23 Desember 2003

Injil Muslim: "Percintaan" Islam dan Yesus

Judul buku : The Muslim Jesus: Kisah & Sabda Yesus dalam Literatur Islam
Penulis : Tarif Khalidi
Penerbit : Serambi, Jakarta
Cetakan : Pertama, Juli 2003
Tebal : 246 halaman


Yesus, atau yang dalam tradisi Islam dikenal dengan Nabi Isa, adalah sosok nabi yang keberadaannya juga diakui oleh kaum muslim. Bahkan dalam kitab suci Alquran terdapat satu surah khusus yang menceritakan kehidupan ibunda Yesus, Maria (Maryam), dan sosok Yesus sendiri cukup mendapat tempat yang mulia dalam Alquran sebagaimana Nabi Ibrahim, Musa, Daud, atau Yusuf. Namun begitu, Yesus juga adalah milik umat Kristen, yang memosisikan Yesus dalam kerangka teologis yang sangat signifikan.

Buku ini mengangkat sisi lain Yesus yang ternyata memiliki posisi unik dalam khazanah kaum muslim. Memang, kaum muslim menolak unsur ketuhanan Yesus, sebagaimana ditegaskan begitu rupa dalam Alquran. Tapi buku ini menunjukkan bahwa sosok Yesus juga cukup bermakna penting bagi kaum muslim. Buku ini menghimpun kisah dan ucapan Yesus yang penuh dengan pancaran kearifan moral dan spiritual dengan acuan kitab-kitab Islam klasik yang meliputi sekian banyak tema seperti tentang kesalehan atau peribadatan populer.

Korpus Injil Muslim ini, demikian Tarif Khalidi (penulis buku ini) menyebutnya, sudah cukup awal keberadaannya (sejak abad ke-2 H/ke-8 M) dalam lingkungan diskursif kaum muslim. Kehadirannya, selain didukung oleh sifat dasar Islam yang cukup akomodatif dalam menyerap kultur dan kearifan dari agama atau kebudayaan lain, berkembang dalam kerangka mendukung dan menjelaskan ajaran-ajaran kesalehan dalam Alquran. Secara sosiologis, Injil Muslim ini juga didorong dengan transformasi sosial-politik yang pesat dan mendalam di tubuh kekuatan Islam, sehingga pesan kesalehan Islam membutuhkan bentuk respons yang lebih beragam.

Persebaran kisah-kisah Yesus ini hadir melalui karya-karya mengenai kesalehan dan asketisme dan dalam genre pustaka keagamaan yang disebut Kisah Para Nabi (qishash al-anbiyâ’). Bahkan, dalam tema-tema eskatologi, Yesus muncul dalam antologi Hadis Bukhari dan Muslim. Proses dokumentasinya dari awal mengalami perkembangan sehingga akhirnya mirip dengan pola dokumentasi hadis yang melibatkan standardisasi periwayatan tertentu.

Buku ini mendokumentasikan 303 kisah dan sabda Yesus (dengan pengantar ringkas tentang latar korpus Injil Muslim) yang kebanyakan bertema kisah-kisah asketik dan termuat dalam kitab-kitab klasik karya ulama terkemuka seperti al-Ghazali, Ibn Quthaybah, Ibn Miskawayh, Ibn Arabi, Suhrawardi, atau al-Thabari. Setiap petikan kisah diberi penjelasan dalam kerangka keterkaitannya dengan ajaran Kristen tertentu. Pengungkapannya penuh dengan gaya sastra, kadang bernuansa Qurani, atau kadang dirujukkan pada tokoh yang berbeda. Misalnya kisah yang menceritakan bahwa Yesus bersabda: “Beruntunglah orang yang menjaga lidahnya, yang memiliki rumah sesuai dengan kebutuhannya, dan yang membersihkan dosa-dosanya.” Sabda Yesus ini terdapat dalam Kitâb al-Zuhd wa al-Raqâ’iq karya ‘Abdullah ibn al-Mubarak (w. 181 H/797 M). Tapi Ibn Hanbal dalam Kitâb al-Zuhd menempatkan ‘Abdullah ibn ‘Umar sebagai pengganti Yesus, dan al-Qusyayri dalam al-Risâlah menggantikan Yesus dengan Nabi Muhammad (hlm.57-58).

Di antara kisah-kisah itu terkadang juga bertaburan frasa-frasa yang khas Alquran, seperti ungkapan “tetapi kamu tidak mengetahuinya” (wa lâkin lâ ta‘lamûn) (hlm. 59). Atau juga cukup banyak pesan-pesan yang direproduksi dari Injil Matius, Lukas, Yohanes, dan yang lainnya, yang kemudian ditemukan dalam Ihya’-nya al-Ghazali dan karya-karya besar lainnya (hlm. 118-119, 127, 140). Tetapi tentu saja ada beberapa segi yang ditonjolkan dalam Injil Muslim ini yang berbeda dengan pandangan Kristen, yang terlihat mendukung klaim dan ajaran Islam tentang status Yesus atau kenabian Muhammad, seperti ihwal status Yesus sebagai manusia biasa (hlm. 60, 63, 93). Segi plus-minus ini kadang juga berwujud adanya kisah-kisah yang juga kurang sesuai dengan sensitivitas rata-rata kaum muslim (hlm. 130-131).

Untaian kisah yang terentang dari abad ke-2 H (ke-8 M) hingga abad ke-12 H (ke-18 M) ini menggambarkan keterbukaan Islam terhadap khazanah dan sosok Yesus. Ada semacam peminjaman tokoh spiritual yang digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan sufistik yang dalam kerangka Islam sendiri bermakna tinggi. Kisah-kisah dan sabda yang hidup dalam karya-karya klasik ini menggambarkan adanya ‘percintaan’ Islam dan Yesus, sehingga bahkan Ibn Arabi memberi gelar Khatam al-Awliyâ’ (Penutup Para Wali) untuk Yesus.

Kalangan umat Islam dan Kristen sepertinya memang bisa belajar banyak dari karya antologi memikat semacam ini, untuk mengingatkan bahwa pada suatu masa tradisi Kristen dan Islam bergaul secara lebih terbuka, lebih menyadari dan saling percaya atas kesaksian satu sama lain. Merawat keterbukaan semacam inilah yang dibutuhkan masyarakat plural dalam tatanan dunia saat ini.


Read More..

Senin, 17 November 2003

Mencari Semangat Baru Dunia Bisnis

Judul buku : Sang CEO Bernama Aristoteles:
Sukses Berbisnis dengan Kearifan Filosofis
Penulis : Tom Morris
Penerbit : Mizan, Bandung
Cetakan : Pertama, Juli 2003
Tebal : 362 halaman


Kelesuan aktivitas bisnis bisa saja terjadi tanpa adanya serangan krisis moneter dan ekonomi akibat efek global. Kelesuan bisnis mungkin saja terjadi lantaran redupnya semangat dan kepuasan hakiki para pelakunya, sehingga aktivitas bisnis hanya menjadi kegiatan untuk menumpuk keuntungan material. Kelesuan semacam ini bisa berakibat telak bagi pertumbuhan kehidupan seorang manusia atau bahkan peradaban dunia, karena tak dapat dipungkiri bahwa kegiatan bisnis pun berakar pada keinginan manusia untuk mengecap kebahagiaan hidup.

Buku ini berusaha mengajak para pelaku bisnis untuk kembali ke kedalaman lubuk potensi kemanusiaan dengan mempertanyakan kembali konsep-konsep bisnis yang bersifat mendasar, menyangkut tujuan aktivitas bisnis maupun cara-cara untuk melanggengkan keunggulan bisnis. Maksud dari penjelajahan ke dunia kearifan filosofis kuno ini adalah untuk memasok semangat baru dalam berbisnis sehingga bisnis menjadi aktivitas yang membahagiakan dan tidak hanya menyumbangkan ketertekanan.

Tom Morris, penulis buku ini, tidak sepakat dengan orang-orang yang mengatakan bahwa kelesuan atau masalah dalam dunia bisnis khususnya diakibatkan oleh dunia eksternal. Menurut Morris, faktor terpenting saat seseorang berhadapan dengan masalah adalah kemampuannya untuk melihat ke dalam diri dan meninjau landasan dalam diri mengenai praktik dan hubungan bisnis yang dijalankan. Ada empat dimensi landasan dan jalan kearifan yang tertanam dalam diri manusia yang bila digali, dipelajari, dan dipraktikkan, dapat memberikan semangat baru dalam kegiatan bisnis, terciptanya kepuasaan dalam bekerja, dan diraihnya keberhasilan yang berkelanjutan dan berjangka panjang.

Keempat dimensi itu mencakup dimensi intelektual, estetis, moral, dan spiritual, yang mewujud dalam nilai kebenaran, keindahan, kebaikan, dan keutuhan. Buku ini menjelajahi keempat nilai mendasar ini dengan harapan agar seluruh potensi dan keunggulan manusia itu dapat teraktualisasikan sehingga dapat memberi kekuatan yang tak terbatas dalam menjalankan aktivitas bisnis.

Nilai yang pertama adalah kebenaran. Dalam konteks bisnis, kita dituntut untuk memupuk suatu lingkungan yang di dalamnya orang-orang tidak takut untuk mengutarakan kebenaran. Kebenaran, kejujuran, keterusterangan, harus dihargai sedemikian rupa sehingga terjalin iklim yang sehat untuk terus mengembangkan potensi dan kemajuan perusahaan. Kebenaran yang terlanggar akibat kebohongan, sekecil apa pun itu, hanya akan menimbulkan ketidakpastian berantai dan di situ tinggal menunggu waktu bagi timbulnya masalah yang bisa jadi akan lebih akut.

Ketika aktivitas bisnis menghadapi suatu masalah, pada saat itu tuntutan tersingkapnya kebenaran menjadi keniscayaan, karena hanya dengan itulah masalah itu akan dapat teratasi secara baik. Memang kadang pengungkapan kebenaran bisa menjadi sesuatu yang rumit dan dilematis, apalagi dalam lingkungan bisnis dengan sistem hierarki dan struktur yang kaku. Untuk itulah, pengungkapan kebenaran ini juga harus dapat terjalin sedemikian rupa dengan ketiga nilai lainnya yaitu keindahan, kebaikan, dan keutuhan.

Nilai keindahan amat sangat terkait dengan nilai kebenaran, karena keduanya memang lebih sering tampil bersama-sama. Bila kebenaran absen, keindahan sangat sulit ditemukan. Nilai keindahan ini penting diakomodasi dalam aktivitas bisnis sehari-hari karena dimensi estetis ini adalah bagian integral dari sosok manusia. Lingkungan kerja yang nyaman dan indah dijamin akan memacu kreativitas, produktivitas, dan konsentrasi kerja.

Moralitas yang tercermin dalam nilai kebaikan sering kali kurang dihargai dalam aktivitas bisnis. Moralitas sering digambarkan sebagai pembatasan dan pemaksaan. Morris menunjukkan bahwa moralitas diperlukan terutama dalam kerangka kesinambungan jangka panjang aktivitas bisnis, karena dengan mengindahkan moralitas sama halnya dengan berusaha menciptakan hubungan sosial yang harmonis di antara para pelaku bisnis. Prinsip dasar moralitas, terutama dalam berbisnis, adalah bahwa kita tidak boleh semata-mata mengedepankan kepentingan diri sendiri atau kelompok. Dengan memperluas cakrawala berpikir dalam konteks keuntungan yang lebih luas, jalinan bisnis akan dipoles cantik menjadi aktivitas yang mulia dan bermartabat.

Spiritualitas dalam berbisnis adalah penyelaman terdalam hakikat hidup yang berlandaskan pada nilai keutuhan. Upaya untuk menghidupkan spiritualitas dalam lingkungan usaha ditampakkan dalam perilaku yang manusiawi dengan kedalaman penghayatan makna yang menempatkan para pelaku bisnis dalam cermin kemanusiaan.

Semangat baru dunia bisnis yang hendak dibangun oleh Morris melalui buku ini tidak hanya akan menguntungkan bagi masa depan perusahaan semata. Tak dapat disangkal bahwa keempat dimensi nilai yang disosialisasikan dalam buku ini juga amat dibutuhkan dan sungguh bernilai bagi masa depan kehidupan dan peradaban manusia itu sendiri. Penggalian keempat nilai tersebut pada dasarnya adalah penggalian dan pengembaraan kedalaman diri manusia yang memiliki keunggulan dan potensi mulia. Apabila keempat dimensi nilai itu dipupuk dan dihujamkan dalam aktivitas bisnis, dan juga dalam kegiatan lainnya, maka tidak hanya kesuksesan material yang akan diraih para pelakunya. Kebahagiaan, kepuasaan, serta aktualisasi diri akan ditemukan, sehingga orang-orang bergerak ke arah yang lebih baik.

Buku berjudul asli If Aristotle Ran General Motors: The New Soul Business (1997) ini menunjukkan bahwa pengenalan diri amatlah dibutuhkan untuk dijadikan landasan kegiatan kita sehari-hari. Dengan mengenali diri secara baik dan tepat, langkah-langkah kita dapat terpandu menurut kebutuhan dimensi-dimensi diri (manusia) yang begitu kaya itu. Menghidupkan urgensi pengenalan diri seakan kembali kepada ungkapan terkenal filsuf Yunani Kuno, Sokrates: kenalilah dirimu sendiri (Gnothi se auton). Dengan kedalaman perspektif yang menggambarkan kearifan dan komitmen kemanusiaan dalam prinsip-prinsip yang disajikan dalam buku ini, tidak salah bila dikatakan bahwa jika Aristoteles memimpin General Motors, ia akan menerapkan cara pendekatan seperti yang diuraikan buku ini.


Tulisan ini dimuat di Koran Tempo, 16 November 2003.


Read More..

