Sabtu, 31 Agustus 1996

“Kekeringan” Batin Manusia Modern


Fenomena kemanusiaan di era yang disebut sebagai zaman modern ini menggambarkan sebuah gambaran menarik tentang potret kehidupan manusia dalam perjalanan meniti kehidupannya di dunia. Zaman modern yang ditandai dengan berbagai macam perkembangan pesat di berbagai segi kehidupan manusia, terutama perkembangannya di bidang teknologi, telah membawa dampak yang sangat terasa pengaruhnya dalam tatanan kehidupan sosial masyarakat. Kecenderungan hidup pun sedikit demi sedikit mengalami perubahan yang cukup berarti. Sementara, tampak sebuah kenyataan bahwa teknikalisme serta bentuk-bentuk yang terkait dengannya semakin memiliki peran sentral dalam kehidupan manusia.1 Ketergantungan terhadap teknologi, sebagai salah satu bentuk kongkritnya, adalah suatu fakta yang mengisyaratkan akan hal tersebut.

Maka, sebagai akibatnya orientasi hidup manusia juga turut mengalami pergeseran. Manusia modern, sebagaimana digambarkan oleh banyak pengamat, telah mulai kehilangan arah untuk mendapatkan makna hidup yang dicarinya. Di sisi yang lain, bencana alam, perang antar bangsa, pencemaran akibat industrialisasi, menyebarnya wabah penyakit yang ganas, pemerkosaan hak-hak asasi manusia dan semacamnya mulai mewarnai kehidupan manusia modern. Dari satu sisi gambaran di atas, maka abad ke-20 ini juga dikenal dengan abad kecemasan (the age of anxiety).2

Apalagi memasuki abad pasca-modern ini, yang dianggap menyimpan segudang ancaman, terutama bagi keberlangsungan spiritualitas manusia, tantangan itupun menjadi semakin bertumpuk saja. Masyarakat dari hari ke hari semakin diberondong dan terkurung oleh berbagai macam budaya-budaya dan tata nilai yang oleh Jean Baudrillard sebagaimana dikutip Yasraf A. Piliang disebut realitas-realitas semu (hyper-real).3

Tulisan berikut ini berusaha untuk melihat lebih jauh permasalahan-permasalahan manusia modern dalam usahanya mencari makna hidup yang hakiki, di tengah-tengah perkembangan global di seluruh penjuru dunia. Di akhir tulisan ini, penulis mencoba memberikan sekedar tawaran solusi alternatif atas permasalahan tersebut, ditinjau dari perspektif Islam sebagai sebuah ajaran hidup yang komprehensif.


Era Modern dan Krisis Makna Hidup

Dalam sebuah teorinya tentang transformasi sosial, Alvin Toffler mengatakan bahwa perkembangan masyarakat dari sudut teknologi adalah bermula dari tahap primitif ke arah gelombang transformasi peradaban yang mengarah ke revolusi pertanian dan revolusi industri, yang diakibatkan dari penemuan-penemuan di bidang teknologi. Selanjutnya, untuk negara-negara yang telah maju, transformasi berikutnya mengarah pada transformasi gelombang ketiga yang disebutnya sebagai abad informasi.4

Sejak revolusi industri di Inggris tumbuh dan berkembang sebagai akibat timbulnya gerakan renaissance, terjadilah perubahan besar-besaran pada tatanan kehidupan manusia dengan menghancurkan tatanan-tatanan lama yang berkembang, yang kemudian terbentuklah sebuah acuan baru sebagai pedoman menjalani kehidupan manusia. Orientasi rasionalisme dan materialisme sedikit demi sedikit berkembang menjadi sebuah nilai yang inheren dalam masyarakat saat itu. Di bidang orientasi nilai kehidupan, perhatian manusia beralih kepada capaian-capaian duniawi yang bersifat materi dan penuh dengan semangat individualistis. Bahkan masyrakat ketika itu kemudian bersikap kritis terhadap ajaran-ajaran agama, dengan dalih menyejalankan ajaran agama itu dengan ilmu pengetahuan modern. Maka timbullah berbagai macam isme-isme baru yang merupakan mata rantai dari paradigma nilai yang berkembang sebelumnya. Isme-isme itu antara lain adalah hedonisme, liberalisme, kapitalisme, sekularisme, permissive, dan sebagainya.5

Transformasi industrial tersebut tentunya berdampak luas bagi segi kehidupan manusia secara keseluruhan. Segi-segi kehidupan masyarakat kemudian banyak didominasi oleh pabrik-pabrik, sebagai sebuah bagian dari faktor industri. Dalam artian, masyarakat diorganisasi seefisien mungkin sehingga manusia mirip sebuah mesin.6 Sehingga dampak lain yang begitu terasa, menurut Max Weber, adalah keterasingan manusia dari anggota masyarakatnya. Karena dalam masyarakat kapitalis, manusia akan selalu lebih banyak mengadakan kontak dengan alat-alat daripada dengan sesama manusia. Sementara dalam kehidupan bernegara manusia hanya menjadi instrumen dalam mekanisme kehidupan. Maka alienasi manusia tersebut menjadi sebuah realitas sosial yang nyata.7

Walaupun segenap usaha pembangunan dikerahkan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia, baik kebutuhan lahiriah atau batiniah, ternyata industri—atau lebih tepatnya teknologi—belum dapat memenuhinya dengan sempurna. Kejenuhan terhadap aktivitas kerja dan kesibukan hidup sehari-hari kemudian dicarikan jalan keluarnya. Maka dikembangkanlah industri pariwisata dan hiburan (entertainment)—dalam artian yang sangat luas—sebagai salah satu alternatif. Namun ternyata, ia tak mampu mengatasi permasalahan ini. Bahkan ia hanya menjadi usaha politis pihak penguasa untuk memalingkan rakyat dari isu-isu politik yang sedang hangat di masyarakat.8

Upaya-upaya pencarian makna hidup manusia modern akhirnya mereka tempuh dengan cara-cara yang aneh dan tidak sesuai denagn fitrah kemanusiaannya atau bahkan dengan cara yang berbahaya.9 Masyarakat modern yang kini telah mengalami ketidaksadaran massal itu akhirnya hanya berusaha menemukan makna hidupnya itu berputar-putar dalam realitas semu. Kita dapat melihat orang-orang yang terjerat pada kecanduan narkotik, mabuk-mabukan dan sebagainya. Hal-hal tersebut mereka tempuh sebagai usaha untuk meraih kebahagiaan dan makna hidup. Namun sayang cara yang mereka tempuh tidak mampu menjamin akan tercapainya apa yang mereka cari itu. Akibatnya, manusia modern kemudian mengalami apa yang oleh Viktor E. Frankl disebut sebagai frustrasi eksistensial, setelah mereka gagal untuk menemukan makna hidup yang diimpikan itu.10 Akhirnya, manusia modern diliputi oleh berbagai macam tekanan jiwa, yang terwujud dalam bentuk stress, neurosis noogenik, dan sebagainya. Dan, bertambahlah problem yang mereka hadapi itu dengan masalah-masalah baru yang kian kompleks.

