Sabtu, 30 September 2000

Mengakhiri Monolog Barat tentang Timur

Judul Buku: Oksidentalisme: Sikap Kita terhadap Tradisi Barat
Penulis: Hassan Hanafi
Penerbit: Paramadina, Jakarta
Cetakan: Pertama, Juli 2000
Tebal: 318 + xx halaman


Menurut Marshall McLuhan, kebudayaan merupakan suatu bentuk “perluasan manusia” (extension of man) dalam rangka mengatasi keterbatasan ruang-waktu yang melingkupinya. Dalam pengertian yang kurang lebih masih bersifat paralel, dengan meminjam pemikiran Gramsci, kebudayaan pada tahapan yang lebih jauh adalah juga suatu bentuk hegemoni dari suatu kelompok kepada kelompok lainnya.
Hal yang demikian ini sebenarnya bukanlah sesuatu yang buruk, melainkan memang sudah menjadi suatu aspek dinamis dari kebudayaan. Persoalannya adalah bahwa hegemoni kebudayaan itu berlanjut pada pembentukan citra-citra kebudayaan yang dijelaskan secara berbeda: ada kebudayaan superior dan ada kebudayaan inferior. Lebih parah lagi, ketika kebudayaan superior lalu merasa berhak untuk memperadabkan kelompok kebudayaan inferior. Asumsi inilah yang menjadi landasan pembenaran bagi dilakukannya kolonialisme dan imperialisme.
Dalam bentuknya yang lebih canggih, kolonialisme dan imperialisme kontemporer adalah kolonialisme dan imperialisme kesadaran untuk membentuk, menundukkan, mendisiplinkan, dan menggiring nalar dan alam bawah sadar suatu masyarakat. Cara-cara yang dilakukan adalah dengan media. Masih menurut McLuhan, the medium is the message, media itu sendiri membentuk pesan dan citra kultural tertentu. Perkembangan teknologi, terutama teknologi multimedia, jelas sangat menguntungkan bagi upaya-upaya kolonisasi kesadaran ini.
Model-model seperti ini kemudian membentuk suatu monolog kebudayaan superior yang diperdengarkan kepada masyarakat kebudayaan inferior. Tentang oposisi-biner antara rasio dan kegilaan misalnya, Michel Foucault (1926-1984) dalam Madness and Civilization mengatakan bahwa selama ini bahasa psikiatri yang mengungkapkan tentang kegilaan hanyalah semacam monolog rasio tentang kegilaan yang berada dalam suatu ruang yang sunyi. Apa yang dilakukan Foucault dalam bukunya itu adalah suatu upaya untuk mengakhiri monolog rasio tentang kegilaan, yang dilakukannya dengan mengurai arkeologi keheningan itu dari perspektif historis.
Seperti juga Foucault, Hassan Hanafi dalam buku ini juga berada dalam kerangka pemikiran untuk mengakhiri monolog kesunyian suatu kebudayaan yang dianggap superior, yakni kebudayaan Barat. Selama ini, citra kebudayaan Barat sedemikian superior, berhadapan dengan kebudayaan Timur yang dianggap inferior. Citra superioritas Barat ini kemudian dituangkan dalam wacana orientalisme yang menjadikan kebudayaan Timur sebagai obyek kajian. Inilah awal monolog kebudayaan Barat tentang kebudayaan Timur.
Sebagai sebuah wacana yang bersifat ilmiah, orientalisme sudah memiliki akar historis yang cukup panjang. Bersamaan dengan gelombang kolonialisme Eropa ke wilayah Timur pada abad ke-17, dilakukan pula sejumlah aktivitas “ilmiah” yang berupa studi kebudayaan Timur. Kebudayaan Timur dianggap sebagai the other—seperti juga kegilaan berhadapan dengan rasio—sehingga sah-sah saja bila kebudayaan Timur itu dijadikan obyek kajian.
Selanjutnya, orientalisme menjadikan Barat sebagai sentral kebudayaan. Tentu saja, yang namanya pusat tentu cenderung menggilas yang berada di wilayah pinggiran. Demikianlah. Identitas kultural masyarakat Timur lambat-laun tersingkir dan ikut terlebur dalam identitas kultural masyarakat Barat bersama-sama dengan arus globalisasi yang kian tak terbendung.
Karena itu, dengan usahanya untuk mulai membangun suatu wacana baru yang disebutnya oksidentalisme, yakni studi tentang ke-Barat-an, Hassan Hanafi sebenarnya menginginkan adanya suatu perimbangan diskursif dalam kajian-kajian kebudayaan. Hassan Hanafi menginginkan agar identitas kultural masyarakat Timur tidak tergilas begitu saja tanpa berarti harus mengisolasi diri dari interaksi masyarakat kosmopolit.
Agenda wacana oksidentalisme ini dalam pengertian yang lain oleh Hassan Hanafi dimaksudkan untuk mempertegas posisi ego (kebudayaan masyarakat Timur, Islam) di hadapan the other (kebudayaan masyarakat Barat). Dalam terang keutuhan seluruh proyek intelektual Hassan Hanafi, wacana oksidentalisme ini berada dalam tahapan kedua, yang kesemuanya berada dalam konteks upaya menghidupkan kembali semangat agama. Proyek intelektual Hassan Hanafi adalah suatu upaya penyikapan terhadap realitas kekinian dengan melakukan rekonstruksi terhadap tradisi lama, penegasan posisi di hadapan kebudayaan Barat, dan sikap kritis terhadap realitas kekinian.
Hassan Hanafi menegaskan bahwa oksidentalisme ini tidak berada dalam tataran politis, melainkan berada dalam tataran analisa ilmiah. Sepertinya, Hassan Hanafi tidak menginginkan wacana oksidentalisme ini menjadi suatu bentuk sikap reaksioner terhadap hegemoni kebudayaan Barat. Bila yang terjadi adalah demikian, maka wacana oksidentalisme berada dalam medan dominasi-represif yang secara substantif tidak bersifat produktif. Dalam konteks ini, oksidentalisme harus pula dimaknai sebagai awal dimulainya masa-masa kreasi inovatif kelompok kebudayaan Timur untuk menemukan rumusan teoritik yang bersifat mandiri untuk memahami realitas.
Langkah-langkah awal Hassan Hanafi untuk mencoba membuka wacana oksidentalisme ini dilakukannya secara cukup serius dan menarik. Melalui pendekatan historis, Hassan Hanafi mengurai satu-persatu perkembangan sejarah Filsafat Barat yang menjadi ruh kesadaran kebudayaan Eropa (Barat). Seperti yang juga dilakukan Foucault dalam menelusuri sejarah kegilaan (atau juga sejarah penjara dan sejarah seksualitas), Hassan Hanafi mengangkap wacana-wacana yang tertindas (atau ditindas) dan disingkarkan dari ladang sejarah kebudayaan Barat.
Pada awal pertumbuhan kesadaran Eropa yang dalam ungkapan Hassan Hanafi merupakan sumber kesadaran Eropa, Hassan Hanafi berhasil membuka-lebar tabir-tabir historis yang mendukung bagi terbentuknya citra superioritas kebudayaan Eropa. Dalam mengklasifikasikan sumber-sumber kesadaran Eropa, Hassan Hanafi secara tegas menyebutkan bahwa ada sumber-sumber yang tidak terekspos ke permukaan. Sumber yang tak terekspos yang sebenarnya ikut menjadi sumber kesadaran Eropa (yakni yang juga ikut menebar benih pemikiran filsafat di dunia Barat) adalah sumber-sumber dari kebudayaan Timur lama (Persia, Mesir, Syria, Cina, dan sebagainya) dan dari lingkungan kebudayaan Eropa sendiri—dengan corak-corak tertentu. Hal ini kemudian semakin menegaskan bahwa pertumbuhan kesadaran Barat sama sekali tak bisa terlepas dari kebudayaan Timur dan akar historis yang membentuk corak kesadaran Eropa sendiri. Dengan begitu, universalitas kebudayaan Barat digugat.
Buku ini jelas menarik dan berguna sekali untuk dibaca, terutama untuk menumbuhkan sikap kritis yang lebih konkret terhadap kebudayaan dan kesadaran Eropa (Barat) yang saat ini telah nyaris menggenangi seluruh kesadaran masyarakat dunia. Buku ini secara gamblang menegaskan bahwa superioritas kebudayaan Barat itu hanyalah mitos yang dibangun dengan penyembunyian informasi-informasi tertentu yang mengiringi pertumbuhannya. Apa yang diinginkan dari buku ini secara lebih jauh tidak lain adalah upaya untuk berbagi informasi secara lebih adil terhadap berbagai kebudayaan dunia, demi menghindari rasialisme kultural yang jelas-jelas tidak manusiawi.
Sebagai catatan akhir, patut diketahui, bahwa buku bagus yang diangkat dari karya Hassan Hanafi berjudul Muqaddimah fi Ilm al-Istighrab ini sebenarnya belum seluruhnya tuntas penerjemahannya dalam buku ini. Terjemahan ini baru memuat dua bab dari delapan bab yang ditulis Hassan Hanafi, yang seluruhnya hampir berjumlah 900 halaman itu. Yang pasti, diskursus oksidentalisme ini menarik untuk ditanggapi, dengan ikut membaca dan mengkritisi pemikiran Hassan Hanafi, untuk kemudian dikembangkan dalam bentuk studi-studi kebudayaan kontemporer.