Jumat, 10 Oktober 2003

Krisis Identitas dan Perang Atas Nama Agama

Judul Buku : Perang Suci
Penulis : Karen Armstrong
Penerbit : Serambi, Jakarta
Cetakan : Pertama, Oktober 2003

Berhadapan dengan tatanan dunia global dan pelbagai gugus pemikiran alternatif saat ini, agama dalam beberapa segi sedang dilanda krisis. Salah satu bentuk krisis yang dihadapi agama-agama dunia, terutama tiga agama besar yang berakar pada tradisi Semit yakni Yahudi, Kristen, dan Islam, adalah mulai mengelupasnya semangat kesejukan dan kedamaian yang terpancar dari ajaran-ajaran dan nilai-nilainya yang fundamental. Bila agama mula-mula bertekad untuk mengembalikan manusia ke dalam kefitriannya, muncul sejumlah fenomena kuat yang menunjukkan bahwa agama justru berbalik menjadi pengaduk nafsu yang menyorongkan semangat anti-kemanusiaan. Contohnya adalah berbagai bentuk tindak kekerasan yang mengatasnamakan agama, baik itu berupa perang suci, praktik inkuisisi, atau yang serupa. Dasar asumsi yang melandasinya adalah pandangan yang menganggap orang atau kelompok lain sebagai sosok jahat, iblis, musuh Tuhan, yang patut dilaknat dan dimusnahkan.

Apakah kumpulan nilai, ajaran, dan latar sejarah ketiga agama monoteis itu memang cukup potensial memunculkan cara-cara pandang semacam ini? Dari perspektif monoteisme, sebenarnya bisa muncul dua kemungkinan yang berseberangan. Di satu sisi monoteisme kadang bisa menjadi dasar klaim monopoli kebenaran. Karena Tuhan hanya satu, maka agama merekalah yang benar. Tapi di sisi lain, dari perspektif filsafat perennial, monoteisme justru dapat menempatkan kebenaran dalam spektrum keterbukaan dan toleransi. Tuhan dan Kebenaran itu hanya satu, tapi terpancar dalam seribu wajah yang sangat kaya.

Penelaahan lebih jauh tentang kemungkinan dan potensi yang dikandung ketiga agama Semit tersebut dalam memicu dan mendesakkan doktrin kekerasan bisa dilakukan dengan penelusuran sejarah. Kilas-balik sejarah ini bukan sekadar pemaparan dan analisis yang biasa, tapi juga berkerangkakan pola-pola dan titik-titik krusial dalam ajaran dan sejarah agama yang kemudian memancarkan energi negatif ini. Inilah yang dilakukan Karen Armstrong dalam buku ini.

Dalam pemaparannya yang begitu jernih, tangkas, luas, mendalam, dan komprehensif, Armstrong bertitik tolak dari peristiwa Perang Salib yang terjadi di akhir abad ke-11 hingga akhir abad ke-13. Pilihan Armstrong ini bukan tanpa alasan, karena ternyata Perang Salib memang telah menyeret ketiga agama Semit itu dalam sebuah jalinan-akut yang begitu rumit, yang pada tingkat tertentu menempatkan kelompok agama lain sebagai penghalang terpenuhinya nubuat penyelamatan versi agama mereka. Ada tontonan antologi kebencian dan dendam yang mendalam dalam kisah-kisah Perang Salib, sehingga bahkan cukup mampu memercikkan bara di atas tumpukan ajaran agama yang mengajarkan cinta kasih, pembebasan dari ketertindasan, dan menjunjung kemanusiaan.

Mundur sedikit ke belakang, Armstrong memaparkan peristiwa-peristiwa kunci yang mendahului Perang Salib orang-orang Kristen Eropa untuk menguasai Yerusalem. Di abad ke-10, Eropa dihuni oleh orang-orang yang berperadaban tertinggal setelah hancurnya Kekaisaran Romawi. Krisis identitas orang Eropa di satu sisi berusaha dicarikan pemecahannya oleh gerakan reformasi yang disponsori komunitas Biara Ordo Benedektin Cluny di Burgundy. Dari gerakan reformasi inilah lahir sejumlah benih yang mempertautkan kerinduan orang-orang Kristen Eropa pada kesucian negeri Yerusalem. Penjelasan Armstrong yang menarik sedikit ke belakang dalam konteks perang suci ini bahkan menghujam lebih ke dalam lagi, ketika di bab pertama Armstrong memberikan kilasan singkat sejarah agama Yahudi, Kristen, dan Islam, dimulai dari kisah Ibrahim. Pada bagian ini Armstrong memberikan penekanan pada sejumlah peristiwa sejarah yang kemudian menjadi landasan pembenaran perang suci, eksplisit atau implisit.

Setelah kisah Perang Salib dituturkan secara cukup detail dari tahun ke tahun pada bagian kedua buku ini, Armstrong melanjutkan dengan menegaskan tesis utamanya tentang adanya keterkaitan yang kuat antara Perang Salib di Abad Pertengahan di Tanah Suci dengan konflik antara orang-orang Arab dan kaum Yahudi di Timur Tengah saat ini. Di sinilah ketajaman analisis Armstrong terlihat begitu jelas. Armstrong mampu merajut berbagai peristiwa sejarah dalam satu wadah persoalan yang cukup padu. Misalnya, tentang kisah Perang Salib, terbentuknya Zionisme, juga keterlibatan (baca: keberpihakan) Amerika terhadap Israel dalam konflik Timur Tengah saat ini. Bahkan, dalam soal yang terakhir ini, Armstrong mampu merujukkannya kembali ke sejarah pembentukan masyarakat Amerika itu sendiri.

Apa yang diinginkan Armstrong dari seluruh uraiannya dalam buku ini adalah bagaimana membentuk “visi berangkai tiga” (triple vision) dari ketiga tradisi agama Semit itu dalam memandang tragedi perang-perang suci. Armstrong dalam hal ini tidak saja mengurai belitan legitimasi religius dalam perang suci, tapi juga legitimasi ilmiah yang dalam sejarahnya sempat muncul beberapa kali, seperti dalam karya-karya orientalis. Dari segi inilah kelebihan karya ini mencuat ke permukaan. Selain itu, di sepanjang pemaparan masalah, Armstrong berusaha kuat untuk tetap terpandu oleh objektivitas dan sikap proporsional, bahkan dengan risiko pengakuan dosa-dosa orang Barat sendiri.

Yang paling menarik, karya Armstrong ini tidak saja akan dapat menjadi sebuah upaya klarifikasi-sejarah yang bersifat objektif atas berbagai tragedi dan luka sejarah yang perlu dipulihkan itu. Uraian-uraiannya tidak saja mengupas tuntas kronologi historis perang-perang suci, tapi juga berhasil memberi semacam pendekatan subjektif: di beberapa bagian, Armstrong berhasil menarik emosi dan empati pembacanya untuk terlibat lebih langsung dan lebih intens dengan pengaruh pedih perang suci yang tertanam dan bahkan diwariskan antar-generasi. Ini bukan saja dapat dilakukan karena cara peneguhan argumentasi Armstrong yang juga banyak menggunakan data berupa karya-karya sastra, tapi juga karena sejak awal Armstrong sadar bahwa masalah perang suci atau kekerasan berlatar agama tidak dapat diselesaikan semata-mata dari pendekatan rasional atau politik. Umat ketiga agama juga harus digugah rasa pertanggungjawabannya, dari sisi eksistensial-kemanusiaan, untuk kembali ke semangat primordial agama-agama sebagai rahmat bagi semesta.

Dengan cukup terpenuhinya perspektif dari dimensi objektif dan subjektif yang terdapat dalam sejarah agama dan kekerasan, maka langkah rekonsiliasi tentu menjadi lebih mudah dan terbuka. Buku ini adalah upaya untuk meredakan bara nafsu yang mengurung cara pandang umat beragama dalam teologi dendam dan kekerasan, menyambung kembali ruh epistemologis ajaran-ajaran agama yang rindu akan kesejukan dan kasih sayang, mengundang kembali nalar dan nurani yang telah dicampakkan di antara reruntuhan perang dan di sekujur tubuh-peradaban.


Bahan pengantar Peluncuran Buku Perang Suci karya Karen Armstrong di British Council Jakarta, 17 Oktober 2003.

Read More..

Selasa, 07 Oktober 2003

Tragedi Cendekiawan Orde Baru

Judul buku : Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru
Penulis : Daniel Dhakidae
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Cetakan : Pertama, 2003
Tebal : xxxviii + 790 halaman


Buku ini merupakan kajian komprehensif atas pergulatan kaum cendekiawan Indonesia berhadapan dengan negara Orde Baru, dengan diletakkan dalam kerangka dialektika kekuasaan, modal, dan kebudayaan. Daniel Dhakidae, penulis buku ini, di awal buku ini menyatakan bahwa memang cukup sulit untuk mengidentifikasi kaum cendekiawan ini, kecuali bahwa mereka diikat oleh mimpi, cita-cita, dan angan-angan tentang suatu jenis kehidupan dan bagaimana menghidupkan sekaligus menghidupi mimpi-mimpinya itu.

Untuk itulah secara cerdas Dhakidae menggunakan pendekatan analisis wacana politik untuk membedah perjalanan panjang kaum cendekiawan Indonesia. Pendekatan ini menitiktekankan pada sistem diskursif (juga termasuk budaya wacana kritis) yang berhubungan dengan kaum cendekiawan itu, dengan meneliti bagaimana kemunculan dan perjalanan sebuah situasi dan pergulatan mereka yang memungkinkannya terjadi dengan meneropong cara kerja dan efek yang ditinggalkannya.

Meski mengambil fokus rentang waktu masa Orde Baru, Dhakidae mencoba mengulas secara cukup tajam bagaimana kaum cendekiawan Indonesia bergulat dengan kaum kolonial, saling merebut wacana untuk mendapatkan kuasa. Pada bagian ini Dhakidae menfokuskan pada kebijakan politik etis yang cukup signifikan mengubah konfigurasi politik pra-kemerdekaan.

Proses pengambil-alihan wacana juga merupakan ciri yang melekat saat Orde Baru dimulai, ketika negara mendesakkan developmentalisme demi hegemonia militaris. Dalam buku ini Dhakidae menyebut Orde Baru sebagai sistem neo-fasisme militer. Ini tidak lain karena militer memegang peran sebegitu penting, bahkan dimulai sejak proses kelahiran Orde Baru di akhir tahun 1960-an, yang dalam operasionalisasinya bekerja bersama Golongan Karya. Keduanya begitu identik. Hegemoni tentara ini juga menyusup dalam sejarah resmi, ketika disahkan bahwa ABRI lahir pada tanggal 5 Oktober 1945 (padahal ini adalah tanggal kelahiran Tentara Keamanan Rakyat). Ada klaim keberperanan ABRI di awal kemerdekaan, tapi ketika konflik tentara yang memuncratkan darah dalam peristiwa tahun 1965 meledak maka organisasi sipil (PKI) yang dipersalahkan.

Kehadiran negara yang menggurita ini perlahan menguasai medan wacana politik sehingga seluruh lapis masyarakat terikat dalam suatu diskursus politik neo-fasis militer seperti ketenangan, harmoni, jalan tengah, upaya menghindari konflik, dan semacamnya. Menghadapi situasi ini sulit sekali—untuk tidak mengatakan tidak mungkin—menemukan kelompok “cendekiawan bebas”, karena mereka berhadapan dengan aparat ideologis dan aparat represif negara yang begitu kuat.

Di bab empat Dhakidae memberi ilustrasi yang cukup bagus, ketika mengurai perjalanan organisasi profesional kaum cendekiawan, Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial (HIPIIS), dan Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI). Seperti juga organisasi yang lain, kedua organisasi ini terkadang kehilangan otonominya untuk bersikap objektif dan kembali kepada landasan moral kerja-kerja intelektual, dan hanya menjadi pengesah kebijakan negara. Keterikatan organisasi profesional ini salah satunya terlihat ketika organisasi ini selalu diketuai oleh orang yang duduk di pemerintahan dan didominasi oleh kalangan birokrat yang bahkan kurang memiliki kualifikasi kecendekiawanan.

Kaum cendekiawan ilmu sosial sering mengalami existential schizzophrenia, kepribadian yang terpecah secara eksistensial. Terjadi kompartementalisasi antara diri seorang ilmuwan yang “ekonom” atau “sosiolog”, “pejabat”, “ilmuwan”, “manusia”, dan “warga negara”. Ruang diri yang enggan saling menyapa ini menggerogoti nilai-nilai moral absolut yang mestinya dimiliki oleh seorang cendekiawan, yang seperti dinyatakan oleh Julien Benda, berkait dengan nilai keadilan, kebenaran, dan akal, yang akan membentuk sikap seimbang, lepas dari kepentingan, dan rasional.

Kuasa negara juga terlihat dalam kontrol terhadap bahasa. Contohnya label PKI yang begitu mudah menyudutkan seseorang ke dalam stigma ekstra-negatif. Ketika Marsinah mengorganisasi gerakan buruh di tahun 1993, dia dituduh PKI. Ini sesuatu yang sulit diterima akal: bagaimana seorang yang baru berusia 20 tahun dan lahir jauh sesudah tragedi pembantaian PKI dituduh demikian? Ini yang disebut dengan disfemisme, ketika label PKI menjelma reifikasi entitas tersendiri yang lebih nyata dari kenyataan itu sendiri.

Di bagian lain, buku ini juga mengkaji dinamika pers serta kelompok-kelompok agama dan intelektual yang menjadi pos kaum cendekiawan berhadapan dengan negara.
Buku bagus ini (semoga) menandai dimulainya kembali tradisi penelitian serius di kalangan intelektual Indonesia. Yang terpenting, buku ini dapat menjadi bahan pelajaran yang berharga bagi bangsa yang sedang berbenah diri ini. Keterlibatan kaum cendekiawan di era reformasi sudah tidak lagi berada dalam bayang-bayang hegemoni negara. Tapi sejauh ini ada beberapa kritik yang menyayangkan keterlenaan mereka di atas euforia, sehingga kurang memberikan pengaruh signifikan dalam arus perubahan. Atau, mungkin saja kaum cendekiawan Indonesia masih tersubordinasi oleh kekuatan-kekuatan politik yang saling berebut wacana untuk menuai kuasa.