Menurut Seyyed Hossein Nasr, seorang tokoh yang dikenal dengan ide-idenya tentang filsafat perennial, masyarakat modern telah kehilangan visi keilahiannya dalam menghadapi realitas hidup. Visi tersebut menjadi tumpul ketika mereka telah menjadi pemuja ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga integritas kemanusiaannya menjadi tereduksi dan kemudian ia terperangkap ke dalam sistem rasionalitas yang sangat tidak manusiawi.11

Pada bagian yang lain, di sisi eksternal teknologi modern telah menjadikan negara-negara berkembang sebagai obyek dari teknologi yang ada dengan penuh sikap ketergantungan kepada negara-negara maju sebagai penguasa industri. Keterikatan inilah yang kemudian menjadikan struktur politik dan pemerintahan negara berkembang tersebut cenderung menjadi eksploitatif, represif, serta memperlakukan masyarakatnya sebagai budak-budak yang banyak terbantung kepada elit penguasa.12 Maka, keinginan untuk dapat hidup lebih demokratis—yang sangat diimpikan oleh masyarakat negara berkembang itu—akhirnya menjadi sulit—untuk tidak mengatakan tidak mungkin—tercapai dengan sempurna. Selanjutnya, praktik politik totalitarianisme dan otoritarianisme menjadi sebuah realitas sejarah yang tak dapat dihindari.

Demikianlah, gambaran mengenai krisis yang sedang dialami oleh manusia modern, yang oleh Baigent—sebagaimana dikutip Nurcholish Madjid—disebut sebagai krisis epistemologis. Yaitu, masyarakat modern tidak lagi mengenal dan mengetahui makna dan tujuan hidup (meaning and purpose of life) yang hakiki.

Dan, akhir-akhir ini, manusia rupanya semakin menyadari bahwa seluruh krisis di bumi ini, tidak hanya disebabkan alasan material, tapi justru lebih pada sebab-sebab transendental. Yakni sebab-sebab cara pandang manusia terhadap alam ini. Atau—meminjam istilahnya Budhy Munawar-Rachman—dunia modern sekarang ini tidak lagi memiliki horizon spiritual. Bukannya horizon spiritual itu tidak ada, tetapi karena manusia modern itu hanya berputar-putar di daerah pinggirannya saja.13


Alam Keruhanian dan Manusia Modern

Salah satu dampak yang kita dapatkan dari berkembangnya ilmu pengetahuan modern dan teknologi adalah menipisnya kepercayaan kepada hal-hal yang gaib. Manusia modern telah meragukan hal-hal yang tidak dapat dijangkau ilmu pengetahuan modern dan hanya percaya kepada kenyataan-kenyataan empirik. Nurcholish Madjid memberikan sebuah gambaran, bahwa orang-orang dahulu mungkin harus berdoa agar tempat tinggalnya tidak disambar petir, karena mereka beranggapan bahwa petir adalah ekspresi kemurkaan Tuhan. Namun bagi manusia modern ia tidak bersikap demikian. Untuk menangkal petir, lanjut Nurcholish, manusia modern kini dapat menangkalnya dengan alat tertentu (penangkal petir).14

Padahal, menurut Ibnu Taimiyah sesuatu yang tidak dapat kita jangkau dengan akal pikiran belum tentu tidak ada wujudnya. Sementara, Huston Smith, sebagaimana dikutip oleh Nurcholish Madjid dari bukunya yang sempat menjadi best seller dunia berjudul Forgotten Truth, mengatakan bahwa apa-apa yang kita lihat ini pada hakikatnya tidak seperti apa yang nampak dalam pengalaman kita sehari-hari. Indera kita tidak dapat memberi informasi tentang hakikat alam yang sebenarnya.15

Al-Qur’an sendiri mengisyaratkan bahwa dimensi keruhanian itu sendiri terdapat dalam benda-benda di dunia ini, baik yang bernyawa atau yang tak bernyawa.16 Dan menilik dari apa yang tersirat dari beberapa ayat mengenai hal tersebut, sepertinya Al-Qur’an sedikit memberi perhatian bagi kita untuk memberikan perhatian lebih kepada dimensi keruhanian tersebut dalam usaha untuk mencapai kebahagiaan hidup.17

Sementara bila kita lihat dari struktur kepribadian manusia, ruh yang juga memiliki dimensi keruhanian tersebut merupakan salah satu dimensi yang memiliki kedudukan dalam struktur kepribadian manusia itu sendiri. Aspek kejiwaan manusia tersebut juga sangat menentukan dalam perilaku kehidupan manusia, terutama dalam upaya pemenuhan kebutuhannya. Sehingga bila ternyata kebutuhan ruhani mereka tidak terpenuhi, maka sepertinya akan ada sesuatu yang hilang (something lose) dalam kehidupan mereka. Dan inilah yang telah diabaikan oleh manusia-manusia di abad mesin ini.

Bila kita melihat dimensi ruhani ini secara cermat dan sempurna, sebagaimana diungkapkan Jalaluddin Rakhmat, mengutip pendapat Harman, sebenarnya dimensi inilah hierarki pengetahuan tertinggi yang juga merupakan tujuan universal dari sains modern. Lebih lanjut Jalal memberikan gambaran sebagai berikut. Misalnya kita sakit flu. Pada tingkat sains pertama (sains fisikal) kita dapat menyebut penyebabnya adalah virus. Pada tingkat sains kedua (sains kehidupan), kita akan menyebut bahwa itu disebabkan terganggunya sistem kekebalan tubuh kita. Sementara pada tingkat sains ketiga (sains manusia) kita bisa mengatakan itu karena stress, baik karena masalah keluarga, masyarakat, lingkungan, dan sebagainya. Dan pada tingkat sains keempat (sains Ruhaniah) kita akan mempunyai persepsi yang lain. Kita tentunya akan mempertanyakan: stress itu bersumber dari mana? Maka jawabannya: stress itu adalah respon psikologis terhadap lingkungan yang bersumber dari persepsi “jiwa”.18

Akhirnya, tentu kita dapat menyimpulkan bahwa pada hakikatnya, dimensi ruhaniah inilah yang menjadi tujuan universal sains modern. Sementara itu, sains modern yang berkembang selama ini nampak cenderung bersifat reduksionis sekali. Sehingga untuk mencapai tingkat eksistensi sains yang lain tidak bisa untuk diterapkan.19


Kembali Kepada Yang Transenden

Ada sementara orang begitu pesimis dengan manusia modern. Rasa pesimis mereka tersebut bukannya diungkapkan tanpa alasan begitu saja. Tetapi berdasarkan atas realitas historis yang nampak di depan mata kita, yang memang nampak mencemaskan. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa “lonceng kematian” sains modern telah benar-benar berdentang. Suaranya menggema ke seluruh penjuru dunia dan telah mengagetkan manusia-manusia yang selama ini menomorsatukan sains modern itu. Kondisi modernitas ini membawa manusia pada persimpangan jalan yang betul-betul membingungkan. Dan pilihannya hanyalah antara to be or not to be.20

Lalu, kira-kira bagaimanakah jalan keluar dari aneka ragam problem manusia modern ini?

Mungkin, satu-satunya jalan yang perlu diambil oleh manusia modern ini adalah kembali kepada kebenaran transendental yang abadi, yang oleh Jalaluddin Rakhmat diistilahkan dengan kearifan perennial.