Tulisan ini dimuat di www.detik.com 7 September 2000.

Read More..

Jumat, 22 September 2000

Melampaui Tradisi dan Modernitas

Judul Buku: Mencari Islam Autentik: Dari Nalar Puitis Iqbal Hingga Nalar Kritis Arkoun
Judul Asli: Overcoming Tradition and Modernity: The Search for Islamic Autenticity
Penulis: Robert D. Lee
Penerbit: Mizan, Bandung
Cetakan: Pertama, Februari 2000
Tebal: 279 halaman


Banjir pemikiran modernisme yang merengkuh hampir seluruh pojokan peradaban dunia melahirkan berbagai respons yang berwarna-warni. Sebagai bagian dari peradaban dunia, Islam juga menghadapi kenyataan ini. Kehadiran pemikiran-pemikiran modernisme yang sesekali disebut sekularistik ditakuti bakal menggenangi bangunan pemikiran Islam yang ada di kepala para pemeluknya, sehingga warisan tradisi ajaran Islam tenggelam bersama-sama seiring dengan arus waktu yang tak bisa diajak kompromi. Ancaman ini dikhawatirkan bakal mengebiri medan kesadaran dan keimanan umat Islam digantikan dengan kesadaran pemikiran asing yang berwatak imperialistik.

Efek domino yang lebih mengkhawatirkan adalah ketika kenyataan ini ditarik lebih jauh ke dalam wilayah sosial-politik. Invasi intelektual yang juga merupakan bentuk metamorfosis dari imperialisme konvensional diakui juga akan merembet ke wilayah yang lebih konkret, yakni wilayah historis-obyektif-sosiologis. Apalagi, pemeluk agama Islam kebanyakan berdiam di kelompok negara-negara dunia ketiga, yang dalam konteks politik ekonomi internasional menjadi pihak yang terpinggirkan.

Buku karya Robert D. Lee ini adalah sebuah review atas beberapa respons beberapa pemikir Islam kontemporer terhadap ancaman semacam ini. Gelombang modernisasi yang mewabah di seluruh pelosok dunia pada mulanya memang berwujud suatu bentuk invasi pemikiran, namun belakangan mau tidak mau telah menimbulkan semacam imperialisme peradaban ke dalam wilayah Islam. Modernisasi yang ditopang dengan landasan-landasan pemikiran filsafat yang kokoh yang lahir dari periode Pencerahan, dalam bentuk yang lebih konkret menawarkan konsep-konsep baru seperti developmentalisme atau liberalisme yang disodorkan kepada kalangan dunia ketiga. Perluasan invasi modernisme Barat ke wilayah dunia yang semakin meluas ini menimbulkan kesan bagi umat Islam bahwa bentukan peradaban Islam yang bakal lahir dari situasi ini berada di bawah kendali nalar Barat.

