Sabtu, 01 Juli 1995

Manusia dan Krisis Lingkungan: Perspektif Ekologi Islami


Manusia dan Lingkungan Hidupnya: Sebuah Pengantar

Menurut pakar Geologi, semula atmosfer bumi mengandung kadar CO2 yang tinggi. 02 juga belum ada, sehingga pada lapisan stratosfer tidak terdapat ozon. Maka sinar ultraviolet (sinar matahari) dengan leluasa dapat langsung samapi ke bumi. Akibatnya, kehidupan di permukaan bumi bisa dikatakan tidak ada, sebab suhu di permukaan bumi sangat panas. Yang dimungkinkan adanya kehidupan hanyalah di dalam air yang dalam saja, yang terlindung dari penyinaran ultraviolet.

Namun, kemudian terjadilah proses evolusi makhluk hidup, di mana makhluk hidup yang berklorofil secara lambat laun mulai menjalankan proses fotosintesis. Evolusi ini terus berlanjut, sehingga kadar CO2 di atmosfer turun sedikit demi sedikit, dan kadar O2 di lapisan stratosfer mulai terbentuk. Kemudian terbentuklah lapisan ozon. Makhluk hidup yang semula tinggal di air pun kemudian mulai ber-evolusi untuk hidup di darat.1

Dari hal di atas, nampak bahwa makhluk hidup terbentuk dari lingkungannya, dan makhluk hidup juga membentuk lingkungannya.2 Keterkaitan antar keduanya, serta hubungan keduanya sangat erat sekali. Diperlukan sekali kesetimbangan (equilibrium) dan keseimbangan (balance) keduanya agar tercipta suatu kondisi lingkungan yang harmonis, yang dapat mengantarkan umat manusia kepada kehidupan yang sejahtera.


Krisis Lingkungan Melanda Planet Bumi

Pada bulan Juni yang lalu—bersamaan dengan maraknya pembicaraan ahli-ahli lingkungan tentang kekeringan panjang yang terjadi di tanah air—badai Tsunami menggulung desa-desa di bibir pantai selatan Banyuwangi. 600 rumah hancur, 300 perahu rusak berat, dan sekitar 500 orang hilang dan luka-luka.

Akhir Januari lalu, secara bersamaan, hampir seluruh Eropa dilanda banjir akibat meluapnya sungai Rhine yang membelah Eropa Barat. Sementara topan dahsyat mengamuk di China, India, Filipina dan sebagian wilayah Amerika. Peristiwa-peristiwa alam ini—yang oleh John Ario Katili disebut sebagai “musibah antropogenik”—oleh banyak kalangan dikatakan sebagai suatu akibat dari krisis lingkungan yang sedang melanda planet bumi. Krisis lingkungan itu, telah banyak berakibat buruk bagi umat manusi adi berbagai segi kehidupan.

Menurut mantan Menteri Lingkungan Hidup, Emil Salim, paling tidak ada 10 (sepuluh) tanda-tanda mengenai krisis lingkungan di bumi—yang katanya dikhawatirkan dapat mengarah ke “kiamat” bumi. Yakni: pencemaran udara, penyusutan air tawar, pemanasan global, kenaikan air laut, penggundulan hutan, penyiutan keanekaragaman hayati, penipisan lapisan ozon (O3), perubahan iklim, hujan asam, dan masalah limbah dan sampah.3

Pencemaran udara yang mayoritas terjadi di daerah industri di perkotaan tidak hanya menurunkan kualitas udara segar, tapi juga mengandung berbagai ancaman lain, bahkan ancaman maut.4

Masalah penyusutan air tawar, juga merupakan indikasi dari krisis lingkungan yang sedang merajalela. Di kota-kota besar, masalah air adalah masalah yang cukup penting, walau juga di daerah non kota sering kali air menjadi masalah pula.

Kejadian yang paling nampak adalah ketika pertengahan tahun lalu terjadi kekeringan yang berkepanjangan hingga akhir tahun lalu. Di Bogor, sungai Cipamingkis nyaris tak berair. Di Ngawi sawah harus disiram dengan air pikulan. Bahkan di Bandung sumur-sumur penduduk sebagian besar sudah tidak berair lagi, sehingga mereka terpaksa harus membeli air untuk mandi dan minum, serta untuk kebutuhan hidup yang lainnya.