Tulisan ini dimuat di Harian Jawa Pos, 5 Oktober 2003.


Read More..

Selasa, 30 September 2003

Idealisme Kaum Muda yang Dinantikan

Judul buku: Area X: Hymne Angkasa Raya
Penulis: Eliza V. Handayani
Pengantar: Taufiq Ismail
Penerbit: DAR! Mizan, Bandung
Cetakan: Pertama, 2003
Tebal: xxiv + 368 halaman


Semarak kepenulisan dunia sastra tanah air yang belakangan semakin meriah kali ini semakin bertambah dengan hadirnya novel karya Eliza V. Handayani yang berjudul Area X: Hymne Angkasa Raya ini. Meski terhitung sebagai pendatang baru di lingkungan kepenulisan sastra Indonesia, nama Eliza patut diperhitungkan karena di samping usianya yang masih cukup belia (21 tahun), tema dan kisah yang diangkat dalam novel ini relatif jarang dirambah para penulis novel di Indonesia, yaitu fiksi sains.

Kita mungkin bisa mengajukan novel Supernova: Episode Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh sebagai novel dengan tema fiksi sains, karena di situ Dewi Lestari, penulisnya, menyajikan begitu banyak teori-teori fisika mutakhir. Bila Supernova mengandalkan kecanggihan teknik dengan cara menyaling-nyilangkan perjalanan kisah Dhimas dan Ruben secara berdampingan dengan kehidupan Diva, Ferre, dan Supernova, serta bumbu romantisme yang cukup kental, maka karya Eliza ini sarat dengan obsesi dan idealisme sosial berkait dengan Indonesia masa depan dalam konteks penguasaan teknologi dan masa depan peradaban dunia pada umumnya.

Obsesi dan idealisme itu terbungkus dalam model futuristik yang dipilih Eliza dalam menjalin kisah yang dirajutnya. Novel yang berasal dari naskah yang memenangkan Lomba Penulisan Nasional Film/Video 1999 ini (ketika itu Eliza masih duduk di kelas dua SMU Taruna Nusantara Magelang) mengambil setting Indonesia tahun 2015, ketika Indonesia (diimajinasikan) sudah cukup maju dalam bidang pencapaian teknologi. Saat itu seluruh dunia dilanda krisis energi minyak bumi yang menjadi ancaman cukup serius, termasuk Indonesia. Pencarian sumber energi alternatif oleh masing-masing negara digambarkan sebagai detik-detik yang begitu mencemaskan, karena di satu sisi dapat memicu meletusnya konflik global, bahkan kemungkinan penjajahan negara-negara lemah oleh negara-negara kuat.

Di tengah suasana itulah, kisah novel ini diolah dan disajikan dengan berporos pada satu pusat penelitian teknologi yang didirikan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 2005, bernama Area X (Area Kesepuluh), yang bergerak di bidang penelitian teknologi militer dengan status Ultra Top Secret. Status inilah yang menjadi magnet pemicu rasa penasaran bagi tokoh-tokoh novel ini. Kisah novel ini dibuka dengan penyusupan menegangkan yang dilakukan oleh Yudho dan Rocki ke Area X, hanya dengan maksud mempelajari sistem pengamanan di sana. Tapi tragis, Rocki tertangkap dan tahu-tahu meninggal tak lama setelah ia dibebaskan dari Area X.

Kemudian, Yudho, yang putus asa akibat kematian sahabat terkaribnya itu, ditemui Elly, seorang gadis muda yang menaruh minat terhadap fenomena UFO dan sangat curiga dengan aktivitas penelitian di Area X. Elly yang mengalami konflik dengan orang tuanya lantaran menaruh minat pada fenomena yang oleh masyarakat umum dinilai tidak ilmiah itu akhirnya bertualang bersama Yudho dan sejumlah kawan mudanya, Arfan, Tammi, Marina, dan Rendy, untuk menyibak misteri Area X.

Di banyak bagian novel ini, kerap ditemukan dialog, perbincangan, atau perdebatan tentang aspek-aspek teknologi dan masa depan peradaban dunia. Semuanya bertolak dari keprihatinan Elly atas krisis energi dunia dan kecurigaannya bahwa Area X berusaha menemukan teknologi Zero-Point dan Anti-Gravitasi guna mengatasi krisis tersebut dan menemukan media transportasi antar-galaksi yang memungkinkan mereka untuk mengeksploitasi sumber daya alam di planet lain. Pengembangan teknologi ini diduga dipelajari dengan media bangkai pesawat UFO yang terjatuh di kawasan Hadeslan, sebuah kota satelit di pinggiran Jakarta.

Akhirnya, ketika Elly dan Yudho berhasil menyusup ke Area X, terkuaklah misteri pusat penelitian itu. Ternyata Area X memang diabdikan sebagai pusat pengembangan teknologi persenjataan yang dimaksudkan untuk menangkal ancaman serangan invasi para alien. Tapi bagi Yudho dan Elly, bila memang itu tujuannya, tidak semestinya umat manusia hanya mengandalkan pada teknologi dan keunggulan yang dipelajari dari para alien itu. Manusia menyimpan energi berharga berupa keberanian untuk mencipta dan mencinta. Tidakkah lebih baik bila umat manusia mengajarkan faedah hidup berdampingan yang penuh kedamaian, sebuah koeksistensi untuk bersama-sama merawat kehidupan.

Di tengah nyaris tidak adanya karya fiksi sains di negeri ini, novel ini menyimpan banyak sisi menarik. Tidak cuma dari sisi kebaruan tema yang diangkat dan kedalaman bacaan yang menjadi bahan rujukannya, tapi juga obsesi dan pesan tersirat yang digumamkannya ke hadapan pembaca menjadi kekuatan tersendiri. Obsesi Eliza terlihat dalam tema besar yang menggambarkan tantangan konkret masa depan teknologi di negeri ini serta dalam penokohan yang banyak diperankan oleh sosok-sosok muda berbakat dengan kuriositas dan rasa tanggung jawab yang besar terhadap masa depan bangsa.

Secara lebih luas, dalam novel ini juga banyak ditemukan renungan-renungan, eksplisit maupun implisit, tentang makna keberadaan manusia yang dibenturkan dengan pencapaiannya di bidang teknologi. Yang menarik, Eliza banyak mengembalikan semua arus perenungan itu ke nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat mendasar dengan memberi penghargaan yang tinggi kepada nilai cinta, semangat hidup, kemanusiaan, dan kebersamaan. Di situlah terlihat keyakinan Eliza bahwa di antara selaksa krisis yang saat ini merintangi perjalanan bangsa ini untuk berbenah diri, termasuk juga tantangan di masa depan berupa krisis energi dan eksploitasi kekayaan alam yang dapat lebih bermanfaat, nilai-nilai mendasar itu dapat menjadi kekuatan luar biasa sehingga patut dikembangkan dan ditanamkan dalam-dalam.

Alur dan cara bertutur novel ini yang mirip dengan cerita detektif membuatnya asyik dibuntuti. Selain itu, deskripsi suasana di novel ini banyak yang tetap konsisten dan tema sains yang diangkat. Misalnya, ketika menggambarkan bagaimana Yudho dan Elly yang mulai jatuh cinta, Eliza menulis: “Mereka bagai dua planet kecil yang terlepas dari orbitnya, berkelana mengarungi angkasa kelam, tersesat dalam galaksi pencarian—kini mereka telah saling menemukan matahari mereka, tata surya mereka.”

Lebih dari itu semua, kehadiran novel karya Eliza, yang kini menempuh studi di Wesleyen University, Amerika, seperti membisikkan harap dan doa, bahwa semoga Indonesia di tahun 2015 masih tetap utuh, dan meraih sejumlah hal yang patut dibanggakan di kancah dunia.

Read More..

Minggu, 14 September 2003

Determinasi Ekologi dalam Sejarah Madura

Judul Buku : Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris: Madura 1850-1940
Penulis : Prof. Dr. Kuntowijoyo
Penerbit : Mata Bangsa, Yogyakarta, bekerja sama dengan Yayasan Adikarya
IKAPI dan The Ford Foundation
Cetakan : Pertama, November 2002
Tebal : xxiv + 679 halaman


Pluralitas etnis dan budaya di Indonesia selama ini menjadi semacam khazanah kekayaan bangsa yang terpendam. Kajian-kajian serius terhadap beragam kultur lokal belum pernah diangkat secara luas menjadi wacana publik. Sementara itu, arus kebebasan yang dipicu oleh Orde Reformasi di satu sisi telah menyuburkan penerbitan karya-karya penelitian etnografis yang telah dihasilkan oleh berbagai kalangan intelektual. Salah satunya adalah buku karya sejarawan terkemuka, Prof. Dr. Kuntowijoyo ini.

Buku yang mulanya adalah disertasi doktoral di Columbia University ini menyajikan gambaran yang cukup mendalam tentang proses perubahan sosial di Madura dalam periode satu abad menjelang kemerdekaan Indonesia. Sudut pandang sejarah yang digunakan Kunto lebih bersifat sosiologis, dengan menekankan pada formasi-formasi sosial dan cara-cara masyarakat melakukan aktivitas produksi.

Tesis utama buku ini adalah bahwa sejarah masyarakat Madura dibentuk sedemikian rupa oleh berbagai kekuatan alam, baik itu ekologi fisik maupun ekologi sosial. Dari proses historis yang diamati Kunto dapat disimpulkan bahwa Madura adalah suatu unit lingkungan sejarah yang cukup unik dan berbeda dengan wilayah geografis yang lain di Indonesia. Di Madura, sisi pengaruh berbagai kebijakan kolonial Belanda kurang menampakkan pengaruhnya: struktur desa dan kelompok strata sosial yang hidup di dalamnya, struktur birokrasi kolonial, dan juga penetrasi dagang kaum kapitalis Eropa.

Di bagian awal Kunto berusaha memberikan gambaran ekologi fisik Madura yang dikenal gersang, bercurah hujan rendah, dan memiliki kepadatan penduduk yang cukup tinggi. Pengaruhnya terlihat pada tatanan kepemukiman masyarakatnya. Berbeda dengan masyarakat luar Madura yang memiliki pusat-pusat pemukiman di tiap desa, pemukiman penduduk di Madura lebih bersifat tersebar dalam kelompok-kelompok perdusunan kecil dengan hubungan keluarga sebagai faktor pengikatnya. Desa bukannya dibentuk oleh suatu kompleks pemukiman penduduk dan dikitari oleh persawahan. Hal ini membuat kontak sosial antar-warga menjadi cukup sulit, sehingga tidak aneh bila orang-orang di Madura relatif sulit membentuk solidaritas desa dan lebih didorong untuk memiliki rasa percaya diri yang bersifat individual. Ini berarti bahwa hubungan sosial lebih berpusat pada individu-individu, dengan keluarga inti (yang mendiami dusun-dusun kecil itu) sebagai unit dasarnya.

Pada titik inilah peranan pemuka agama (kiai) menjadi penting, yakni sebagai perantara budaya masyarakat dengan dunia luar, termasuk juga dengan penguasa.
Naga-naga perubahan sosial di Madura bermula dari berakhirnya kejayaan kerajaan-kerajaan tradisional Madura (Sumenep, Pamekasan, dan Bangkalan), ketika mereka menyerah pada penguasa kolonial Belanda pada paruh kedua abad ke-19. Sistem upeti misalnya yang sebelumnya memang sudah hampir tak berdaya melawan arus kekuatan pedagang Cina menjadi semakin sulit mendapat tempat, seperti juga akhirnya para bangsawan tidak lagi mendapat kursi kekuasaan tradisional, dan akhirnya masuk ke dalam sistem birokrasi kolonial Belanda dan mewujud dalam bentuk kelas sosial priyayi.

Sejalan dengan itu, proses dan pengaruh struktur ekologis mengantarkan Madura dalam suatu situasi kelangkaan ekonomi yang cukup signifikan, ditambah lagi dengan laju pertumbuhan penduduk yang relatif tinggi. Menghadapi hal ini, terjadi migrasi yang cukup besar sebagian masyarakat Madura ke wilayah timur Pulau Jawa. Apalagi saat itu di situ sedang semarak dibangun proyek-proyek perkebunan oleh pemerintah kolonial Belanda.

Solidaritas sosial di Madura sempat berkembang pada awal abad ke-20, mengiringi gerakan nasional dan didukung oleh hasil pengaruh politik etis (pendidikan) kolonial. Organisasi Sarekat Islam misalnya sempat aktif di Madura, bahkan sempat memberikan sedikit aksi massa seperti perlawanan sosial-ekonomi, baik terhadap penguasa kolonial maupun kapitalis Cina. Tapi itu tidak bertahan terlalu lama.

Dari keseluruhan uraian dalam buku ini, pertanyaan kontekstual yang muncul adalah apakah saat ini ekologi fisik dan sosial di Madura sudah mengalami perubahan, sehingga dapat mendorong terjadi perubahan sosial ke arah yang berbeda? Di bagian epilog yang ditulis khusus untuk buku ini Kunto memberikan jawaban bahwa belum ada perubahan signifikan, sehingga “ke-Madura-an” orang Madura tetap begitu lekat.

Buku ini begitu berharga bagi perkembangan perjalanan bangsa ini, dan terutama bagi masyarakat Madura. Ada kecenderungan bahwa bangsa ini mulai kehilangan dasar-dasar pijakan historisnya sehingga seringkali arah perjalanan bangsa, atau kelompok masyarakat tertentu, tercerabut dari akar sejarahnya sendiri. Sudah waktunya bangsa yang besar ini memungut dan menata kembali warisan sejarahnya yang panjang, untuk dimaknakan sebagai etos yang bersifat orientatif dan sebagai pendorong kemajuan bangsa.

Buku ini menyajikan data-data dan analisis sejarah yang cukup kaya, yang ternyata banyak ditemukan di pusat-pusat kajian di Belanda. Sejarawan kita benar-benar ditantang untuk mengumpulkan dan menganalisis arsip-arsip perjalanan bangsa yang berserakan di mana-mana, termasuk juga dalam sejarah lisan yang hidup di tengah masyarakat.