Kearifan perennial ini dapat kita katakan sebagai sebuah corak penghayatan keagamaan secara esoteris dengan berdasarkan kepada pengalaman-pengalaman spiritual yang berlandaskan kepada wahyu. Ini memang membutuhkan sebuah tingkat kedisiplinan yang tinggi yang bersifat medidatif. Kearifan perennial, mencoba untuk menggali kembali nilai-nilai suci dalam diri manusia yang bersifat metafisik, untuk kemudian diekspresikan dalam bentuk aksi sosial.21

Usaha semacam ini berangkat dari asumsi dasar bahwa di era modern ini manusia telah “menghapus agama” akibat kesadaran subyektifnya berkembang setelah pemikirannya diracuni oleh filsafat-filsafat modern yang penuh dengan nilai-nilai materialistis serta semangat membangun dunia material yang tinggi, dengan mottonya: Sapere Aude! (beranilah berpikir sendiri!).22

Paradigma kearifan perennial ini sebenarnya bukan isu baru bagi wacana pemikiran dunia filsafat. Ia sebenarnya telah tertanam sebagai nilai suci dalam nurani manusia pada bagian yang terdalam. Usaha untuk kembali menangkap pesan-pesan kearifan perennial ini hanyalah semacam usaha “penemuan kembali” kesadaran hakiki yang intrinsik tersebut.23

Inti dari kerangka berpikir kearifan perennial tersebut, adalah kembali kepada wahyu—sebagai sumber dan dasar sebuah agama—dengan menambah nilai-nilai semangat wahyu pada sains yang dikembangkan. Dan, belakangan gerakan pemikiran ini kemudian dikenal pula dengan gerakan tradisionalisme yang merindukan kebenaran abadi (sophia perennis). Ia berusaha untuk mengangkat derajat manusia pada tataran yang lebih tinggi dengan meninggalkan nilai-nilai materialisme yang terkandung dalam sains modern.

Ide dan gagasan seputar hal tersebut, akhir-akhir ini tersosialisasikan secara intens dan penuh dengan dinamika yang positif. Beberapa tokoh psikologi semisal Viktor E. Frankl, Stuart B. Litvak, Charles Tart, Robert Ornstein, dan sebagainya mulai ada gejala untuk mengembangkan psikologi tradisional yang banyak memadukan konsep-konsep keagamaan dengan psikologi.

Akhirnya, cerita tentang problem manusia modern memang masih tetap akan terus berlanjut seiring dengan perputaran zaman dari waktu ke waktu. Maka tak ada salahnya bila kita bersama kembali merenungkan, memikirkan serta mendialogkan hal tersebut dengan serius dan intensif sebagai sebuah refleksi dari rasa tanggung jawab kolektif sebagai umat manusia.


Catatan Kaki

1. Dari fenomena ini, Dr. Nurcholish Madjid mengatakan bahwa hakikat inti dari zaman modern ini adalah zaman teknik (technical age). Lihat, Dr. Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, Cet. II, Desember 1992, hh. 451-2.

2. Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam: Menuju Psikologi Islami, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. I, Oktober 1995, h. 192.

3. Yasraf A. Piliang, Terkurung di Antara Realitas-Realitas Semu: Estetika Hiper-realis dan Politik Konsumerisme, Ulumul Qur’an, No. 4/Vol. V/Th. 1994, hh. 102-3.

4. M. Dawam Rahardjo, Intelektual, Inteligensia, dan Perilaku Politik Bangsa: Risalah Cendekiawan Muslim, Bandung: Mizan, Cet. I, Mei 1993, h. 163.

5. A. Naufal Ramzy, Islam Kontekstual di Tengah Kompleksitas Modernisme Global, makalah seminar pada Seminar Sehari bertema “Islam sebagai Kekuatan Alternatif Menyongsong Kebangkitan Islam”, dilaksanakan oleh OSIS MA 1 Annuqayah pada tanggal 23 Juli 1993 di Auditorium Annuqayah, Guluk-Guluk Sumenep, hh. 15-20.

6. Dr. Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi Menuju Aksi, Bandung: Mizan, Cet. III, Oktober 1991, h. 173

7. M. Dawam Rahardjo, Op. Cit., hh. 165-6.

8. Ini berdasarkan pada penjelasan Ngatawi al-Zastrow, seorang aktivis LSM dari Yogyakarta sekaligus mahasiswa IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ketika mempresentasikan makalahnya pada Dialog Terbuka SEMA STIS Annuqayah dengan tema “Peta Politik dan Gebyar Demokratisasi” pada tanggal 22 Juli 1995 di PP Annuqayah. Sementara itu, media massa, televisi, dan sebagainya yang berfungsi sebagai media hiburan dan informasi, akhirnya hanya menjadi semacam hidden tirany ketika berada di bawah regim otoriter. Lihat, Yudi Latif dan Idi Subandy Ibrahim, “Kekerasan” Spiritual dalam Masyarakat Pasca-Modern, Ulumul Qur’an, No. 03/Vol. IV/Th. 1994, hh. 73-5.

9. Soedjatmoko, Etika Pembebasan, Jakarta: LP3ES, Cet. I, Mei 1984, hh. 114-5.

10. Hanna Djumhana Bastaman, Dimensi Spiritual pada Psikologi: Logoterapi Viktor E. Frankl, Jurnal Ulumul Qur’an, No. 4/Vol. V/Th. 1994, h. 14. Mengenai pencarian makna hidup manusia, juga banyak dikupas pada tulisannya ini.

11. Komaruddin Hidayat, Upaya Pembebasan Manusia: Tinjauan Sufistik terhadap Manusia Modern Menurut Hossein Nasr, dalam M. Dawam Rahardjo (editor), “Insan Kamil, Konsepsi Manusia Menurut Islam”, Jakarta: PT Grafiti Pers, Cet. I, 1985, hh. 184-6.

12. Ziauddin Sardar, Teknologi dan Kemandirian Domestik: Sebuah Alternatif Islam, Jurnal Ulumul Qur’an, No. 8/Vol. II/Th. 1991, hh. 94-5.

13. Lihat, kata pengantar oleh Budhy Munawar-Rachman dalam Komaruddin Hidayat dan Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan, Perspektif Filsafat Perennial, Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, Cet. I, Desember 1995, hh. xv-xvi.

14. Dr. Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban, Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, Cet. I, September 1995, hh. 146-7, dan h. 240.

15. Huston Smith memberikan gambaran, misalnya kita melihat sebuah kursi. Berdasarkan mata kita, kita mengatakan bahwa kita sedang melihat kursi. Padahal sesungguhnya bila kita lihat dengan kacamata sains (fisika) hakikat kursi itu adalah terdiri dari partikel-partikel dan atom-atom yang sangat kecil dan tak dapat kita tangkap oleh indera kita. Lihat, ibid., hh. 240-1, dan h. 245.

16. Misalnya dalam Al-Qur’an, Surat Bani Israil/17: 44, yang artinya: Langit yang tujuh dan bumi, juga penghuninya bertasbih kepada-Nya (Allah), dan tidak ada sesuatu apapun kecuali tentu bertasbih memuji-Nya, namun kamu sekalian (wahai manusia) tidak mengerti tasbih mereka. Lihat juga Q., s. Alu ‘Imran/3: 38.

17. Lihat, Q., s. Al-Baqarah/2: 1-7.

18. Jalaluddin Rakhmat, Kearifan Perennial: Paradigma Baru Sains, makalah pada Orasi Ilmiah Wisuda Sarjana dan Diploma III Universitas Asy-Syafi’iyah Jakarta pada tanggal 27 November 1993. Makalah ini kemudian dimuat di Republika, 14-16 Desember 1993.