Akan tetapi, peradaban Barat bersama-sama dengan pemikiran yang menopangnya telah keburu meluas dan nyaris menguasai seluruh peradaban dunia lainnya, termasuk Islam. Kalau memang demikian, apa yang harus dilakukan umat Islam untuk tetap mempertahankan eksistensinya sebagai sebuah peradaban dunia?

Empat tokoh yang disajikan oleh Robert D. Lee dalam buku ini, yakni Muhammad Iqbal (pemikir anak benua India), Sayyid Quthb (tokoh organisasi Ikhwanul Muslimin Mesir), Ali Syariati (ideolog par excellence revolusi Islam Iran), dan Mohammed Arkoun (pemikir Aljazair yang bermukim di Prancis), berusaha dipetakan dalam kerangka latar seperti tersebut di atas. Oleh Robert D. Lee, keempat pemikir tersebut dianggap terlibat secara intens dalam usaha pencarian kembali makna autentisitas Islam vis-à-vis konstruksi pemikiran modernisme Barat.

Makna autentisitas bagi Robert D. Lee dalam buku ini ditafsirkan dalam empat karakter (hal. 27-30). Pertama, autentisitas dimulai dengan pemahaman tentang diri sebagai sosok pribadi yang unik. Karakter pertama ini tampak menebarkan aroma filsafat eksistensialisme yang sempat populer pada pertengahan abad ini. Kedua, aktivitas manusia melahirkan keragaman kondisi-kondisi yang melandasi individualitas manusia. Dalam pengertian ini, autentisitas tampak tidak mau melepaskan diri dari tindakan nyata dalam sejarah manusia, karena pemikiran autentik mengharuskan individu untuk membentuk suatu kondisi lingkungan yang memungkinkan berkembangnya makna autentisitas dalam keberagamaan. Ketiga, pemikiran autentik melahirkan perlawanan terhadap tradisi dan modernitas. Tradisi dianggap membelenggu keliaran pemikiran progresif dan kreatif, sementara modernitas menjebak individu untuk meninggalkan dasar-dasar fundamental ajaran agama yang tidak jarang melabuhkan pada corak pemikiran relativistik. Keempat, pemikiran autentik bisa berubah menjadi individualisme radikal, subjektivisme kognitif, dan relativisme nilai. Inilah wajah lain dari autentisitasyang juga tidak lepas dari perhatian para tokoh yang terlibat dalam wacana ini.

Pencarian autentisitas yang dilakukan keempat tokoh dalam buku ini dikaitkan dengan konteks Islam yang begitu luas, sehingga jawaban yang diajukan oleh keempat itu juga memiliki “autentisitas”-nya sendiri-sendiri. Taruhlah misalnya Muhammad Iqbal yang cukup apresitatif dan terlibat aktif dalam kreativitas penulisan karya-karya sastra mengajukan penafsiran makna autensitas dalam kerangka kehidupan individual. Bagi Iqbal, capaian autentisitas dalam beragama dimulai dari level individu, sehingga yang utama diperlukan adalah pemahaman yang lebih mapan terhadap identitias diri. Konteks identitas ini bagi Iqbal dianggap penting karena konstruksi pemikiran seorang individu dibangun di atas pemahaman eksistensial atas dirinya. Dengan pemikiran seperti ini, Iqbal kembali merayakan makna otonomi individu dalam usaha pencarian autentisitas Islam. Otonomi individu dalam konteks pencarian identitas sekaligus autentisitas memungkinkan Iqbal untuk melihat ‘agama lain sebagai landasan yang memungkinkan bagi pribadi-pribadi yang asli dan autentik’ (hal. 213). Di sini, agama dimaknai sebagai suatu jalan menuju keautentikan yang bersifat terbuka dan anti-eksklusivisme. Adapun metode yang ditawarkan oleh Iqbal salah satunya adalah ‘dengan menghidupkan kembali bentuk-bentuk kesusastraan lama sebagai alat untuk mengangkat keutamaan kehendak manusia di atas ortodoksi dan penalaran’ (hal. 170).

Tidak jauh berbeda dengan Iqbal, Mohammed Arkoun memposisikan pencarian autentisitas pertama-tama sebagai ‘jalan untuk “menghadirkan diri di dunia” secara benar’ (hal. 167). Kesadaran individual terhadap warisan tradisi dan konteks kekinian tempat ia berada menjadi fokus utama Arkoun dalam memaknai autentisitas Islam. Karena itu, Arkoun lebih memilih wilayah pelacakan nalar keagamaan yang menguasai umat Islam. Proyek Kritik Nalar Islam yang dilakukan Arkoun dapat diposisikan sebagai penguatan usaha Arkoun untuk mengatasi dilema autentisitas antara tuntutan tradisi dan gelombang modernitas. Di sini Arkoun lebih bergerak pada wilayah epistemologis dan keilmuan yang dianggap menjadi sumber kemacetan Islam dalam memberi respons kreatif atas modernitas dan pemaknaan ulang terhadap warisan tradisi. Dalam usahanya ini, Arkoun tidak segan-segan melakukan pengembaraan intelektual ke dalam berbagai pemikiran modern. Hal ini dilakukan karena Arkoun sendiri memang tidak pernah menabukan kebebasan intelektual dalam usaha pencarian autentisitas Islam. Malahan, kebebasan intelektual menjadi landasan paling penting untuk melepaskan jerat temali tradisi dan penggiringan tanpa-sadar untuk keluar dari pesan suci agama.

Dua pemikir lainnya yang dibahas Robert D. Lee dalam buku ini kelihatan cukup berbeda dengan Muhammad Iqbal dan Mohammed Arkoun. Sayyid Quthb dan Ali Syari`ati melandasi usaha pencarian pemikiran autentik dalam Islam dengan asumsi bahwa aspek tindakan dan kelembagaan lebih penting untuk dikedepankan. Pada bagian akhir buku ini, Robert D. Lee berusaha menegaskan perbedaan ini dengan mengatakan bahwa Iqbal dan Arkoun tampaknya mencari keautentikan terutama dari para elit budaya dan intelektual yang berada pada tataran individu, sementara Sayyid Quthb dan Syari`ati berpaling kepada massa (umat Islam), yakni dengan usaha untuk membentuk komunitas umat yang autentik (hal. 222). Langkah konkret yang bersifat teoritis yang diajukan Sayyid Quthb ditempuh dalam dua tahapan. Pertama, umat Islam yang beriman sejati diseru untuk meninggalkan tradsi Islam yang sedang berjalan. Tahap kedua, usaha dilanjutkan dengan pembentukan komunitas Islam yang mengatasi kesadaran individual dengan terang panduan ajaran agama (hal. 212).