Tulisan ini dimuat di Harian Sinar Harapan, 13 September 2003.


Read More..

Minggu, 07 September 2003

Familiisme Politik Orde Baru



Judul Buku: Pahlawan-Pahlawan Belia: Keluarga Indonesia dalam Politik
Penulis : Saya Sasaki Shiraishi
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia Jakarta bekerjasama dengan Yayasan Adikarya IKAPI dan The Ford Foundation
Cetakan: Pertama, April 2001
Tebal: x + 290 halaman
Harga: Rp 30.000,-


Di antara sekian banyak kosakata yang kerap kali digunakan dalam bidang politik terselip ungkapan-ungkapan yang memiliki hubungan erat dengan dunia keluarga. Dalam otobiografi mantan Presiden Soeharto misalnya terdapat ungkapan yang menyebutkan bahwa menteri-menteri di pemerintahannya disebutnya sebagai anak-anaknya. Dalam sebuah konflik atau pertentangan yang bersifat sosial atau politik dikenal ungkapan ‘penyelesaian dengan cara kekeluargaan’.

Gejala seperti ini bagi orang kebanyakan mungkin dianggap sesuatu yang wajar dan biasa—mungkin disebut-sebut sebagai kekhasan ‘budaya timur’. Akan tetapi, bagi Saya Sasaki Shiraishi, penulis buku ini, hal itu bukan suatu kebetulan yang tak ada artinya. Dalam buku ini Shiraishi menunjukkan secara jernih dan argumentatif bahwa ada suatu hubungan yang erat antara politik dan keluarga di Indonesia, dan itu berpengaruh bagi keberlangsungan pengelolaan dan proses hidup bernegara di negeri ini.
* * *

Buku ini sendiri, yang semula adalah disertasi di Departemen Antropologi Cornell University pada tahun 1997, ditulis dengan tujuan meneliti dan mencari kemungkinan untuk menerobos, dan akhirnya menyingkap, susunan antropologis dan kultural masyarakat Orde Baru Indonesia yang amat tertekan dan tertindas. Mengapa dalam bayang-bayang ketertindasan itu masyarakat tetap bisa dikendalikan untuk tidak melawan secara frontal.

Kesimpulan penting yang diajukan buku ini adalah bahwa ada sebuah ideologi samar yang nyaris tak disadari yang menuntun dan membimbing jalannya sejarah politik di Indonesia—tidak hanya pada masa Orde Baru. Itulah ideologi keluarga atau familiisme. Gambaran sederhana yang dapat diberikan tentang ideologi ini adalah fakta bahwa dalam proses interaksi kehidupan berbangsa di Indonesia ada semacam isomorfisme antara hubungan guru dan murid, presiden dan rakyat atau pembantu pemerintahannya, pimpinan militer dan pasukannya, ketua organisasi dan anggotanya, dengan pola hubungan yang diatur oleh prinsip-prinsip yang sama dan dinyatakan dalam bahasa kekeluargaan yang menunjuk kepada bapak/ibu dan anak. Bahasa kekeluargaan ini ditopang oleh gagasan tentang keluarga, yang menyamakan sekolah sebagai keluarga, ABRI sebagai keluarga, perusahaan sebagai keluarga, dan bangsa sebagai keluarga (hal. 5).

Pertanyaan yang muncul berikutnya adalah konsep keluarga yang mana yang dominan dalam ideologi familiisme ini, sementara di Indonesia ada keragaman khazanah budaya yang juga meliputi sistem keluarga yang tiada terkira.

Jawaban atas pertanyaan ini dapat ditemukan ketika secara cukup tajam dan argumentatif, penulis buku ini secara historis melacak ideologi familiisme di Indonesia yang ternyata berasal-usul dari masa sebelum kemerdekaan. Familiisme dalam politik ini sudah menjadi suatu perdebatan antara tokoh nasionalis Jawa yang juga pendiri Taman Siswa, Soetatmo Soerjokoesoemo, yang didukung kuat oleh Ki Hajar Dewantara, dengan seorang tokoh nasionalis Hindia, Tjipto Mangoenkoesoemo. Model familiisme Soetatmo adalah model Soeharto, Bapak-tahu-segala (Fathers-knows-best) yang reaksioner dan model Tjipto adalah model hubungan bapak-anak yang revolusioner (hal. 131).

Peristiwa Rengasdengklok yang melibatkan Soekarno dan merupakan detik-detik revolusioner menuju momen proklamasi oleh penulis buku ini digambarkan secara jernih sehingga menunjukkan gaya hubungan bapak-anak yang revolusioner. Saat itu Soekarno (sebagai bapak) ditangkap, diculik, dan dibawa oleh anak buahnya sendiri dipaksa untuk mengikuti kemauan mereka untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.

Akan tetapi, model revolusioner hubungan bapak-anak ini tidak bertahan lama karena begitu kuatnya pengaruh kuat familiisme ala Ki Hajar Dewantara yang diinvestasikan melalui media Taman Siswa selama masa pra-kemerdekaan. Model familiisme Ki Hajar inilah yang dominan, hingga secara pasti diperankan oleh Soeharto dalam peristiwa G-30-S tahun 1965. Dalam peristiwa ini, menurut analisis dan penafsiran penulis buku ini, Soeharto bertindak mengamankan kehangatan hidup keluarga (bangsa) yang terenggut oleh semangat revolusioner yang berlebihan ini dan menempatkan hubungan bapak-anak dalam pola yang harmonis: ayah yang bijak, ibu yang penuh perhatian, anak yang tahu-diri, tugas dan tanggung jawab. Inilah gerakan dan pola pikir yang bersifat kontra-revolusioner dalam pola hubungan bapak-anak.
* * *

Memulai rezim Orde Baru yang dibangunnya, Soeharto kemudian menempatkan dirinya sebagai Bapak Tertinggi (Supreme Father) bagi bawahannya dan rakyat Indonesia. Prinsip harmoni dalam keluarga merupakan kunci pengaturan negara yang memungkinkan rakyat (anak) tak berani menentang pemerintah (bapak)—anak yang tahu diri.

Pengaruh pemikiran-pemikiran Ki Hajar yang dalam buku ini disebut sebagai gabungan dari kreasi pemikiran Jawa-Belanda seringkali terlihat dari pernyataan Soeharto, seperti seringnya penggunaan semboyan tut wuri handayani. Arti petikan tersebut yang tidak lain adalah “membimbing dari belakang” pada dasarnya bermakna pemberian kesempatan bagi seorang anak untuk membina diri sendiri secara wajar dengan bimbingan orang tua (bapak) di belakang yang siap memberi petunjuk bila ada kesalahan. semboyan yang seringkali dikutip dalam panggung politik di Indonesia.

Akan tetapi, sayangnya, ketika dialihkan ke dalam khazanah politik nasional, semboyan itu ternyata tidak lagi dipahami sebagai upaya bimbingan dari belakang, malah mengisyaratkan adanya mata yang siap menghukum dan mengawasi dari belakang, yang siap menerkam kebebasan si anak itu sendiri.

Sementara itu, bapak-bapak Orde Baru yang merupakan bapak dari generasi kontra-revolusioner mewarisi corak dualisme bahasa kolonial antara komitmen terhadap hukum peraturan organisasi di satu pihak dan toleransi dan kesewenang-wenangan atas nama ikatan keluarga di pihak lain. Aturan dan peraturan hukum disiasati, sehingga lahirlah ungkapan terkenal: semua bisa diatur.

Ideologi familiisme ini selama Orde Baru dibangun melalui sarana sekolah, birokrasi, perusahaan, kantor, dan semacamnya. Pelajaran Bahasa Indonesia yang menurut penulis buku ini sama sekali belum memiliki acuan sosiologis yang jelas juga disusupi familiisme dalam proses pengajarannya terhadap anak-anak sekolah.
* * *

Dengan meminjam terminologi dan pola kerangka pikir yang digunakan penulis buku ini, saat ini kita semua sedang menyaksikan pola hubungan bapak-anak yang cukup rumit dan membingungkan. Para bapak sedang ribut berebut kursi kekuasaan dan membiarkan anak-anaknya terlantar. Sementara itu, beberapa anak malah mengancam memisahkan diri, dan yang lain sibuk bertengkar memperebutkan sepiring nasi.

Haruskah keluarga bangsa ini hancur lebur atas nama reformasi dan demokratisasi? Buku ini memang telah cukup bagus dan dengan cerdas memaparkan kekurangan-kekurangan pola hubungan bernegara yang telah menerpurukkan bangsa ini dalam krisis berkepanjangan. Karena itulah, dari buku ini, kita bersama hendaknya dituntut mendefinisikan ulang pola hubungan hidup bernegara ini dalam kerangka sistem negara yang lebih ajek. Kritik yang diajukan buku ini sehubungan dengan menguatnya pola ideologi familiisme adalah ketika kekeliruan dalam dunia politik dilihat semata sebagai soal individu—seperti dalam keluarga. Bertolak dari ini, saat ini kita semua mesti berpikir tentang landasan sistemik yang bersifat struktural untuk menghadang segala kemungkinan buruk dari sistem kultur yang sedemikian ini.

Dari paparan di atas, buku ini menampakkan nilai signifikansinya dalam kehidupan bangsa ini. Dengan menggunakan data-data lapangan berupa peristiwa-peristiwa keseharian di tingkat keluarga yang sederhana (menjemput di terminal, arisan, pernikahan, kelahiran, dan sebagainya) hingga buku-buku dan majalah, buku ini berhasil mengungkap satu sisi budaya politik yang tanpa sadar menyeret bangsa Indonesia ke titik krisis yang belum juga teratasi. Buku ini memberikan peringatan dan pelajaran sejarah bangsa demi membangun masa depan bangsa dan kebudayaannya yang lebih baik.


Tulisan ini dimuat di Harian Sinar Harapan, 6 September 2003.


Read More..

Senin, 25 Agustus 2003

Belajar kepada Buku How To


Dalam beberapa tahun belakangan ini, pasar buku di Indonesia disemarakkan oleh buku-buku bergenre buku how to, buku kiat-kiat atau panduan praktis mengenai banyak hal, mulai tentang kiat belajar, pengembangan kepribadian, pendidikan keluarga, kreativitas, hingga kiat sukses. Kita bisa menyebut Penerbit Kaifa, yang masih satu grup dengan Penerbit Mizan, sebagai penerbit yang cukup gencar memproduksi buku-buku semacam ini. Tanggapan publik pembaca di negeri ini pun cukup luar biasa: buku-buku how to laris manis ibarat kacang goreng. Buku Quantum Learning misalnya yang merupakan buku pertama Penerbit Kaifa per Juni 2003 sudah naik cetak tujuh belas kali dan terjual 112 ribu eksemplar.

Memang buku-buku how to yang bercorak praktis ini juga sempat memicu perbincangan di kalangan pemerhati buku di Indonesia. Buku-buku semacam itu dipandang kurang memiliki idealisme yang kental sehingga terkadang bila ada seorang mahasiswa yang sedang membaca buku how to, dia akan diledek: mahasiswa kok suka baca buku-buku macam itu? Buku how to dianggap kurang memiliki bobot landasan pemikiran yang kuat dan menarik, dan hanya sekadar berorientasi pasar sehingga diduga hanya akan mengarahkan industri buku ke dalam cara-cara berpikir instrumentalis dan kapitalis.

Tentu saja anggapan semacam ini terlontar terlalu dini karena bila diamati cukup banyak buku-buku how to itu yang memiliki bobot kualitas luar biasa. Mengutip Hernowo ketika mengantar buku Quantum Learning, buku-buku terbitan Kaifa (baca: buku how to) dimaksudkan untuk “membantu masyarakat Indonesia dalam mengembangkan potensi-diri dalam menghadapi tantangan-tantangan zaman yang semakin canggih dan kompleks.” Ungkapan ini memang tidak berlebihan. Buku-buku how to memberikan suatu perspektif panduan yang diolah begitu dekat dengan kehidupan sehari-hari pembaca. Di sini bisa dikemukakan contoh buku It’s My Life misalnya, yang diterbitkan oleh Kaifa for Teens (lini Kaifa). Buku ini sungguh memukau dan luar biasa karena di satu sisi berformat semacam agenda harian remaja, dan di sisi lain berupaya untuk membangun kemandirian bersikap dan rasa percaya diri kaum remaja menghadapi tantangan globalisasi.

Bila buku-buku how to dianggap kering pemikiran teoritis, ini juga pandangan yang terburu-buru. Kesan praktis terhadap buku how to memang tidak bisa terhindari. Tapi tentu saja buku-buku tersebut juga menyimpan asumsi-asumsi idealis yang bersifat implisit dan hanya dapat dibaca melalui cara penyajian dan orientasi buku itu sendiri. Artinya, sisi idealisme buku how to tidak terletak di dalam wujud buku itu sendiri, tetapi lebih pada terminal akhir yang akan dihantarkan oleh buku itu. Bahkan, ada sebuah buku karya Soraya Susan Behbehani berjudul Ada Nabi Dalam Diri: Melesatkan Kecerdasan Batin Lewat Zikir dan Meditasi (Penerbit Serambi, Juni 2003) yang berusaha menggabungkan dimensi teoritis dan praktis ini (ditambah lagi dengan sisi historis): semacam buku how to tapi dengan suatu introduksi teoritis yang cukup memadai.