19. Ibid.

20. Budhy Munawar-Rachman, “Lonceng Kematian” Sains Modern, Republika, 14 Januari 1994.

21. Jalaluddin Rakhmat, Op. Cit..

22. Budhy Munawar-Rachman, Pemikiran Filsafat di Dunia Islam Kontemporer, Republika, 24 Agustus 1994.

23. Budhy Munawar-Rachman, “Lonceng Kematian”…, Op. Cit.


Tulisan ini dimuat di Jurnal Pentas, Jurnal Keilmuan Siswa Madrasah Aliyah 1 Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep edisi keempat bulan Agustus 1996.

Read More..

Kamis, 30 Mei 1996

Menjelajah Dunia Jin

Judul Buku: Dialog dengan Jin Muslim
Penulis: Muhammad Isa Dawud
Penerbit: Pustaka Hidayah, Bandung
Cetakan: Pertama, Maret 1995
Tebal: 200 halaman


Bagi umat manusia, dunia jin masih merupakan dunia yang agak asing dikenal. Pemahaman manusia pun mengenai dunia jin juga masih bermacam-macam. Dan, tidak sedikit pemahaman beberapa orang yang sebenarnya tidak sesuai dengan kenyataan yang ada tentang dunia jin, walaupun sebenarnya jin diciptakan lebih awal dari manusia.

Di era yang serba rasional ini, mungkin ada beberapa orang yang sulit mempercayai bahwa ada orang yang dapat berwawancara dengan jin. Namun, terlepas dari hal tersebut, buku yang satu ini memang hadir ke hadapan pembacanya berdasarkan dialog penulis buku ini dengan jin. Muhammad Isa Dawud, penulis buku ini, adalah seorang wartawan profesional di Timur Tengah yang sekaligus juga seorang da’i yang menurut pengakuannya telah berwawancara dengan jin. Tidak seperti umumnya orang arab yang kelihatan lebih mengunggulkan rasio dalam melihat fenomena kehidupan alam gaib, penulis buku ini meyakini bahwa mengikatkan diri semata-mata pada kecenderungan akal adalah jalan yang menuju kesesatan, sebagaimana dikatakannya dalam mukaddimah buku ini.

Buku ini disusun berdasarkan hasil wawancaranya dengan seorang jin yang berasal dari Bombai India selama tiga bulan. Jin yang berusia 180 tahun tersebut, semula kafir dan kemudian dianugerahi Allah untuk memeluk agama Islam, dan selanjutnya memilih nama Mushthafa setelah ia masuk Islam. Hanya saja dalam buku ini tidak dijelaskan kepada pembaca cara pertemuannya dengan jin tersebut, karena itu merupakan salah satu perjanjiannya dengan jin yang diwawancarainya itu.

Mungkin ketika seseorang pertama kali melihat buku ini, dan sekedar hanya melihat cover-nya, ia akan berkomentar. “Ah, masa ada orang yang dapat berwawancara dengan jin. Itu mustahil. Buku ini pasti khayalan penulisnya belaka”. Tetapi, bila ia kemudian berusaha melihat dan mencermati buku ini dengan lebih teliti, mungkin ia akan menarik ucapannya itu. Sebab, dalam buku ini bila kita lihat banyak dipenuhi dengan catatan-catatan kaki. Dan, itulah kelebihan tersendiri dari buku ini yang patut dipertimbangkan. Setiap ada komentar dari jin muslim tersebut, selalu saja ada catatan kaki yang menjelaskan dan mendasarinya sehingga dapat menjadi dalil yang lebih kuat atas pernyataan jin muslim itu. Bisa kita lihat misalnya, beberapa jenis buku yang diambilnya dari penulis-penulis klasik atau modern yang sudah banyak dikenal di kalangan muslim. Misalnya saja seperti Ibn Hajar Al-‘Asqallani, Al-Bukhari, Ibn Katsir, Ibn Taimiyyah, Yusuf Al-Qardhawi, dan sebagainya.

Dari segi pembahasannya, buku ini menjelaskan sisi-sisi kehidupan jin dengan begitu lengkap. Mulai dari proses penciptaannya, bentuk dan sosoknya, jenis-jenisnya, tempat hidupnya, kemungkinan melihat jin, hingga pada masalah perlindungan diri dari gangguan jin yang jahat.

Bahasa yang digunakannya pun begitu menarik, sebab buku ini disusun dengan model wawancara langsung sehingga tidak cepat membosankan serta menggunakan bahasa-bahasa yang sederhana.

Kelebihan lainnya dari buku ini adalah bahwa dalam pembahasannya Muhammad Isa tidak saja menyajikan permasalahan-permasalahan klasik tentang dunia jin tersebut. Tidak luput pula dari pembahasannya masalah-masalah kontemporer yang memang menarik untuk dikaji. Kita ambil contoh saja tentang segitiga Bermuda. Seperti kita ketahui, segitiga Bermuda, yang sering disebut juga dengan segitiga imajinatif, terletak di kawasan Samudera Atlantik. Melihat pada kejadian-kejadian yang terjadi di kawasan ini, segitiga Bermuda dinilai oleh para pengamat sebagai sebuah kawasan misterius. Di kawasan ini telah hilang puluhan pesawat dan kapal laut tanpa diketahui rimbanya sepanjang beberapa tahun. Dalam salah satu wawancaranya dengan jin muslim itu, dapat disimpulkan bahwa Muhammad Isa sepertinya mau mengungkapkan bahwa di segitiga Bermuda itulah, terletak markas besar iblis. Selanjutnya, Muhammad Isa kemudian menghubungkan fakta-fakta empiris tersebut dengan salah satu ayat al-Qur’an dalam Surat al-Rahman.

Masalah lain misalnya tentang David Copperfield, seorang pesulap ulung dari Amerika. Setelah hal tersebut ditanyakan Muhammad Isa kepada jin muslim sahabatnya itu, diketahui bahwa David ternyata memiliki kontrak dengan iblis.

Dengan membaca dan memahami buku ini dengan sempurna, pembaca akan dapat memiliki wawasan dan pandangan yang cukup jelas tentang dunia jin yang sebenarnya. Persepsi-persepsi yang keliru dapat diluruskan dengan benar dan sesuai dengan beberapa dalil yang cukup kuat.

Melihat kepada beberapa kelebihan buku ini sebagaimana disebutkan di atas, tak heran bila buku ini cukup laris di pasaran. Di awal tahun 1996 ini saja, buku ini sudah tujuh kali naik cetak.
Tetapi, suatu hal yang perlu disadari, bahwa masih banyak rahasia-rahasia lain tentang dunia jin tersebut yang masih belum terungkap dengan jelas. Buku ini hanyalah sebagian kecil dari usaha untuk penyingkapan rahasia dunia jin yang banyak diwarnai dengan persepsi-persepsi yang sama sekali tidak berdasar, yang patut untuk dihargai.

Wallahu a’lam bi al-shawab.

Naskah ini selesai ditulis pada 20 Maret 1996 dan dimuat di Jurnal
Pentas, Jurnal Keilmuan Siswa Madrasah Aliyah 1 Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep edisi ketiga bulan Mei 1996.


Read More..