Pembentukan komunitas Islam ini bagi Quthb merujuk pada sejarah kejayaan Nabi dalam mengatur masyarakat Islam awal. Oleh Quthb, hal ini ditafsirkan dan diturunkan dalam enam langkah konkret, yaitu (1) pembentukan elit garda depan, (2) pematangan kesadaran kelompok, (3) pemisahan kelompok dari masyarakat, (4) pengembangan kelompok, (5) perebutan kekuasaan, dan (6) pendirian komunitas baru. Komunitas baru yang dibayangkan Quthb dalam hal ini dibangun di atas kesadaran keberagamaan yang kuat, yakni bahwa segenap aktivitas hidup adalah bentuk pengabdian kepada Tuhan yang pada gilirannya akan memberikan sesuatu yang positif bagi umat manusia. Usaha keras Quthb ini lalu mengarahkan orientasi yang lebih besar Quthb terhadap kelompok, sehingga yang amat dibutuhkan dalam usaha pencarian autentisitas Islam menurut Quthb adalah lembaga-lembaga yang dapat memperjuangkan terealisasinya cita-cita itu (hal. 122-124).

Seluruh pemikiran tentang Islam autentik tersebut di atas memang menyajikan alternatif yang cukup beragam. Seolah-olah tidak ada kepastian jawaban yang cukup memuaskan bagi suatu usaha pencarian Islam autentik. Ini juga berarti bahwa tantangan untuk mencari Islam autentik adalah semacam pengembaraan abadi umat Islam—menurut istilah Prof. Azyumardi Azra—yang akan terus berlanjut. Karena itu, pembatasan Robert D. Lee terhadap usaha pencarian Islam autentik terbatas pada empat pemikir kontemporer itu menjadi semacam keberatan yang dapat diajukan untuk buku ini. Apakah pencarian Islam autentik hanya berkisar pada periode kontemporer saja, dan tidak terjadi dalam periode-periode terdahulu?

Buku ini memang menjadi menarik ketika dibenturkan dengan fenomena dilema-dilema umat Islam menghadapi tuntutan serangan pemikiran modernisme dan tuntutan untuk tetap mempertahankan ciri khas dari peradaban Islam. Akan tetapi, dalam buku ini Robert D. Lee kelihatan terjebak dalam perangkat stok pemikiran yang dominan dalam dirinya. Sebagai seorang profesor ilmu politik di Colorado College, Robert D. Lee tampak lebih mengedepankan aspek-aspek politik dalam usaha pencarian Islam autentik. Artinya, secara tidak langsung Robert D. Lee telah melakukan suatu pemihakan epistemologis terhadap Sayyid Quthb dan Ali Syari`ati, sehingga pemikiran Arkoun misalnya juga berusaha dikaitkan dengan aspek politik itu.

Padahal, seperti kata Arkoun sendiri yang juga dikutip dalam buku ini, pencarian Islam autentik (Arkoun sendiri tidak suka dengan istilah ini) yang berkutat dalam wilayah politik cenderung bersifat ahistoris, eksklusif, tidak ilmiah (ideologis), dan tidak toleran. Konstruksi Nalar Islam yang mirip dengan corak pemikiran Abad pertengahan ini bagi Arkoun justru menimbulkan alienasi dalam dunia pemikiran Arab (Islam).

Hal terakhir yang patut diingat adalah pertanyaan, apakah usaha pencarian Islam autentik ini akan dapat berimplikasi secara nyata dalam kehidupan umat Islam. Sebagai sebuah wacana intelektual, ini mungkin tidaklah buruk. Akan tetapi, apa sebenarnya yang diharapkan secara lebih jauh dari usaha ini kiranya menjadi suatu agenda lain yang penting disadari untuk mendapatkan suatu cakrawala berpikir yang lebih luas. Wallahu a`lam.

Read More..

Mengatasi Dilema Tradisi

Judul Buku: Post-Tradisionalisme Islam
Penulis: Muhammad Abed Al Jabiri
Penerjemah: Ahmad Baso
Penerbit: LKiS, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, Juni 2000
Tebal: lviii + 246 halaman


Sejarah menurut Hegel seperti aliran sungai yang terus bergerak secara dialektis dengan dibasuh bebatuan dan kerikil yang terdapat di dalamnya. Demikian pula halnya dengan sebuah gugus pemikiran. Setiap pemikiran yang ditampilkan di pentas sejarah selalu akan berhadapan dengan realitas faktual di lapangan sehingga wajah pemikiran itu sendiri senantiasa menunjukkan watak dinamisnya.

Apalagi bila pemikiran itu mengapung dalam sepetak ruang yang kehilangan batas-batasnya yang pasti. Proses globalisasi telah meruntuhkan sekat-sekat sosio-kultural sehingga sebuah gugus pemikiran dapat dengan mudah berpindah ruang dari suatu lingkungan budaya tertentu ke lingkungan budaya yang lain.

Tak jarang perjumpaan gugus pengetahuan yang pada dasarnya merupakan bagian dari sistem kebudayaan suatu masyarakat itu mengalami suatu problem yang cukup akut. Salah satu contoh yang dikaji secara cukup tuntas adalah permasalahan yang dikaji dalam buku ini: problem tradisi (Islam) dan modernitas (Barat).

Diskursus tentang masalah tradisi dan modernitas dalam wacana keislaman Arab kontemporer saat ini mendapatkan ruang yang cukup luas. Bermula dari munculnya kesadaran akan kemunduran yang menimpanya pada akhir dekade 1960, kaum intelektual Islam-Arab kemudian merumuskan suatu pertanyaan mendasar untuk memberikan jawaban sekaligus jalan keluar yang memuaskan atas persoalan ini: bagaimana sebaiknya menyikapi tradisi secara tepat sehingga Islam dapat mengalami kemajuan dan kebangkitan?