Kelebihan buku-buku how to memang mudah sekali terbaca. Ia memiliki pangsa pasar yang lebih terbuka, tidak hanya kalangan pelajar-mahasiswa yang akrab dengan buku-buku yang bernuansa cukup teoritis-akademis. Dari perspektif ini juga berarti buku-buku how to ini akan memberikan kontribusi yang tidak kecil, terutama dalam kerangka pengembangan potensi-diri seperti yang disebut oleh Hernowo di atas. Sudut pandang pengaruh ini bisa saja diperbandingkan dengan sejauh mana efektivitas buku-buku serius yang memiliki bobot teoritis atau berisi semacam proposal pemikiran baru baik dalam bidang politik, ekonomi, agama, dan budaya, dalam hubungannya dengan buku how to yang secara langsung dapat menemui sasarannya, yakni pembaca individual. Bisa saja seorang pembaca akan menjadi lebih terbuka pandangan keberagamaannya setelah membaca buku Ada Nabi Dalam Diri yang memiliki sisi cukup praktis itu ketimbang membaca buku berat semacam Agama Masa Depan: Perspektif Filsafat Perennial (Paramadina, diterbitkan ulang Gramedia). Atau bisa saja pengaruh buku Quantum Learning cukup berimbang atau malah lebih besar dibandingkan dengan buku-buku filsafat pendidikan pembebasan Paulo Freire.

Yang paling menarik dari buku-buku how to adalah cara pengemasan gagasannya yang begitu kreatif dan kaya dengan visualisasi memikat. Cara pengemasan semacam ini di samping membuat pembaca tidak cepat bosan dan lelah juga sangat membantu dalam menyerap dan mengikat gagasan yang hendak disampaikan. Bahkan, pengemasan yang tidak hanya menumpukan pada dimensi tekstual sebuah buku ini juga dapat membantu mempercepat penangkapan struktur gagasan keseluruhan buku dan memperdalam pemahaman, melalui diagram, sketsa, ilustrasi, atau kutipan kata-kata mutiara. Dilihat dari sisi ini, patut kiranya dipertimbangkan bagaimana jika buku-buku pelajaran di sekolah juga mencoba model pengemasan yang memaksimalkan dimensi visual ini. Sebagai contoh, buku pelajaran sejarah misalnya bisa juga didandani dengan kutipan ujaran-ujaran sang tokoh, gambar film atau petikan puisi yang berkaitan dengan peristiwa sejarah tertentu, atau ilustrasi visual yang dapat memetakan suatu rangkaian peristiwa. Tentu ini juga mengharuskan perombakan konsep tata letak (lay-out) buku pelajaran yang selama ini relatif konvensional.

Uraian-uraian tersebut di atas sama sekali tidak dimaksudkan untuk memberikan pembelaan atas buku-buku how to yang kadang dipandang sebelah mata. Tulisan ini hanya sekadar mencoba untuk menggali lebih objektif hal-hal yang bisa dipetik dari buku-buku how to. Daripada mengecam buku how to sebagai tidak idealis, lebih baik kita lebih memfokuskan pada upaya-upaya penggarapan usaha penerbitan yang dikelola dengan penuh tanggung jawab dengan mengawal mutu buku (apa saja) secermat dan sebaik mungkin. Sebab inilah sebenarnya makna terdalam dari idealisme sebuah penerbitan.


Tulisan ini dimuat di Harian Jawa Pos, 24 Agustus 2003.


Read More..

Sabtu, 24 Mei 2003

Agenda Kekuasaan dan Agenda Peradaban

Dahulu, ketika negeri ini masih berada dalam cengkeraman rezim totaliter Orde Baru, banyak orang yang mengimpikan datangnya babak pembebasan: sebuah ajang ekspresi bebas tuduhan subversi yang memberi ruang luas bagi ekseprimentasi gagasan dan harapan suci. Sang Mesiah pun datang dengan nama Reformasi. Nabi tanpa kitab suci ini pun dikutip di mana-mana, yang seperti menjanjikan pembebasan semua warga negara untuk merayakan otonominya.

Gelora gairah tibanya reformasi dirasakan melecut semua hal, dari konstelasi politik nasional hingga lokal. Di tingkat lokal, lalu-lintas peristiwa terjalin amat kental karena secara langsung melibatkan persepsi dan partisipasi masyarakat bawah terhadap manuver elit-elit masyarakatnya. Angin perubahan yang dihembuskan arus reformasi pada beberapa kasus lokal terlihat begitu kuat, terutama menyangkut perubahan konfigurasi-konfigurasi politik yang direpresentasikan oleh kekuatan partai politik. Sebuah partai yang dahulu menjadi kekuatan mayoritas bisa jadi terpuruk habis kekuatannya karena sudah tidak mempunyai kesempatan untuk membodohi rakyat, atau dukungannya beralih ke partai lain yang baru didirikan.

Partai politik pun menjadi sebuah kekuatan politik baru yang cukup mendapat peluang terbuka untuk menggalang kekuatannya tanpa harus cemas pada ancaman politik dan intimidasi pihak penguasa yang dulu bekerja sama dengan kekuatan militer. Fenomena di daerah memperlihatkan bahwa berbagai kekuatan elit masyarakat yang pada masa Orde Baru bersikap netral (mungkin apatis, sinis, atau pesimis) terhadap kekuatan partai politik mulai keluar ke forum publik dan mencari tempat yang cocok di berbagai kekuatan politik yang ada. Paska-pemilu pun konstelasi semakin berubah: pos-pos kekuasaan yang cukup signifikan dipegang kelompok yang dulu terpinggirkan. Di sinilah pluralisme kekuatan politik betul-betul terlihat.

Pertanyaan sederhana yang cukup menggelitik bisa diajukan dalam konteks kiprah baru para elit masyarakat ini di kancah partai politik dan kekuasaan: apa yang sudah dan dapat diperankan mereka untuk memanfaatkan peluang reformasi guna memperbaiki kehidupan masyarakat? Tentu yang paling berhak menjawab hal ini adalah para elit sendiri sehingga pertanyaan ini mesti dilihat dari sisi reflektif-introspektif, bukan dari sudut pandang interogatif.

Tumpahnya berbagai kekuatan elit masyarakat ke kancah partai politik adalah bagian dari euforia reformasi, ketika sentralisme kekuasaan pecah berkeping-keping. Kepingan-kepingan itu tentu saja dipandang cukup layak diperebutkan sehingga dalam level tertentu terlihat betapa perebutan bola kekuasaan sedemikian keras. Ini yang terkadang membuat kita khawatir: akankah iklim kebebasan berekspresi hanya akan memperkokoh primordialisme dan komunalisme?

Kembali ke soal partai politik, mungkin kita perlu mundur sedikit ke belakang menyegarkan ingatan dan pengertian kita tentang apa sebenarnya partai politik, keterbatasan dan jangkauan perannya. Dalam buku klasik para mahasiswa ilmu politik yang ditulis oleh Prof. Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, dinyatakan bahwa partai politik bertujuan ‘untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik untuk melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan mereka’ (1996: 161). Jelas bahwa partai memang lebih mengagendakan penguasaan pos-pos kekuasaan, tentu dengan niat untuk mewujudkan orientasi nilai bersama (visi dan misi) yang dimiliki kelompok tersebut.

Persoalan yang bisa diajukan adalah bagaimana bila nyatanya pengelola partai politik itu sendiri, terutama di daerah, masih relatif miskin visi dan orientasi sehingga yang terjadi hanya semacam seremonialisme dan birokratisme. Dugaan ini terutama muncul dalam konteks partisipasi dan sosialisasi politik. Bagaimanapun, selain agenda kekuasaan yang terepresentasi dalam momen pemilu, partai politik juga (mestinya) mengemban fungsi komunikasi dan sosialisasi politik. Artinya, partai politik juga harus dapat membantu masyarakat untuk ‘memperoleh sikap dan orientasi terhadap fenomena politik’ (Miriam Budiardjo, 1996: 163). Dalam ungkapan sederhana, partai politik harus bisa memberi pengertian yang proporsional bagi masyarakat terhadap persoalan-persoalan mendasar yang dihadapi mereka sehari-hari di daerah (ekonomi, sosial, dan politik). Kemampuan pembacaan inilah yang saat ini dibutuhkan, sehingga akhirnya masyarakat dapat memiliki sikap kritis dan menjadi modal awal untuk advokasi diri mereka sendiri.

Kenyataannya, partai politik lebih suka membiarkan rakyat buta warna: mereka lebih suka tetap dijadikan bebek, sehingga suara mereka nanti tetap dapat dijaring dalam pemilu.

Jalan pembebasan dan arah perbaikan yang lebih maju yang dtempuh via partai politik memang tidak bisa diabaikan signifikansinya. Tapi di tengah mandulnya fungsi-fungsi partai politik ini, mestinya para elit masyarakat dapat menimbang dan lebih menegaskan kembali pilihan keterlibatannya untuk memperjuangkan masyarakat ini, sehingga langkah-langkah yang diambilnya tidak sia-sia. Apalagi bila sebenarnya beberapa elit tersebut sudah memiliki peran yang cukup definitif di komunitasnya.

Catatan terakhir yang hendak dirangkum uraian singkat ini adalah bahwa di atas segalanya, agenda reformasi dan agenda politik terpenting pada dasarnya selalu bertumpu pada agenda peradaban. Politik adalah salah satu segi kehidupan kemanusiaan, seperti juga ekonomi atau agama. Cukup tepatlah kiranya kemudian untuk mengatakan bahwa dengan demikian politik juga harus diletakkan dalam kerangka agenda peradaban, penciptaan masyarakat yang lebih beradab yang mampu bersifat tanggap, jernih, dan proporsional. Partai politik adalah salah satu media ke sana, dengan segala keterbatasan dan kelebihannya.

Dengan melihat politik sebagai sebuah kerja peradaban, maka konsen politik pada dasarnya bukan hanya pada soal “kekuasaan”. Politik bukan hanya kerja sesaat untuk menggenggam tampuk otoritas kekuasaan, tapi politik adalah kerja antar-generasi untuk menjunjung martabat kemanusiaan dengan sinaran permata-suci keberadaban. Karena itulah, kepedulian terhadap soal pencemaran lingkungan, peningkatan taraf pendidikan (kemampuan baca-tulis, minat belajar), konservasi warisan budaya, juga dibutuhkan.

Setelah reformasi lima tahun berlalu, sebagian besar masyarakat kembali terjebak dalam lalu-lintas keseharian yang tak kalah pelik, dan terkadang melupakan bahwa apa yang hendak direformasi itu bukan hanya mengacu kepada orang-orang, melainkan sejumlah sikap dan perilaku, sejumlah cara pandang, ketika masyarakat diperlakukan hanya sebagai objek tak berkesadaran dan ditelantarkan begitu saja.

Tulisan ini dimuat di Harian Pontianak Post, 23 Mei 2003.

Read More..

Minggu, 11 Mei 2003

Remaja, Kenali Diri Hadapi Globalisasi

Judul buku : It’s My Life!: Diary Plus Buat Remaja
Penulis : Tian Dayton
Penerbit : Kaifa, Bandung
Cetakan : Kedua, Februari 2003 (Cet. I November 2002)
Tebal : 278 halaman


Kaum remaja saat ini menghadapi tantangan masa depan yang cukup berat. Ketika persaingan hidup semakin ketat dan tuntutan kreativitas juga semakin mengemuka, kaum remaja masih harus berhadapan dengan godaan arus global yang memanfaatkan kerapuhan psikologi mereka. Rayuan globalisasi ini biasanya bekerja dengan pencitraan-pencitraan identitas diri menurut kepentingan kapital yang hanya dapat melahirkan generasi-generasi penurut, tidak kritis, apatis, dan miskin visi masa depan. Sulitnya lagi, dari segi usia, masa remaja merupakan medan pencarian identitas diri, ketika sang remaja juga diliputi tuntutan tanggung jawab, egoisme, dan keinginan ekspresi kebebasan yang meluap.

Globalisasi jelas-jelas memfasilitasi—atau mungkin, lebih tepatnya, memanfaatkan—dimensi-dimensi semacam ini untuk menancapkan pengaruhnya. Sarana yang paling ampuh tentu adalah media komunikasi dengan efek pencitraan yang dimilikinya. Dalam situasi seperti ini, seorang remaja menjadi cukup tidak mudah untuk merumuskan kediriannya secara lebih independen dan berdasar pada pembacaan diri yang jernih. Apalagi globalisasi juga diiringi dengan tarikan yang cukup kuat ke arah gaya hidup tertentu yang juga mengglobal. Krisis identitas inilah yang pada akhirnya dapat menjadi benih bagi krisis kemanusiaan di abad ini.

Dalam konteks tersebut di atas, buku ini sungguh patut diacungi jempol karena menyediakan sebuah ruang penjelajahan diri yang cerdas dan menyenangkan untuk kaum remaja. Buku ini format dasarnya berbentuk catatan harian, tapi sudah disusun sedemikian rupa oleh penulisnya sehingga di satu sisi dapat mengungkapkan dan mengeksplisitkan identitas diri melalui tulisan, dan di sisi yang lain dapat memanfaatkan langkah pengenalan diri tersebut untuk memberikan motivasi, visi, dan kekuatan jiwa menghadapi tantangan masa depan.

Ada lima wilayah yang dibidik buku ini dalam proses penjelajahan pengenalan diri kaum remaja: diri sendiri, keluarga dan teman, pengelolaan perasaan, kemandirian menjalani hidup, dan visi masa depan. Setiap bagian, atau bahkan sub-bagian tertentu, diawali dengan semacam orientasi singkat terhadap makna masing-masing bagian tersebut dari perspektif psikologi remaja. Kemudian ada semacam panduan pertanyaan atau daftar isian untuk menjelajahi kisi-kisi diri. Di bagian pertama tentang diri sendiri misalnya ada sejumlah pertanyaan tentang citra diri: bagaimana diri sang remaja dicitrakan, baik secara positif maupun negatif, oleh anggota keluarga, teman, dan guru. Lalu ada sejumlah pertanyaan lanjutan berkenaan dengan citra diri tersebut.