Selasa, 30 April 1996

Agama Menantang Masa Depan

Komaruddin Hidayat & Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan: Perspektif Filsafat Perennial, Jakarta: Paramadina, Desember 1995, 160 + xlii


Beralihnya era agraris ke masyarakat industri yang dicirikan dengan era yang penuh dengan teknikalisme, kapitalisme, dan konsumerisme membuat hegemoni ilmu pengetahuan (modern) terhadap agama semakin menguat. Apalagi dengan munculnya berbagai macam penemuan-penemuan teknologi yang nampaknya kemudian membuat pola dan struktur sosial kehidupan manusia menjadi semakin lebih rasional. Sebagai kelanjutannya, rasionalitas menduduki kedudukan yang begitu penting, sehingga Descartes—seorang filosof dari Perancis—mengatakan cogito ergo sum (saya berpikir, maka saya ada).
Berawal dari mendominasinya rasionalitas modern inilah, kemudian peran agama menjadi tereduksi dan didominasi oleh ilmu pengetahuan (modern). Masyarakat menuntut agar agama dapat tampil secara rasional sesuai dengan kndisi sosial ketika itu. Masyarakat menuntut peran agama secara lebih nyata dari apa yang selama ini mereka lihat di lapangan. Dan memang, ketika itu agama hanya terkesan sebagai aktivitas personal dan terlepas dari sistem interaksi sosial. Akibatnya, ketika lembaga agama tidak mampu memenuhi tuntutan masyarakat tersebut, agama mulai ditinggalkan dan diremehkan oleh masyarakat. Apalagi, agama kemudian dijadikan kambing hitam dan dianggap sebagai biang perpecahan dan pertumpahan darah di permukaan bumi.
Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa peran agama di masa depan mendapat tantangan yang cukup besar dan tidak dapat diremehkan. Sehingga muncul beberapa pertanyaan yang menarik untuk dikaji. Misalnya, bagaimana model penghayatan keagamaan yang selayaknya diterapkan di tengah masyarakat yang penuh dengan sikap kritis, rasional, objektif, dan individual dan sedang mengalami krisis epistemologis ini? Bagaimana pula sikap dan pandangan kita menghadapi pluralitas agama-agama dunia dan tradisi-tradisi esoterik yang ada, dalam konteks mencari sebuah nilai kebenaran yang abadi?
Setidaknya, itulah beberapa butir pertanyaan menarik yang berusaha dikaji dan dijawab oleh buku ini. Tema sentral buku ini adalah kajian tentang masa depan agama ditinjau dari perspektif filsafat perennial (philosophia perennis, filsafat keabadian), sebuah aliran filsafat tradisional yang akhir-akhir ini kian populer.
Pendekatan kajiannya yang melalui filsafat perennial inilah yang menjadikan buku ini cukup menarik dan layak untuk dibaca. Seperti kita ketahui, belakangan ini ide-ide tentang filsafat perennial di kalangan cendekiawan tersosialisasikan secara intens dan dinamis. Apalagi perbincangan tersebut banyak dimotori oleh tokoh-tokoh pemikiran filsafat ternama, semisal Frithjof Schoun, Seyyed Hossein Nasr, dan sebagainya. Penulis buku ini, Komaruddin Hidayat dan Muhammad Wahyuni Nafis,—dua orang staf Yayasan Wakaf Paramadina, Jakarta—adalah termasuk dari pemikir muda yang banyak mengemukakan ide filsafat perennial ini di forum-forum diskusi atau melalui tulisan-tulisannya di media massa.
Buku ini adalah salah satu tulisannya yang memang disusun dan ditulis khusus untuk sebuah buku yang utuh. Karya semacam ini, memang amat jarang sekali dihasilkan oleh para penulis di Indonesia. Kebanyakan, tulisan-tulisan ilmiah populer yang beredar, merupakan kompilasi dari beberapa tulisan yang kemudian disusun menjadi sebuah “buku”. Sehingga, “buku” tersebut kurang menampakkan sebuah ide yang komprehensif. Sisi inilah, yang menambah segi menarik buku ini.
Berbicara tentang pluralitas agama dan tradisi esoterik di dunia ini, filsafat perennial—atau disebut juga al-hikmah al-khalidah—mempunyai pandangan yang cukup menarik. Melihat bahwa terdapat berbagai macam agama dan tradisi esoterik yang berkembang, filsafat perennial menilai bahwa agama-agama dan tradisi-tradisi esoterik tersebut, pada hakekatnya membawa pesan keagamaan yang sama, yang kemudian muncul dalam berbagai nama dan dibungkus dengan bentuk-bentuk dan simbol-simbol berbeda, tetapi tetap merujuk pada hakekat yang sama. Agama-agama tersebut, memiliki sebuah substansi yang sama. Nilai dan pesan kebenaran yang dibawanya adalah sama. Sebab kebenaran abadi itu hanyalah satu. Mengambil analogi kepada cahaya; hakikat cahaya adalah satu dan tanpa warna tetapi spektrum kilatan cahayanya ditangkap oleh manusia dalam berbagai kesan yang beraneka warna. Artinya, walaupun terdapat bentuk-bentuk agama yang berbeda dan dilahirkan pada zaman yang berbeda pula, namun terdapat satu prinsip atau satu hakekat di balik agama-agama dan tradisi-tradisi esoterik tersebut, yang dapat membuatnya bersatu dalam tingkatan transendental.
Namun demikian, bukan berarti filsafat perennial berpandangan bahwa semua agama itu sama. Sebab pandangan semacam itu sama sekali tidak menghormati religiusitas yang partikular dan mereduksi dengan penyejajaran ajaran-ajaran mereka.
Selanjutnya, untuk memperjelas uraiannya ini Komar dan Nafis mengutip istilah yang dibuat oleh Seyyed Hossein Nasr, yang mengatakan bahwa agama itu bisa disebut sebagai sesuatu yang relatively-absolute (absolut secara relatif). Maksudnya, bentuk agama itu adalah sesuatu yang relatif adanya, tapi nilai substansi yang dimilikinya dalam esensi hakiki dan supraformalnya adalah mutlak. Maka, di sinilah satu karakteristik khas yang dimiliki tradisi perennial yang tetap memandang bentuk-bentuk dari agama apapun sebagai keistimewaan partikular yang harus dihormati. Sebagai kelanjutannya, diperlukan sebuah model keberagamaan yang dialogis yang penuh dengan sikap inklusif, simpatik, terbuka, dan sika pparalelisme, yang dimaksudkan untuk dapat memperlebar pintu kebenaran baru dengan memperkaya pesan-pesan luhur keagamaan dan pengalaman-pengalaman spiritual pada agama-agama yang lain.
Dari hal yang demikian ini, sekadang umat Islam—dan umat-umat agama yang lain—mengalami kebingungan teologis dalam memandang dan mensikapi pluralitas agama tersebut. Sedangkan, dalam al-Qur’an sendiri memang disebutkan beberapa isyarat tentang diakuinya pluralitas doktrin teologis. Misalnya pengakuan al-Qur’an terhadap kelompok-kelompok agama yang disebut dengan ahl al-kitab, dan sebagainya.
Mengenai model penghayatan keagamaan yang diperlukan masyarakat modern, Komar dan Nafis memberi gambaran yang juga cukup tegas. Bagi Komar dan Nafis, keberagamaan di masa depan memang menghadapi sebuah tantangan besar di tengah komunitas masyarakat modern yang telah banyak mengalami perubahan di berbagai segi, utamanya dalam hal nilai-nilai serta norma masyarakat. Memang, agama kemudian ditantang untuk dapat menjawab persoalan-persoalan sosial yang kian kompleks vis a vis ideologi sekuler yang juga ada.
Adakalanya, agama menjadi kurang mampu menjawab tantangan untuk menyelesaikan problem kemanusiaan tersebut. Ini terjadi bila agama hanya dipahami dan ditangkap pada dimensi institusinya, sedangkan intuisi dan ruh agama tersebut diabaikan dan kurang dihayati dengan sempurna. Akibatnya, agama sekedar dibaca sebagai sebuah tradisi yang turun temurun dan kurang memiliki daya panggil untuk mendekatkan diri pada Tuhan. Spirit agama yang paling hanif itu kemudian menjadi terkubur dalam simbol-simbol yang diciptakan oleh pemeluk agamanya sendiri. Di sisi yang lain, ideologi sekuler yang menawarkan jasa bagi penyelesaian problem sosial semakin mendapat tempat di hati masyarakat. Selanjutnya, terjadilah apa yang disebut Komar dan Nafis dengan marginalisasi peran agama dalam interaksi sosial masyarakat. Melihat fenomena ini tak heran bila dua orang futurolog, John Naisbitt dan Patricia Aburdene (suami-istri), meramalkan akan munculnya sebuah kecenderungan baru, Spirituality, Yes; Organized Religion, No.
Maka, agama yang sekiranya dapat diterima oleh masyarakat di masa depan adalah agama yan dapat mencerahkan hati dan akal, agama yang mampu membebaskan manusia dari dominasi dan hijab duniawi, yang memperjuangkan prinsip-prinsip antropik-spiritualisme, dan yang dapat menjadi wadah ekspresi dan manifestasi pencarian makna hidup manusia melalui aktualisasi kemanusiaannya.
Membaca dan menyimak alur pemikiran penulis buku ini dengan cermat dan teliti, memang memiliki keasyikan tersendiri. Apalagi, banyak informasi-informasi baru yang akan kita dapatkan di buku ini, mengenai hal-hal yang mungkin sangat jarang kita temukan. Namun sayangnya, bahasa yang digunakan dalam buku ini, cukup menuntut kita untuk sedikit mengernyitkan dahi, agar dapat memahaminya dengan sempurna. Sehingga mungkin, buku ini tidak dapat dikonsumsi oleh banyak lapisan pembaca.
Di tengah-tengah ramainya perbincangan mengenai studi (antar) agama dalam perspektif filsafat perennial, mungkin tidak berlebihan bila dikatakan bahwa hanya buku inilah yang satu-satunya dapat memberi gambaran yang cukup sempurna mengenai hal tersebut.
Wallahu a’lam.