Kepala Bidang Ramalan dan Jasa Badan Meteorologi dan Geofisika, Drs. Soeroso Hadijanto mengatakan bahwa kekeringan ini termasuk kategori terburuk selama sepuluh tahun terakhir.5

Sementara, di semua bagian bumi cuaca menjadi berperilaku aneh. Adalah benar bahwa cuaca sebagai bagian dari alam, memiliki tingkat ketakteraturan yang tinggi. Namun ketakteraturan yang sekarang ada, telah berlebihan. Fenomena inilah yang disebut para pakar sebagai El Nino. El Nino merupakan gejalan kekacauan iklim yang ditandai dengan kekeringan panjang, topan dahsyat dan laut yang mengamuk.6 Hal-hal semacam itu oleh para pakar dikatakan sebagai akibat dari naiknya kadar CO2 di atmosfer.7 CO2 yang semakin tinggi kadarnya ini, menjadikan suhu bumi menjadi semakin meninggi.8

Kemudian, mengenai terjadinya El Nino yang disebabkan panasnya suhu bumi, Syaefudin Simon memberi gambaran:

Atmosfer bumi bisa diumpamakan sebagai “mesin pengolah panas”. Bila atmosfer menerima panas, maka panas itu akan diolah menjadi energi kinetik (energi penggerak). Energi kinetik ini akan menggerakkan angin dan arus alut. Bila gas rumah kaca meningkat, suhu udara naik, maka “mesin” itu akan menghasilkan energi kinetik yang besar. Maka aliran angin dan arus laut menjadi besar dan cepat pula. Dari hal ini, bisa diketahui mengapa akhir-akhir ini bencana topan dan amuk gelombang laut makin dahsyat.9

Dengan meningkatnya kadar CO2, maka lapisan ozon pun semakin menipis, dan semakin menipis lagi. Penipisan ozon ini menjadikan sinar ultraviolet matahari semakin leluasa menembus bumi.

Dari beberapa uraian di atas, nampak bahwa kesepuluh tanda-tanda yang diisyaratkan oleh Emil Salim itu memiliki hubungan satu dengan yang lainnya. Yang satu dapat mengakibatkan yang lain, dan yang lain dapat mempengaruhi yang lainnya lagi. Fenomena ini menunjukkan bahwa betapa peliknya masalah krisis lingkungan yang kini sedang dihadapi manusia.

Lain lagi dengan apa yang dikatakan oleh Syamsul Arifin, seorang penulis produktif dan pemerhati lingkungan. Dia melihat bahwa penyebab kerusakan lingkungan yang kini sedang terjadi adalah merupakan akumulasi dari persoalan kemanusiaan. Syamsul Arifin mencontohkan hal ini dengan masalah ledakan penduduk (eksplosi demografi) serta perkembangan iptek dengan semua implikasinya. Kedua hal itu kemudian berujung pada masalah ekologi.10

Ledakan jumlah penduduk, menyebabkan penebangan-penebangan hutan dilakukan secara besar-besaran. Hutan yang merupakan paru-paru bumi ditebangi untuk lahan pertanian dan pemukiman-pemukiman. Akibatnya, pohon-pohon yang dapat menyerap CO2 pun mulai berkurang.

Kemudian, perkembangan iptek yang revolutif akan mengabaikan perkembangan etika yang mempersoalkan aspek aksiologi iptek itu sendiri. Ini adalah fenomena paradoksal bila dilihat dari motivasi historis perkembangan iptek sebagai upaya liberalisasi dari segala mitologisasi kosmologis ketika iptek belum berkembang.11

Perkembangan iptek yang tidak dilandasi dengan etika keagamaan dan etika kemanusiaan ini nampak sekali akibatnya bagi kerusakan lingkungan.

Efek-efek negatif dari kerusakan lingkungan ketika jumlah manusia terbatas, kurang begitu kentara. Tetapi ketika jumlah manusia semakin banyak maka akibatnya akan sangat kentara sekali.12 Padahal, diproyeksikan bahwa pada tahun 2000 jumlah penduduk bumi akan menjadi 7 milyar.13


Islam dan Krisis Lingkungan

Islam sebagai sebuah agama yang universal (kaffah) tidak hanya berbicara dalam masalah ritual saja. Islam universal, sarat akan nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai sosial. Artinya, Islam juga turut peduli dengan permasalahan-permasalahan kemanusiaan dan problematika sosial. Kehadiran Islam membawa rahmat bagi semesta alam.

Mengenai konsep Islam dalam konteks kepeduliannya pada masalah lingkungan, Dr. Nurcholish Madjid menguraikan dengan jelas dalam salah satu bukunya. Nurcholish memulai penjelasannya itu dengan konsep taskhir dalam Al-Qur’an.14 Segi logika doktrin taskhir ini ialah, pertama, manusia adalah ciptaan Allah; maka seluruh alam berada dalam martabat lebih rendah daripada manusia. Kedua, alam adalah untuk dapat dimanfaatkan oleh manusia.15 Jadi sebenarnya konsep taskhir ini berhubungan erat—meminjam istilahnya Nurcholish—kosmologi haqqiyah alam. Dalam arti, bahwa realitas itu tak diciptakan sia-sia dan mempunyai tujuan yang universal.