Muhammad Abed Al Jabiri adalah salah seorang intelektual terkemuka kelahiran Maroko yang terlibat secara intens dalam permasalahan ini. Penyikapan terhadap persoalan ini menurut Al Jabiri secara umum membagi umat Islam dalam tiga kelompok, yaitu kelompok yang menyerukan untuk mengadopsi modernitas Barat (disebut kelompok “modernis”), kelompok yang mengembangkan gagasan tentang orisinilitas dan menyerukan untuk kembali berkaca kepada masa kejayaan Islam (disebut kelompok “tradisionalis”), dan kelompok yang berusaha mengambil sisi yang terbaik dari unsur tradisi Islam dan modernitas Barat (disebut kelompok “eklektik”).

Akan tetapi, menurut Al Jabiri persoalan tradisi (Islam) dan modernitas (Barat) sebenarnya bukan sekedar persoalan pilihan, seperti yang tergambar dalam tiga kelompok di atas. Al Jabiri sendiri menduga kuat adanya semacam “keterbelahan struktural” umat Islam dalam menyikapi tradisi dan modernitas. Umat Islam, dalam pengamatan Al Jabiri, masih bersikap ambigu dalam menyikapi persoalan ambiguitas tradisi dan modernitas. Beberapa sektor kehidupan umat Islam telah dirasuki semangat kehidupan modern (Barat) yang menjunjung tinggi nilai perubahan dan pembaruan untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Sementara, tradisi lokal (Islam) dipegang kuat-kuat dengan diam-diam mengusung semangat anti-perubahan. Dalam bahasa Al Jabiri: Kita membiayai pembangunan sektor-sektor “modern” dengan menopang dan memperluasnya atas nama ‘modernisasi’, sebagaimana halnya kita juga mengeluarkan biaya besar-besaran untuk pengembangan sektor-sektor “tradisional” demi kelestarian hidupnya atas nama “kemurnian identitas” dan menjaga “kepribadian nasional”.

Menghadapi ambiguitas sikap yang dilematis dan ambivalen ini, Al Jabiri menawarkan suatu metode pembacaan kritis terhadap tradisi. Metode pembacaan yang dikemukakan Al Jabiri pertama-tama menempatkan pemikiran sebagai suatu sistem yang utuh, sehingga penelusuran yang dilakukan bersifat struktural dan berusaha merambah ke berbagai relung warisan tradisi—tanpa menyisakan ruang yang terabaikan.

Sesudah itu, Al Jabiri menegaskan bahwa dalam pembacaan terhadap tradisi, penentuan otoritas mesti dipastikan terlebih dahulu. Bagi Al Jabiri, otoritas seharusnya berada pada si pembaca tradisi. Pandangan ini hendak meruntuhkan otoritas tradisi yang menghegemoni model pembacaan umat Islam atas tradisi. Selama ini, tradisi disikapi secara tidak kritis dan dibaca dalam kerangka pembacaan yang bercorak instrumentalis: mencari-cari suatu legitimasi historis dan mengabaikan elemen kritis dari tradisi. Karena itu, untuk mengalihkan otoritas tradisi dari tradisi itu sendiri kepada si pembaca tradisi, maka si pembaca tradisi harus membebaskan diri dari asumsi-asumsi apriori terhadap tradisi untuk kemudian menimba makna teks (tradisi) dari teks itu sendiri.

Selain itu, ada tiga konsep kunci yang diajukan Al Jabiri dalam rangka membaca tradisi, yakni historisitas, obyektivitas, dan kontinuitas. Historisitas berarti bahwa tradisi diletakkan dalam kerangka sejarah tertentu. Secara lebih spesifik, Al Jabiri mengemukakan bahwa dalam tradisi Islam terdapat suatu kerangka rujukan historis dan epistemologis tertentu yang mematok wilayah historitas tradisi dalam wilayah yang sempit. Masa pembukuan dan pembakuan (dikenal dengan masa tadwin) pada abad ke-2 H atau abad ke-8 M merupakan “standar” pembacaan tradisi yang masih mendominasi nalar Islam saat ini. Untuk itu, kerangka historisitas yang ditawarkan Al Jabiri dalam hal ini juga berarti ajakan untuk membaca masa tadwin itu dalam konteks kesejarahannya.

Adapun obyektivitas berarti bahwa tradisi harus dikaji secara kontekstual pada dirinya sendiri, dengan melepaskannya dari kondisi kekinian. Pada tahap ini, pembacaan atas tradisi berada pada aras teoritis dan kognitif dengan menanganinya secara kritis baik dari aspek epistemologis, sosiologis, maupun historis.

Kontinuitas berarti bahwa pada titik akhir pembacaan atas tradisi mengharuskan si pembaca untuk berpikir dengan dasar rasional, yakni dengan menempatkan tradisi dalam konteks kehidupan konkret saat ini. Ini juga berarti otoritas teks sepenuhnya diserahkan kepada si pembaca untuk menghasilkan suatu model pembacaan yang kreatif dan produktif (tidak semata-mata repetitif).

Dari uraian di atas terlihat semangat besar Al Jabiri untuk melampaui dilema tradisi dengan berusaha menjadikan tradisi sebagai sesuatu yang produktif, bukannya menjadi belenggu-historis yang menghambat perubahan. Al Jabiri sendiri merasa kecewa dengan penyikapan umat Islam selama ini terhadap tradisi dengan hanya menjadikan tradisi sebagai senjata ideologis dalam melakukan resistensi terhadap invasi kebudayaan luar (Barat).

Tawaran metodologis yang diajukan Al Jabiri tersebut di atas jelas berusaha menyematkan sikap kritis-produktif dalam membaca tradisi. Ini berarti bahwa pada dasarnya Al Jabiri tetap memberi makna dan posisi penting tradisi dalam khazanah pemikiran Islam. Akan tetapi, tradisi itu harus mampu mengantarkan kepada suatu kearifan sejarah yang mampu memperlebar cakrawala berpikir umat Islam saat ini.

