Sabtu, 13 Agustus 1994

Siswa Baru dan Popularitas

Memasuki tahun ajaran baru, apalagi di tingkat atau jenjang pendidikan yang berbeda, akan kita jumpai beberapa siswa yang merupakan ‘siswa baru’ bagi kita karena masih belum kita kenal. Hal itu adalah merupakan suatu hal yang wajar dan biasa terjadi serta memiliki hikmah yang sangat besar. Diantaranya adalah menambah teman, yang pada pokoknya adalah menjalin semangat ukhuwah di antara siswa yang lain. Di sinilah nilai intrinsik seorang sahabat yang berorientasi atas asas sosial, bukan atas asas materialistis ataupun untuk kepentingan pribadi.
Sementara itu, kalau kita amati secara serius pada saat-saat yang demikian muncul fenomena-fenomena yang sebenarnya tidak patut terjadi. Diantaranya hal-hal yang sering terjadi itu adalah semakin banyaknya sikap dan tindak tanduk siswa yang mengarah kepada suatu keadaan yang disebut popularitas. Diakui atau tidak, kecenderungan ini sudah mulai memasyarakat dikalangan siswa, khususnya bagi siswa yang kurang berfikir progresif.
Banyak jalan menuju Roma, demikian pepatah mengatakan. Pun juga banyak jalan menuju popularitas. Mayoritas jalan yang mereka tempuh adalah dengan mengamalkan sebuah pepatah arab yang artinya kencingi air zamzam, maka kau akan dikenal (populer). Dalam arti mereka menggunakan dan mempraktekkan apa yang disebut khâriq li al-‘âdah, atau dalam bahasa sehari-hari kita kenal dengan tampil beda.
Yang dimaksud dengan tampil beda di sini adalah dalam artian segala sikap siswa yang mengarah kepada popularitas yang dimanifestasikan kepada hal-hal yang negatif. Kita ambil suatu contoh misalnya ada seorang siswa yang sering berusaha untuk membuat teman-temannya tertawa dengan tindakannya yang amoral, bahkan dia memang sudah merekayasa dengan beberapa temannya untuk itu.
Aksi seperti contoh di atas tentunya akan menimbulkan reaksi-reaksi yang berbeda, tergantung kepada yang menerima yaitu guru dan siswa yang lain.
Namun pada umumnya reaksi dan tanggapan para siswa juga mengarah kepada hal-hal yang negatif. Ibarat penyakit menular, kecenderungan ini akan menular kepada siswa-siswa yang lain dengan cepat dan tidak disadari. Hal inilah yang dapat menjadikan komunitas siswa menjadi suatu komunitas yang popularitas-sentrisme. Jika sudah demikian, suasana kelas dalam proses belajar mengajar pun akan terganggu.
Untuk itulah diperlukan langkah-langkah antisipatif guna mencegah agar ‘wabah’ ini tidak dapat menular kepada siswa yang lain, karena sebagaimana dikatakan oleh orang-orang bijak bahwa tindakan preventif lebih baik daripada tindakan kuratif.
Dalam hal ini siswa bertindak langsung sebagai subyek dan obyek. Dalam artian siswalah juga yang berperan aktif untuk mencegah agar gejala-gejala ini tidak berlanjut. Sedang siswa-siswa yang lain yang selamat dari ‘wabah’ ini hendaknya berusaha untuk menjaga dirinya dan kemudian membantu siswa yang lain untuk kembali kepada nilai hakiki seorang siswa, yang berakhlak yang baik.
Tak kalah besar pula perannya ialah guru selaku tokoh sentral dalam proses belajar-mengajar. Seorang guru hendaknya dapat bertindak tegas terhadap gejala ini dan dapat bertindak sebagai pengayom siswa dalam menciptakan iklim belajar yang sehat.


Tulisan ini dipublikasikan di “Fokus”, Majalah Dinding Kelas 1-A Madrasah Aliyah 1 Annuqayah edisi I, 13 Agustus 1994.

Read More..