Tapi dalam “memanfaatkan” alam ini, manusia haruslah bisa membatasi diri untuk tidak berkelakuan yang eksploitatif terhadap alam. Sebab, walau manusia itu lebih tinggi dengan alam, manusia harus menyadari bahwa seluruh alam ini—termasuk di dalamnya manusia—adalah ciptaan Allah.16 Hal ini sudah digambarkan dengan jelas dalam Al-Qur’an.17

Dan last but not least, tentunya kita harus selalu menyadari akan status kita sebagai khalifah (“duta”, “wakil”, “pengganti”) Tuhan di bumi. Dalam mengomentari tentang hal ini, Nurcholish Madjid berkomentar:

Kekhalifahan manusia ini mempunya implikasi prinsipil yang luas. Disebabkan oleh kedudukannya sebagai “duta” Tuhan di bumi, maka manusia akan dimintai tanggung jawab di hadapanNya tentang bagaimana ia melaksanakan tugas suci kekhalifahan itu. Maka manusia diharapkan untuk senantiasa amal perbuatannya sendiri sedemikian rupa, sehingga amal perbuatan itu dapat dipertanggungjawabkan di hadapan pengadilan Ilahi kelak. Kewajiban untuk bertindak dengan penuh tanggung jawab ini merupakan titik mula moralitas manusia dan membuatnya sebagai makhluk moral, yakni makhluk yang selamanya dituntut untuk mempertimbangkan kegiatan hidupnya dalam kriteria baik dan buruk.18

Maka, manusia harus selalu menyeimbangkan sikap-sikapnya dalam berhubungan dengan lingkungan dengan akhlak dan etika islami yang benar dan utuh.


Catatan Kaki

1. Prof. Dr. Otto Soemarwoto, Sumbangan Islam pada Pembangunan Berwawasan Lingkungan, artikel pada Majalah Pembangunan KESRA, Nomor 12 Tahun 1992, hal. 42.

2. Ibid.

3. Lihat, di HU Republika edisi 21 April 1995. Hal ini dipaparkannya pada Pidato “Bumi Kini dan Esok” pada tanggal 20 April 1995. Bandingkan dengan laporan di HU Republika edisi 23 April 1993 mengenai hal yang sama.

4. Ibid.

5. Lebih jelasnya, lihat HU Republika edisi 17 Juli 1994, laporan utama, hal. 2.

6. Lihat, HU Republika, edisi 9 April 1995, hal. 13, ulasan Yosep Suprayogi

7. Pertambahan kadar CO2 bisa terjadi lantaran letusan gunung berapi, sampah, tumbuhan yang membusuk, nafas makhluk hidup, dan lain-lain. Tapi kontributor yang terbesar dalam peningkatan CO2 ini adalah manusia dengan segala implikasi kemajuan teknologinya. Sebagai contoh, setiap pembakaran bensin 1 galon atau 4,5 liter akan menambah CO2 sebanyak 9,07 kilogram di udara. Lihat, artikel Syaefudin Simon, Melihat Nasib Bumi, Menanti Kiamat Datang, di HU Republika 4 April 1995. Bandingkan dengan tulisan Yohanes S. Widada di Majalah SINAR, No. 23/Tahun II/22 April 1995, hal. 62.

8. Fakta-fakta ilmiah mengenai hal ini kemudian menunjukkan bahwa meningkatnya kadar CO2 di atmosfer adalah merupakan akibat dari makin bertambahnya konsentrasi gas rumah kaca (green house effect). Gas rumah kaca antara lain dapat berupa karbon dioksika (CO2), metana (CH4), dan klorofluoro karbon (CFC). Maka panas matahari tersebut yang seharusnya memantul ke “langit” dan mendingin, kini telah memanggang bumi karena sinar matahari itu “terjebak” oleh gas-gas rumah kaca. Mengenai hal ini, bandingkan penjelasan Syaefudin Simon, Op. Cit., dan penjelasan Yosep Suprayogi.

9. Syaefudin Simon, Op. Cit.

10. Syamsul Arifin, Agama dan Masa Depan Ekologi Manusia, dalam Jurnal Ulumul Qur’an edisi khusus No. 5 dan 6, Vol. V Tahun 1994, hal. 90-91.

11. Syamsul Arifin, Op. Cit., hal. 92-93.

12. Emil Salim, Merenungi Nasib Bumi, Majalah TEMPO edisi 27 April 1991.

13. Syamsul Arifin, Op. Cit., hal. 91.

14. Lihat, Q., s. al-Jatsiyah/45: 13, “Dan Dia merendahkan (sakhkhara, melakukan taskhir) untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripadaNya. Sesungguhnya pada demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir.” Bandingkan dengan Q., s. al-Zukhruf/43: 13.

15. Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Yayasan Wakaf Paramadina, Jakarta, 1992, hal. 294.

16. Nurcholish Madjid, Op. Cit., hal. 295-296.

17. Q., s. al-An’am/6: 38, “Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat-umat seperti kamu juga.”

18. Nurcholish Madjid, Op. Cit., hal. 302. Bandingkan dengan pernyataan Nurcholish Madjid dan Soetjipto Wirosardjono mengenai hal yang sama dalam HU Republika edisi 21 April 1994.


Ditulis pada sekitar bulan Mei-Juni 1995. Ketika itu penulis duduk di kelas 1-A Madrasah Aliyah 1 Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep.

Read More..