Bila diamati secara cermat, pemikiran Al Jabiri dalam buku ini terlihat memadukan beberapa metodologi pembacaan dari kalangan pemikir postmodernisme. Penelusuran arkeologis dan pembacaan yang bercorak dekonstruktif terhadap tradisi (seperti yang diterapkannya ketika mengkaji masalah hubungan antara bahasa dan pemikiran dalam Islam) jelas memperlihatkan kuatnya pengaruh Michel Foucault dan Jacques Derrida yang berasal dari tradisi post-strukturalisme Perancis. Hal ini tidak cukup mengherankan karena Al Jabiri memang dibesarkan dalam tradisi Arab Maghribi (Maroko) yang sangat apresiatif terhadap pemikiran Perancis kontemporer.

Buku ini menjadi cukup layak untuk dibaca dan dikritisi bersama terutama karena kontribusi metodologisnya yang cukup kental. Selama ini dilema yang dihadapi umat Islam dalam membaca tradisi adalah kurangnya kerangka metodologis yang cukup memadai yang dapat menempatkan tradisi dalam makna yang positif dan produktif. Banjir pemikiran yang berasal dari berbagai kelompok kebudayaan masyarakat lain harus diwaspadai agar tidak menggerogoti otentisitas khazanah budaya umat Islam, sementara umat Islam juga harus berhati-hati dengan seruan untuk kembali kepada tradisi yang akhirnya malah dapat menjebak umat Islam dalam suasana ketertutupan yang pengap. Melalui tawaran Al Jabiri inilah, setidaknya, umat Islam menemukan alternatif penyelesaian. Wallahu a`lam.

Read More..

Kamis, 21 September 2000

Mewaspadai Ideologi Fasisme

Judul Buku: Fasisme
Penulis: Hugh Purcell
Pengantar: Mansour Fakih
Penerbit: Insist Press, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, Juli 2000
Tebal: 142 + xx halaman


Setiap negara yang sedang mengalami proses transisi menuju demokrasi, terutama negara-negara Dunia Ketiga, sering dihadapkan pada tantangan berat untuk mencapai cita kehidupan yang lebih baik. Suatu masyarakat yang telah sekian lama hidup dalam kepengapan rezim diktator yang mengebiri hak-hak dan membungkam kebebasan masyarakat seperti mengalami kegagapan yang sulit tertahankan ketika masuk dalam suatu tatanan masyarakat yang baru. Ada orang yang menyebutnya Euforia Demokrasi.

Itulah sebutan yang terdengar seperti peringatan sekaligus sindiran bagi dilema kehidupan demokrasi. Suatu masyarakat yang baru menapakkan kakinya di alam demokrasi sepertinya memang patut mengindahkan hal ini. Kehidupan demokrasi yang dicirikan dengan kebebasan berserikat dan mengemukakan pendapat memang juga memiliki potensi untuk menjerumuskan masyarakat pada situasi chaos dan anarkis. Maka tak heran bila Sokrates berkata bahwa demokrasi adalah nonsens. Semangat kebebasan yang dihadiahkan kepada rakyat banyak hanya akan menghasilkan riuhnya suara tanpa nada yang jelas dan bermutu.

Atau bahkan proses transisi menuju demokrasi itu malah terjebak ke dalam ideologi fasisme. Adakah ruang yang memungkinkan hal ini terjadi? Jawabnya: mengapa tidak? Sejarah telah mencatat bagaimana fasisme Jerman dibangun di atas rasa kekecewaan masyarakatnya terhadap kegagalan eksprimentasi demokrasi.

Gambarannya tidak terlalu sulit dan rumit. Bayangkan, ketika sebuah negara baru saja terbebas dari kerangkeng pemerintahan diktator dan mulai merayakan kebebasan. Berbagai kekuatan politik mendapat kesempatan untuk tampil ke publik, dan tentu saja mendapat ruang untuk memperebutkan kekuasaan. Kekuatan-kekuatan politik yang berlawanan tentu akan bermain intrik-intrik politik, bahkan mungkin hingga dalam bentuk yang paling kotor. Kondisi yang demikian ini dapat pula mengantarkan kehidupan negara ke dalam situasi disintegrasi yang kian terbuka. Sementara, kehidupan perekonomian tidak kunjung membaik. Dalam situasi yang demikian, maka kehadiran ideologi fasisme akan sangat mungkin untuk diterima di pangkuan masyarakat yang sedang membutuhkan penyelesaian instan atas berbagai masalah sosial-politik yang dihadapinya.

Fasisme secara harfiah berasal dari Bahasa Latin fasces yang berarti “ikatan” atau “seikat”. Sebagai sebuah ideologi, fasisme menawarkan suatu bentuk negara yang diikat kuat oleh semangat kebangsaan (nasionalisme) di bawah pimpinan seorang yang kuat dan cakap. Selain dibangun di atas konstruk sosial-politik yang sedemikian rupa, seperti tergambar secara singkat di atas, fasisme didasarkan di atas sejumlah gagasan mendasar, seperti paham darwinisme-sosial, semangat nasionalisme, dominannya peran negara, pentingnya kepemimpinan, dan rasisme.

Ideologi fasisme pada bagian yang paling mendasar menganut paham darwinisme-sosial. Kehidupan masyarakat dilihat sebagai sebuah perjuangan untuk survive di antara kelompok masyarakat yang lain. Adolf Hitler pernah berkata: “Selama ada orang di atas bumi ini, akan selalu ada bangsa yang melawan bangsa yang lain.” Karena itu, strategi yang perlu dipersiapkan oleh suatu bangsa adalah dengan memperkuat negara, termasuk dengan penyuburan semangat nasionalisme.

Nasionalisme dalam fasisme berarti bahwa negara dilihat sebagai penubuhan fisik dari semangat suatu bangsa. Negara, seperti kata Mussolini, adalah pembawa kebudayaan dan semangat rakyat. Semangat nasionalisme ini juga berarti bahwa setiap warga negara harus mengedepankan kepentingan negara di atas kepentingan individu. Dengan demikian, dominasi negara atas individu merupakan tuntutan yang tak bisa ditawar. Kemudian, dalam hal pengaturan negara, ideologi fasisme mempercayakan kepada seorang pemimpin. Kekuasaan bagi pengaturan negara tidak perlu diberikan kepada banyak orang, cukup kepada seorang pemimpin yang mampu.