Tulisan ini disusun sekitar bulan April 1996.

Read More..

Rasionalisme Menuju Dinamisme

Judul buku: Islam Rasional, Gagasan dan Pemikiran
Penulis: Prof. Dr. Harun Nasution
Penerbit: Penerbit Mizan, Bandung
Cetakan: Pertama, Mei 1995
Tebal: 464 halaman


Di antara para pemikir Islam di Indonesia, nama Harun Nasution memang cuup mempunyai tempat yang agak istimewa. Sebab—sebagaimana dikatakan oleh Nurcholish Madjid—Harun Nasution telah memulai dan ‘menanam’ semacam tradisi intelektual—yang beliau rintis di IAIN Jakarta—yang menghasilkan suatu fenomena umum di mana orang berani berdiskusi secara terbuka, dan tidak takut lagi untuk mempertanyakan doktrin yang dipandang sudah mapan di kalangan umat Islam. Lain dari itu, tokoh yang disebut-sebut sebagai penganut Neo-Mu’tazilah ini sering kali melontarkan ide dan gagasan-gagasan yang cukup menarik dan menjadi perhatian masyarakat.

Islam Rasional
, adalah buku terbarunya yang diterbitkan setelah sekitar tujuh judul buku yang ditulisnya diterbitkan. Buku ini merupakan sebuah kompilasi dari makalah-makalahnya antara tahun 1970 sampai dengan 1994. Walau rentang waktunya cukup lama dan terkesan sudah usang, namun buku ini tetap memiliki kekuatan analisis yang kuat dan tetap terasa enak dibaca.

Secara garis besar, buku ini mencoba memberikan sebuah alternatif solusi yang cuup mendasar bagi beraneka macam persoalan keislaman, di Indonesia. Persoalan pokok yang kini sedang dihadapi umat Islam Indonesia adalah berkaitan dengan kemunduran dan keterbelakangan kita (baca: umat Islam) dalam berbagai bidang kehidupan bermasyarakat.

Sebagai seorang cendekiawan, Harun Nasution melihat adanya suatu kemandekan dalam segala aspek kehidupan masyarakat Islam, terutama dalam bidang kebudayaan dan tradisi keilmuan. Kreativitas umat Islam menjadi menurun sangat drastis sekali, bahkan bisa dikatakan hampir tidak ada sama sekali.

Untuk dapat menemukan dan menumbuhkan kembali kreativitas umat Islam, Harun mengajak kita untuk menengok kembali dan membuka-buka lembaran sejarah, di mana pada sekitar tahun 650-1250 masehi umat Islam mencapai masa keemasannya. Pada periode ini—yang oleh Harun disebut sebagai periode klasik—, dunia Islam berkembang ke barat sampai ke Spanyol, ke timur sampai ke India, ke utara sampai ke Kaukasus, dan ke selatan sampai ke Sudan. Terjadi pula kontak-kontak kebudayaan dengan barat dan kebudayaan Yunani klasik yang cukup masyhur dengan kebudayaan hellenisme-nya itu. Sementara dalam bidang keilmuan, muncul pemikir-pemikir Islam yang cukup handal, baik dalam bidang ilmu Al-Quran, tafsir, fiqh, tasawuf, akidah, dan sebagainya. Begitu pula dengan bidang sains juga mengalami kemajuan yang sangat pesat. Dalam ilmu kedokteran, kita mengenal Ibn Rusyd dan Ibn Sina, di mana karya-karya keduanya telah diterjemahkan ke dalam bahasa latin dan banyak dipakai di Eropa hingga abad ke-18 masehi. Ilmu kimia, dikembangkan oleh Jabir dan Al-Razi, dan pemikiran-pemikirannya merupakan sumbangan besar bagi para ilmuwan yang lainnya. Bidang matematika dikembangkan oleh Al-Khawarizmi, sehingga ia disebut sebagai Bapak Aljabar. Demikian juga dalam bidang-bidang yang lainnya.

Peradaban Islam, mengalami peningkatan yang pesat, dan dinamika masyarakat menunjukkan ke arah suatu perubahan yang semakin baik. Kemudian sesudah periode ini, Islam mengalami kemunduran secara total, tepatnya bermula setelah Baghdad jatuh ke tangan Hulagu Khan, cucu dari Jengis Khan pada tahun 1258 M.

Berangkat dari pengalaman sejarah itulah, Harun mencoba untuk menelaah guna menemukan sebuah solusi alternatif agar Islam dapat mengejar ketertinggalannya.

Dalam permasalahan ini, Harun melihat paling tidak ada tiga faktor utama yang dapat menjadikan peradaban umat Islam pada saat itu mengalmai kemajuan yang pesat.