Soal citra diri ini kemudian juga dipertajam pada bagian citra tubuh. Untuk soal ini sang remaja diberi pengantar pembuka dengan sedikit eksplorasi dan contoh catatan seorang remaja dalam mencitrakan tubuhnya. Sudah lazim diketahui bahwa di zaman sekarang ini citra tubuh seorang remaja khususnya begitu gencar diserbu oleh definisi-definisi global dengan berbagai kepentingannya: bahwa misalnya seorang gadis remaja yang cantik adalah yang langsing, berkulit putih, berambut lurus, dan sebagainya. Pada bagian ini ada satu kisah pendek Santi tentang bagaimana dia mempersepsikan tubuhnya yang kegemukan. Dengan pengantar dan cerita ini, sang remaja dapat berekspresi dengan motivasi kepercayaan diri yang cukup baik ketika tiba untuk menuliskan isian tentang citra dirinya.

Salah satu bagian yang cukup labil dalam kehidupan remaja adalah hubungannya dengan keluarga dan teman. Menginjak usia remaja, seseorang akan lebih terikat dengan teman-teman sepermainannya sehingga kadang mengabaikan keutuhan relasi keluarga. Dalam buku ini disediakan ruang eksplorasi yang cukup untuk mengukuhkan ikatan cinta, kasih sayang, dan harapan masa depan keluarga. Ada contoh penggambaran bagaimana posisi dan kedekatan sang remaja dengan masing-masing anggota keluarga (juga dengan teman) dan harapan ideal yang diinginkan.

Selain masalah keluarga dan teman, aspek emosi adalah sisi yang juga cukup rentan. Remaja sering digambarkan terlalu mengedepankan perasaan dan kurang mampu berpikiran jernih. Pada bagian inilah sang remaja dibantu untuk satu-persatu memuntahkan dan mengidentifikasi luapan emosi yang pernah dialaminya. Tantangan kemandirian dan visi masa depan juga mendapat tempat. Menghadapi masa depan, sang remaja dikuatkan, didorong, dan diyakinkan untuk dapat menyingkirkan rasa minder dan memanfaatkan anugerah dan potensinya secara baik.

Buku ini dapat menjadi sahabat yang tepat untuk remaja, terutama karena biasanya seorang remaja mula-mula selalu berjumpa dengan rasa bingung bagaimana harus memulai melangkah. Buku ini memberikan jawaban cerdas dan kreatif, dan seperti hendak menegaskan kembali sebuah pernyataan terkenal dari periode Yunani kuno: kenalilah dirimu sendiri (Gnothi se auton), yang menjadi dasar filsafat Sokrates. Menurut Sokrates, pengenalan diri bermanfaat untuk menghasilkan pengetahuan dan perilaku yang lebih baik, tepat, dan bijak. Dengan melakukan petualangan cerdas ke relung-relung diri hingga ke palung terdalam, sang remaja dipersilakan untuk menyingkap tirai diri yang kadang enggan diakui karena terasa kurang mengenakkan. Justru dengan menumpahkan melalui catatan harian yang terpandu di buku ini sang remaja sebenarnya dapat berekspresi dan menyehatkan batin dan kepercayaannya.

Kritik terhadap buku ini adalah bahwa buku ini kurang menyediakan ruang untuk menggali dimensi sosial dan religius remaja. Bisa jadi karena sang penulis berasumsi bahwa dimensi personal-eksistensial lebih penting dan menonjol pada sosok remaja. Memang ada satu halaman tempat sang remaja diminta menulis “surat untuk Tuhan”. Tapi sekiranya dimensi religius ini, seperti juga dimensi sosial, digali lebih mendalam, maka sisi sang remaja tersebut akan lebih terungkap dari perspektif yang lebih utuh dan manusiawi.

Tapi tentu saja buku ini tetap amat layak diapresiasi. Selain cara penyajiannya yang sangat pas untuk remaja, baik dari segi tuturan bahasa maupun tata letak, buku ini juga dapat menjadi media bagi remaja untuk belajar berekspresi melalui tulisan, sebuah kemampuan yang cukup mendasar dalam proses belajar.


Read More..

Sabtu, 26 April 2003

Seusai Perang

Gemuruh perang Irak pelan-pelan mereda. Tapi orang-orang di sana tentu masih belum bisa mengusir sedih dan gelisah mereka: hilangnya sahabat dan kerabat tercinta, lantaknya bangunan tinggal dan tempat bersejarah, belum lagi masa depan yang masih dipenuhi jelaga. Kita yang berada di belahan dunia lain mestinya mampu berempati dengan kemanusiaan mereka yang tercederai semena-mena. Tapi sungguh, tragedi perang semacam di Irak itu bukan hanya sepenggal berita tentang direnggutnya nyawa atau harta. Bukan pula sekadar ajang permainan politik antar-negara-negara adidaya yang berebut kuasa. Sungguh, ini adalah kabar buruk tentang masa depan peradaban dunia. Di awal milenium baru ini, justru peradaban kita mengalami involusi ke titik yang cukup jauh.

Dalam film arahan Oliver Stone yang dirilis tahun 1986 berjudul Platoon, yang merefleksikan pengalaman Stone ketika terjun di perang Vietnam, Chris (diperankan oleh Charlie Sheen) berkata tentang suasana perang di Vietnam: “Konon seseorang menulis: Neraka adalah kemustahilan nalar. Aku merasakan tempat ini demikian. Ya, neraka.” Ungkapan ini dengan tepat mengungkapkan involusi peradaban yang baru saja berulang ini.

Makna involusi yang dimaksudkan di sini akan terlihat begitu benderang bila kita mencermati bagaimana Immanuel Kant, seorang filsuf Jerman abad ke-18, mendefinisikan Pencerahan (Aufklärung). Pencerahan baginya adalah “jalan keluar” yang membebaskan manusia dari ketidakdewasaannya. Jalan menuju kedewasaan di sini diungkapkan Kant dengan keberanian menggunakan rasio sendiri, terangkum dalam semboyan: Sapere Aude! (Beranilah berpikir sendiri!).

Dari sini kita dapat memperoleh sebuah gambaran kontras, bagaimana perang yang dalam ungkapan Chris merenggut nalar kemanusiaan dan mencipta neraka di dunia itu pada dasarnya sungguh menggerogoti pencapaian keberhasilan manusia untuk senantiasa hidup dituntun oleh akal sehatnya. Periode Pencerahan di Barat adalah penegasan semangat Renaisans sekaligus anti-tesis pola pikir Abad Pertengahan. Etos Pencerahan di satu sisi telah mendorong banyak perkembangan pemikiran dan kemajuan peradaban, termasuk segenap hal yang diraih abad informasi sekarang ini. Tapi dari Chris, kita tersentak, bahwa ternyata kita masih bisa terjerembab ke jurang ketidakdewasaan itu.

Dalam kasus perang Irak, ketidakdewasaan itu bisa mewujud dalam cara berpikir berstandar ganda dalam memperlakukan sebuah negara. Bandingkanlah, misalnya, bagaimana Amerika memperlakukan Irak dan Israel. Ketidakdewasaan juga tercermin dalam egoisme dan kesombongan hegemonik yang dimiliki Amerika atas negara-negara yang lain.

Perang tidak saja mengoyak akal sehat, tapi juga nurani dan peradaban yang subjek utamanya adalah manusia. Perang adalah peninggalan peradaban biadab yang hanya mengedepankan kekuatan fisik. Sementara kualitas-kualitas kemanusiaan sejati diabaikan. Ironi sebuah perang memang benar-benar hanya menciptakan neraka! Dalam buku bagus berjudul Holy War, yang bercerita tentang perang suci agama, dengan lincah Karen Armstrong menyajikan gambaran ambigu dan paradoksal dari sebuah perang: betapa pada Perang Salib Keempat, tentara-tentara Kristen Eropa akhirnya malah memerangi saudara-saudara seiman mereka, yakni kaum Kristen Ortodoks Yunani, bukannya kaum muslim di Tanah Suci Yerusalem. Bukan hanya nalar yang dicampakkan, tapi bahkan iman keagamaan juga diinjak oleh adonan “kemustahilan nalar” yang menggumpal.

Kita yang hidup di tanah nusantara ini mungkin memang (semoga) tidak akan mengalami perang sedahsyat di Irak. Tapi ketidakdewasaan, sungguh masih menjadi momok yang kerap menguntit di belakang kita. Caranya bekerja memang selalu lihai, bergerak diam-diam menumpang di atas label-label pembenaran tertentu, atau bersembunyi di balik retorika dan pemutarbalikan fakta dan kata-kata, sehingga kerap sulit teridentifikasi.

Tidak perlu kita jauh-jauh membayangkan bahwa hal semacam ini terjadi pada level sosial dan bersifat massif, yang tentu saja akibatnya akan juga meluas. Seorang kepala keluarga bisa saja bertindak tidak dewasa dengan mengabaikan kemandirian berpikir anggota keluarganya dan hanya memaksa untuk menerima gagasannya, tapi tidak mengindahkan pengertian dan pengalaman kompleks anggota keluarganya atau justru bersikap apriori. Bila ini masih terjadi, elemen mendasar dalam masyarakat kita tentu akan sulit dididik berlaku dewasa.

Seusai perang, kita harus kembali mengingatkan semuanya untuk menabuh genderang perang melawan cara-cara tidak dewasa yang hanya akan menyurutkan keberadaban kita. Bahkan bila kita harus menghadapi lawan yang mungkin saja adalah diri kita sendiri. Dengan begitu, kita bisa terus menjaga harkat kemanusiaan kita.

April 2003

Read More..

Jumat, 25 April 2003

Pendidikan Nilai dan Khazanah Lokal

Beberapa tahun yang lalu, dunia pendidikan kita diramaikan oleh diskusi soal format baru pendidikan moral di sekolah. Bila sebelumnya moral selalu dikaitkan dengan nilai-nilai dasar Pancasila (sebagai filosofi atau pandangan-dunia bangsa Indonesia) yang kemudian disajikan dalam mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (sebelumnya disebut Pendidikan Moral Pancasila), maka diskusi tersebut berusaha memberi ruang yang lebih terbuka bagi pemaknaan moral bagi peserta didik. Gagasan yang melandasi usaha ini adalah bahwa pendidikan moral di sekolah yang berlangsung sebelumnya terlalu negara-sentris, kering, hambar, bahkan cenderung ideologis dan pro-status quo. Reformasi di bidang pendidikan moral di sekolah ini juga dipandang mendesak karena diduga salah satu biang terpuruknya bangsa ini dalam krisis multi-dimensi diakibatkan oleh kegagalan pendidikan moral di sekolah.

Formulasi substansi dan materi pengajaran pendidikan moral yang lama memang terlalu berpola deduktif, khas kebijakan politik Orde Baru yang ingin melakukan kontrol di semua bidang kehidupan. Pemaknaaan nasionalisme, misalnya, jarang sekali dikaitkan dari sudut pandang kelompok-kelompok masyarakat yang begitu beragam. Nasionalisme disajikan dalam bentuknya yang negara-sentris. Separatisme dimaknai secara hitam-putih tanpa dilihat dari perspektif yang lebih luas. Sementara itu, nilai-nilai seperti kejujuran, ketulusan, dan semacamnya, sering kali tampil sekadar semacam petuah tanpa eksplorasi mendalam dari segi raison d’être-nya, eksplisit maupun implisit.

Momentum lahirnya kebijakan otonomi daerah, yang diatur dalam UU No. 22/1999, seperti memberi nafas baru bagi dunia pendidikan kita yang terengah-engah. Berdasarkan undang-undang tersebut, wewenang terbesar bidang pendidikan berada di tangan pemerintah daerah, baik kebijakan menyangkut alokasi budget maupun kebijakan yang bersifat strategis di bidang kurikulum. Apalagi dengan diterbitkannya Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 044/U/2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah, maka perangkat pemulihan daya pendidikan semakin tersedia.

Dari perspektif otonomi pendidikan ini, menarik untuk didiskusikan peluang pengembangan pendidikan moral atau pendidikan nilai di sekolah yang berbasis pada sumber daya atau khazanah setempat, yakni yang bisa berupa sejarah atau pemikiran yang bersumber dari kearifan lokal. Asumsi dasarnya adalah bahwa dalam warisan sejarah dan pemikiran lokal itu terdapat sejumlah etos dan nilai moral yang inheren dan betul-betul hidup dalam masyarakat, sehingga ada keterjalinan yang cukup kuat antara peserta didik dengan kurikulum yang disajikan. Bahkan, khazanah yang juga bisa disebut tradisi ini pada titik tertentu dapat menjelma visi dan orientasi bersama yang dapat mengarahkan gerak maju masyarakat. Dalam ranah tersebut pula dimungkinkan terjadinya proses dialog-kreatif baik bersifat personal-eksistensial maupun sosial-kolektif dengan nilai-nilai keberadaban yang menjadi muasal akar hidup masyarakat itu sendiri.

Selain karena memang didukung oleh instrumen kebijakan yang cukup memungkinkan itu, peluang pengembangan ini menjadi cukup terbuka karena belakangan kita relatif semakin mudah mengakses khazanah lokal melalui buku-buku ilmiah populer. Beberapa penerbit seperti Kepustakaan Populer Gramedia (kelompok Penerbit Gramedia) cukup antusias menerbitkan buku bernuansa sejarah dan antropologi bertema budaya lokal, seperti Cilacap: 1830-1942 karya Susanto Zuhdi, Tapanuli: 1915-1940 karya Lance Castles, dan Makassar Abad XIX karya Edward L. Poelinggomang. Sementara Penerbit Mata Bangsa di Yogyakarta misalnya menerbitkan disertasi Prof. Kuntowijoyo berjudul Madura 1850-1940, dan penerbit LKiS menerbitkan buku Carok karya Dr. A. Latief Wiyata. Buku-buku tersebut setidaknya sudah bisa menjadi bahan awal untuk mengangkat khazanah lokal yang selama ini kurang diperhatikan untuk disajikan kepada siswa di sekolah. Belum lagi bila pemerintah daerah nantinya membaca peluang ini dan mengeksplorasi serta memberdayakan karya-karya putra daerah di seantero perguruan tinggi yang mengupas khazanah lokal tersebut. Karya-karya semacam ini yang bersifat ilmiah dan berbasis penelitian serius kemungkinan besar akan cukup banyak ditemukan di lingkungan akademik kita.

