Minggu, 30 Januari 2000

Tafsir Marxisme Atas Sejarah Islam

Judul Buku: Asal-Usul dan Perkembangan Islam: Analisis Pertumbuhan Sosio-Ekonomi
Penulis: Asghar Ali Engineer
Penerbit: Insist bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, November 1999
Tebal: viii + 342 halaman


Setiap agama dalam perkembangannya dapat dilihat sebagai sebuah ideologi atau sebuah pandangan-dunia (weltanschauung) yang memandu jalan pikiran setiap umat pemeluknya. Dalam perspektif Marxian, ideologi dapat dimaknai secara kurang simpatik: ia bersifat menipu, karena sebuah ideologi pada akhirnya seringkali berusaha memahami realitas secara terbalik, lepas dari konteks sosio-historis, sehingga ia sama sekali tidak mampu merepresentasikan realitas historis seperti ketika ia lahir. Ideologi semata-mata menjadi palsu, menipu, dan hanya melayani kepentingan tertentu.
Merasa terancam dengan pembacaan ideologis terhadap agama, dalam hal ini agama Islam, Asghar Ali Engineer—seorang cendekiawan muslim terkemuka dari India—merasa terpanggil untuk meletakkan Islam sesuai dengan konteks historis ketika ia lahir dan mengalami perkembangannya. Jalan yang ditempuh Asghar dalam hal ini adalah jalan sejarah, yakni dengan melacak realitas historis asal-usul dan perkembangan Islam. Secara metodologis, Asghar bertolak dari tradisi Marxian, yakni dengan menggunakan metode materialisme-historis. Dengan materialisme-historis dimaksudkan bahwa asal-usul dan perkembangan Islam dijelaskan dengan mencoba menangkap faktor-faktor sosial-ekonomi yang terlibat di dalamnya. Materialisme-historis itu sendiri mengandaikan bahwa perkembangan sejarah ditentukan oleh cara-cara produksi suatu masyarakat. Dengan demikian, Asghar melihat Islam bukan semata-mata gerakan keagamaan belaka, melainkan juga sebagai sebuah gerakan transformasi di bidang sosial dan ekonomi.
Kelahiran Islam di kawasan Arab menurut Asghar ternyata memang tak bisa dilepaskan dari konteks historis yang begitu kental. Situasi kawasan Arab ketika itu sedang dilanda krisis multidimensional; sosial, ekonomi, moral, dan spiritual. Menyusul setelah hancurnya bendungan Ma'rib di wilayah selatan Arab, arus migrasi kaum badui (suku nomad) ke kota Mekah menjadi tak terbendung, sehingga menjadikan Mekah sebagai pusat perdagangan di kawasan Arab. Dengan dijadikannya Mekah sebagai kota dagang, terjadilah perubahan struktur sosial yang cukup menentukan di kota itu. Aktivitas perdagangan yang berlangsung secara intens perlahan-lahan mengubah corak humanisme suku masyarakat Arab kepada suatu sikap individualisme. Solidaritas suku yang semula dominan dalam masyarakat kota Mekah lambat-laum bergeser menjadi solidaritas kelas.
Posisi kota Mekah sendiri secara geografis berada di antara kepungan dua kerajaan besar, yakni Bizantium dan Romawi. Dua kerajaan besar ini juga merupakan raksasa ekonomi yang cukup menentukan di wilayah Arab, karena kekayaan sumber daya alam yang dimilikinya. Masyarakat pedagang kota Mekah berada dalam suatu usaha mempertahankan kemandirian bisnis mereka di antara percaturan bisnis kawasan Arab. Mereka juga segan untuk menerima ajaran agama (kepercayaan) dari luar sistem masyarakat mereka sendiri, seperti agama Yahudi yang dianut kerajaan Bizantium atau agama Kristen yang dianut kerajaan Romawi.
Di tengah-tengah situasi yang demikian, Islam hadir ke tengah-tengah masyarakat pedagang Mekah. Muhammad, Sang Utusan Tuhan, hadir tidak sekedar dengan visi transendentalnya saja. Muhammad juga adalah seorang pribadi yang cukup responsif terhadap situasi transformasi ekonomi dan sosial yang berlangsung di kota Mekah. Muhammad mengajarkan nilai persatuan dan persamaan derajat di tengah-tengah berkembangnya kecenderungan individualisme dan solidaritas kelas. Dalam konteks inilah bisa dipahami penolakan para elit pedagang Mekah terhadap agama baru ini. Kalau Islam hanya hadir dengan mengajarkan keesaan Tuhan belaka, tanpa adanya kritik sosial-ekonomi yang cukup tajam, niscaya semua masyarakat Arab bisa menerimanya.
Muhammad berusaha mengimbangi ketimpangan sosial-ekonomi yang mulai terbaca dengan ajaran-ajaran yang berbau sosial (persatuan dan persamaan derajat). Hal ini tercermin dalam ayat-ayat Makkiyah (ayat al-Qur'an yang diturunkan di kota Mekah) yang pendek dan tegas, dan penuh dengan peringatan bagi mereka yang menumpuk harta-benda tanpa mau menghiraukan orang-orang di sekitar. Meski demikian, al-Qur'an juga menghargai arus perubahan sosial yang mengarah kepada individualisme, dengan mengajarkan bahwa dalam hal pertanggungjawaban di hadapan Tuhan kelak, semua orang hanya hadir sebagai individu-individu yang bertanggungjawab atas perbuatannya sendiri.