Yang pertama, adalah kesanggupan ulama-ulama zaman klasik dalam hal membedakan ajaran-ajaran dasar Islam yang bersifat absolut dan ajaran-ajaran yang bukan dasar dan sifatnya tidak mutlak. Pada zaman klasik itu, diyakini bahwa hanya ajaran yang terdapat dalam Al-Quran dan Hadits saja yang dapat dijadikan sebagai dogma. Ini sangat berbeda sekali dengan pandangan ulama-ulama zaman pertengahan, yaitu periode sesudah zaman klasik, yang menganggap bahwa selain Al-Quran dan Hadits, ajaran-ajaran yang dihasilkan ulama-ulama pada zaman klasik juga diyakini sebagai dogma. Sehingga yang mengikat pemikiran pada zaman pertengahan bukan hanya ajaran-ajaran absolut saja, tetapi juga ajaran-ajaran relatif yang hanya dapat menjadikan kebebasan berpikir dan bergerak mereka amat terikat. Sementara pada zaman klasik dogma yang mengikat pemikiran para ulama pada waktu itu sangat sedikit sekali, sehingga pemikiran menjadi terbuka, pandangan menjadi luas, serta sikap mereka menjadi dinamis. Tak heran jika kebudayaan Islam pada zaman klasik ini berkembang pesat sekali.

Mengenai hal ini, sebenarnya Harun sudah sering kali mengemukakannya. Misalnya saja dalam sebuah wawancaranya dengan Julizar Kasiri, seorang wartawan Tempo, —yang kemudian dimuat pada edisi No. 30 tahun XX, 22 September 1990—, Harun menjelaskan bahwa ajaran Islam yang absolut itu hanya sekitar 5% saja dari seluruh ajaran yang kita pakai selama ini. Yang 5% ini hanyalah terdapat dalam Al-Quran dan Hadits saja. Selebihnya (yang 95%), adalah karangan-karangan para sahabat dan ulama-ulama yang tidak ma‘sum (bebas dari kesalahan). Maka dari itu, kata Harun, jika ajaran yang nisbi itu tidak sesuai dengan perkembangan zaman sekarang, bisa saja ditinggalkan untuk kemudian mencari penyesuaiannya dengan tetap mengacu kepada Al-Quran dan Hadits.

Faktor yang kedua adalah pandangan ulama-ulama zaman klasik tentang posisi akal dalam Islam. Pada periode klasik ini, akal digunakan sebagai perinci serta yang menafsirkan ajaran-ajaran dasar dalam Al-Quran, sehingga ajaran-ajaran tersebut dapat disesuaikan dengan kondisi sosial yang ada, tanpa terlepas dari tuntunan wahyu. Dalam permasalahan ini, Harun bahkan berpendapat bahwa akal telah menjadi sumber ketiga ajaran Islam, setelah Al-Quran dan Hadits.

Sedangkan faktor yang ketiga adalah berhubungan dengan masalah teologi. Teologi yang dianut oleh para ulama zaman klasik adalah teologi rasional, atau yang kita kenal dengan faham Qadariyah, di mana menurut faham ini, manusialah yang menentukan nasibnya (free will), serta manusialah yang menciptakan perbuatannya.

Dengan faham Qadariyah ini, maka produktivitas dan kreativitas umat Islam pada masa itu sangatlah tinggi. Sementara umat Islam pada zaman pertengahan yang menganut faham Jabariyah (fatalisme), produktivitasnya rendah, sebab mereka beranggapan bahwa nasib itu sudah ditentukan oleh Tuhan sejak semula, sehingga manusia tak bisa berbuat apa-apa.

Maka bertitik tolak dari ketiga faktor tersebut, Harun mengajak kita bersama untuk merekonstruksi pemikiran kita yang selama ini telah mengakibatkan kemandekan di kalangan umat Islam sendiri. Harus segera diadakan reinterpretasi terhadap ajaran-ajaran yang sudah tidak sesuai dengan kondisi zaman sekarang ini.

Dan perlu dicatat pula, bahwa dalam melaksanakan tugas ini, yaitu upaya untuk merekonstruksi dan mereinterpretasikan pemahaman keislaman kita saat ini, diperlukan seorang penafsir yang benar-benar mampu, yang menurut Harun harus dituntut tidak hanya tahu agama saja, tapi juga dapat memahami setiap perkembangan zaman. Dalam hal ini Harun berharap agar sarjana-sarjana yang dihasilkan IAIN mampu untuk memenuhi tuntutan itu. Beliau berharap semoga sarjana-sarjana IAIN dapat bersikap rasional, berpandangan luas, berbudi luhur, dan pengetahuannya tidak hanya terbatas pada ilmu agama saja, tetapi juga mencakup ilmu pengetahuan umum, sehingga mampu untuk menafsirkan kembali ajaran-ajaran dasar Islam itu.

Memang buku ini cukup enak dibaca. Sebab selain bahasa yang dipakai Harun sederhana, persoalan yang dikupas juga tidak begitu ruwet. Namun sisi kelemahan buku ini adalah terlalu banyaknya pengulangan dalam mengungkapkan suatu permasalahan. Walaupun sebenarnya ini sudah disadari oleh Harun—sebagaimana diungkapkannya dalam pengantar buku ini—, tetapi alangkah akan lebih baiknya bila ada yang mengelaborasikan tulisan-tulisan dengan tema yang agak sama itu, baik hal itu dilakukan sendiri oleh Harun, atau oleh penyunting buku ini.

Kehadiran buku ini, mungkin akan dapat mengajak kita bersama untuk melakukan sebuah rekontemplasi tentang pemahaman keislaman kita selam ini dalam memecahkan permasalahan-permasalahan umat Islam dewasa ini.


Tulisan ini selesai ditulis pada 28 Juli 1995 dan dimuat di Majalah Mimbar Pembangunan Agama (MPA) terbitan Departemen Agama Jawa Timur edisi April 1996.

Read More..

Minggu, 14 April 1996

Islamisasi di Bidang Psikologi

Judul Buku: Integrasi Psikologi dengan Islam: Menuju Psikologi Islami
Penulis: Hanna Djumhana Bastaman
Penerbit: Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, Oktober 1995
Tebal: xvi + 243 halaman