Dengan memberi ruang kepada khazanah dan sejarah lokal ini, berarti dunia pendidikan kita berusaha mempertautkan kembali keterputusan dunia pendidikan dengan proses pembudayaan yang menjadi titik akhir dari pendidikan moral itu sendiri. Proses internalisasi nilai-nilai moral tidak lagi akan bercorak terlalu deduktif, tetapi bisa lebih bersifat induktif sehingga secara perlahan dan mendalam dapat diturunkan ke lubuk pemahaman peserta didik. Alur induksi nilai-nilai tersebut menjadi mungkin karena nilai-nilai itu sendiri memang sudah terjangkarkan secara cukup baik dalam jalan panjang wawasan kebudayaan masyarakat.

Memang dalam proses penerapannya nanti kreativitas pemerintah (dalam hal ini terutama mungkin adalah Dewan Pendidikan di masing-masing kabupaten) akan banyak dituntut, terutama dalam meramu bahan-bahan untuk bidang studi ini. Demikian juga penyediaan fasilitas pendukung dan sistematisasi bahan mentah yang relatif masih belum terstruktur. Tantangan ini di sisi yang lain juga dapat meningkatkan kepedulian putra daerah bagi pengembangan pendidikan dan konservasi khazanah lokal yang belakangan terancam punah dilibat arus globalisasi.

Tulisan ini dimuat di Harian Kompas, 23 April 2003.

Read More..

Kamis, 17 April 2003

Mengenali Diri dengan Cerdas Kata


Judul buku : Andaikan Buku Itu Sepotong Pizza
Penulis : Hernowo
Penerbit : Kaifa, Bandung
Cetakan : Pertama, Februari 2003
Tebal : xxxii + 276 halaman


Masyarakat Indonesia pada umumnya masih memandang buku sebagai sesuatu yang mewah. Bahkan di kalangan insan pendidikan pun, buku belum mendarah-daging dalam proses pembelajaran. Kegiatan membaca dan menulis dirasakan sebagai aktivitas elitis yang memberatkan baik oleh siswa atau guru di sekolah dan dianggap sebagai kegemaran sekelompok orang yang biasa disebut orang-orang serius, intelektual, dan pemikir.

Padahal keterampilan membaca dan menulis adalah ruh proses pendidikan dan bisa menjadi basis pembelajaran. Lebih dari itu, menurut Hernowo, penulis buku ini, cerdas kata (word smart) memiliki rentang fungsi yang cukup luas, mulai dari manfaat untuk menjalankan kehidupan sehari-hari (menulis surat, berbicara di depan publik), untuk memantapkan suatu profesi (wartawan, pembawa acara), hingga untuk pengembangan diri dan kepribadian.

Buku ini, yang seperti hendak mengulang sukses buku yang ditulis sebelumnya berjudul Mengikat Makna, diangkat dari pengalaman-pengalaman keseharian penulisnya bergulat dengan dunia pembelajaran dan tulis-menulis, baik sebagai seorang senior di Penerbit Mizan Bandung, guru di SMU Muthahhari, maupun sebagai dosen di STIKOM Bandung. Dari setumpuk pengalamannya itulah, Hernowo dalam buku ini berbagi pengalaman dan pemikiran perihal dunia buku dan kepenulisan.

Terhadap keprihatinan pada minimnya gairah membaca dan menulis khususnya di kalangan pendidikan sebagaimana disinggung di atas, Hernowo menyatakan bahwa kunci pendobraknya adalah revolusi paradigmatik: bahwa buku sebaiknya didorong untuk dipersepsikan sebagai makanan. Lebih tepatnya lagi, buku adalah makanan ruhani yang diperlukan untuk memupuk kepribadian sehingga mengantarkan seseorang pada kematangan diri. Tentu saja, dalam konteks ini, ada keterjalinan yang tak terhindarkan antara aktivitas membaca dan menulis itu sendiri, yang keduanya merupakan wujud dari cerdas kata.

Bertolak dari pemikiran Howard Gardner tentang multiple intelligences yang menyatakan bahwa setiap orang memiliki delapan macam kecerdasan, Hernowo menduga kuat bahwa cerdas kata ini dapat menjadi gerbang pembuka pada puncak pengenalan dan revolusi diri. Dengan pengenalan diri ini, seseorang akan dapat mengembangkan dan mendewasakan kepribadian serta mendapatkan “mata baru” dalam menatap persoalan-persoalan hidup. Hernowo juga mengutip James W. Pennebaker, psikolog dari Universitas Texas, yang mengungkapkan bahwa seseorang yang dapat mengekspresikan dirinya secara sangat bebas secara tertulis akan tertolong dari serangan depresi.

Untuk tiba pada manfaat luar biasa dari aktivitas menulis itu, Hernowo dalam buku ini memberikan sejumlah trik menarik. Dalam konteks mempersepsikan buku sebagai makanan, Hernowo menganjurkan untuk memulai kegiatan membaca dan menulis dari tema-tema atau hal-hal yang kita sukai dan lekat dengan kehidupan kita sehari-hari, sebagaimana kita memilih makanan yang kita gemari. Dalam hal menulis, menulis catatan harian menjadi sebuah aktivitas yang bisa menjadi ajang kita melumasi “mesin” menulis atau melemaskan “otot-otot” menulis kita sehingga terus terasah dengan baik. Ekspresi lepas tanpa keterikatan ketat pada pakem-pakem bahasa pada suatu titik dapat memunculkan daya kreatif yang luar biasa. Dalam hal membaca buku kita sudah cukup dibantu dengan adanya beragam bentuk penyajian buku yang dirancang untuk membantu mengenyahkan rasa bosan dan menangkap gagasan secara lebih menyenangkan. Seperti juga halnya makanan, mencicipi nikmatnya membaca dan menulis tidak perlu harus dilahap sekalian, bisa secara ngemil (sedikit demi sedikit).

Menghidupkan semangat membaca dan menulis di lingkungan keluarga dilakukan dengan menyediakan ruang kondusif bagi pembelajaran, dengan menempatkan ruang belajar yang mudah diakses dan mudah terlihat oleh anak-anak (sehingga mempertunjukkan keteladanan) dan membagikan pengalaman membaca dan menulis itu kepada keluarga dengan penyajian yang menarik. Ini juga berlaku di ruang kelas.

Rasa dan aroma bacaan yang sudah kita tangkap itu tidak boleh dibiarkan lenyap. Pengalaman membaca dan kehidupan kita sehari-hari bersifat acak, sampai kemudian ditata dalam sebuah komposisi tulisan yang membermaknakan dan menjalinnya sedemikian rupa sehingga dapat mengekspresikan kedalaman dan kesatuan emosi, gagasan, keinginan, dan harapan kita. Dalam wadah semacam itulah, seseorang mengasah seluruh potensi diri kemanusiaannya. Cerdas kata menggali potensi otak kiri manusia yang berkaitan dengan penalaran logis (ingat, tulisan menuntut struktur logis dan sistematis yang koheren) sekaligus otak kanan yang mengungkapkan kekayaan emosi (sebuah tulisan juga menggambarkan semangat, imajinasi, dan spontanitas).

Refleksi pengalaman dan pergulatan Hernowo dalam buku ini selain banyak menggagas beberapa hal untuk melembagakan kegemaran membaca dan menulis di lingkungan sekolah dan keluarga (dimensi sosial) juga berusaha merangsang optimalisasi potensi kecerdasan manusia dari sisi cerdas kata (dimensi personal-eksistensial). Kelebihan buku ini adalah gaya penyajiannya yang cukup menyenangkan, dilengkapi dengan ilustrasi dan kutipan-kutipan kata-kata menarik, dan memiliki variasi penyajian yang kaya, mulai dari tulisan bergaya makalah, esai ringan, surat, hingga berbentuk tanya-jawab. Hanya saja pemilihan simbol “pizza” sebagai makanan yang berusaha dikaitkan dengan aktivitas membaca mungkin akan terasa kurang akrab di kalangan kelas menengah ke bawah dalam masyarakat kita.


Read More..

Kamis, 27 Februari 2003

Spiritualitas Para Pebisnis

Judul buku : The Corporate Mystic: Sukses Berbisnis dengan Hati
Penulis : Gay Hendricks dan Kate Ludeman
Pengantar : Haidar Bagir
Penerbit : Kaifa, Bandung
Cetakan : Pertama, Desember 2002
Tebal : xxxii + 248 halaman



Peraih Nobel Ekonomi 1998, Amartya Sen, menyatakan bahwa aktivitas ekonomi pada dasarnya adalah suatu kegiatan manusiawi biasa yang karena itu semestinya juga memperhatikan segi-segi etis. Bila dalam buku On Ethics and Economics Sen telah melakukan suatu eksplorasi yang lebih bersifat teoritik-konseptual dan lebih berkaitan dengan aspek makro ekonomi, maka buku ini mencoba menelaah pengalaman konkret para pebisnis sukses di Amerika dalam memberikan sentuhan etis dan spiritual dalam aktivitas bisnis mereka itu.

Buku ini didasarkan atas sejumlah wawancara panjang tak kurang dari seribu jam dengan ratusan pengusaha dan eksekutif perusahaan sukses di Amerika. Dari situ terungkap bahwa ternyata para pengusaha sukses itu amat layak disebut mistikus korporat (The Corporate Mystic), karena di perusahaan mereka mampu menampilkan sejumlah nilai dan karakteristik yang amat berkait dengan dasar-dasar spiritualitas universal dan perenial. Di antaranya adalah nilai kejujuran, visi ke depan dan fokus yang cermat, disiplin yang kuat, dan integritas.

Mereka menjalani hidup dengan asas-asas spiritualisme yang betul-betul hidup, nyata, dan empiris—tidak melulu konseptual apalagi dogmatik. Mereka berbisnis tidak hanya dengan mengerahkan kemampuan otak rasional, tapi juga dengan mengedepankan hati dan intuisi. Para pengusaha yang diteliti pada umumnya adalah sosok pemimpin yang mampu menerjemahkan spiritualitas menjadi kekuatan visioner yang mampu menggerakkan perusahaan menuju kesuksesan.

Pengamatan Hendricks dan Ludeman, penulis buku ini, menunjukkan bahwa sebagai pemimpin, mistikus korporat ini memiliki tiga modal utama: integritas yang mampu menonjolkan kejujuran sejati, visi yang mampu menegaskan niat, dan intuisi yang mampu menggenapi potensi kemanusiaan. Integritas di sini adalah suatu landasan kokoh bagi kesadaran akan dua kutub keberadaan kita: bahwa di satu sisi seseorang harus menjadi diri sendiri seutuhnya, dengan menampilkan kejujuran dan autentisitas kepribadian; sementara di sisi lain seseorang juga harus menyatakan rasa kebersamaan kemanusiaan dengan memandang perusahaan dari sudut semesta.

Sementara itu, visi dalam kepemimpinan adalah suluh kesadaran yang dapat menuntun pergerakan semua elemen perusahaan menghadapi tantangan masa depan. Yang menarik, mistikus korporat tidak hanya membiarkan visinya mendekam dalam pikirannya sendiri, tapi juga dialirkan pada anggota keluarga perusahaannya. Sedangkan naluri memberi ruang bagi kreativitas dalam memutuskan suatu persoalan yang menentukan, serta membantu arah perjuangan visi yang sudah jelas itu.

Ketiga karakter ini setelah diolah dan disinergikan mampu menghidupkan ruh perusahaan, sehingga perusahaan menjadi semacam media aktualisasi bersama. Ini berarti bahwa adonan integritas, visi, dan naluri pada gilirannya menghasilkan tanggung jawab, komitmen, dan kebersamaan. Komunikasi yang cair menjadi kata kunci lainnya yang memampukan semua elemen perusahaan menjadi bisa saling berempati dan mengolah gagasan-gagasan dengan terbuka untuk perubahan yang lebih baik.

Kualitas-kualitas moral yang ditemukan Hendricks dan Ludeman di kalangan pengusaha itu sebenarnya memang akan menegaskan hal yang sudah cukup lama disuarakan: bahwa ada dimensi etis dalam berbisnis yang perlu diperhatikan, karena itu juga adalah suatu faktor penting yang dapat mengantarkan kepada keberhasilan perusahaan itu. Kolapsnya perekonomian bisa bermula dari tercederanya moralitas dalam dunia bisnis. Contoh yang bisa dikemukakan di sini adalah kasus resesi ekonomi AS pada awal 1990-an yang terjadi akibat skandal perusahaan-perusahaan Saving and Loans yang menjajakan junk-bonds. Krisis ekonomi dan moneter yang terjadi di beberapa kawasan Asia Tenggara sejak 1998 pun ada yang melihatnya dari sisi ini.

Buku ini semakin menegaskan makna penting moralitas dalam kehidupan bisnis. Moralitas, atau lebih spesifik lagi: spiritualitas, akan memompakan kekuatan yang tak terkira untuk merawat daya hidup perusahaan. Maka tak aneh bila Hendricks dan Ludeman dalam buku ini meramalkan bahwa pengusaha yang sukses pada abad ke-21 akan menjadi para pemimpin spiritual. Mereka mungkin saja akan menyisihkan para spiritualis yang lain yang dibesarkan di masjid, gereja, kuil, atau wihara.

Ada dua catatan menarik yang dapat dikemukakan berdasarkan uraian-uraian dalam buku ini. Pertama, dengan menawarkan bentuk spiritualitas yang terlepas dari agama-agama formal, buku ini dari sisi lain adalah sebentuk tantangan terhadap agama-agama formal untuk dapat mampu mengembangkan tipe spiritualitas yang bersifat produktif, dapat membimbing manusia dalam kebersamaan dan kesuksesan. Kedua, karena buku ini amat menekankan bentuk spiritualitas dan dimensi etis dalam bisnis yang lebih erat dengan aspek kepemimpinan perusahaan, maka buku ini mengabaikan aspek eksternal dari kehidupan bisnis: negara. Persoalannya, mampukah sebuah pemimpin perusahaan yang spiritualis menggerakkan perusahaannya untuk hidup dengan nilai yang diyakininya itu bila ternyata ia berada dalam suatu sistem sosial-politik yang korup?