Cita-cita Muhammad mempersatukan masyarakat pedagang Mekah sebenarnya juga dilandasi dengan suatu kesadaran akan posisi Mekah di antara kerajaan Bizantium dan Romawi. Muhammad ingin membangun suatu kekuatan ekonomi yang tangguh di kalangan masyarakat kota Mekah, dengan dilandasi suatu spirit persatuan dan persamaan derajat dengan dasar agama Islam. Kesadaran ini kiranya cukup dapat dimaklumi, karena Muhammad sendiri pernah menggeluti dunia bisnis bersama Khadijah, seorang pedagang sukses yang kemudian menjadi istrinya.
Kepindahan Muhammad dari kota Mekah ke kota Yatsrib—yang kemudian diubah namanya menjadi Madinat al-Nabi (Kota Nabi)—didasarkan atas posisi Muhammad yang semakin sulit di kota Mekah. Kehadiran Muhammad di kota Madinah sendiri sebenarnya memang cukup strategis dan berada dalam momen yang bagus. Kota Madinah ketika itu merupakan suatu wilayah yang rawan konflik, baik konflik antar-suku maupun dengan kaum Yahudi di sana. Kehadiran Muhammad ternyata cukup mampu untuk menjadi penengah sekaligus peredam konflik di antara mereka. Segera setelah berdiam di kota Madinah, Muhammad menyusun suatu rumusan perjanjian yang dikenal dengan Konstitusi Madinah. Konstitusi ini merupakan suatu revolusi besar-besaran bagi masyarakat Madinah, karena konstitusi yang lahir dalam suasana politis yang begitu dominan ini berusaha mengalihkan kekuasaan dari tangan suku-suku kepada tangan masyarakat luas.
Apa yang dilakukan Muhammad semenjak tinggal di Madinah adalah usaha untuk membangun kekuatan untuk dapat kembali ke kota Mekah. Muhammad menghimpun kekuatan sosial-ekonomi melalui penyerangan terhadap kafilah-kafilah kota Mekah yang dimaksudkan untuk menghancurkan kekuatan ekonomi Mekah, serta dilanjutkan dengan penaklukan beberapa wilayah. Hal ini juga dibarengi dengan perumusan aturan-aturan hukum (syari`ah), karena semenjak di Madinah, posisi Muhammad sebenarnya sudah mirip dengan seorang pemimpin negara yang memiliki otoritas sosial-politik.
Akan tetapi, penaklukan-penaklukan wilayah yang dilanjutkan sepeninggal Muhammad oleh para Khalifah semakin nampak mengisi nuansa feodal dalam ajaran-ajaran Islam. Dengan semakin luasnya kekuasaan Kerajaan Islam, maka bermunculanlah borjuasi-borjuasi baru di kalangan umat Islam sendiri. Ajaran persatuan dan persamaan derajat yang menjadi semangat awal agama Islam diabaikan karena intrik-intrik politik yang tidak sehat. Hal ini semakin menjadi kental mulai masa Khalifah Usman hingga pemerintahan Dinasti Umayyah. Aspek yang semata-mata politik (kekuasaan) menjadi faktor utama dalam mewarnai perkembangan agama Islam. Bahkan, kelahiran sekte-sekte dalam Islam—Syi`ah, Khawarij, dan yang lainnya—amat kental dengan aroma politik.
Di sinilah letak relevansi buku bagus ini terutama dalam memahami kondisi aktual saat ini. Ketika sebuah agama dibaca semata-mata sebagai sebuah ideologi (dogma) yang terlepas dari realitas historis seperti ketika ia lahir, maka agama menjadi sangat mudah untuk dijadikan topeng besar bagi kepentingan suatu kelompok. Tafsir agama yang sama sekali ahistoris akan mudah ditunggangi kelompok tertentu di belakangnya, sehingga agama kehilangan visi transformatif dan toleran dan lebih berbau eksklusif-diskriminatif.
Blokade sejarah yang begitu ketat dalam kesadaran umat beragama selayaknya harus mulai ditembus. Buku ini secara baik cukup mampu memberikan semacam pengantar bagi suatu upaya menyibak tirai sejarah asal-usul dan perkembangan Islam yang sarat dengan muatan politik dan ekonomi. Dengan cerdas, buku ini berusaha memberi penjelasan rasional yang bersifat historis-dialektis antara norma transenden agama dengan kebutuhan sosiologis-kultural masyarakat. Dengan pemahaman sejarah yang demikian, kiranya umat Islam—seperti juga umat agama lain—tidak berlaku gegabah dalam menafsirkan suatu ajaran tertentu, karena pada dasarnya Islam lahir dalam suatu konstruksi historis tertentu. Kesadaran akan sejarah inilah yang seharusnya selalu dirawat dan dipelihara dalam nalar setiap umat agar agama yang diyakininya tidak menjadi hantu, atau bahkan candu, yang bisa melelapkan kesadaran dari tuntutan realitas yang wajar dan bersifat lebih manusiawi.

Read More..