Gagasan tentan Islamisasi ilmu pengetahuan, yang muncul pada sekitar dekade 70-an, akhir-akhir ini mulai kembali marak diperbincangkan. Ide yang berangkat dari sebuah perdebatan panjang tentang eksistensi ilmu pengetahuan itu sendiri—apakah ia bebas nilai atau tidak—akhir-akhir ini rupanya telah menampakkan adanya suatu kecenderungan akan mencapai ke tingkat aksi. Fenomena semacam ini dapat kita lihat bila kita mencermati perkembangan pergumulan pemikiran kaum ilmuwan di bidangnya masing-masing. Ada semacam tarik-menarik antar nilai-nilai dan konsep teoritis ilmu pengetahuan dengan konsep normatif keagamaan, yang secara lambat laun mengisyaratkan adanya suatu upaya untuk mengintegrasikan keduanya.
Dalam konteks Islam sebagai sebuah sistem nilai, maka Islam seharusnya mampu memberi makna dan etika dalam ilmu pengetahuan. Ini berarti, nilai-nilai dan norma-norma Islam harus diupayakan untuk dapat berintegrasi dengan sistem, metode, wawasan, dan teori-teori ilmu pengetahuan modern. Sebab bagaimanapun, sebuah ilmu pengetahuan itu bertolak dari sebuah aksioma yang tidak pernah dibuktikan secara pasti keberadaannya. Sementara agama, dalam hal ini Islam, jauh lebih pasti daripada ilmu karena tidak mengenal relativisme moral. Artinya, posisi agama ada di atas ilmu, sebab ilmu merupakan penurunan dari agama (Kuntowijoyo, 1991, halaman 320-321).
Hanna Djumhana Bastaman, penulis buku ini, sebagai seorang psikolog muslim yang telah cuup lama bergelut dalam wacana pemikiran psikologi, rupanya tertarik untuk mencoba menformulasikan gagasannya tentang Islamisasi Psikologi dalam sebuah buku.
Bila diperhatikan, memang ternyata di tengah perkembangan pemikiran Islam di Indonesia, wacana tentang ide Islamisasi psikologi masih belum banyak yang dipublikasikan. Inilah salah satu latar belakang diterbitkannya buku ini—sebagaimana diakui oleh editor buku ini, Fuad Nashori. Walaupun buku ini sifatnya merupakan kompilasi dari berbagai tulisan dan makalah-makalah yang ditulis Hanna dalam berbagai kesempatan, hal tersebut tidak mengurangi orisinilitas dan komprehensifitas ide dalam buku ini.
Psikologi sebagai salah satu ilmu pengetahuan modern, penuh dengan berbagai macam aliran yang berkembang. Kita mengenal apa yang disebut dengan aliran psikoanalisis yang dikembangkan oleh Sigmund Freud, psikologi humanistik, aliran behaviorisme, dan sebagainya. Dalam perkembangannya akhir-akhir ini, yang menarik adalah adanya apa yang disebut oleh Budhy Munawar-Rachman sebagai arah baru dalam psikologi kontemporer. Di mana dengan semakin disadarinya bahwa ada sebuah kekurangan dari psikologi-barat modern, maka nampaklah sebuah gejala akan semakin diperhatikannya “psikologi tradisional” yang dikembangkan di dunia timur. Bahkan Stuart B. Litvak dalam bukunya yang berjudul How to Study Psychology: A Basic Field Guide for Students and Enthusiasts menyebutkan bahwa sufisme, sebagai salah satu tradisi keislaman, sudah seharusnya lebih diperhatikan, karena ia juga memiliki dimensi-dimensi psikologis yang tak kalah penting untuk pengembangan kesadaran manusia (Jurnal Ulumul Qur’an, No. 4, Vol. V, Tahun 1994, halaman 3).
Dengan demikian, potensi untuk diintegrasikannya nilai-nilai Islam dengan psikologi modern, cukup besar. Mengingat di antara sekian banyak disiplin ilmu pengetahuan, psikologilah yang paling mudah dikaitkan dengan nilai dan norma Islam, karena kejiwaan memang ilmu yang sarat dengan nilai (Kuntowijoyo, 1991, halaman 325).
Dalam melihat disiplin ilmu psikologi tersebut, Hanna mendapatkan adanya sebuah kecenderungan pemahaman psikologi yang sifatnya antroposentris. Maka secara implisit, dengan pemahaman yang demikian, manusia mempunyai peran sentral dalam psikologi. Dalam artian, ia telah menganggap bahwa Tuhan tidak lagi berperan dalam psikologi, dan peran Tuhan itu telah direduksi oleh manusia. Padahal, bagaimanapun, Tuhan adalah pusat dari kehidupan ini. Hal ini juga yang disinggung oleh Mulyanto, staf peneliti di BATAN PUSPITEK Serpong, sebagai suatu kenyataan bahwa ternyata materialisme telah menyelinap dalam tubuh ilmu pengetahuan, bersembunyi dalam struktur dalamnya, hingga ia tak tampak sebagai nilai yang dianut oleh ilmu pengetahuan tersebut (Jurnal Ulumul Qur’an, No. 9, Vol. II, Tahun 1991, halaman 55). Hal ini terjadi tak lain adalah karena sebagian kaum ilmuwan tetap bersikukuh dengan pendapatnya bahwa ilmu pengetahuan itu bersifat bebas nilai, sehingga ia kemudian meninggalkan etika-etika kemanusiaan. Kemudian, dari hal ini Hanna mengintroduksi sebuah istilah baru dalam psikologi, yaitu antropo-religiosus-sentris.
Mengupayakan integrasi psikologi dengan Islam, bukan berarti harus menganggap salah sama sekali wawasan-wawasan, teori-teori, sistem, metode dan tehnik pendekatan yang sudah ada dan berkembang di lingkungan psikologi. Tetapi yang perlu diupayakan adalah penyempurnaan dan perbandingan, yang kemudian diikuti dengan reorientasi falsafi dan konfirmasi wawasan psikologi tersebut dengan wawasan yang berlandaskan kepada nilai-nilai keislaman, sehingga Islam mampu untuk masuk pada struktur pemikiran psikologi yang terdalam. Dalam hal ini, Hanna menyebutkan enam metode yang digunakan sebagai upaya menghubungkan sains dan agama. Yaitu similiarisasi, paralelisasi, komplementasi, komparasi, induktifikasi, dan verifikasi.
Salah satu bagian terpenting yang menjadi bahasan utama Hanna dalam buku ini, adalah tentang adanya dimensi ruh dalam struktur kepribadian manusia. Inilah yang tidak dimiliki oleh manusia, yang tidak pernah dibahas dalam wacana psikologi modern. Walaupun sudah diisyaratkan oleh Al-Qur’an, bahwa hakikat ruh itu hanyalah diketahui oleh Allah saja (Q.S., Al-Isra’/17: 85), tidak berarti Hanna telah melampaui batas-batas etika kewajaran. Namun, sebagaimana diakuinya, bahwa pembahasannya tentang ruh hanyalah berkisar pada mencermati gejala-gejala yang ditimbulkannya saja. Sebab bagaimanapun juga, menurut Sa’id Hawwa, pembicaraan mengenai ruh merupakan tindakan berpura-pura. Oleh karenanya, pembicaraan tentang ruh hanya berkisar pada dua hal: mengembalikan ruh pada pengetahuan asalnya, dan pada kesempurnaan pengabdianna (Sa’id Hawwa [terjemahan Indonesia], 1995, halaman 55).
Hal lain yang menarik untuk diperhatikan, adalah adanya sedikit persamaan, antara pembahasan tasawuf dengan psikologi. Hanna mengakui tentang adanya hal tersebut, namun Hanna tetap memandang bahwa secara hakiki, terdapat perbedaan antara keduanya. Psikologi adalah sebagai sains, dan tasawuf sebagai bagian dari agama. Dan, manakala keduanya telah berintegrasi secara benar, akan terciptalah sebuah sinergi baru dalam ilmu psikologi dan agama.
Secara umum, tema dalam buku ini adalah upaya untuk mencoba membandingkan asas-asas psikologi dengan asas-asas Islam mengenai manusia. Yang dimaksud di sini adalah melihat sejauh mana terdapat kesamaan, kesejalanan, saling menunjang dan melengkapi atau bahkan saling menyangkal di antara keduanya. Buku ini dibagi dalam empat bagian utama. Bagian pertama mengungkapkan dasar-dasar perkembangan psikologi berwawasan Islam. Bagian kedua membahas masalah konsep utama dalam wacana psikologi tentang manusia. Bagian ketiga mencoba menawarkan konsep tentang bagaimana pribadi yang sehat dalam perspektif Islam. Bagian ini nampak bersifat lebih praktis. Sedangkan bagian keempat menggambarkan pendekatan praktis secara umum kepada masyarakat dalam hubungannya dengan psikologi.
Dari 20 tulisan yang disajikan dalam buku ini, kiranya perlu kita catat bahwa ini adalah sebagai sebuah terobosan baru dalam perkembangan pemikiran Islam di Indonesia, yang patut untuk dihargai dan terus dikembangkan di bidang disiplin ilmu yang lainnya.

Tulisan ini disusun sekitar bulan Februari-Maret 1996.

Read More..