Atas dasar konsep-konsep itulah, maka fasisme meneriakkan satu semboyan yang khas: “Ein Reich! Ein Volk! Ein Fuehrer!” -- Satu Negara! Satu Bangsa! Satu Pemimpin!. Karena negara identik dengan bangsa, maka setiap individu harus membaktikan dirinya kepada negara. Tak boleh ada suara yang berbeda dalam suatu negara. Hak untuk berbeda tidak lagi diakui. Semua gagasan harus sama, karena setiap perbedaan pendapat, sejauh itu menyangkut kehidupan bernegara, berarti suatu pengkhianatan—pengkhianatan terhadap bangsa dan negara. Dan setiap pengkhianatan merupakan pengesahan bagi si pengkhianat untuk dienyahkan.

Dari gambaran tersebut, tidak salah bila Arief Budiman menyebut Negara Fasis sebagai sebuah negara yang melebihi negara otoriter. Dalam negara otoriter pluralisme masih diizinkan, sedangkan dalam Negara Fasis, wadah organisasi hanyalah wadah yang dibentuk oleh negara. Nilai-nilai yang dikembangkan hanyalah nilai-nilai yang diperkenankan negara. Dr. Goebbels, Menteri Penerangan dan Propaganda Masyarakat dari Negara Fasis Jerman pimpinan Hitler memerintahkan: Tidak mendengar apapun yang kami menginginkan kamu tidak mendengar; tidak melihat apapun yang kami menginginkan kamu tidak melihat; tidak mempercayai apapun yang kami menginginkakn kamu tidak percayai; tidak berpikir apapun yang kami menginginkan kamu tidak berpikir!

Ideologi fasisme saat ini memang tidak lagi memiliki kekuatan yang cukup besar di dunia. Akan tetapi patut diingat, seperti ditengarai oleh Lyman Tower Sargent dalam Contemporary Political Ideologies, bahwa gerak ideologi fasisme memang kecil, tetapi aktif. Atau, seperti juga diingatkan oleh Mansour Fakih dalam pengantar buku ini, cara-cara fasis masih cukup sering dijumpai di mana-mana—dari ruang keluarga hingga dalam pentas negara. Ciri fasisme yang paling mudah dikenali adalah bahwa pertama kali ia menyerukan semangat persatuan kelompok dan kemudian menghalalkan cara-cara kekerasan dan teror sosial untuk meraih kekuasaan. Seperti diujarkan tanpa ragu oleh Hitler: “Revolusi yang hebat di dunia ini tidak disebabkan oleh kecerdasan dan ilmu pengetahuan, tetapi oleh beberapa bentuk fanatisme yang dapat menginspirasikan massa... mengangkat senjata!”

Buku ini memberikan pengantar yang cukup untuk memahami ideologi fasisme. Secara cukup rinci, buku ini menjelaskan tentang pengertian fasisme, kelahiran fasisme, kaidah dan seruan fasisme, serta perkembangan ideologi fasisme saat ini. Dengan penekanan pada kasus fasisme di Jerman dan Italia, buku ini tidak sekedar berbicara fasisme pada dataran teoritis dan mengawang-awang, tetapi juga dilengkapi dengan uraian sosio-historis tentang fasisme di kedua negara itu.

Posisi penting buku ini dalam konteks reformasi di Indonesia adalah bahwa ia menjadi suatu suara arif yang memperingatkan kita bersama agar berhati-hati untuk tidak terjebak ke dalam pelukan praktik politik ala fasisme yang sama sekali tidak menghargai perbedaan dan selalu menggunakan cara-cara yang represif. Demikian pula keterjebakan pada seruan nasionalisme yang sempit sehingga begitu mengagungkan negara dan melupakan masyarakat. Karena itu, buku ini sangat cocok untuk dibaca oleh semua kalangan, terutama bagi mereka yang cukup memiliki perhatian terhadap jalannya dinamika arus reformasi sosial-politik di negeri ini.

Read More..

Rabu, 13 September 2000

Pesan Inklusif dari Shambala

Judul Buku: Shambala: Fajar Pencerahan di Lembah Kesadaran
Pernulis: Anand Krishna
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Cetakan: Pertama, Maret 2000
Tebal: 230 + viii halaman