Lepas dari dua hal tersebut buku ini tentu amat layak diapresiasi. Tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa keterpurukan ekonomi yang mendera bangsa kita juga disebabkan oleh terabaikannya dimensi etis ini. Dari buku ini kita dapat menggali bersama pengalaman pengusaha Amerika meraih sukses dan menangkap benang merah yang dapat diikatkan ke dalam kehidupan konkret kita sehari-hari.


Tulisan ini dimuat di Koran Tempo, 24 Februari 2003.


Read More..

Selasa, 28 Januari 2003

Menghargai Sejarah

Setiap arus waktu yang telah berlalu tak akan dapat lagi kembali. Bahkan, upaya untuk merangkumnya dalam suatu bentuk dokumentasi, bila itu diartikan secara ketat, hanya akan berakhir muspra. Apa yang telah berlalu, akan segera retak. Tetapi, manusia adalah makhluk dengan kemampuan untuk selalu mengatasi berbagai bentuk keterbatasannya, mentransendensi ruang-waktu menjelajah ke dimensi tak terbatas—masa lalu, masa depan, yang ada dalam kenyataan, yang ada dalam impian, atau yang ada dalam kemungkinan. Dalam konteks inilah, manusia menurut Martin Heidegger (1889-1976) ditandai dengan ciri historisitas (historicity). Dalam pengertian ini, manusia adalah subyek sekaligus obyek sejarah. Di satu sisi, manusia terlahir dalam suatu kubangan sejarah tertentu yang akan terus membentuknya sepanjang waktu, sementara ia sendiri juga senantiasa berusaha melakukan pergulatan-pergulatan dalam bentuk inovasi-inovasi kreatif dalam rangka menapakkan jejak langkahnya di antara lorong-lorong sejarah.

Historisitas ini tidak saja melekat pada level individu, tapi juga berkait dengan tatanan kebudayaan suatu masyarakat. Kontinuitas perkembangan suatu peradaban direkam dan dirawat dalam dan melalui pita sejarah. Dalam wadah sejarah itulah akar tradisi yang mewujud nilai-nilai luhur diseduh untuk merengkuh identitas bersama masyarakat.

Akan tetapi dalam masyarakat kita, kesadaran terhadap sisi historisitas itu, baik dalam level individu maupun sosio-kultural, saat ini tanpa disadari tengah dikekang dan diblokade sedemikian rupa. Belenggu kesadaran itu bisa saja pernah bernama Rezim Totaliter yang maha meliputi semua relung kehidupan masyarakat, bisa juga rayuan untuk bergabung dengan tarian globalisasi yang kadang menganggap sejarah sebagai semacam sampah, atau bisa juga situasi yang menjemukan lantaran tidak betah merunut benang kusut yang dibiarkan sekian lama direnggut para penggadai kearifan sejarah.

Dalam konteks ini patutlah kita menyimak pandangan Goenawan Mohamad, yang menyatakan bahwa dalam masyarakat kita tidak ada institutional memory yang mampu menghubungkan pengalaman antar-generasi, sehingga kesadaran sejarah sulit terbentuk. Situasi semacam ini menjadikan masyarakat begitu rentan terhadap arus raksasa bernama globalisasi yang berpotensi menyeret masyarakat dari dekapan nilai-nilai lokal.

Memang globalisasi merupakan sesuatu fakta sejarah yang tidak tertolak walaupun tak dapat dipungkiri bahwa ia juga memiliki sisi-sisi positifnya. Tapi patut disadari bahwa bagaimanapun denyut nadi dan perkembangan suatu masyarakat yang sebenarnya akan banyak ditentukan oleh pemaknaan terhadap aliran darah sejarah yang berwujud tradisi (yang bersifat lokal) yang memuat nilai-nilai yang dijunjung tinggi. Tradisi yang dimaksudkan di sini sejalan dengan yang telah didefinisikan Marshall Hodgson, yaitu sebagai suatu dialog yang hidup dan berakar pada referensi bersama atas peristiwa-peristiwa kreatif tertentu dari masa lampau. Dari situlah suatu masyarakat dapat merumuskan bersama-sama visi dan orientasi ke depan. Dari situlah para generasi menemukan anak tangga yang begitu berharga untuk akhirnya tiba di suatu kebudayaan yang mampu mengaktualisasi nilai-nilai keberadaban dan kemanusiaan.

Namun demikian, persoalan yang dihadapi masyarakat kita saat ini, terutama di kalangan para generasi baru, adalah sulitnya akses yang cukup memadai untuk terlibat kembali ke pengembaraan kekayaan tradisi atau sejarah kebudayaan masyarakatnya. Berbagai fasilitas sosial yang dapat merujukkan pengalaman aktual para generasi baru kepada tatanan nilai para pendahulunya kurang mendapat tempat yang cukup diperhatikan. Museum-museum sudah terlalu kering dan hambar, pelajaran sejarah lokal di sekolah sudah punah, dan kesenian-kesenian daerah kalah dengan musik-musik populer. Pun, tak ada lagi cerita sebelum tidur tentang legenda-legenda masyarakat daerah, karena para orang tua sudah digantikan perannya oleh sang kotak ajaib bernama televisi.

Keadaan yang demikian ini menuntut perhatian semua pihak yang masih mau menghargai sejarah untuk bersepakat bahwa di sanalah sebenarnya rumah tinggal jiwa kebudayaan kita. Di atas landasan kesadaran semacam ini seluruh elemen masyarakat dapat segera memulai mengikatkan kembali temali tradisi ini ke tiang-tiang penyangga kebudayaan masa depan. Dengan langkah-langkah kecil ini dimungkinkan masyarakat kita akan dapat menegaskan kembali identitas kulturalnya sehingga dengan penuh kesadaran, tanggung jawab, dan rasa percaya diri dapat bangkit kembali dari keterpurukannya. Jejak langkah sejarah tidak boleh dibiarkan punah, karena di situlah para leluhur menanamkan petuah-petuah.

Januari 2003

Read More..

Senin, 13 Januari 2003

Menyambung Missing Link Sains dan Agama

Judul Buku: Revolusi IQ/EQ/SQ: Antara Neurosains dan Al-Qur’an
Penulis: Taufiq Pasiak
Penerbit: Mizan, Bandung
Cetakan: Pertama, November 2002
Tebal: 363 halaman


Beberapa tahun belakangan ini di kalangan intelektual Barat muncul suatu perkembangan yang cukup menarik dalam ranah studi psikologi, yakni ditemukannya dimensi baru kecerdasan manusia yang disebut EQ (Emotional Quotient/Kecerdasan Emosional) dan SQ (Spiritual Quotient/Kecerdasan Spiritual). Penemuan yang memberi apresiasi tinggi terhadap emosi dan spiritualitas manusia ini menjadi menarik karena menyiratkan adanya suatu perjumpaan epistemologis antara disiplin psikologi dengan tradisi spiritual (agama).

Namun karena penemuan ini banyak digagas dan dipopulerkan oleh ilmuwan Barat, maka masih terdapat semacam wajah sekuler dalam proses pengembangannya. Apa yang disebut spiritualitas dalam perspektif SQ masih merupakan suatu bentuk spiritualitas ala Barat, spiritualitas yang lepas dari bayang-bayang ikatan agama formal.

Buku utuh yang ditulis oleh Taufiq Pasiak ini berusaha memberikan perspektif yang lebih mendalam tentang keutuhan potensi akal manusia yang tercermin dalam tiga bentuk kecerdasan (IQ, EQ, dan SQ), terutama dengan memosisikan SQ sebagai ultimate intelligence. Penulis buku ini dalam soal ini cukup otoritatif karena ia lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi dan kini tengah menjalani S2 di IAIN Alauddin Makasar dan Pasca-Sarjana IKD UGM Yogyakarta. Cara pemaparannya yang enak diikuti (dan dilengkapi dengan banyak ilustrasi) menjadi begitu menarik karena di satu sisi buku ini mengeksplorasi struktur dan fungsi otak manusia secara cukup lengkap (bab pertama hingga bab keenam), ditambah lagi dengan perspektif Al-Qur’an tentang tiga dimensi kecerdasan otak tersebut (bab ketujuh hingga bab kesepuluh). Jadilah perjumpaan epistemologis itu menjadi lebih eksplisit.

Sejauh ini orang kebanyakan mengidentikkan kecerdasan dengan kecerdasan IQ semata, sehingga yang dihargai hanyalah orang cerdas di bidang matematika atau bahasa, sementara orang yang memiliki kemampuan lain kurang mendapat penghargaan yang layak. Padahal tidak jarang orang yang memiliki IQ rendah mempunyai bentuk kecerdasan yang lain (pandai bergaul, berkemampuan seni atau olah raga, dan sebagainya). Fakta ini amatlah merugikan, karena penghargaan terhadap potensi kecerdasan orang-orang semacam ini menjadi kurang, seperti terlihat dalam iklan-iklan lowongan pekerjaan.

Enam bab pertama buku ini memberikan uraian yang cukup jelas tentang berbagai potensi otak yang begitu kaya itu. Otak adalah sebuah universum di kepala manusia yang memiliki kemampuan lebih daripada prosesor sebuah komputer. Otak dapat terus berkembang terus-menerus dan secara otomatis dapat mempelajari dirinya. Seorang ahli saraf, Brodmann, memetakan otak dalam 47 wilayah dengan pembagian kerja masing-masing yang berbeda, termasuk yang berhubungan dengan organ-organ penting seperti lidah, tangan, telinga, kaki, dan sebagainya. Dua penemuan penting yang memperluas pemahaman kita tentang potensi otak adalah konsep EQ Daniel Goleman yang berpijak pada jalur saraf emosi yang ditemukan oleh ahli saraf Joseph deLoux, serta penemuan Titik Tuhan (God Spot) oleh Ramachandran bersama timnya dari Universitas California yang terletak di bagian samping kepala yang disebut lobus temporal.

Sinyal Al-Qur’an yang bersifat paralel terhadap berbagai penemuan sains mengenai otak ini diurai dalam bab ketujuh hingga kesepuluh. Untuk menggambarkan potensi otak ini Al-Qur’an menggunakan kata ‘aql (akal), sesuatu daya berpikir yang meliputi tiga bentuk kecerdasan (IQ, EQ, SQ). Dari sudut semantik, kata ‘aql mulanya bermakna kecerdasan praktis, tapi Al-Qur’an kemudian menggunakannya dalam rentang makna yang luas: mulai dari daya memahami (rasional maupun intuitif) hingga dorongan moral yang bersifat spiritual (lihat, misalnya, Q.S. al-‘Ankabût [29]: 42; al-Mulk [67]: 10). Karena itu tidak aneh bila kata akal dalam Al-Qur’an memiliki keterkaitan dengan kata qalb (kalbu), sehingga akal seakan-akan adalah mata hati (‘ayn al-qalb).

Uraian-uraian dalam buku ini menggenapi upaya menyambung missing link sains dan agama dengan jalan yang lebih eksplisit, yakni dengan pemaparan komprehensif tentang seluk-beluk otak manusia yang disertai dengan beberapa kajian terhadap beberapa pandangan dan ayat-ayat Al-Qur’an. Dari perspektif yang lebih luas apa yang dilakukan penulis buku ini adalah semacam usaha islamisasi sains yang selama ini sudah mulai dilakukan pada beberapa cabang ilmu (ekonomi, sosiologi, psikologi, fisika, kedokteran, dan sebagainya). Bila dilihat dari perspektif Hanna Djumhana Bastaman—ahli psikologi yang telah merintis islamisasi psikologi di Indonesia—maka yang dilakukan Taufiq Pasiak dalam buku ini masuk dalam kategori paralelisasi, yakni menunjukkan adanya kesejalanan (paralelitas) konsepsi Al-Qur’an dengan temuan sains mutakhir menyangkut otak dan kecerdasan manusia (IQ, EQ, SQ).

Kritik yang selama ini ditujukan kepada kalangan intelektual yang getol mempromosikan proyek islamisasi ilmu adalah kekhawatiran adanya sikap yang kurang teliti (atau malah “semena-mena”) dalam kerja epistemologis tersebut sehingga akhirnya hanya dapat meninggalkan kesan apologis belaka. Dalam konteks buku ini pembaca dapat saja menangkap kesan adanya kekurangmantapan dalam proses paralelisasi dan perbandingan tersebut lantaran pengkajian terhadap paralelitas neurosains dan Al-Qur’an dalam buku ini cenderung berat sebelah: terlalu banyak porsi yang diberikan kepada kajian masalah otak, sementara analisis terhadap pandangan dunia Al-Qur’an yang bersifat lebih mendalam terasa kurang.

Terlepas dari itu, terdapat satu hal yang berhasil ditegaskan buku ini dalam konteks islamisasi ilmu, yaitu menyangkut soal orientasi profetis ilmu, bahwa bagaimanapun pada akhirnya titik akhir suatu ilmu adalah kesejahteraan manusia. Ada dimensi humanisme teosentris (rahmat li al-‘âlamîn) yang hendak ditegaskan, yang selama ini lambat-laun semakin pupus dari aras paradigmatik ilmu. Secara eksplisit hal ini ditegaskan di bagian akhir buku ini, bahwa mesti ada tindak lanjut dari pergeseran paradigmatik psikologi dan kedokteran, yakni bahwa kesadaran sains harus menjelma menjadi kesadaran moral, kesadaran untuk berbuat. Artinya, penemuan dimensi kodrati spiritualitas manusia dalam otak ini mesti menjadi landasan bagi suatu aksi sosial yang berlandaskan pada kebersihan hati, kebesaran jiwa, dan spiritualitas kemanusiaan yang memungkinkan bertemunya visi persaudaraan kemanusiaan. Dengan begitu, ruang-ruang interaksi masyarakat menjadi relatif lebih steril dari nafsu dan egoisme, serta kembali disemarakkan dengan kemurnian mata-hati yang fitri.

Read More..