Teror kekerasan menyebar di mana-mana. Kerusuhan, tawuran, atau bahkan perang adalah berita biasa yang tampil setiap hari. Konflik antar-agama tak kunjung reda. Bahkan, ada ajakan dan seruan untuk “berperang” di jalan Tuhan, demi agama.
Betapa kehidupan sudah dikotori oleh tangan manusia sendiri. Di tengah kemajuan teknologi yang kian pesat, hidup spiritual manusia kian terabaikan tak terisi. Kesadaran spiritual manusia kini entah terisi oleh apa; mungkin kesadaran material telah meluap sedemikian rupa. Rasa terasing dan putus asa menghadapi kehidupan yang belakangan semakin tampak tidak bersahabat telah memutuskan rasa kemanusiaan terhadap sesama, sehingga tindak kekerasan lebih terasa memungkinkan untuk muncul ke permukaan.
Di tengah situasi yang demikian, ada beberapa pemikir yang mencoba meramalkan bahwa abad ke-21 adalah abad agama. Andre Malraux, seorang filsuf Perancis meramalkan bahwa abad ke-21 adalah era kebangkitan agama, atau kalau tidak demikian, dunia tidak akan dapat disaksikan lagi oleh manusia. Pertanyaannya adalah: keberagamaan yang macam apa yang nanti akan muncul? Kebanyakan orang sudah merasa kecewa bahwa selama ini agama ternyata tidak menampakkan wajahnya yang ramah. Berbagai tragedi konflik sosial bermotif agama seperti meneriakkan ancaman agama sekaligus bernada pembetulan bagi suatu perseteruan suci, sehingga seruan kemanusiaan agama teralpakan.
Secara teoritis, ada tiga model keberagamaan yang berintikan perbedaan tingkatan bagi penghayatan keimanan atau religiusitas. Tingkat pertama terwujud dalam bentuk pengabdian atau pembelaan secara fisik terhadap agama, seperti aspek ritual, dan sebagainya. Tingkat kedua berupa pembelaan kebenaran keimanan melalui suatu dialog rasional dan terbuka di antara pemeluk keimanan yang berbeda. Tingkat ketiga adalah penghayatan yang sudah tiba di jenjang yang melampaui formalitas agama-agama. Pada tingkat ini, seorang pemeluk keimanan tertentu telah menemukan the common vision—dalam istilahnya Huston Smith—yang menyatukan pesan berbagai tradisi spiritualitas. Spiritualitas keagamaan sudah tiba pada pemahaman dan rasa kesadaran akan persaudaraan manusiawi, sehingga sekat formalitas agama-agama sudah tidak berfungsi lagi.
Model penghayatan keimanan yang ketiga inilah yang dalam buku bagus karya terbaru Anand Krishna ini berusaha untuk disosialisasikan. Dalam buku ini, Anand Krishna mengajak khalayak pembaca untuk bersama-sama kembali merenungkan hakikat spiritualitas keagamaan dalam konteks persaudaraan manusia membangun peradaban dunia yang lebih baik dan penuh kedamaian.
Untuk menyampaikan pesan ini, Anand Krishna memilih bentuk fiksi, yakni sebuah alur cerita petualangan seorang bernama Joseph yang beragama Kristen ke India. Di awal cerita dikisahkan bagaimana hancurnya perasaan Joseph ketika mengetahui bahwa kekasihnya, Dewi, yang beragama Islam, bunuh diri lantaran hubungan mereka tidak disetujui oleh orang tua Dewi. Surat terakhir dari Dewi sebelum ia mengakhiri hidupnya menghadirkan pertanyaan-pertanyaan yang bagi Joseph menggugah kesadaran keberagama-annya. Joseph penasaran. Dan, selama perjalanannya ke India itulah Joseph masuk ke dalam suatu petualangan spiritual yang pada akhirnya mengantarkan Joseph ke Shambala.
Shambala bagi Anand Krishna adalah suatu tempat di pegunungan Himalaya yang menjadi semacam ‘Jantung Dunia’ (hal. 75). Dalam berbagai literatur, Shambala digambarkan sebagai tempat yang memungkinkan dialaminya suatu pengalaman spiritual lintas agama. James Redfield misalnya, dalam novel terbarunya berjudul The Secret of Shambala yang merupakan lanjutan dari novel bestseller sebelumnya, yakni The Celestine Prophecy dan The Tenth Insight menyatakan bahwa Shambala adalah the synthesis of all religions. Di Shambala, pesan damai agama-agama terawat dengan baik. Shambala mengusung pesan inklusif agama-agama.
Selama di Shambala itulah, Joseph kemudian menemukan sekaligus mengalami fajar pencerahan yang mengantarkan pemahaman Joseph pada suatu kesadaran keberagamaan yang inklusif, melampaui formalitas agama-agama—suatu model keberimanan yang peduli terhadap sesama dan alam raya. Agama bagi Joseph adalah suatu jalan yang membentang untuk mengantarkan manusia pada Tuhan, yang kesadarannya tumbuh dari pengalaman individual (eksistensial) (hal. 64). Religiusitas baru akan tumbuh ketika individu-individu mengalami dan terlibat dengan pesan terdalam yang dipancarkan spiritualitas tersebut. Dan religiusitas itu memancar dari setiap diri seseorang. Begitulah halnya dengan Joseph, ketiga tragedi cinta yang menimpanya telah menghalau kesadaran Joseph kepada suatu kesadaran spiritual (yang inklusif). Sebaliknya, religiusitas yang dihayati tanpa dialami dan tanpa terlibat di dalamnya hanya akan melahirkan tafsir-tafsir keagamaan yang kaku, dan cenderung melupakan pesan damai agama (hal. 170).
Tuhan itu Satu Ada-Nya. Agama-agama yang berbeda itu hanyalah jalan untuk menuju Tuhan yang Satu Ada-Nya (hal. 93). Pandangan semacam ini akrab terdengar dari pemikiran khas Filsafat Perennial. Dalam perspektif Filsafat Perennial, Tuhan adalah ibarat cahaya yang ditangkap dalam pelbagai warna oleh manusia, sehingga melahirkan beragam agama. Sementara itu, hakikat Agama tetaplah satu. Hanya karena partikularitas historis sajalah agama lahir dengan sebutan yang bermacam-macam.
Kesadaran semacam inilah yang terasa mulai hilang dari para pemeluk agama-agama. Hal ini mungkin bisa sedikit dimaklumi, ketika agama secara sosiologis mengalami proses reifikasi atau pengentalan, maka spirit suci agama menjadi tertimbun simbol-simbol yang dibakukan oleh pemeluk agama itu sendiri.
Kehadiran buku ini selayaknya disambut baik oleh masyarakat di Indonesia, yang pada dasawarsa terakhir kerap mengalami tragedi konflik sosial berlatar perbedaan agama. Anand Krishna, pecinta dunia mistik keturunan India ini seperti menyerukan rasa keprihatinannya terhadap berbagai tragedi itu, untuk kemudian mengingatkan pentingnya mengedepankan model spiritualitas-antropomorfis-humanis untuk membangun peradaban manusia di milenium ketiga. Visi perennial yang berusaha menegaskan the common vision dari agama-agama diangkat setinggi-tingginya melalui dialog para tokoh yang terlibat dalam rangkaian cerita ini.
Model keberagamaan sufistik yang inklusif inilah sebenarnya patut dijadikan model keberagamaan di era mendatang. Tragedi kemanusiaan harus diakhiri. Rasa persaudaraan harus dijunjung tinggi. Agama harus berpihak kepada manusia. Pemahaman etis yang seperti inilah yang oleh Hans Kung disebut sebagai “Etika Global” agama-agama, yang dilandasi pada suatu kerinduan dan kebutuhan konkret terhadap dunia yang penuh damai. Upaya untuk menghidupkan kembali pesan sufistik-inklusif dari agama-agama juga dilakukan dalam rangka menghindari politisasi terhadap agama yang dapat menyuburkan sikap fanatis, intoleran, dan eksklusif. Sebab, kalau mau lebih dipikirkan secara mendalam, sikap-sikap ideologis terhadap agama tersebut sebenarnya adalah cara lain bagi pengebirian religiusitas agama itu sendiri.

Read More..